Monday, March 16, 2009

Mixed Economics

Oleh ERIX HUTASOIT

Pemilihan Umum tinggal sebentar lagi. Persaingan antar partai politik (parpol) kian memuncak. Bidang ekonomi misalnya, persaingan itu telah mengkerucut menjadi tiga kutub: pro ekonomi pasar (market economics), pro ekonomi kerakyatan (peoples’ economic), dan ekonomi campuran (mixed economics).

Kubu market economics atau yang sering disebut neo-liberalisme diusung oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dalam gerbong ini ada sejumlah ekonom seperti Sri Mulyani, Chatib Basri yang terkenal sangat setia menjalankan Washington Consensus. Sedangkan kubu peoples’ economic diusung Prabowo Subianto dan ekonom Rizal Ramli. Dan kubu yang terakhir yaitu mixed economics, digagas orang-orang dari luar partai politik. Kolomnis Bersihar Lubis ada di kelompok ke tiga ini.

Sebagai alternatif dari dua kutub pertama, Bersihar menawarkan jalan tengah. Menurut Lubis, menolak kapitalisme jelas sulit. “ … karena Indonesia tidak bisa berdiri sendiri dalam perekonomian dunia,” kata Lubis. Setali tiga uang dengan pemikiran Moh. Sadli yang menawarkan Ekonomi Pancasila, Lubis menawarkan ekonomi campuran (mixed economics). “Gagasan itulah yang tercetus dalam Kongres I PSI pada 1952. PSI yang dipimpin Sjahrir menerima arus modal asing maupun kapitalisme liberal, tetapi harus dikontrol oleh negara dan parlemen…,” tulis Lubis dipenghujung artikelnya, “Terima Kasih, Sjahrir” (Harian Medan Bisnis, 6/3/09).

Bagi saya, mixed economics yang ditawarkan Bersihar menarik untuk di diskusikan lebih lanjut. Setidaknya ada dua pertanyaan yang menarik untuk ditemukan jawabannya: pertama, akankah kapitalisme bersedia dikontrol oleh negara dan parlemen? kedua, mampukah negara dan parlemen mengontrol kapitalisme?

Membahas kapitalisme berarti harus menyertakan frasa pasar. Itu sebabnya ekonomi kapitalisme disebut ekonomi pasar (market economics). Coen Husain Pontoh dalam Pasar (2004) membantu mengurai watak pasar kapitalisme secara sistematis. Coen mengutip pemikiran Karl Marx untuk membagi pasar atas dua bentuk: pertama, pertukaran yang menggunakan rumus C-M-C (Comodity-Money-Comodity), dan kedua, pertukaran yang mengambil rumus M-C-M (Money-Comodity-Money).

Pada pertukaran jenis pertama, Marx menyebutnya sebagai sirkuit komoditi (Comodity Sircuit/CS). Menurut Marx model CS tidak menjelaskan secara utuh pertukaran dalam masyarakat kapitalis. Marx lalu menulis ulang rumusnya menjadi M-C-M. Menurut hukum ini, si kapitalis memulainya dengan uang (M) untuk membeli komoditi (C). Komoditi tersebut kemudian dijualnya untuk memperoleh uang lagi (M2). Marx menamakan tahap pertama ini (M-C) sebagai kapital pendahuluan (advanced capital), dan tahap kedua (C– M) sebagai kapital kerja (relation capital).

Tetapi, Marx mengingatkan bahwa keseluruhan proses ini (M-C-M), tidak ada maknanya, jika si kapitalis hanya mendapatkan uang sebesar uangnya semula. Misalnya, jika semua ia memiliki Rp. 1000,- (M), kemudian digunakannya untuk membeli atau memproduksi sepatu seharga Rp. 900.- (C), dan menjual sepatu itu dengan harga dasar Rp. 1.000,- (M). Bagi Marx, pertukaran model ini bukanlah cara produksi kapitalis.

Karena itu, Marx menuliskan kembali rumusnya ini menjadi M-C-M’, dimana M’ (M plus) mewakili jumlah yang lebih besar dari M atau M’ > M. Uang senilai Rp. 1000,- (M) yang digunakan untuk membeli atau memproduksi sepatu senilai Rp. 900,- (C). Sepatu itu kemudian dijual menjadi Rp. 1.100 (M’). Dari proses ini, si kapitalis mendapatkan tambahan uang senilai Rp. 100,- yang kemudian sirkuit ini terus berputar tanpa henti. M’ inilah yang nantinya disebut Marx sebagai “nilai lebih“ (surplus value’).

Pada tahap M-C-M’, yang disebut Marx dengan istilah sirkuit uang (money circuit), si kapitalis memproduksi komoditi bukan untuk konsumsi tapi, untuk dijual dengan tujuan semata-mata akumulasi nilai uang. Demikian pula, si konsumen membeli barang bukan semata-mata bertujuan memenuhi kebutuhannya. Proses M-C-M’ ini terjadi dalam situasi yang tidak pernah usai dan diam, sehingga terjadi apa yang disebut surplus product (kelebihan produksi).

Inti hukum M-C-M’ adalah keuntungan maksimal. Oleh PERC (Political and Economic Risk Consultantcy) logika M-C-M’ itu, diadopsi menjadi syarat bagi sebuah negara agar digolongkan sebagai investor friendly (ramah investor). PERC mengurainya menjadi sebelas syarat: (1) biaya sewa; (2) beban pajak; (3) kualitas sistem perpajakan; (4) ada/tidaknya monopoli/kartel; (5) persaingan pemerintah dan swasta; (6) birokrasi; (7) kemudahan mendirikan usaha; (8) hambatan untuk impor; (9) pelanggaran hak kekayaan intelektual (HKI); (10) perlindungan hukum atas HKI; (11) daya saing regional.

Menurut I. Wibowo dalam Globalisasi, Kapitalisme Global, dan Matinya Demokrasi (Kompas, 2002) sebelas syarat ini jelas mengacu kepada sejauh mana negara mengurangi campur tangannya dalam ekonomi. Butir 2, 3, dan 8 mengukur sejauh mana membebaskan para investor itu bebas bergerak: pajak yang rendah, tarif impor yang rendah. Butir 6 dan 7 sangat berkaitan, dan jelas mengacu kepada negara: semakin berbelit birokrasi, semakin tinggi campur tangan negara. Urusan mendapatkan lisensi yang paling disorot sebagai cengkeraman negara paling menakutkan investor. Cuma butir 9 dan 10 saja yang menginginkan peran aktif dan agresif dari negara untuk memerangi para pembajak.

Jika mengacu pada pendapat Wibowo, jelas kapitalisme tidak akan rela dikontrol oleh negara maupun parlemen. Sebagai contoh, pada tahun 1999 Oskar Lafontaine, Menteri Keuangan Jerman, berusaha menaikkan pajak bagi perusahaan-perusahaan di Jerman. Sontak rencana itu ditolak perusahaan besar seperti Deutshce Bank, Dresdner Bank, Asuransi Allianz, BMW dan lain-lain. Perusahaan-perusahaan itu malah mengancam balik. Mereka akan memindahkan investasi keluar Jerman, jika kenaikan pajak itu terwujud. Pemerintah Jerman “kalah” dan Lafontaine mengundurkan diri.

Pajak Momok bagi Kapitalisme

Bagi sebuah negara, pajak adalah pendapatan utama. Semakin banyak pajak yang diperoleh, maka semakin banyak pula program pembangunan yang bisa direalisasikan. Tapi sebaliknya, pajak adalah momok bagi kapitalisme. Semakin tinggi pajak, maka semakin sulit hukum M-C-M’ direalisasikan. “Paradoks” inilah yang disebut B. Heri Priyono dalam Demokrasi & Kapitalisme (BASIS, 2002) sebagai paradoks antara “Demokrasi” dan “Kapitalisme”.

Menurut Priyono, dalam demokrasi, pejabat negara yang tidak becus mengelola tugasnya bisa dituntut tanggung jawabnya dan dipecat, lewat mosi tidak percaya atau pemilu. Tetapi hal itu tidak berlaku bagi para kapitalis. Mereka tidak bisa dituntut kalau mereka tidak melakukan investasi. Menanam atau tidak menanam modal menjadi hak mereka sendiri, bukan urusan publik dalam istilah hukum.

Praktek politik di Indonesia selama ini, mengindikasikan kalau para politisi memahami paradoks ini. Itu yang membuat mereka lebih memilih bekerjasama dengan kapitalisme ketimbang berusaha mengontrolnya. Para politisi bertransformasi menjadi “pedagang” atau sebaliknya, pedagang bertransformasi menjadi “politisi”. Dengan memanfaatkan posisi sebagai kelas penguasa (the rulling class), mereka bisa lebih leluasa mengeruk keuntungan. Praktek inilah yang diendus Peter Evans, seorang sosiolog asal Amerika Serikat (AS), melalui teori yang tersohor: triplle alliance theory (teori kerjasama segitiga ).

Teori Evans itu menunjukkan kerjasama, antara modal asing (kapitalis) dengan pemerintah di negara pinggiran dan borjuasi lokal dalam mengeruk kekayaan dari negara pinggiran. Menurut Evans, negara membutuhkan modal, teknologi dan akses kepada dunia untuk menggerakkan pembangunan. Tetapi supaya pemerintah tidak dituduh hanya menjadi pelayan modal asing, maka perlu ditumbuhkan borjuasi lokal.

Dalam persekutuan segitiga ini, masing-masing pihak mendapatkan keuntungannya. Modal asing mendapatkan keuntungan berupa re-produksi kapital secara terus-menerus dalam bentuk repatriasi keuntungan ke negara asal. Sementara pemerintah dan borjuasi lokal memperoleh bagian yang maksimal guna mempertahankan kekuasaannya. Fenomena ini mirip dengan kesimpulan Richard Robison dalam bukunya yang terkenal, Indonesia: The Rise of Capital (1986).

Sampai disini saya berkesimpulan: ide untuk mengontrol kapitalisme lewat mixed economics seperti yang diajukan Bersihar, hanya mungkin terwujud dengan tiga syarat: Pertama, negara dan parlemen mempunyai kekuasaan yang mampu memaksa kapitalisme tunduk atas aturan negara. Kedua, para pejabat negara di tiga cabang kekuasaan (eksekutif, legislatif dan yudikatif) pada semua level, tidak punya hubungan kepentingan ekonomi (personal bussiness interest).

Ketiga, rakyat mempunyai hak langsung untuk mengontrol kekuasaan. Kontrol itu penting untuk memastikan kekuasaan dan kapitalisme tidak menjalin simbiosis mutualisme yang merugikan rakyat.

Dengan ke tiga pilar di atas, mixed economis bisa mengelinding sempurna sebagai model ekonomi alternatif. Tapi jika salah satu saja tidak terpenuhi, maka ide Bersihar akan berjalan terbungkuk-bungkuk karena ditindih beban berat yaitu: kemiskinan yang tidak adil.***

Penulis adalah Alumni CEFIL angkatan XIX (Civic Education for Future Indonesian Leaders). Artikel ini pertama sekali dipublikasikan oleh Harian Analisa, Senin, 16 Maret 2009.

Friday, February 6, 2009

Kembali Pada Kearifan Lokal

Oleh THOMAS PRASASTI

BERITA  yang beredar di berbagai media cetak satu bulan belakangan memuat keluhan para petani sehubungan dengan kelangkaan pupuk – rutinitas musiman yang seharusnya tak perlu terjadi. Pun ketika terjadi peredaran benih palsu, kembali petani yang menjadi korbannya. Suatu kondisi yang kontradiktif karena di satu sisi kita masih sering mengklaim sebagai bangsa agraris. Pupuk dan benih – sesuatu yang amat vital bagi kelangsungan usaha pertanian – justru tidak dikuasai oleh petani. Semua serba beli.

Pertanyaan yang muncul di benak kita mungkin mirip dengan judul film yang dibintangi oleh si cantik Dian Sastro beberapa tahun silam : AADP – Ada Apa Dengan Petani ? Ketergantungan dan ketidakberdayaan, adalah kata yang bisa mewakili fenomena tragis yang dialami para petani Indonesia, termasuk di Lampung saat ini.

Skenario Menjerat Petani


Ketergantungan dan ketidakberdayaan petani bukanlah nasib yang harus diterima oleh para petani, juga bukan suatu yang kebetulan terjadi. Hal tersebut disebabkan oleh upaya sistematis dan terorganisir dari perusahaan trans-nasional yang bergerak di bidang pertanian, yang begitu ‘halus’ sehingga para petani tidak menyadari kalau mereka sudah masuk perangkap.

Berikut fact sheet yang dikeluarkan Yayasan IDEP mengenai data penjualan produk kimia dan produk transgenik dari enam perusahaan trans-nasional yang bergerak di bidang kimia pada tahun 2000. Sygenta ($ 5.888.000.000.- dan $ 958.000.000.-), Monsanto ($ 3.605.000.000.- dan $ 1.608.000.000), DuPont ($ 2.027.000.000.- dan $ 1.838.000.000.-), Aventis ($ 3.480.000.000.- dan $ 247.000.000.-), B.A.S.F ($ 3.336.000.000.-, dan -), Dow Chemical ($ 2.086.000.000.- dan $ 185.000.000.-). Jika ramalan pasar tentang peningkatan penjualan per tahun produk insektisida sebesar 0,6 %, fungisida: 1,0 %, dan transgenik: 13,8 %, terlihat betapa ke depan para petani akan semakin terbelit oleh tentakel yang ditebar para produsen bahan kimia.

Fakta yang sering saya temui, saat ini para petani lebih memilih menggunakan herbisida untuk memberantas gulma di lahan mereka – dari pada mengoret dengan menggunakan cangkul misalnya. Sekilas tidak ada masalah dan bukan merupakan persoalan, namun itulah pembukaan skenarionya.

Kebanyakan petani akan berargumen bahwa penggunaan herbisida merupakan pilihan yang menguntungkan, karena selain lebih murah juga lebih mudah dan cepat dalam pengaplikasian. Padahal konsekuensi yang harus diterima para petani dari pilihan tadi amat panjang dan merugikan. Perhatikan !, pertama-tama para petani menjadi harus membeli benih yang dirancang tahan terhadap herbisida tersebut (biasanya hasil rekayasa genetika) – tentunya produk satu pabrik dengan herbisida yang digunakan tadi. Berikutnya agar benih tadi tumbuh normal, perlu pupuk yang berasal dari produsen yang sama. Benih non lokal tadi (yang biasanya diklaim unggul) cenderung lebih rakus unsur hara atau asupan dari luar, sehingga petani harus membeli lebih banyak pupuk. Resiko lain, benih non lokal biasanya tidak tahan terhadap serangan hama dan penyakit setempat, sehingga petani perlu merogoh kantong lagi untuk membeli insektisida atau fungisida – atau kalaupun tahan terhadap penyakit tertentu, lagi-lagi melalui rekayasa genetika.

Penggunaan benih buatan pabrik dalam jangka waktu lama berakibat mematikan keberadaan benih lokal. Akhirnya, para petani kehilangan benih lokal yang telah teruji tahan terhadap serangan hama dan penyakit setempat, serta mampu tumbuh tanpa input pupuk berlebihan. Disinilah awal bencana bagi para petani. Akibat kehilangan benih lokal, petani harus membeli benih dari pabrik, selanjutnya konsekuensi seperti diuraikan diatas harus mereka pikul seumur hidup. Maka tak heran dari hari ke hari penggunaan insektisida dan transgenik cenderung meningkat, sebagaimana ramalan pasar di atas. Akibat beban biaya produksi yang makin berat, tidak sedikit petani yang terpaksa berhutang kepada rentenir atau tengkulak hanya untuk membeli benih dan pupuk untuk budidaya selanjutnya, istilahnya yarnen – bayar saat panen. Benar ujar-ujaran : siapa menguasai benih, dia akan menguasai kehidupan.

Komitmen Pemerintah

Komitmen keberpihakan pemerintah terhadap petani dan rakyat secara keseluruhan, hingga saat ini masih merupakan tanda tanya. Sebagai contoh, tahun lalu, ketika Konferensi Perubahan Iklim di Bali baru dimulai, Dirjen Tanaman Pangan Departemen Pertanian, Sutarto Alimoeso, mengungkapkan perusahaan Monsanto akan menggarap benih tanaman pangan seperti padi, jagung dan kedelai, dengan menanamkan investasi sekitar US$ 4-5 juta untuk mengembangkan industri perbenihan di tanah air. Lebih lanjut ia mengatakan Pemerintah selalu mendukung. siapa saja yang ingin tanamkan investasi di perbenihan (Inilah.com, 3 desember 2007), padahal kita masih ingat , awal Januari 2005 pers Amerika mengekspose pengakuan Monsanto bahwa pihaknya sejak tahun 1997 sampai 2002. telah menyuap 140 pejabat tinggi Indonesia sebesar 700.000 dolar AS melalui anak perusahaannya di Jakarta, PT Monagro Kimia, untuk meloloskan beberapa produknya di Indonesia (benih kapas transgenik, pestisida merk Roundup, Polaris, dan Spark)

Sengsara Membawa Nikmat

Untuk memutus jerat, petani perlu melakukan suatu upaya yang radikal: stop membeli pupuk dan insektisida sintetis serta benih pabrik, tapi buatlah sendiri pupuk dan insektisida organik serta benih lokal. Mungkin awalnya petani harus merasakan sengsara, namun itu hal yang lumrah dalam suatu perjuangan. Dalam satu-dua musim tanam, kemungkinan produksi mereka akan turun, namun jika konsisten dilakukan, para petani akan terbebas dari ketergantungan terhadap produk dari perusahaan kimia pertanian.

Nenek moyang kita mewariskan kearifan lokal yang mendorong terwujudnya usaha pertanian yang berkelanjutan (sustainable). Ambil contoh, pranoto mongso; perhitungan kapan saatnya mengolah tanah, kapan harus menanam, kapan harus menuai dan kapan lahan perlu diistirahatkan. Suatu ajaran yang tidak hanya menyangkut teknis bertani, namun juga mengandung tuntunan untuk tidak mengeksploitasi alam, agar kita tidak terjatuh dalam keserakahan dan kebangkrutan. Kembali pada kearifan lokal, itu yang saya maksud dengan upaya radikal tadi.

Sebenarnya tidak ada lagi yang perlu ditakuti oleh petani – yang saat ini ’nasibnya’ ibarat sudah jatuh masih tertimpa tangga pula. Maka situasi menjepit semacam kelangkaan pupuk dan peredaran benih palsu justru bisa dijadikan peluang atau titik balik untuk bangkit.

Thomas Prasasti, aktivis  yang concern dengan buruh dan petani. Tinggal di Bandar Lampung

Barrack Obama: Dilema The Rising Star

Oleh ERIX HUTASOIT

RASA PENASARAN Amien Rais, akademicus cum politikus itu seperti mau meledak. Sudah lama Guru Besar Ilmu Politik Universitas Gajah Mada (UGM) ini menebak-nebak arah pendulum politik luar negeri Barack Husein Obama, presiden Amerika Serikat (AS) ke 44. Dan begitu Obama dilantik, rasa penasaran bekas Ketua MPR periode 1999/2004 itu seolah menemukan jawab. Setelah menyimak pidato Obama, Amien berkesimpulan kalau si Barry (panggilan akrab Obama selama di Indonesia) tidak beda dengan para pendahulunya. “…tidak ada yang berubah,” kata Amien kepada presenter dari Trans TV (Selasa, 20/01).

Jauh hari sebelum Amien berjumpa jawab atas penasarannya, Harian Analisa sudah lebih dulu menurunkan artikel bagus tentang pesisime terhadap Obama. Artikel itu saya baca dalam perjalanan udara dari Medan ke Metro Manila, Filipina, judulnya “Masa Depan Ekonomi Kita Setelah Obama Terpilih” (Analisa, 26/11/2008 p.20) ditulis Lusiah, SE, MM seorang akademicus cum ekonom dari Medan.

Menurut Lusiah, negara seperti Indonesia tidak bisa mengantungkan harapan kepada Obama. Alasannya : karena AS sedang terguncang krisis financial, ribuan warganya menjadi pengangguran dan harga-harga kebutuhan hidup melambung tinggi. Sehingga prioritas utama Obama adalah menyelamatkan kehidupan domestik AS.

Lusiah menyimpukan tesisnya cukup sistemik. Tidak lupa dia melengkapi rimbunan data-data sebagai fakta pendukung. Hanya saja, tesis Lusiah menyisakan ”lubang besar”, karena analisis yang digunakan hanya memakai pengandaian tunggal yaitu krisis financial. Dengan cara analisis seperti itu, Lusiah tidak saja ”menyederhanakan” persoalan hubungan luar negeri AS-Indonesia, tetapi juga berpotensi gagal menjelaskan wajah asli kebijakan luar negeri AS. Karena itu, artikel berikut saya tuliskan untuk memberikan gambaran kebijakan luar negeri AS. Setidaknya dengan mengetahui ”wajah” aslinya, kita bisa memprediksi ke mana Obama akan menarik bandul kebijakan luar negerinya.


Market Drive Empire atau Military Drive Empire

Seorang bijak pernah berkelakar soal urusan luar negeri Uncle Sam itu. Orang itu mengibaratkan cara AS mengurus kebijakan luar negerinya, seperti merawat mobil Ford tua. Mobil tua itu rutin ganti cat dan onderdil mengikuti jadwal pemilu AS. Soal warna hanya ada dua pilihan yaitu merah (Republik) dan biru (Demokrat), tergantung siapa yang menang pemilu.

Selama berpuluh tahun mobil tua itu tidak pernah diganti. Kalaupun ada yang berubah paling sang sopir dan tentu saja style (gaya) si sopir itu mengemudi. Ya, ada sopir yang dingin, pelan namun pasti seperti Bill Clinton, tapi ada pula yang grasak-grusuk dan suka parkir di sembarangan tempat seperti George W. Bush.

Mark Enger dalam How to Rule the World The Coming Battle Over the Global Economy mengklasifikasikan gaya “mengemudi” di atas menjadi dua : corporate-globalization dan imperial-globalization. Josep H. Nye memisahkannya menjadi : soft power dan hard power. Sedangkan Coen Husain Pontoh, seorang Indonesia yang tinggal di jantung AS, New York punya istilah lain yaitu Market-Driven-Empire (MaDE) dan Military- Driven – Empire (MiDE).

Menurut Pontoh, semenjak perang dunia II berakhir, kebijakan luar negeri AS selalu berporos pada MaDE dan MiDE. Lebih lanjut Coen mengambil contoh pada masa Bill Clinton. Presiden AS yang terkenal karena skandal “asmara” dengan Monica Lewinsky itu, selama dua periode menjalankan strategi MaDE dengan sukses. Orang-orang seperti Al Gore, Wakil Presiden AS, Menteri Keuangan Lawrence Summers, dan presiden World Bank, James Wolfensohn menjadi “pengawal” sejati kebijakan-kebijakan Bill Clinton pada masa itu.

Pada era Clinton kampanye “free market” (pasar bebas) dijalankan besar-besaran. Clinton meneken sederet perjanjian perdagangan bebas antarregional seperti NAFTA dan FTAA. Urat-urat diplomasi Clinton juga agresif mendorong-dorong percepatan pembentukan WTO (Wolrd Trade Organization) di tahun 1995. Diplomasi ala soft dan hard dijalankan untuk merayu sambil “memaksa” negara-negara berkembang ikut serta dalam gerbong free market. Clinton menabur agin surga bahwa negara-negara yang ikut arus besar free market akan menuai keuntungan : baik dari segi tenaga kerja, teknologi dan ilmu pengetahuan.

Berbeda lagi ketika Bush Jr. menjadi presiden AS. Begitu si “pengecer” minyak dari Texas itu menguasai The White House, pendulum kebijakan segera berubah kearah Military – Driven – Empire (MiDE). Penasehat Bush Jr. seperti Irving Kristol, William Kristol dan Robert Kagan adalah orang-orang yang tidak percaya dengan pendekatan soft power. Bagi mereka tatanan dunia yang damai dan tentram bukanlah kondisi ideal untuk membangun Empire (Kekaisaran) bagi AS. ”Dalam bahasa Kagan, tidak bisa dibayangkan bagaimana bisa Pepsi Cola diperjual-belikan secara bebas di Uni Soviet tanpa didahului oleh kejatuhan komunisme,” kata Pontoh dalam artikel Meraba Kebijakan Luar Negeri Pemerintahan Barack Obama (2008).

Walau di atas kertas kebijakan Bill Clinton dan Bush Jr. seolah putih dan hitam, akan tetapi pada praktiknya MaDE dan MiDE dijalankan untuk kepentingan yang sama. Yaitu mengurusi kepentingan para “corporate” yang menjadi mesin uang pada masa kampanye mereka. Itulah sebabnya peneliti tekun seperti George Junus Aditjondro haul yakin kalau politik luar negeri AS tidak lebih perpanjangan tangan korporasi AS. “…korporasi-korporasi pertambangan migas AS yang terbesar didominasi oleh satu keluarga, yakni keluarga Rockefeller, sementara bank-bank AS yang terbesar, yang menguasai Wall Street, dikuasai oleh satu keluarga lain, yakni keluarga Morgan. Kedua dinasti itu bersinerji menguasai kebijakan politik luar negeri AS, tidak perduli dari partai mana presiden nya berasal,” kata Doktor sosiologi dari Cornell University, AS itu dalam artikel Relevansi Das Capital Bagi Gerakan-Gerakan Kemasyarakatan (S0sial Movements) di Indonesia (2006).

Bagaimana dengan Obama ?

Obama sepertinya tidak akan luput dari prakek hutang budi ini. Bagaimana tidak, dana besar untuk kampanye tidak seutuhnya disumbang oleh pendukung setia Obama. Tetapi juga datang dari korporasi besar yang bermain di Wall Street. Berikut adalah daftar penyumbang terbesar kampanye Obama : Goldman Sachs (#1 at $692,000), Citigroup (#3 at $449,000), JP Morgan Chase (#4 at $405,000), Lehman Bros. (#10 at $371,000), dan Morgan Stanley (#16 at $319,000). “…Goldman Sachs menyumbang tiga kali terhadap Obama ketimbang terhadap McCain dan Citigroup menyumbang dua kali lebih besar kepada Obama ketimbang yang diberikannya kepada McCain. Sementara bank investasi Morgan Stanley, Jzmemberikan dana $20,000 lebih besar kepada Obama ketimbang yang diterima oleh McCain dari penyumbang terbesarnya, bank investasi dan perusahaan broker Merrill Lynch,” papar Coen Husain Pontoh dalam artikel Mengapa Obama dan Mc Cain Setuju Bailout (2008).

Lantas bagaimana Obama akan membalas “budi” pada penyumbang besar nya itu? Noam Chomsky, profesor Linguistics and Philosophy Massachusetts Institute of Technology (MIT) AS, menyebut salah satu cara klasik yaitu dengan menjamin iklim investasi korporasi itu di negara-negara ketiga.

Sepertinya untuk balas budi itu, Obama cenderung merapatkan diri pada MaDE sebagai strategi urusan luar negeri. Hal itu terditeksi dari susunan kabinet Obama yang diisi wajah-wajah lama yang dekat dengan Bill Clinton seperti Hillary Clinton, Timothy Geithner, Robert Gates, Lawrence Summer dan lain-lain.

Tapi ada pertanyaan lain yang lebih penting : “Mampukah MaDe membuka ruang investasi di negara ketiga hanya dengan mengandalkan diplomasi semata?” Jika mengacu pada tesis Chomsky sepertinya sulit. Menurut Chomsky jaminan terhadap iklim investasi AS di negara dunia ketiga, hanya bisa diwujudkan dengan “teror”. Dalam kalimat berbeda : jaminan akan pasti, jika kelompok tukang protes seperti buruh, petani, rohaniawan berhasil disingkirkan.

Dan untuk melakukan “penyingkiran” itu, AS pernah (dan kerap) menempuh dua cara yaitu invisible hand (tangan yang tidak kelihatan) dan visible hand (tangan yang kelihatan). Invisible hand dijalankan dengan menggunakan “tangan” dari pemimpin-pemimpin lokal pada negara yang bersangkutan. Cara seperti ini pernah dikerjakana AS selama beberapa dekade di Guatemala dan El Salvador. Sedangkan untuk negara yang tidak bisa diatur, strategi visible hand akan dijalankan oleh marinir, jeep tempur hamvee dan jet tempur F-18 Hornet. Contohnya adalah Nikaragua.” Terhadap satu negara, Nikaragua, Amerika Serikat secara mendasar harus langsung menyerangnya, karena disana tidak ada angkatan bersenjata yang bisa dipakai untuk menjalankan teror itu sebagaimana di negeri-negeri lain nya,” ungkap Chomsky dalam buku nya Power and Teror (2003).

Nah, akankah Obama akan melakukan hal itu juga? Waktu yang akan menjawab.***

Erix Hutasoit, alumni cefil 19. Artikel ini pertama kali dipublikasikan di erixreview

Wednesday, October 29, 2008

PDI Perjuangan dan Peringatan Hari Sumpah Pemuda


Oleh DIAN PURBA

BUNDA itu tersenyum lebar. Tangan kanan diangkat sejajar dengan ubun-ubun. Berdiri di depan foto Sang Bapak. Hari ini tanggal 28 oktober 2008. Sumpah Pemuda.

PDI Perjuangan, juga, merayakannya. Mereka menjatuhkan pilihan kepada Harian Kompas. Promosi. Kampanye. Atau apalah namanya. Tidak tanggung-tanggung. Dua halaman penuh ples setengah halaman yang sengaja dipotong dari atas ke bawah. Didominasi warna merah dan hitam. Warna yang terlalu sering “didewakan” sebagai warna perjuangan, perlawanan, dan segala macamnya.

Halaman pertama cukup membuat pembaca terkesima. SUMPAH PEMUDA 28 OKTOBER 1928. Angka 28 sengaja dibuat istimewa. Cetak tebal, warna hitam tebal, ukuran huruf berbanding jauh besarnya dengan huruf sebelumnya, dan pinggir huruf warna putih.

Di bawahnya:

PERTAMA

Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah air Indonesia.

KEDUA

Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.

KETIGA

Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

Ada yang menarik di sini. Sumpah Pemuda poin ketiga yang oleh Orde Baru diubah teksnya: mengaku berbahasa satu bahasa Indonesia, tidak latah diikuti.

Halaman kedua, sama, menggiurkan.

Sumpah Pemuda 28 Oktober lahir karena semangat Nasionalisme. Nasionalisme melahirkan PDI Perjuangan No. 28.

Menggiurkan karena orang tergiur untuk bertanya lebih lanjut. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928: betul. Nomor urut PDI Perjuangan nomor 28 karena nasionalisme: ???

Mari kita sebut ini sebuah keberuntungan, atau sebuah kebetulan. Setelah semua partai peserta pemilu terdaftar dan lolos verifikasi, nomor urut pun dikocok. PDI Perjuangan sungguh berbangga bisa dapat nomor itu. Nomor yang di hari ini mendapatkan jodoh yang teramat pas.

Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 tidak bisa dipisahkan dari konteks: Indonesia negeri terjajah/dijajah (kolonialisme) dan bibit untuk memerdekakan diri dimulai dari kesadaran pemuda. Pemuda, saat itu, sadar betul si mata biru harus cepat-cepat hengkang dari negeri yang sudah terlalu lama dipijak-pijak harga dirinya. Mereka berkumpul dari berbagai daerah. Terkumpul dari berbagai organisasi: Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes, Jong Minahasa, Sekar Roekoen, dan Jong Bataks Bond. Mereka berkongres dan bersepakat: Indonesia harus merdeka. Titik. Mari kita namai ini Revolusi Pemuda.

Apakah semangat ini yang coba disamapaikan lewat iklan politik tersebut?

Halaman terakhir halaman penuh klise. Klise dari penampilan. Klise dari isi. Tidak ada yang istimewa. Basi. Monoton. SBY dengan Partai Demokratnya juga sudah melakukan hal yang sama.

Belakangan kita digempur iklan tokoh-tokoh yang gemar mengutip pendapat orang. “Hidup adalah perbuatan,” “Indonesia adalah satu kesatuan administratif,” bla-bla-bla... Mereka rupanya buta akan analisa kekinian akan kesadaran anak-anak bangsa. Mereka tidak tahu di jaman mana mereka hidup. Mereka tidak menyadari rakyat lebih memilih tindakan dari ucapan. Rakyat lebih memilih pemimpin teruji dari pemimpin omong kosong.

Megawati Soekarno Putri. Putri bapaknya yang tidak akan pernah bisa mengikuti jejak Sang Bapak. Putri yang teramat percaya diri mencalonkan diri untuk memimpin bangsa ini kembali. Semua komentar peserta iklan tersebut memuji dan mendamba kepemimpinan Sang Ibu. Inilah bahayanya sebuah iklan.

Iklan kita pahami, atau iklan lajimnya, selalu bertolak belakang dengan kenyataan. Iklan shampo, misalnya. Hampir tidak ada produsen shampo mengatakan produk mereka nomor dua. Selalu nomor satu. Ada puluhan merek shampo di negeri ini. Apa mungkin semuanya di peringkat pertama?

Calon pemimpin yang ingin memimpin dan menggunakan iklan mempromosikan diri harus diwaspadai. Kita perlu mawas diri. Karena setelah dia terpilih dia akan menerapkan “manajemen iklan”. Mengiklankan segala sesuatunya dan menganggap segala sesuatunya itu sebagai iklan. Rakyat perutnya besar, busung lapar: iklan. Rakyat tidak dapat pekerjaan: iklan. Rakyat sakit-sakitan: iklan. Negeri ini dijarah orang: iklan. Semua jadi iklan, iklan, dan iklan.

Apa yang terjadi seandainya PDI Perjuangan mendapat nomor urut 17, misalnya? Atau 25?

Dian Purba, mahasiswa semester akhir di fakultas sastra Universitas Methodist Indonesia (UMI).

Eddy Sartimin: Pelaku Sejarah yang Berujar*


Oleh DIAN PURBA

Anak cucu biologi hilang bersama munculnya anak-anak dan cucu ideologi. Inilah yang menjadikan aku tambah gairah dalam gerakan kiri. Eddy Sartimin

SATU lagi saksi sekaligus pelaku sejarah berujar. Siksaan, stigmatisasi, dan semua perlakuan tidak adil dari bangsa yang mereka perjuangkan, diceritakan di tulisan ini. Sejarah mononaratif Orde Baru dijejali lewat buku-buku sejarah, penataran-penataran, dan segala bentuk indoktrinasi yang lain: harus diganti. Diganti dengan sejarah multinaratif. Eddy Sartimin sudah mau berbagi. Berbagi ke generasi yang hampir kehilangan jejak dengan sejarah bangsanya sendiri. Tongkat estafet pemahaman sejarah yang benar harus berpindah tangan. Inilah tugas besar bangsa ini, terkusus pemuda: menggali dan mencatat sejarah yang sudah terlau lama dibengkokkan.


Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sebenarnya apa yang saya alami selama ditahan sejak dari tanggal 19 September 1967 hingga dibebaskan pada tanggal 20 Juli 1978 dan dinyatakan Bebas Murni (Gol B) dan KTP/ET/OT tidak bersih lingkungan (anak keturunan), dan dianggap oleh rezim Orde Baru Soeharto sebagai warga negara terendah.

Untuk itu saya:
Nam : Eddy Sartimin
Tempat/tanggal lahir :
Medan, 22 Agustus 1936
Umur : 71 tahun
Pangkat terakhir : Koptu NRP 330001
Kesatuan : Denma Koanda Sum/Kalbar Pembantu Perbekalan

Pekerjaan sekarang tukang foto amatiran. Beralamat sekarang Jalan Kejaksaan Nomor 6 Medan. Menyatakan dengan sesungguh-sungguhnya kejadian yang telah saya alami selama masa tahanan. Ada pun kronologis peristiwa tersebut adalah sebagai berikut.

Kronologis

Menjelang dua tahun rezim otoriter meliteristik Soeharto, Orde Baru, dan Golkar berkuasa di republik ini, negara melalui sekrining/pembersihan terhadap oknum yang ada kaitannya dengan PKI cs dalam tubuh aparatnya TNI, Polisi, PNS. Mulai September 1967 diadakan operasi secara kontinu (bertahap) ke setiap kesatuan di seluruh wilayah NKRI.

Hampir setiap hari ada saja yang diambil oleh SatGas Intel setiap apel pagi. Pada ja, 19.30 WIB datang empat orang dari SatGas Intel yaitu Serma Ukur Gintings, Koptu Permadi, Koptu Tabroni, Kopda Domeri bertamu ke rumah/barak mengajak aku untuk menjumpai DAN YON Para Sum 100. Aku sebagai Pasukan Khusus sudah menjadi tradisi sewaktu diperlukan kembali ke induk pasukan. Sedikit pun tak merasa curiga, aku dibawa mereka ke Jl. M Yamin, SH persimpangan JL. Durian. Setelah turun aku langsung ditodongkan empat pucuk senjata, dipaksa menghadap Kapt M. Mawardi selaku Perwira SatGas Intel. Belum selesai aku menghadap untuk melapor, pukulan popor senjata bertubi-tubi menyerang. Aku coba melawan namun beberapa pukulan mengenai kepalaku dan aku jatuh terkulai. Setelah sadar kulihat banyak teman sesame kesatuan YON PARA dalam keadaan loyo dan babak belur tanpa pakaian (bugil). Kedua tanggannya diikat selama tiga hari tiga malam tanpa diberi makan dan minum. Hanya diberikan air leding. Luka-luka yang diderita selama di tahanan hanya diberi air ludah basi.

Kami sebanyak 79 orang terdiri dari Bintara, Tamtama. Seorang teman Kopda Legiman nekat gantung diri karena tak tahan disiksa. Seorang Kopda Sujimanto yang paling kecil di antara kami dipress oleh empat oknum SatGas hingga keluar tai mudanya. Selama 40 hari kami disekap selama 3x24 jam. Harus telanjang bulat. Ini menjadikan mental kami trauma. Bagi yang pernah mengalaminya selama bertahun-tahun. Sepuluh orang di antaranya bebas dan kembali bertugas dengan syarat tidak boleh menceritakan apa yang pernah dialaminya. Dan yang 68 orang diserahkan ke Laksusda Jl. Gandhi. Selama tiga bulan disekap dalam kamar gelap bercampur baur dengan warga sipil.

Aku mendengar setiap saat jeritan rintihan dari Tapol karena siksaan dari juru periksa. Aku menyaksikan pula dua orang Tapol TNI AD, yaitu Lettu Inf Mansyur Ismael dari G I Koanda Sum/Kalbar dan Kapt Trauli Gintings, Wa Dan YON Inf 123 ditempatkan dalam WC yang tumpat dengan alas dua kursi dan sebelah tangannya digari. Dibuka sewaktu mandi dan makan. Kami makan sekali sehari dengan dua ons nasi jagung grontolan, sayur kangkung tanpa garam selama 11 tahun. Banyak teman yang busung lapar dan meninggal dunia. Kesengsaraan bertambah. Istri yang semula setia akhirnya banyak yang minta cerai atau pun lari entah ke mana. Dalam pemeriksaan Laksusda, aku dinyatakan aidak punya Golongan X. Semestinya sudah bebas dan kembali bertugas di kesatuan semula pada tahun 1972 bersama Golongan C. Namun karena ada sedikit perselisihan sama istriku yang sudah tersesat, akhirnya aku dikhianatinya dengan menceritakan perihal orang tuanya Sarbupri wajib lapor dan saudaraku ada yang diganyang massa sebagai orang PKI.

Itulah yang menjadikan aku kembali ditahan menjadi 11 tahun lamanya tanpa diperiksa ulang kebebasan. Di TPU/A Sukamulia tujuh tahun. Sejak 1967 sampai 1970 dikurung siang malam dalam krangkeng persis binatang buas. Bukan tahanan saja yang diperlakukan semena-mena. Termasuk juga bagi keluarga yang mengirim mendapat perlakuan tak senonoh. Bila ingin berjumpa harus bayar ongkos becak tiga trip. Tapol diambil dari TPU/A Sukamulia dibawa ke Laksusda Jl. Gandhi. Dalam keadaan tangan digari, perjumpaan hanya setengah jam lalu dikembalikan ke TPU. Selain itu pengawalnua minta dibelikan rokok yang mahal. Bagi keluarga yang masih muda dan berparas cantik menjadi sasaran pelampiasan nafsu secara halus atau pun intimidasi.

Pada tanggal 16 Agustus 1972 serombongan besar tahanan ABRI/sipil diangkat ke TPU/C Tanjung Kassau Asahan (kini Batu Bara). Kami dijual sebagai pekerja paksa untuk Proyek Korem. Sebagian di perkebunan Deli Muda untuk menanam jagung tanpa dibayar kecuali diberi jatah target 100 gawang. Banyak di antaranya yang tak bisa, termasuk aku. Rasa putus asa kami nekad membakar areal yang baru ditanami pohon karet muda kurang lebih 40Ha. Yang berakibat hangus dan matinya selang dua hari sejak kebakaran tersebut. Pengawas yang kejam dan arogan itu dipecat dari perkebunan tersebut.

Kembali ke kesatuan semula dari POM Binjai bernama Kopti Rusli diganti oleh POM DAM I BB Serma Siagian yang seangkatan dan pernah di kesatuan Yonif B. Satu bulan kemudian, Tapol ABRI ditarik dari seluruh proyek dan kembali ke TPU/C Tanjung Kassau. Walaupun kami masih dalam tahanan, ada kelonggaran dalam pengawasan bagi yang berkeluarga. Diperbolehkan bertamu nginap dengan bayar Rp 1000. Bagi yang mampu dapat berhari-hari asalkan setoran lancar. Bahkan bisa cuti pulang ke rumah.

Di sini nasib kami mulai jauh berubah. Aku punya kegiatan usaha kerajinan tangan dari tempurung kelapa. Sudah tidak payah lagi nasi catu. Jagung jarang dimakan. Malahan ada kawan yang beternak ayam dan itik. Bagi kaum Gerwani ada yang jualan nasi dan kedai kopi selama empat tahun di TPU/C Tanjung Kassau.

Berangsur-angsur kami dibebaskan sebagai Tapol tetapi stigma PKI masih tetap melekat dengan KTP ET/OT, tidak bersih lingkungan bagi anak keturunan untuk nikah dan bekerja sebagai TNI, POLRI, PNS, BUMN, bahkan di perusahaan swasta yang dibeking ABRI/TNI AD.

Trauma paranoid selalu menghantui mantan Tapol. Sebagian besar dari keluarganya termasuk saudara-saudariku sendiri, anak cucu sampai saat ini pun belum mau mengakui bapak dan kakeknya dengan dalih karena aku ditahan. Lalu mereka jadi turut sengsara. Tidak boleh nikah dengan ABRI. Tak mampu melanjutkan sekolah. Apa daya, sedikit pun tak menyangka akan mendapat perlakuan yang demikian dari sanak keluarga yang menyayangiku. Satu-satunya ibuku yang begitu percaya dan berkeyakinan seluruh masalah ini ulahnya Soeharto yang berambisi kekuasaan. Sayangnya ibuku meniggal karena sakit setelah keluarnya aku dari tahanan sejak itu.

Semua sinis dan dan bencinya sanak keluarga maupun terang-terangan, termasuk ayahku yang takut dikucilkan dari pergailan masyarakat di mana kami tinggal.

Kuputuskan tekad untuk secepatnya aku pergi menjauhi mereka dan tidak akan kembali kecuali berubah situasi keadaan dengan berbagai cara. Akhirnya aku merantau ke Riau. Bekerja sebagai centeng warung remang-remang selama tiga tahun pada seorang kawan semasa di Raiders. Setelah dapat KTP Riau aku pindah ke Manggala Johson Dusun Arang-arang Bencah Seribu. Aku bekerja sebagai buruh bongkar muat balok/loging serta tarik ongkang persis kerbau tarik luku. Babat hutan untuk perkebunan sawit. Pernah hampir ketimpa pohon lapuk yang tumbang di luar perhitungan karena getaran senso (chainsaw) ranting mengenai pelipis sebelah kiri hingga cacat sampai kini. Naik sepeda jatuh, masuk jurang dalamnya kira-kira 10 meter.

Di Jambi selama empat tahun. Tanggal 2 Januari 1992 disengat lebah madu seluruh badan. Empat jam baru dapat pertolongan kesehatan. Pertolongan pertama aku makan mesiu korek api sebanyak 20 batang. Ini pengalaman aku dapat dari tahanan kriminal. Tanggal 20 Juli 1977 aku pulang karena dapat surat dari anakku Susy yang telah menikah dan punya dua orang anak. Aku seorang bapak juga seorang kakek terpanggil untuk pulang dengan harapan hidup tenteram karena masih ada yang peduli padaku.

Tetapi hanya beberapa bulan saja aku bersama mereka. Ternyata anakku benci dengan orang-orang PKI, apalagi bila aku bertamu ke tetangga yang pernah jadi wajib lapor/walap. Kami sering bertengkar. Aku berusaha menasehatinya. Ia mau mengurusi aku tetapi dengan syarat tak boleh bergaul dengan eks PKI cs, termasuk pamannya sendiri.

Aku memang yang punya darah pemarah menyimpulkan apa yang kulakukan benar. Pada akhirnya ia mengusirku dengan kata-kata, “Ini rumahku. Pergilah dari sini.” Sejak itu aku meninggalkan rumah anakku. Aku berpesan sampai kapan pun tak dapat kumaafkan. Ia lebih suka jadi anak durhaka dan cucuku lebih baik jadi jahanam. Mau ngaku bila ada uang Rp 1.000.000. Ini kurasa sudah keterlaluan sekali. Tindasan bukan saja dari rejim otoriter. Anak cucu sendiri pun berbuat serupa. Justru itu aku pergi dari rumah dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain hingga kini.

Aku mulai bergabung dengan aktivis PRD dan NGO. Turut menjadi pelopor mendirikan PAKORBA YPKD 65/66 bidang advokasi TNI AD. Rasa sedih dan traumaku secara bertahap hilang. Aku yang lampau bukanlah aku sekarang dan masa mendatang. Anak dan cucu biologi hilang bersama munculnya anak-anak dan cucu ideologi. Inilah yang menjadikan aku tambah gairah dalam gerakan kiri. Aku tetap tampil di Sumatera Utara ini. Aku satu-satunya mantan Tapol TNI AD yang mau turut jadi aktivis prodem. Pernah mendapat penghargaan sebagai pejuang rakyat 10 besar dari 14 NGO dan organ dihadiri 2000 massa tepat pada hari HAM sedunia tanggal 10 Desember 2005 di Medan.

Mantan Tapol G 30 S 65 menyampaikan statement ke DPRD Sumut. Kami diterima oleh enam orang dari Komisi A: Golkar, PAN, PBB, Patriot, PP, PBR. Sewaktu pembacaan sikap KPP HAM 65 tuntutan adili Soeharto. Tiba-tiba saja SIHAMAS Muda Siregar dari Golkar menghentikan pembacaan tersebut. Koordinator KPP HAM 65 kawan B. Siboro pucat dan gemetar. Kulihat semua kawan diam tak bereaksi sedikit pun. Melihat kondisi tersebut si Golkar dengan soknya menyatakan, “Dasar tak tahu diuntung. Minta bersih nama kalian orang-orang PKI. Pulang saja ke rumah, tak perlu lagi bersih nama dan kompensasi. Perbanyak sholat untuk tobat kalian. Sudah tua bangka menunggu……… Kalau dulu kalian memang orangtuaku sudah masuk daftar hitam. Lagi pula keputusan TAP MPR/25/26 sudah final. Pulang saja,” hardiknya. Lalu memukul meja dan tanganya menyuruh kami keluar.

Aku yang melihat keangkungan si Golkar tersebut bangkit dari kursi.Kupukulkan meja dengan keras, brak-brak. Sebelum ada reaksi aku dengan suara keras menyatakan”aku tidak terima perlakuan DPRD seperti ini. Aku mantan Tapol TNI AD ditahan 11 tahun tanpa proses hukum. Aku bukan anggota kalian, bodoh sebagai anggota DPRD, tidak mengerti UUD 1945, sehingga menganggap TAP MPR lebih sakti dari UUD 1945. Sebagai DPR semestinya melayani persoalan rakyat suka atau tidak itu menjadi kewajiban DPRD. Tahu rakyat yang menggaji kalian.” Entah karena malunya, Ketua Komisi A menegur si Golkar dan mempersilahkan melanjutkan pembacaan statement, dan kami pun kembali. Sejak itu sampai sekarang si Golkar malu bila jumpa aku di waktu demo ke DPRD Sumut. Kupikir cukup data yang kusampaikan. Sekian.

Medan, 30 April 2008

Eddy Sartimin


*Tulisan ini disalin ulang sesuai dengan versi aslinya.