Friday, May 16, 2008

Resiko Fleksibilitas Pasar Kerja


Oleh THOMAS PRASASTI


SISTEM pasar kerja di
Indonesia dewasa ini ikut mengalami perubahan seiring bergesernya orientasi ekonomi global. Bersamaan menguatnya liberalisasi perekonomian dunia, pasar kerja ikut terdorong ke bentuk yang lebih fleksibel. Fleksibilisasi pasar kerja, secara sederhana dapat diartikan secara sengaja menyerahkan hubungan pekerja/buruh dengan pengguna tenaga kerja (employer) pada mekanisme pasar. Oleh para penganutnya, sistem fleksibilitas pasar kerja - termasuk didalamnya sistem produksi yang fleksibel, dipercaya dapat memperluas pemerataan kesempatan kerja, memicu produktifitas, meningkatkan pendapatan masyarakat, serta memicu pertumbuhan ekonomi.


Mengenai hal ini, saya justru berfikir sebaliknya. Hubungan Industrial tidak akan pernah menjadi adil, ketika melulu diserahkan pada mekanisme pasar kerja yang menganut paham neo-liberal ini. Mekanisme pasar ibarat hukum rimba, siapa yang kuat maka dia yang akan menang, yang lemah hanya akan menjadi mangsa dan pelengkap penderita sistim ini.


Memperlebar Jurang Ketimpangan


Sistem ini setidaknya mengakibatkan 3 hal berikut : pertama, pasar kerja yang fleksibel melemahkan posisi pekerja/buruh, ini disebabkan oleh minimnya ketrampilan pekerja/buruh, serta jumlah yang melebihi kebutuhan pasar kerja. Sebagai data, Badan Pusat Statistik menyebutkan jumlah angkatan kerja pada Agustus 2007 mencapai 109,94 jiwa. Yang perlu diperhatikan, sekitar 58 juta diantaranya berpendidikan hanya SD atau belum SD (tempointeraktif,2005). Kita semua tahu, ketika barang atau jasa melebihi permintaan pasar, harganya akan turun. Kedua, sistem pasar kerja yang fleksibel mensyaratkan persoalan hubungan kerja diserahkan pada mekanisme pasar, artinya campur tangan negara perlu dipangkas supaya sistem pasar kerja menjadi tidak kaku, sebab bisa menghambat produktifitas di level produksi. Konsep keamanan lapangan kerja (employment security) dibiarkan melibas keamanan kerja (job security). Para pengguna tenaga kerja mendapat kemudahan dalam merekrut dan memberhentikan pekerja sesuai dengan kebutuhannya. Pekerja tidak memperoleh perlindungan kepastian dari negara. Ketiga, sistem pasar kerja yang fleksibel melemahkan posisi serikat pekerja. Ketentuan UU 21/2000 hanya merekomendasi buruh tetap yang bisa menjadi anggota serikat pekerja/buruh, akibatnya serikat pekerja kesulitan mengorganisasir pekerja dengan status kontrak. Dengan melemahnya posisi serikat pekerja, kekuatan kolektif buruh ikut hilang, dan posisi pekerja makin terjepit. Saya ingin mengatakan sistem pasar kerja yang fleksibel hanya akan menguatkan yang kuat dan melemahkan yang lemah, memperlebar jurang ketimpangan.


Fakta Negatif Dampak Pasar Kerja yang Fleksibel


Demi efisiensi produksi dan memaksimalkan keuntungan pemodal, jam kerja dan besaran upah disesuaikan dengan fluktuasi permintaan pasar akan barang atau jasa yang dihasilkan. Model hubungan kerja didasarkan pada sistem kontrak dan outsourcing.


Hasil dari pendataan Forum Pendamping Buruh Nasional (FPBN) wilayah timur tahun ini, dari 48 pabrik dengan jumlah pekerja 34. 234 orang, 11.465 orang berstatus tetap, 68.5 % sisanya berstatus kontrak: 16.568 orang berstatus kontrak dan 6.201 orang berstatus harian lepas. Sementara pemetaan di wilayah barat (Lampung masuk wilayah ini), terdapat 91 perusahaan, 57 perusahaan atau 62, 6 % sudah mempraktekan sistem kerja kontrak.


Akibat dari pergeseran status dari tetap ke kontrak maka hak-hak pekerja/buruh ikut mengalami degradasi. Sebagai perpandingan, jika pekerja/buruh tetap berhak memperoleh upah pokok (UP) berupa minimal UMK dengan Tunjangan Masa Kerja, maka pekerja kontrak hanya memperoleh UMK. Pekerja kontrak juga tidak memperoleh premi kehadiran, Jamsostek (jaminan kecelakaan kerja, kematian, hari tua, kesehatan), uang makan, uang transport, tunjangan hari raya, kebebasan berserikat, serta tunjangan jabatan untuk posisi tertentu, upah lembur, dan pesangon ketika terjadi PHK.


Berkaitan dengan hak normatif, berdasar investigasi serikat buruh - serikat buruh & FPBN wilayah barat, pekerja kontrak juga tidak memperoleh hak cuti tahunan, pelatihan kerja, tunjangan kesehatan, tunjangan perumahan, rekreasi. Pekerja perempuan dengan status tetap mempunyai hak cuti haid serta cuti melahirkan, sementara tidak demikian dengan pekerja kontrak. Umumnya bila hamil atau menikah, mereka langsung diberhentikan atau kontrak kerjanya tidak diperpanjang. Pada proses rekrutmen, pekerja kontrak direkrut melalui agen/yayasan penyalur tenaga kerja, tentunya ada nilai yang harus dibayar.


Meningkatnya ketidakpastian pendapatan, sementara harga-harga kebutuhan pokok semakin melambung, menuntut saudara-saudara kita para pekerja/buruh lebih ‘kreatif’ untuk sekedar bertahan hidup. Untuk menekan pengeluaran pangan; caranya dengan mengurangi frekuensi makan, dari 3 menjadi 2 kali sehari. Kualitas menu juga dikurangi; makan berupa nasi, sayur, lauk tahu/tempe, sarapan dan makan malamnya roti atau mie instant. Trasnportasi; mengkombinasikan ongkos angkutan termurah dengan jalan kaki, atau beralih menggunakan sepeda. Tempat tinggal; dengan pindah ke kontrakan yang harganya lebih murah, tentunya dengan kualitasnya lebih buruk: MCK antri, dinding triplek. Ada juga yang terpaksa numpang dikerabat atau keluarga. Kesehatan; kalau sakit berobat ke klinik pabrik, atau jika tak ada klinik beli obat warung, atau ke puskesmas. Ke dokter kalau sakit sudah parah. Untuk menekan pengeluaran asupan & pendidikan; anak disekolahkan dengan dititipkan ke orang tua di kampong. Beralih ke susu yang lebih murah dengan kualitas rendah, terkadang diganti dengan teh manis.


Dampak negatif bahkan juga dirasakan oleh para pencari kerja serta kegiatan ekonomi masyarakat yang berkaitan dengan para buruh, misalnya para pengusaha warung makan.


Mempertaruhkan Masa Depan Bangsa Kita


Jika kondisi ini didiamkan, maka makin lama kondisi mayoritas pekerja/buruh kita akan semakin miskin. Terkait momen peringatan Hari Pendidikan, salah satu akibat dari kemiskinan, para pekerja tidak mampu mengakses pendidikan yang layak bagi anaknya. Rendahnya pendidikan (dalam arti luas) menyebabkan kebodohan, sehingga produktifitas generasi berikutnya semakin rendah. Dengan rendahnya produktifitas, maka upah juga makin kecil, artinya hidup makin miskin. Pekerja dan keluarganya akan tenggelam dalam lingkaran setan: miskin - tidak produktif - dan makin miskin. Belum lagi masalah kesehatan akibat asupan gizi rendah.


Perlu diingat, jumlah pekerja termasuk buruh tani sekitar 120 juta jiwa, hampir separuh jumlah penduduk Indonesia. Bisa dibayangkan jika angka kebodohan, ketidaksehatan, ketidakproduktifan dan kemiskinan tersebut terus meningkat, sama artinya bangsa kita sedang menggelincir bebas menuju keruntuhan. Jika tidak mau bangsa ini hancur, sudah saatnya negara berfikir serius mengantisipasi hal ini. ***

Thomas Prasasti, Community Organizer pada Lembaga Karya Bhakti dan aktivist FPBN di Bandar Lampung.

Wednesday, May 14, 2008

SELAMATKAN ANAK-ANAK DARI BUSUNG LAPAR !!

Oleh LEFIDUS MALAU

KELAPARAN yang mengakibatkan gizi buruk dan kurang gizi seperti yang diderita anak-anak di NTB, NTT, Papua, Lampung dan berbagai wilayah lainnya bukanlah kejadian yang tiba-tiba muncul di Indonesia. Berbagai survei, penelitian dan berita media massa selalu mengulang laporan yang mengungkap kondisi bayi dan anak balita yang menderita kelaparan di berbagai wilayah Indonesia. Tengoklah data BPS tahun 1999, yang menyebutkan bahwa dari total 19.941.528 anak balita, yang menderita gizi buruk dan kurang gizi ada sebesar 5.256.587 anak Balita (BPS, Susenas 1989-2000). Pada tahun 1999, dikabarkan tentang ribuan bayi dan anak balita menderita gizi buruk di Sumatera Barat. Entah berapa yang menderita busung lapar atau marasmus kwarshiorkor. Kematian akibat busung lapar juga bukan kejadian yang baru.

Penelitian untuk menyusun desertasi yang dilakukan dr. Saptawati Bardosono Msc tentang status gizi balita di tiga daerah miskin di Indonesia (pedesaan Alor-Rote di NTT, Banggai di Sulawesi Tengah dan kawasan miskin Jakarta) dari Januari 1999-Januari 2001 menggambarkan buruknya status gizi anak-anak di Indonesia (Kompas, 21 Februari 2003). Perbandingan antara temuan penelitian tersebut dengan kondisi anak-anak berbagai negara yang dikenal sebagai wilayah bencana di bumi ini sangat mengejutkan. Prevalensi wasting (kurus/rendahnya berat badan terhadap tinggi badan) di semua daerah penelitian melebihi 20 persen. Kondisi ini jauh lebih buruk dari keadaan di Afrika Barat (16 persen) dan Asia Tengah bagian Selatan (15 persen) pada tahun 1996. Menurut WHO, angka kematian akan meningkat secara nyata jika prevalensi wasting lebih dari lima persen (5%). Tingkat keparahan stunting (pendek/rendahnya tinggi badan terhadap usia) di semua daerah penelitian (tahun 1999-2000) lebih tinggi dibanding kondisi Kongo saat devaluasi mata uang Afrika tahun 1994. Prevalensi stunting anak balita di pedesaan Alor-Rote (48 persen) menyamai prevalensi stunting di Afrika Timur (48 persen) dan melebihi Asia Tengah bagian Selatan (44 persen) pada tahun 2000. Keadaan Alor-Rote lebih buruk dari Sudan setelah kekeringan tahun 1983-1985. Prevalensi stunting kawasan miskin Jakarta 26 persen dan Banggai (Sulawesi Tengah) 28 persen. Stunting meningkatkan angka kematian, menurunkan fungsi kognisi dan intelektual serta meningkatkan resiko penyakit degeneratif seperti diabetes dan tekanan darah tinggi.
Selanjutnya, prevalensi Anemia anak balita di Alor-Rote (75 persen) mirip Asia Tengah bagian Selatan. Sedangkan Banggai (52 persen) mirip Afrika Barat (56 persen) dan Jakarta (68 persen) polanya antara Afrika Timur dan Asia Tengah Bagian Selatan. Anemia berkait erat dengan proporsi angka kesakitan anak (infeksi saluran pernafasan, demam, diare) akibat rendahnya asupan makanan sebagai sumber zat besi.

Survei Pemantauan Status Gizi dan Kesehatan (Nutrition & Heatlth Surveillance System) oleh Helen Keller Foundation selama 1998-2002 menunjukkan kenyataan tentang 10 juta anak balita yang berusia enam bulan hingga lima tahun รข€“ setengah dari populasi anak balita di Indonesia -- menanggung resiko kekurangan Vitamin A. Disebutkan, makanan anak-anak tersebut sehari-hari di bawah angka kecukupan Vitamin A yang ditetapkan untuk anak balita, yaitu 350-460 Retino Ekivalen per hari (Kompas, 30 Juli 2003). Anak-anak yang tidak dicukupi kebutuhan Vitamin A akan mengalami gangguan kesehatan mata, kemampuan penglihatan, maupun kekebalan tubuhnya. Laporan survei itu lebih jauh menyatakann bahwa sebagian anak-anak balita itu menderita penyakit mata dalam stadium lanjut akibat kekurangan Vitamin A, sehingga tidak dapat disembuhkan. Anak-anak balita tersebut mengalami kerusakan bola mata dari keratomalasia (sebagian dari hitam mata melunak seperti bubur), ulaserasi
kornea (seluruh bagian hitam mata melunak seperti bubur) hingga kondisi parah xeroftalmia scars (bola mata mengecil dan mengempis).

SELAMATKAN ANAK-ANAK

Berbagai literatur menyatakan bahwa keberadaan wasting, stunting dan anemia akibat kekurangan asupan makanan yang bergizi pada bayi dan anak balita adalah bagian dari lingkaran setan kemiskinan dan penyakit infeksi. Kemiskinan mengakibatkan rendahnya tingkat pendidikan orang tua, buruknya lingkungan perumahan dan tidak adanya akses terhadap air minum dan sanitasi. Juga keterbatasan akses terhadap kebutuhan dasar lain dan pelayanan sosial termasuk pangan, kesehatan dan pendidikan.

Ada sebuah postulasi bahwa keberadaan orang lapar apalagi bayi dan anak balita busung lapar merupakan pengujian utama terhadap adil dan efektifnya sistem sosial dan ekonomi di sebuah negara. Demikian mendasar fungsinya, sehingga melalui sistem pangan masyarakat (produksi - distribusi - konsumsi) dapat dipakai sebagai jendela untuk memahami sebuah masyarakat. Kelaparan yang diderita bayi dan anak balita di Indonesia jelas menunjukkan tidak adil dan efektifnya sistem sosial dan ekonomi negara Republik Indonesia.

Negara bertanggungjawab atas tragedi kemanusiaan ini. Akan tetapi, bertahun-tahun sudah anak-anak kelaparan dan belum pernah DPR membentuk Panitia Khusus (Pansus) Kasus Anak Busung Lapar atau Panitia Kerja (Panja) untuk Anak-anak Kelaparan. Kita tidak dapat mengharapkan para anggota DPR yang terus sibuk dengan Mukernas, rapat partai, kunjungan kerja, Pilkada dan Pemilu untuk tertarik mengurus soal anak busung lapar. Kita juga sangat sulit membayangkan administrasi pemerintah bekerja dalam kerangka organisasi yang terpadu bergerak cepat mengatasi soal busung lapar. Advokasi masalah ini pada tingkat kebijakan adalah penting. Menuntut pertanggungjawaban negara adalah sebuah keharusan. Akan tetapi, jutaan anak-anak yang menderita lapar tidak dapat menunggu. Sebelum tiba pada penyelesaian di tataran politik nasional, banyak anak yang menjadi cacat (mental dan fisik) dan meninggal dalam penantian. Jutaan anak-anak tidak dapat menunggu dibentuknya Pansus atau
Panja atau Tim Pencari Fakta (TPF) Kematian Anak Balita Akibat Busung Lapar atau BAKORNAS Penangulangan Busung Lapar. Harus ada tindakan, sekecil atau sesederhana apapun, untuk dapat menolong anak-anak yang menderita kelaparan.
PROMOSI SAYURAN HIJAU

Salah satu cara untuk membantu menyelamatkan bayi dan anak balita dari kekurangan gizi adalah dengan mempromosikan sayuran daun hijau. Sayuran daun hijau sudah dikenal sebagai penghasil utama dari segala macam vitamin, mineral dan protein yang dibutuhkan oleh tubuh. Prof. Dr. Poorwo Soedarmo, perumus slogan Empat Sehat Lima Sempurna dan kawan-kawannya telah membuat sebuah daftar sederhana sayuran hijau khas Indonesia yang dapat ditanam dengan mudah: bayam, beluntas, enceng padi, gelang, gedi, gendola, genjer, jotang, kabak, kacang panjang, kaki kuda, krokot, kangkung, katuk, kemangi, kelor, labu-labuan, leunca, mangkokan, melinjo, mengkudu, paku sayur, pepaya, sawi putih, selada air, sesawi, singkong, turi, talas, ubi jalar dan yute.

Sayuran daun hijau sangat perlu untuk ibu-ibu yang sedang mengandung dan menysui. Dengan demikian anak dalam kandungan mendapat pasokan gizi yang baik yang memungkinkan pertumbuhan janin di dalam rahim. Dengan memakan sayuran daun hijau, Ibu yang sedang menyusui telah memberikan makanan yang bergizi pada anaknya melalui ASI. Sayuran daun hijau juga harus segera diberikan pada bayi begitu ia membutuhkana makanan tambahan di luar ASI. Semangkuk bubur yang dicampur dua genggam sayuran daun hijau dan sepotong tahu atau tempe cukup memadai sebagai sarapan anak-anak yang telah tumbuh gigi. Sepiring nasi dengan sayuran daun hijau yang diolah menjadi kuluban, urap, pecel atau tumis dapat mempertahankan daya hidup dan pertumbuhan anak balita. Kandungan gizi sayuran daun hijau telah terbukti ribuan tahun mempertahankan hidup komunitas yang berpantang memakan daging seperti para pendeta Budha. Kaum vegetarian yang terus berkembang bisa bekerja seperti sama
produktifnya dengan mereka yang memakan daging.

Otonomi Nutrisi

Untuk mendapatkan bahan makanan, terutama sayuran daun hijau, di daerah pedesaan adalah dengan melakukan otonomi nutrisi. Artinya, penduduk pedesaan, khususnya petani miskin dengan tanah terbatas harus mengutamakan tanaman yang dapat memenuhi kebutuhan pangan keluarganya secara langsung. Setelah makanan keluarga terpenuhi barulah dapat diusahakan produk pertanian yang akan diniagakan.

Untuk sebagian penduduk pedesaan, persoalan dapat diselesaikan melalui penggunaan rasional ruang yang ada, sesempit apapun adanya. Penduduk pedesaan dapat secara berkelanjutan memenuhi kebutuhan bagian penting dari kebutuhan gizi dengan sayuran daun hijau yang dihasilkan secara langsung di sekitar rumah. Berbagai proyek telah menunjukkan bahwa tanpa bahan-bahan dari luar dan dengan biaya yang sangat rendah. Tanah seluas 40 meter persegi dapat menghasilkan pangan untuk mencukupi kebutuhan anggota keluarga (5 orang) akan mineral dan Vitamin serta 18 % dari jumlah total protein yang dibutuhkan seperti yang disarankan WHO. Luas tanah kurang dari 100 meter persegi adalah sangat relevan dengan keadaan penduduk pedesaan di Indonesia.
Kebun Organik Keluarga

Untuk kawasan perkotaan, model yang diterapkan oleh warga Kampung Banjarsari, Kelurahan Cilandak, Jakarta Selatan bisa dijadikan contoh (Kompas, 4 Juni 2005). Warga di kampung tersebut, tepatnya RW 08, berhasil menata dan menciptakan lingkungan tempat tinggal yang hijau, sejuk dan nyaman dengan cara yang sangat kreatif. Disekitar rumah masing-masing, warga menanam beragam tumbuhan. Ada tanaman produktif, tanaman pelindung, tanaman hias dan tanaman yang berkhasiat obat. Karena tidak ada lahan untuk menanam tumbuhan, warga Kampung Banjarsari menggunakan media pot untuk menanam tanaman. Pot-pot yang digunakan bervariasi dan banyak menggunakan barang bekas seperti bekas drum sampai bekas air mineral kemasan gelas. Ribuan tanaman pot ditata sehingga membentuk rerimbunan tanaman.

Usaha seperti itu tidak membutuhkan biaya besar. Di Kampung Banjarsari, petugas RW bekerjasama dengan dinas pertanian untuk mendapatkan bibit-bibit tanaman yang murah. Dana untuk membeli bibit dikumpulkan dari iuran warga. Inisiatif tersebut dapat dikembangkan untuk menghasilkan sayuran daun hijau. Untuk memperkaya jenis tanaman di kebun organik keluarga, bibit bisa didapatkan dengan berburu tanaman atau saling tukar bibit antara warga.

PENUTUP

Sayangnya, tulisan ini kemungkinan besar tidak bisa dibaca oleh kelompok masyarakat yang sedang dirundung kelaparan: keluarga-keluarga yang sedang menatap anak-anak mereka yang tergolek lunglai. Para pembaca tulisan ini, diharapkan dapat membantu sesuai dengan kesempatan dan kemampuan masing-masing. Para guru sekolah maupun guru agama adalah kelompok yang paling diharapkan menjadi pendorong bagi keluarga para murid-murid untuk mengenal dan menghargai sayuran daun hijau sebagai sumber gizi yang utama. Guru dapat meluangkan sedikit waktu di sela pelajaran untuk bertanya tentang apa saja yang dimakan para murid dan sekaligus memperkenalkan khasiat sayuran daun hijau dan bagaimanan cara bercocok tanam.

Para ketua RT dan ketua RW yang sangat mengenal warga dan wilayahnya sangat penting dalam gerakan memakan sayuran hijau untuk menekan kasus kurang gizi dan gizi buruk. Pertemuan-pertemuan warga dapat diisi dengan mengenal berbagai sayuran daun hijau dan manfaatnya bagi tubuh.

Urun pikiran diantara para pembaca untuk menolong bayi dan anak balita dari kekurangan gizi akan mengembangkan berbagai kegiataan. Sambil bekerja kreatif untuk menolong bayi dan anak balita, kita tetap harus membangun kekuatan untuk menuntut negara bertanggung jawab atas kelaparan yang dialami jutaan bayi dan anak balita di Indonesia.***

Lefidus Malau, penulis dapat dihubungi di : lefidus@yahoo. com, tulisan ini diambil dari milist IndoPROGRESS.