Monday, March 31, 2008

Prinsip-prinsip Mekanisme Dukungan

Fenomena Para Calon Pelayan Publik Menghadapi PILKADASU 2008


Oleh EDI SAPUTRA SIMAMORA, S.Th

MASYARAKAT tentu sudah tidak asing lagi dengan berbagai slogan komitmen para calon-calon yang berkeinginan menjadi pejabat dalam pemerintah daerah (Gubernur dan Wakil Gubernur) Sumatera Utara. Notabene jabatan itu berfungsi sebagai pelayan masyarakat (public servent) atau dalam istilah khas Jawa pamong praja (pembantu masyarakat) yang bertugas untuk mewujudkan tatanan sosial yang adil, sejahtera, religius, dan sebagainya. Atau sebaliknya, jabatan itu nantinya bisa berubah menjadi pangreh praja (penguasa masyarakat), yang akan menekan dan menunggangi kebutuhan rutin para warga/ masyarakat yang sering tidak mengetahui persis apa haknya yang harus dijaga?

Berbagai macam trik dan strategi pun sudah dipersiapkan mulai dari meyakinkan partai hingga mengelabui massa. Hal ini dapat kita lihat dari setiap kampanye dan jargon-jargon yang diperlihatkan adalah, tidak lain dari seperti cara-cara penguasa yang sejak pemerintahan kita ini berdiri. Yang tampak hanyalah unjuk kekuatan massa (show forces) dan kesanggupan financial dalam mempersiapkan diri untuk membiayai semua kebutuhan perang dalam pertempuran menghadapi Pilkada nantinya.

Sungguh sangat naif sekali bukan, semua calon-calon tersebut dengan leluasa berbicara (tanpa dasar dan perencanaan yang jelas) dan dengan bangganya hadir (baca: cari muka) dalam setiap ruang hingga sudut masyarakat Sumatera Utara. Seolah-olah masyarakat kita terhipnotis dan terpukau dengan kehadiran mereka yang telah menjadi fenomenal untuk beberapa bulan terakhir ini. Saya jadi teringat kontes Indonesian Idol, dimana semua masyarakat terbius dan akhirnya terjebak dalam bela rasa yang semu, yang tidak lagi menekankan dan memiliki prinsip-prinsip dalam menggunakan dukungannya melihat kemampuan dan kecakapan (kompetensi) dari calon yang akan dipilih. Akhirnya, hanya karena perasaan senang dan simpati yang naif, kita terpaksa harus memilih salah satu dari mereka (walaupun bertentangan dengan hati).

Melihat permasalahan di atas, semua fenomena itu akan terakumulasi menjadi frustasi sosial yang akan menghancurkan social capital. Penghancuran tersebut akan muncul dengan wajah meningkatnya kriminalitas, krisis moralitas dan penyimpangan-penyimpangan sosial lainnya yang mengancam kenyamanan sosial. Hal inilah yang harus dapat disadari oleh segenap masyarakat kita, dan kondisi ini harus segera diantisipasi.

Walaupun demikian, dalam pengamatan saya masyarakat Sumatera Utara masih optimis dan yakin tidak akan salah dalam memilih siapa calon pelayannya pada pemilihan nanti. Masyarakat sudah sadar dan memahami kondisinya saat ini bahwa tidak perlu lagi banyak janji-janji muluk dan retorika kosong. Sebab, dalam kondisi sekarang ini masyarakat sudah sadar dengan kemundurun bangsa kita. Indikator-indikator ekonomi dan kesejahteraan sosial menunjukkan angka-angka yang memprihatinkan. Pengangguran meningkat tajam setiap tahunnya, indeks kesenjangan sosial makin lebar, harga-harga kebutuhan pokok semakin sulit untuk dijangkau (bahkan sulit didapat), kualitas pelayanan kesehatan menurun dan semakin mahal, pendidikan semakin eksklusif, lingkungan semakin tidak ramah dan lainnya.

Hal ini tentu akan mengherankan masyarakat, di tengah-tengah kondisi meningkatnya pajak pengorbanan rakyat atas eksploitasi lingkungan yang melampaui batas kemampuan ekologis kita. Rasa keadilan masyarakat pun tertusuk oleh suatu kenyataan akan paradoksnya kepastian hukum dan penegakan keadilan dalam setiap kasus yang terjadi dalam masyarakat kecil.

Bahkan yang lebih parah lagi adalah, banyak yang mengambil kesempatan dalam memanfaatkan sesuatu demi kepentingannya atau kelompoknya. Semua orang tidak peduli lagi akan prinsip dan mekanisme yang harus dilakukan dalam segala apapun. Tanpa pernah pikir panjang, yang penting dirinya atau kelompoknya diuntungkan dan akibatnya belakangan. Hal itu juga dapat kita lihat dalam fenomena yang terjadi pada para calon-calon pelayan masyarakat (public servent) kita yang akan memimpin Sumatera Utara ini ke depan. Tidak ada integritas dan konsistensi yang kuat di dalam diri mereka untuk memperlihatkan dirinya sebagai seorang pemimpin yang visioner. Semua hanya berlomba-lomba untuk mewujudkan keinginannya dan kelompoknya, yang justru semua itu hanyalah semakin membuat masyarakat khawatir kalau-kalau nantinya kepentingan itu tidak tercapai.

Prinsip Mekanisme Dukungan sebagai Kontrol Kebijakan Publik

Prinsip dan kesadaran yang kuat dalam masyarakat dalam memberikan dukungan hak pilih-nya adalah hal yang terpenting sebagai kontrol untuk menciptakan suatu sistem pemilihan langsung yang kompetitif dan obyektif. Masyarakat tentu sudah mempunyai pengamatan tersendiri terhadap para calon-calon yang sudah sangat sering terpampang di tempat-tempat umum dan khusus. Terlepas, apakah itu adalah bagian dari pengamatan pribadi atau kelompok. Yang pasti pada kesempatan ini, dukungan (suara) masyarakat sangatlah ampuh dalam menentukan Sumatera Utara ke depan.

Pada situasi seperti ini sebuah kebijakan publik juga akan dipengaruhi oleh interaksi antar kelompok kepentingan dalam sebuah proses politik. Sehingga, kelompok kepentingan yang memiliki power politik yang lebih kuat tentu akan dengan mudah memenangkan pertarungan. Hal ini adalah konsekuensi logis dari sebuah sitem pemilihan langsung yang dibangun demokratis. Tetapi yang menjadi pertanyaan penting adalah, apakah calon yang menang nantinya adalah sosok seorang pemimpin yang benar-benar seorang pelayan masyarakat (public servent)? Benarkah pemimpin tersebut akan mampu menjawab semua persoalan masyarakat kita yang plural dan kompleks?

Solusinya adalah semua komponen masyarakat juga harus terlibat dan benar-benar bertanggungjawab dalam mensukseskan proses pemilihan tersebut. Sebab, semua orang mempunyai tanggungjawab moral dan sosial dalam menentukan siapa pemimpinnya dan bagaimana masa depan bangsa/ negaranya. Kelompok masyarakat seperti pemuka atau pemimpin agama, budayawan, cendikiawan beserta NGO dan yang lainnya juga sangat besar memberikan pengaruh terhadap masayarakat. Oleh sebab itu, hendaknya peran dan pengaruh itu haruslah dipakai dalam memberikan arahan yang benar-benar bertanggungjawab dan membangun dalam memberikan kedewasaan sikap bersama masyarakat.

Kita tidak perlu lagi harus khawatir atau pun ragu dalam menentukan siapa calon yang kita anggap dan yakini dapat memberikan suatu perubahan yang lebih baik bagi masyarakat kita. Hak penuh ada pada kita. Kita tinggal menggunakan hak tersebut sebagai kontrol dalam memilih. Jika masyarakat sudah menyadari hak pilihnya dapat digunakan sebagai kebijakan publik untuk mengontrol semua kepentingan yang lebih luas, maka proses pemilihan akan berjalan dengan lancar dan apa yang diharapkan pun akan tercapai.

Sebaliknya, jika masyarakat tidak menggunakan haknya (dukungan) ataupun digunakan hanya sebagai alat atau bagian dari kelompok kepentingan, maka konsekuensinya adalah kita juga harus siap untuk tidak diperdulikan oleh mereka. Masyarakat umum yang akan menanggung semua resiko dan akibat dari proses tersebut. Artinya, jika kita ingin membangun dan mengembangkan Sumatera Utara, mari kita bangun untuk kepentingan bersama. Sebab, kebijakan yang sangat ampuh dalam membangun Sumatera Utara adalah dengan menjadikan kebijakan publik (dukungan semua masyarakat) sebagai fungsi kontrol bersama.

Semoga pada pemilihan nanti kita dapat memberikan dukungan dengan mengacu pada prinsip dalam memilih pelayan masyarakat Sumatera Utara. Selamat memilih.

Edy Saputra Simamora, S.Th, mantan sekretaris Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Medan.

Sunday, March 30, 2008

Perokok Itu Konyol

Oleh DIAN PURBA

Di satu sisi rokok dibenci. Pada lain sisi ia dicintai sampai mati. Penyakit akibat rokok bertebaran, korban juga berjatuhan. Namun, para nikotinis alias perokok tetap mengabaikan. Serangan jantung? Stroke? Kanker? Anggaplah itu risiko. Namun kalau risiko itu juga harus ditanggung janin di dalam kandungan, juga mengancam potensi seksual kaum laki-laki, para perokok harus memikirkan kembali kesetiaannya

(Intisari, September 2001)

Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi,

gangguan kehamilan dan janin. (Iklan Rokok)


ENTAH apa yang dipikirkan mereka yang merokok. Konyol. Mereka sudah tahu pasti bahwa merokok itu membahayakan kesehatan. Kita tidak akan menjumpai satu hal pun yang menguntungkan dari merokok. Setiap sedotan mendekatkan mereka kepada kematian.

Di negeri ini perusahaan rokok bebas bergerak mengiklankan produk mereka. Bahkan even sepak bola terbesar kita disponsori oleh perusahaan rokok. Sangat ironis. Tidak ada korelasi antara rokok dan penyehatan badan. Incaran utama mereka adalah remaja usia sekolah. Mereka harus melakukan itu untuk menggantikan 57 ribu orang Indonesia yang meninggal setiap tahunnya akibat rokok. Data survey kesehatan rumah tangga tahun 2002 menyebutkan angka merokok aktif di Indonesia berjumlah 75 % atau 141 juta orang, dan 60 persennya adalah orang miskin. Itu masih di Indonesia. bagaimana dengan jumlah perokok di seluruh dunia ini?

Perhatikan isi klipping berikut.

Semiliar Orang akan Mati akibat Rokok

ADA peringatan baru bagi para pengusaha dan pemakai tembakau untuk rokok di seluruh dunia. Studi penelitian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menemukan fakta mencengangkan tentang tembakau. PENGGUNAAN tembakau yang sudah meluas di seluruh dunia berdampak pada tingkat kematian.

Jika konsumsi tembakau tidak dikurangi, lebih dari 1 miliar manusia akan menemui ajal. "Seratus juta kematian banyak disebabkan penggunaan tembakau selama abad 20 lalu. Jika tren tersebut terus berlanjut, jumlah kematian akan meningkat lebih dari satu miliar jiwa pada abad 21 ini," ujar Dirjen WHO Margaret Chan dalam keterangan persnya sebagaimana dilansir AFP, Jumat (8/2/).


Setidaknya pemerintah dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat harus segera mengambil tindakan agar tingkat kematian yang cukup tinggi itu bisa dicegah. "Jika tidak dicegah, tembakau menyebabkan kematian ini, akan meningkat lebih dari 8 juta pertahun hingga 2030. Dan 80 persen di antara kematian tersebut lebih banyak terjadi di negara-negara berkembang," tambahnya.

Dalam studi terakhir di WHO, data utama organisasi tersebut menunjukkan tentang penggunaan dan pengendalian tembakau di sejumlah negara yang merepresentasikan lebih dari 99 persen dari populasi dunia. Hasil studi tersebut juga menyerukan 6 strategi yang harus ditempuh untuk mencegah tingkat kematian yang tinggi.

Enam strategi itu disebut MPOWER, yaitu melibatkan pengendalian (Monitoring) kebijakan pencegahan dan penggunaan tembakau, melindungi (Protecting) manusia dari dampak rokok tembakau, menawarkan (Offering) bantuan kepada pecandu rokok untuk berhenti, mengingatkan (Warning) tentang bahaya tembakau, mendorong (Enforcing) pelarangan penggunaan tembakau untuk periklanan, dan menaikkan (Raising) pajak tembakau.

"Ketika upaya untuk memerangi tembakau menemukan momentumnya, seluruh negara tentu akan melakukan hal yang lebih dari sekedar memerangi," pungkasnya. (afp ) ( http://klipingut.wordpress.com/2008/02/13/semiliar-orang-akan-mati-akibat-rokok/)

Setiap rokok yang kita hisap hanyalah menambah kekayaan bagi pengusaha rokok. Eko Prasetyo memberikan komentar yang sangat lugas tentang hal ini: "Kini para pemilik rokok tercatat sebagai orang terkaya di dunia. Dan nasib Anda--para perokok--mustahil bisa seperti mereka!". "Kalau pabrik rokok ditutup negara akan kehilangan devisa yang termat besar", kata seorang kawan. Ya, itu benar. Tapi kita tidak boleh lupa bahwa pemerintah mengeluarkan anggaran kesehatan lebih banyak untuk menanggulangi korban rokok ketimbang devisa yang diterima dari rokok.

Ada baiknya kita simak fakta-fakta berikut.

Bahaya Rokok


Racun pada Rokok


Rokok mengandung kurang lebih 4000 elemen-elemen, dan setidaknya 200 diantaranya dinyatakan berbahaya bagi kesehatan. Racun utama pada rokok adalah tar, nikotin, dan karbon monoksida.


Efek Racun


Efek racun pada rokok ini membuat pengisap asap rokok mengalami resiko (dibanding yang tidak mengisap asap rokok):

  • 14x menderita kanker paru-paru, mulut, dan tenggorokan
  • 4x menderita kanker esophagus
  • 2x kanker kandung kemih
  • 2x serangan jantung

Rokok juga meningkatkan resiko kefatalan bagi penderita pneumonia dan gagal jantung, serta tekanan darah tinggi.

Cara Berhenti Merokok


Analisis Kebiasaan


Lakukan analisis atas kebiasaan-kebiasaan merokok yang telah dilakukan selama ini. Misalnya:

  • Kapan waktu tersering Anda untuk merokok
  • Kapan Anda secara otomatis ingin merokok

Hasil analisis ini akan membantu dalam mengerem keinginan merokok.


Susun Daftar Alasan


Lakukan segala hal yang membuat Anda tidak kembali merokok. Selalu ingat alasan-alasan yang mendasari Anda untuk tidak merokok. Jika perlu susun daftar alasan itu.

  • Menghindari kanker, gagal jantung, gangguan pencernaan
  • Kehidupan sosial yang lebih baik
  • Ingat kesehatan dan kepentingan anak / keluarga
  • Makan lebih enak

Langsung Berhenti


Pilihlah sebuah hari di mana Anda akan berhenti. Dan pada hari itu, langsung berhenti total tanpa melakukan tahapan-tahapan. Umumkan rencana Anda kepada orang-orang dekat Anda agar mereka bisa membantu.


Waspada Pada Hari-Hari Awal


Hari-hari awal akan terasa sangat berat. Cobalah mengalihkan perhatian dengan mengkonsumsi permen atau permen karet tanpa gula. Sementara waktu, kurangilah kegiatan yang berkaitan dengan rokok, seperti pergi ke bar.


Konsumsi Rendah Kalori


Selama minggu-minggu pertama (sampai kira-kira empat minggu), makanlah makanan yang mengandung kalori rendah. Juga minumlah banyak air.

Keputusan ada di tangan kita. Langkah-langkah yang diterangkan di atas tidak akan ada artinya kalau kita tidak mencintai diri kita sendiri. Ingat, merokok artinya mempersiapkan kematian kita pelan-pelan dan pasti sembari kita terus memperkaya pengusaha rokok. Mari kita menikmati hidup tanpa rokok.***

Dian Purba, Mahasiswa Sastra Inggris Universitas Methodist Indonesia. Penulis dapat dijumpai pada web blog nya ( klik : disini)


Monday, March 24, 2008

Tanggung Jawab Pendidikan : Orang Tua atau Negara ?

Refleksi dari Perdebatan dua orang kawan di seberang Samudera

Oleh ERIX HUTASOIT

DI SEBUAH milist yang saya ikuti, dua orang yang saya kenal “bertengkar” soal Kuba. Kedua orang itu adalah Nezar Patria dan Coen Husain pontoh. Nezar adalah redaktur majalah mingguan Tempo. Setahu saya terakhir kali, Nezar tercatat sebagai mahasiswa post graduate di London School of Economic and Political Science /LSE (Inggris/UK). Sedangkan Coen merupakan bekas sahabat “politik” nya Nezar. Coen kini menetap dan menjadi penulis di New York (Amerika Serikat/AS).

”Pertengkaran” bermula dari artikel Nezar di Majalah Tempo (No.01/XXXVII/25 Februari – 2 Maret 2008) berjudul Bulan Di Atas Kuba (2008). Artikel itu sebenarnya bertutur tentang suksesi (pergantian penguasa) di Kuba, sebuah negara kepulauan di Benua Amerika. Fidel Castro yang memimpin negara itu hampir setengah abad lamanya, digantikan sang adik, Jenderal Raul Castro.

Kritik Coen atas artikel Nezar terjadi, karena Nezar menulis kuba dalam semangat yang “negatif”. Seperti kebanyakan artikel yang beredar di Indonesia tentang Kuba. Negara itu selalu diidentikkan sebagai negara sosialis yang tidak ramah ; dipenuhi kemiskinan ; dan dipimpin seorang yang disebut Nezar sebagai diktator, yaitu : Fidel Castro.

Saya sediri maklum dengan kedua “maestro” itu. Tetapi saya tergelitik ketika kritik Nezar memasuki sektor pendidikan dan kesehatan. Awalnya Nezar memuji Kuba. Nezar menulis,” …soal kesehatan dan pendidikan, Kuba boleh menepuk dada.”

Lalu pada kalimat berikutnya, tulisan Nezar terasa begitu kontradiksi.”…tetapi juga ada masalah. Dengan ekonomi morat-marit, sekolah kini kekurangan guru. Banyak tenaga pengajar pindah ke sektor turisme. Disektor itu duit lebih menjanjikan. Soal fasilitas kesehatan pun kini terancam gawat. Gedung rumah sakit banyak yang lapuk. Peralatan medis dan obat pun terbatas,” tulis nezar di halaman 121.

” ... Masak iya?” tulis Coen segera.

Coen sepertinya terusik. Dia menulis counter article untuk Nezar. Artikel itu pada subject email diberi judul,”Bulan Diatas Kuba: a Critique.” Coen menyebarkannya secara terbatas dalam sebuah milist. Hanya peserta milist itulah yanga dapat mengakses.

Dalam artikel itu Coen membeberkan sejumlah fakta tentang Kuba, termasuk pada bidang pendidikan. ”Kuba adalah negara dengan jumlah guru terbesar di Amerika latin,” tulis coen.

Lebih lanjut Coen menerangkan untuk Sekolah Dasar di Kuba, komposisi guru-murid nya adalah 1:20. Artinya satu orang guru melayani 2o orang murid. Sedangkan untuk tingkat SLTP perbadingannya 1 : 15. Menurut Coen yang tinggal di AS, angka perbandingan seperti itu tidak ditemukan di negara lain, termasuk di negara sekaliber AS.

Saya tidak akan ikut-ikutan dalam perdebatan ”kontemporer” antara Coen dan Nezar itu. Saya lebih tertarik mencari tahu, kenapa komposisi guru-murid di Kuba bisa sedemikian. Apa gerangan yang membuat negara yang dipimpin Fidel Castro itu (yang konon disebut Nezar sebagai diktator) bisa membangun pendidikan dan kesehatan yang mencengangkan bangsa-bangsa di muka bumi ini.

Kuba: Refleksi Tanggung Jawab Sebuah Negara

Bagi Haridadi Sudjono, Kuba dengan ibukotanya Havana, bukanlah nama asing. Sudjono pernah tinggal lama di Kuba sebagai Duta Besar Republik Indonesia (1999-2003). Sebuah gambaran tentang Kuba pernah dituliskannya dalam artikel yang berjudul Hidup Sederhana Gaya Kuba (Kompas, 05/01/2008).

Dalam artikel itu Sudjono menyebut fasilitas kesehatan dan pendidikan di Kuba sangat baik dan gratis. Namun, gratis di Kuba tidak sama dengan gratis di Indonesia. Di negara kita ini, kata gratis selalu tidak diikuti mutu pelayanan yang baik. Gratis sama dengan murahan alias buruk. Coba lihat pelayanan berobat bagi warga pemegang surat miskin. Nasibnya tak ubah seperti bola kaki yang ditendang kesana-sini.

Sedangkan di Kuba, istilah gratis adalah jaminan mutu.”Banyak penderita sakit dari berbagai negara (bahkan yang dikenal lebih maju) berobat ke Kuba karena teknologi kedokteran dan terutama kualitas dokter serta pelayanannya sangat baik dan maju,” tulis Sudjono pada paragap kedua dari artikel nya.

Selain itu pelayanan gratis hanya diberikan kepada warga negara, sedangkan warga asing dikenai pembayaran. ”Namun, rakyat Kuba yang tidak dikenai pembayaran mendapat perlakuan yang sama baiknya dengan orang asing yang membayar mahal,” tulis Sudjono lebih lanjut.

Disektor pendidikan, Kuba di kenal luas dengan lulusan kedokteran yang profesional. Selain itu, negara ”cerutu” ini, juga dikenal karena menghasilkan pelatih olahraga yang mumpuni. Sebut saja olahraga tinju dan voli. Sampai sekarang untuk olahraga voli, Kuba adalah langganan juara dunia.

Sukses mencetak tenaga terdidik secara profesional. Ternyata itu yang menompang perekonomian Kuba. Walau diembargo habis-habisan oleh Amerika Serikat, bahkan sudah setengah abad lamanya. Kuba serasa tidak mengalami masalah yang serius. Menghadapi embargo itu, Kuba punya ”trik”.

”Kalau Kuba merasa tidak memiliki minyak untuk menopang kegiatan industri, negeri itu ”menjual” dokter nya ke Venezuela dan negara Amerika Latin lain nya untuk ditukar dengan minyak dan kebutuhan lain nya. Kuba juga menghasilkan banyak pelatih olahraga, misalnya untuk tinju dan voli, yang “dijual” ke negara lain, termasuk (ke) Indonesia. Honor yang mereka terima sebagian diserahkan kepada kedutaan negaranya sebagai sumbangan wajib bagi negara nya…,” terang Sudjono. Hmm..

Lantas program seperti apa yang dulu digelar Castro, sehingga mereka bisa punya banyak tenaga ahli seperti sekarang? Padahal kita mengetahui Kuba adalah negara kecil dan miskin.

Pendidikan Di Kuba: A Nation Becomes a University *)

El Ingle, 14 Juni 1961

Kepada yang terhormat,
Perdana Menteri DR. Fidel Castro.

Saya menulis sedikit catatan kepada Anda, untuk menyatakan bahwa saya tidak tahu bagaimana menulis atau membaca. Terima kasih kepada Anda, yang telah merealisasikan rencana melek huruf ke dalam praktek. Saya juga berterima kasih kepada para guru yang telah mengajari saya, sehingga membuat saya bisa membaca dan menulis.
Saya adalah seorang miliciano dan saya bekerja di koperasi Rogelio Perea. Saya sangat senang jika Anda mau berkunjung ke koperasi ini.

Viva la revolucion socialista
Patria o Muerte
Venceremos

Salam,
Felix D. Pereira Hernandez

Surat yang ditulis Hernandez ini, adalah salah satu bentuk penghargaan rakyat Kuba terhadap Fidel Castro, atas kepemimpinannya dalam memajukan dunia pendidikan di Kuba. Sebagaimana ditulis Leo Huberman dan Paul Sweezy, dalam buku mereka yang telah menjadi klasik,“Socialism in Cuba,” pendidikan di Kuba adalah salah satu contoh tersukses rejim Sosialis.

Kebijakan memajukan pendidikan di Kuba, sebenarnya telah dicanangkan sejak rejim Castro belum lagi berkuasa. Saat itu, bertempat di Fort Moncanda, pada 26 Juli 1953, Castro menyatakan ada enam problem yang “kita harus sesegera mungkin menyelesaikan secara bertahap” yakni, masalah tanah, industrialisasi, perumahan, pengangguran, pendidikan, dan kesehatan. Tapi, rencana itu baru mulai betul-betul dicanangkan, saat Fidel Castro di hadapan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Banga (PBB), pada September 1960, menyatakan bahwa 1 Januari 1961 telah dicanangkannya sebagai tahun dimulainya kampanye besar-besaran di negaranya dalam memberantas buta huruf.
Tahun itu juga ditetapkan sebagai Tahun Pendidikan (The Year of Education).

Sejak saat itu, dimulailah mobilisasi dan perencaan pembangunan sektor pendidikan di seluruh negeri. Para brigadistas (relawan) yang diterjunkan ke lapangan membawa buku petunjuk dan bendera Kuba satu tangan dan lampu paraffin (simbol kampanye) di tangan lainnya. Dalam memobilisasi massa terdidik untuk mengajari massa rakyat yang buta huruf, slogan yang dikumandangkan adalah “the people should teach the people.” Di kantor-kantor, di lahan-lahan pertanian dan perkebunan, dan pabrik-pabrik dikumandangkan slogan, “If you know, teach; if you don’t know, learn.

Sementara di radio dan televisi nasional, setiap saat diumumkan bahwa “Every Cuban a teacher; every house a school.” Di organisasi-organisasi massa, dipropagandakan kepada seluruh anggotanya bahwa penyair menulis puisi, artis melukis gambar dan mendesain poster, penulis lagu menulis lagu, pers memuat berita utama tentang kemajuan dan para fotografer berpartisipasi dalam kampanye melalui gambar. Pokoknya, seluruh bangsa turut berperanserta dalam gerakan revolusioner besar-besaran dalam bidang kebudayaan: penghapusan buta huruf.

Pada 22 Desember 1961, program alphabetisasi ini berakhir. Hasilnya, angka buta huruf merosot drastis, dari 23,6 persen ketika program ini pertama kali dicanangkan menjadi tinggal 3,9 persen. Bandingkan misalnya, dengan negara-negara lain di kawasan Amerika Latin, dimana sekitar 33 persen penduduknya adalah buta huruf.
Rata-rata angka buta huruf di kawasan itu bervariasi dari 8,6 persen di Argentina hingga 80 persen di Haiti. Melihat sukses ini, Huberman dan Sweezy menulis,“Never in the history of education anywhere in the world had there been so successful an achievement.”

Tapi, Anda mungkin bertanya, itu khan prestasi Kuba ketika perang dingin tengah berlangsung? Prestasi yang dicapai ketika negara-negara komunis, terutama Uni Sovyet, masih merupakan partner dagang terbesar Kuba? Bagaimana keadaannya kini, ketika komunisme sudah dinyatakan gagal?

Universitas Untuk Semua

Di negeri yang terkenal karena produk cerutunya itu, tingkat melek huruf penduduknya sangat tinggi. 97 persen dari penduduk yang berusia di atas 15 tahun bisa membaca dan menulis. Dari komposisi itu, jumlah laki-laki yang melek huruf mencapai 97, 2 persen, sedangkan perempuan mencapai 96,9 persen.
Saat ini, Kuba juga merupakan negara dengan tenaga guru terbesar dan tersukses dalam bidang pendidikan. Sebelum revolusi pada 1959, angka buta huruf sebesar 30 persen. Kini penduduk yang buta huruf nol persen. Dari segi komposisi jumlah guru-murid, untuk tingkat sekolah dasar dari setiap 20 murid dilayani oleh satu orang pengajar. Untuk tingkat sekolah menengah, satu orang pengajar melayani 15 murid. Keadaan ini menyebabkan hubungan antara guru-murid berlangsung secara intensif.

Setiap guru di Kuba adalah lulusan universitas dan memperoleh pelatihan yang sangat intensif dan berkualitas selama masa karirnya. Yang unik dari sistem pendidikan Kuba, adalah hubungan guru-murid-orang tua yang tampak dikelola secara kolektif. Seluruh staf pendidikan (pengajar dan pegawai administrasi) tinggal di dekat sekolah, sehingga mereka saling mengenal satu sama lain. Bersama murid dan orang tuanya, para guru ini bekerja bersama dan menyelesaikan secara bersama masalah-masalah menyangkut bidang pendidikan, pertanian, dan kesehatan. Metode ini merupakan pengejawantahan dari nilai hidup yang diwariskan Che Guevara, tentang solidaritas kelas. Dengannya, pendidikan tidak hanya bermakna vertikal, dimana semakin terdidik orang peluangnya untuk berpindah kelas semakin terbuka. Tapi, juga bermakna horisontal, dimana pendidikan sekaligus bertujuan memupuk dan mengembangkan solidaritas antar sesama, penghargaan terhadap alam-lingkungan dan kemandirian.

Menurut Juan Casassus, anggota tim dari the Latin American Laboratory for Evaluation and Quality of Education at UNESCO Santiago, prestasi tinggi Kuba dalam pendidikan ini merupakan hasil dari komitmen kuat pemerintahan Kuba, yang menempatkan sektor pendidikan sebagai prioritas teratas selama 40 tahun sesudah revolusi. Pemerintah Kuba memang mengganggarkan sekitar 6,7 persen dari GNP untuk sektor ini, dua kali lebih besar dari anggaran pendidikan di seluruh negara Amerika Latin.

Dengan anggaran sebesar itu, pemerintah Kuba berhasil membebaskan seluruh biaya pendidikan, mulai dari level sekolah dasar hingga universitas.
Bebas biaya pendidikan diberlakukan juga untuk sekolah yang menempa kemampuan profesional. "Everyone is educated there. Everyone has access to higher education. Most Cubans have a college degree," ujar Rose Caraway, salah satu mahasiswa AS yang ikut progam studi banding di Kuba, pada 2005. Kebijakan ini menjadikan rakyat Kuba sebagai penduduk yang paling terdidik dan paling terlatih di seluruh negara Amerika Latin. Saat ini saja ada sekitar 700 ribu tenaga profesional yang bekerja di Kuba.

Tetapi, kebijakan menggratiskan biaya pendidikan ini tampaknya kurang mencukupi. Sejak tahun 2000, pemerintah Kuba mencanangkan program yang disebut “University for All.” Tujuan dari program ini adalah untuk mewujudkan mimpi menjadikan Kuba sebagai “a nation becomes a university.

Melalui program ini seluruh rakyat Kuba (tua-muda, laki-perempuan, sudah berkeluarga atau bujangan) memperoleh kesempatan yang sama untuk menempuh jenjang pendidikan universitas. Caranya, pihak universitas bekerjasama dengan Cubavision and Tele Rebelde, menyelenggarakan program pendidikan melalui televisi. Perlu diketahui, saat ini media televisi Kuba menyediakan 394 jam untuk program pendidikan setiap minggunya.
Jumlah ini sekitar 63 persen dari total jam tayang televisi Kuba. Dalam kerjasama ini, pihak universitas menyediakan paket kurikulum pendidikan dan tenaga pengajar dan pemikir yang berkualitas. Sebagai contoh, salah satu mata acara yang disuguhkan adalah sejarah filsafat, yang diasuh oleh Miguel Limia, seorang profesor filsafat dari institut filsafat.

Demikianlah, sejak program ini on-air pada 2 Oktober 2000, ada sekitar 775 profesor yang datang dari universitas-universitas besar di Kuba yang aktif terlibat dalam program ini.

Hasil dari komitmen dan kerja keras pemerintah Kuba dalam membangun sektor pendidikan ini, nampak dari hasil kajian perbandingan yang dilakukan oleh UNESCO, terhadap siswa dari 13 negara Amerika Latin di bidang matematika dan bahasa. Dari studi itu diperoleh hasil, prestasi siswa Kuba jauh di atas prestasi siswa dari negara lainnya yakni, sekitar 350 point. Bandingkan dengan Argentina, Chile, dan Brazil yang nilainya mendekati 250 poin.

Prestasi Bidang Kesehatan

Salah satu prestasi tertinggi dari pembangunan pendidikan Kuba, tampak dalam bidang pendidikan kesehatan. Seperti dikemukakan Cliff DuRand, profesor emeritus filsafat di Morgan State University, Baltimore, AS, saat ini rata-rata tingkat kematian dini di Kuba hanya 5,8 kematian dalam satu tahun untuk 1.000 kelahiran. Angka ini adalah yang terendah di kawasan Amerika Latin, bahkan lebih rendah dari yang terjadi di Amerika Serikat.

Jumlah tenaga dokter per kapita Kuba jauh lebih banyak dibandingkan negara manapun di dunia. Saat ini saja, ada sekitar 130.000 tenaga medis profesional. 25.845 tenaga dokter Kuba bekerja untuk misi kemanusiaan di 66 negara, 450 di antaranya bekerja di Haiti, negara termiskin di benua Amerika. Sebagian lainnya bekerja di kawasan-kawasan miskin di Venezuela. Ketika terjadi bencana topan Katrina di New Orleans, beberapa waktu lalu, Presiden Fidel Castro berinisiatif mengirimkan 1.500 tenaga dokter. Tapi, inisiatif ini ditolak oleh pemerintah AS dengan alasan yang sifatnya politis.

Tidak hanya untuk rakyat Kuba, kini melalui Latin American School of Medicine, pemerintah Kuba memberikan beasiswa untuk pendidikan kesehatan kepada ratusan kaum muda miskin dari seluruh negara Amerika Latin, Afrika, bahkan Amerika Serikat. Yang menarik, di Kuba pengajaran kesehatan tidak hanya menyangkut soal ilmu pengetahuan dan seni pengobatan tapi, juga nilai-nilai pelayanan sosial terhadap kemanusiaan. Seperti dikemukakan Castro, ketika mewisuda 1610 mahasiswa pada musim panas Oktober 2005,“modal manusia (human capital) jauh lebih bernilai ketimbang modal kapital (financial capital). Modal manusia meliputi tidak hanya pengetahuan, tapi juga – dan ini yang sangat mendasar – kesadaran, etika, solidaritas, rasa kemanusiaan yang sejati, semangat rela berkorban, kepahlawanan, dan kemampuan menciptakan sesuatu dalam jangka panjang.”

Refleksi Penutup : INDONESIA

Pada bulan Maret tahun lalu (2007) saya pernah diminta bicara soal pendidikan oleh sebuah organisasi kemahasiswaan. Saat itu saya menulis makalah yang berjudul ”Qua Vadis Pendidikan Indonesia (2007)”. Dipenghujung makalah itu saya menyebut tiga persoalan dalam pendidikan Indonesia, yaitu : (1) Soal akses untuk mendapatkan pendidikan yang tidak merata dan cenderung diskriminatif (2) Orientasi pendidikan yang terlalu berfokus pada penyediaan tenaga kerja untuk pasar (3) Tingkat kesejahteraan pekerjaan disektor pendidikan yang rendah.

Sekarang ini pendidikan menjadi mahal. Sekolah-sekolah yang bermutu berkurang jumlahnya. Subsidi untuk pendidikan jauh dari cukup. Walau undang-undang sudah mengamanatkan 20 persen dari APBN harus untuk pendidikan. Namun pemerintah tidak pernah ”mau” merealisasikan itu. Alasannya ”Negara masih dalam keadaan sulit, pemerintah tidak punya uang”.

Darmaningtyas dalam artikel Utang, Korupsi, dan Akses Pendidikan Dasar (2004) menepis alasan pemerintah itu. Bagi Darmaningtyas, alasan negara miskin sehingga tidak bisa mensubsidi pendidikan, hanyalah akal-akalan pejabat negara dan politisi.

”Tetapi menurut penulis, akar masalah bukan pada ”kemiskinan” negara secara ekonomis, tetapi kemiskinan jiwa pemimpinnya ; sehingga memberi beban utang menggunung (lebih dari Rp. 200 trilliun), mental korup, dan proyek. Akibatnya rezim manapun yang berkuasa akan tetap diwarisi beban nyaur utang, mental korup, dan project oriented (segala sesuatu dijalankan bukan untuk menyelesaikan masalah, tetapi hanya membuat proyek). Mental proyek itulah yang melahirkan inefisiensi dalam penggunaan dana negara.”

Darmaningtyas mencontohkan SMP Negeri Utung Jawa, Kepulauan Seribu, Jakarta. SMP itu di bangun dengan 9 ruang kelas (lokal). Selain itu ada fasilitas 15 komputer dan 2 faksimilie. Sedangkan siswanya hanya 130 orang sehingga enam lokal tidak tidak digunakan. “Demikian pula komputernya jarang dipakai karena kebutuhan pelajar di sana bukan keterampilan komputer, tetapi keterampilan menangkap ikan tanpa merusak lingkungan. Untuk apa komputer, kecuali mendidik mereka menjadi kaum urban ke Jakarta?” tulis Darmaningtyas.

Kritik Darmaningtyas membuka fenomena “akut” yang terjadi di tubuh birokrasi. Dana pendidikan yang kecil itu, malah digunakan secara tidak effesien dan effektif.

Sudah menjadi rahasia umum kalau alokasi dana publik untuk pendidikan kalah jauh dari sektor lain. Di Kabupaten Sleman, Yogyakarta contohnya. Dana subsidi untuk PSS Sleman (sebuah klub sepak bola peserta Liga Indonesia) untuk tahun 2008 adalah sebesar Rp. 5 miliar, sedangkan untuk subsisi pendidikan hanya 3,1 Miliar (Kompas, 8/3).

Fakta yang lebih dilematis lagi terjadi di Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. Kabupaten ini merupakan daerah terkaya se Indonesia. Di Kutai Kertanegara, sederet bagunan mewah perpaduan arsitektur moderen dan tradisional, menjadi “etalase” dari kekayaan itu. Tapi pemandangan kontras terlihat di SMP N Tenggarong yang terletak di jalan Ki Hajar Dewantara. Bagunan SMP itu sudah rapuh dan bocor. “ Sementara itu, di Kecamatan Muara Badak Masih ada SD filial yang terpaksa memanfaatkan rumah dengan kondisi seadanya,” ungkap Tonny D Widiastono dalam laporannya yang berjudul Kebijakan Pendidikan ; Ke Mana Arah Pendidikan Kita ? (2008).

Sampai di titik ini, saya menjadi sepakat dengan Darmaningtyas. Persoalan pendidikan di negara ini berhubungan erat dengan kemiskinan jiwa pemimpin nya. Bukan dengan kemiskinan ekonomi.

Kabupaten Jembaran, di Provinsi Bali adalah contoh bagus untuk ditiru. Bagi Bupati Jembaran, I Gede Winasa, alokasi pendidikan tidak harus dipatok dengan persentase. “Bagi kami, investasi sumber daya pendidikan di atas segalanya,” ungkap Winasa (Kompas, 8/3).

Walau Pendapatan Asli Daerah (PAD) Jembaran hanya Rp. 15 Miliar (2007). Namun pendidikan mulai dari SD hingga SMA/SMK sudah digratiskan semenjak tahu 2001. Tidak hanya itu. “Jembaran berani memberikan penghargaan kepada guru berupa insentif Rp.5000,- per jam ( di luar tunjangan guru), bonus, dan gaji ke-14 sebesar Rp.1 juta per tahun,” ulas Kompas dalam Anggaran Pendidikan ; Kepedulian atas Pendidikan Lahirkan Manusia Unggul (2008).

I Gede Winasa seolah menjadi Fidel Casrtro nya Indonesia. Mereka berdua membuka wawasan kita tentang pemaknaan “Pemimpin yang Bertanggungjawab”. Kini, ketika kita membicarakan pendidikan di Nias, kita tidak boleh mengabaikan dua nama diatas. Mereka menjadi cerminkan bahwa pendidikan juga tergantung pada kebijakan penguasa. Jika penguasa (birokrasi) dipilih oleh rakyat. Tentu logika nya, penguasa (birokrasi) itu harus berkerja untuk melayani kepentingan rakyat.

Kini pertanyaan nya,” Mampukah rakyat (warga) mendesak penguasa (birokrasi) untuk melayani kepentingan rakyat?”

Jika rakyat tidak mampu (tidak berdaya), maka rakyat harus diperkuat (empowerment) agar menjadi mampu (berdaya). Dan melakukan penguatan/pemberdayaan itu adalah tugas mereka yang mengaku bekerja di ranah pengembangan masyarakat (community development). Ya, seperti kita ini..***

Erix Hutasoit, bekerja sebagai communication and advocacy officer pada Caritas Keuskupan Sibolga. Tulisan ini merupakan pengantar diskusi program advokasi pendidikan.

*) Isi judul diatas dikutip langsung dari http://indoprogress.blogspot.com

Saturday, March 15, 2008

Gaji Rendah Selalu Jadi Pembenar Korupsi

Oleh MUHAMMAD SOLEH, SH

TERTANGKAPNYA jaksa Urip Tri Gunawan (UTG) dalam kasus suap BLBI Syamsul Nursalim sebesar 6 milyar, menjadikan wajah isntitusi kejaksaan tercoreng dalam upaya pemberantasan korupsi. Betapa tidak, UTG adalah salah satu jaksa terbaik yang dipiih oleh Hendarman Supandji karena berhasil menuntut mati terdakwa bom Bali Amrozi. Ternyata jaksa terbaik bukan jaminan jaksa tersebut punya integritas.

Sebelumnya anggota Komisi Yudisial Irawadi Joenoes juga tertangkap oleh KPK karena menerima suap dalam pembelian kantor Komisi Yudisial. Anggota KY inipun pada saat menjadi jaksa adalah seorang jaksa yang katanya punya kredebilitas. Kalo sudah seperti ini, kita patut bertanya apakah masih ada jaksa di institusi kejaksaan yang punya integritas? Andaikata dalam pemeriksaan KPK UTG mengakui jika kasus suap yang dilakukan atas suruan atasannya yaitu Muhammad Salim dan Kemas Yahya Rahman. Jika benar, sebaiknya hendarman tidak saja menangis didepan wartawan, tapi mundur dari Jaksa Agung sebagai pertanggung jawaban moral gagalnya memimpin institusi Kejagung.

Pada saat hearing dengan Komisi II DPR, Hendarman mengatakan gaji jaksa terlalu kecil hal itu yang menyebabkan jaksa melakukan korupsi. Gaji UTG sebesara 3,5 juta dia harus menangani kasus 35 trilliun.(JP 6 Maret 2008). Secara tersirat, Hendarman ingin mengatakan tolong naikkan gaji jaksa agar mereka tidak melakukan pemerasan atau korupsi. UTG dan jaksa lainnya kenapa tidak meniru Hendarman yang dengan gaji seadanya bisa menikmati hidup sebagai jaksa tanpa harus melakukan korupsi.

Apa Benar Gaji kecil Penyebab Korupsi?

Pendapat Hendarman bisa dibenarkan ketika hal itu diucapkan sebelum ada kasus UTG. Namun, jika pendapat itu diucapkan setelah ramainya kasus suap UTG jelas salah. Orang bisa membantahnya, kalo sudah tau gaji kecil kenapa mau nangani kasus BLBI? Kenapa mau jadi jaksa? Buktinya UTG bisa sukses dalam kasus Amrozi, padahal kasus itu jelas tidak bersentuhan dengan uang. Korupsi adalah penyakit social, yang tidak bisa dikaitkan langsung dengan gaji rendah dan kebutuhan sehari-hari. Pertanyaannya apakah semua jaksa, polisi dan hakim mereka tidak tahu jika nantinya mendapatkan gaji kecil?

Faktanya pada saat perekrutan, ada calon jaksa, polisi dan hakim yang rela mengeluarkan uang ratusan juta agar bisa diterima menjadi aparat penegak hukum. Andaikan mau jujur, menjadi aparat bukan karena gaji, tapi lebih pada orientasi pendapatan diluar gaji, jangan salahkan UTG, Irawadi Joenoes melakukan korupsi.

Bagaimana mungkin dengan gaji 3.5 juta UTG bisa hidup di Jakarta dan harus bolak-balik Jakarta Bali untuk kumpul dengan keluarga? Tentunya selama ini UTG telah sering mendapatkan pendapatan diluar gaji untuk memenuhi kebutuhan bulanannya. Sama halnya dengan seorang kapolda yang gajinya sekitar 5 juta tapi kehidupannya wah, punya mobil mewah dan rumah megah. Apa benar dengan gaji 5 juta bisa memenuhi kehidupan seperti itu? Jelas pendapatan dil luar gaji resmi yang bisa menopangnya.

Bagi seorang lawyer soal suap dikepolisian, kejaksaan dan pengadilan bukan barang aneh. Biarpun di Jakarta presiden, ketua MA, Jaksa Agung, ketua KPK mengkampanyekan pemberantasan korupsi. Sayang gerakan itu tidak diikuti oleh aparat yang dibawah. Perkara suap tidak harus dilakukan oleh aparat kejaksaan dalam kasus besar. Kasus togel saja yang nilainya 10 ribu tetap saja bisa dipermainkan oleh polisi, jaksa dan hakim agar dapat uang dari seorang terdakwa, tentu uangnya tidak akan besar seperti kasus BLBI.

Ada adigium mengatakan, jika kita melaporkan perkara korupsi ke polisi maupun kejaksaan itu sama halnya kita mencarikan nafkah buat mereka. Sebab perkara itu bisa dipermaikan untuk menaikkan pendapatan itu tadi. Kalaupun perkaranya tidak terpenuhi unsur korupsinya, maka menghentikannya toh tetap harus ada uangnnya. Penulis sering mendapatkan keluhan dari mereka yang dipanggil kejaksaan, lalu diminta uang yang sangat tidak wajar dengan nilai korupsi yang dituduhkan. Dengan dalih uang itu disetorkan pada atasan dll.

Beberapa waktu lalu penulis menangani kasus pengerusakan, dimana dalam persidangan tidak diketemukan fakta-fakta pengerusakan yang dilakukan oleh terdakwa, akhirnya hakim membebaskan terdakwa dari semua dakwaan jaksa. Saya baru tahu, jika kebebasan tersebut tidak gratis, pihak keluarga telah melakukan pendekatan kepada sang hakim. Padahal gaji hakim telah dinaikkan berlipat-lipat dengan harapan agar hakim tidak melakukan korupsi, toh mereka masih korupsi juga. Ini menjadi pembenar bahwa gaji tinggi-pun tidak dijamin terbebas dari penyakit korupsi.

Kebiasaan memainkan perkara adalah watak yang harus dihilangkan oleh aparat penegak hukum. Pemahaman bahwa mereka hanya menolong terdakwa, aparat berjalan lurus tidak ada masalah, paradigma seperti ini masih berlaku dikalangan aparat penegak hokum. Upaya apapun yang dilakukan oleh keluarga tersangka, lawyer jika aparatnya kebal maka uang miliaran tidak akan berdaya. Parahnya adalah, pemikiran penegak hokum berpendapat, uang korupsi lebih baik mereka ambil daripada dikembalikan ke kas negara. Hal ini seperti yang terjadi pada kasus UTG, dimana uang suap 6 miliiar hakekatnya bukan uang Syamsul Nursalim, melainkan selisih uang Negara yang tidak dikembalikan oleh Syamsul Nursalim.

Solusi

Perilaku aparat penegak hokum sudah sedemikian rusak, sehingga menaikkan gaji agar mereka tidak korupsi bukanlah satu-satunya yang efektif. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) harus juga direfisi. Karena pasal-pasalnya sudah banyak yang ketinggalan jaman. Misalnya pasal 21 KUHAP yang mengatur kewenangan penyidik, jaksa dan hakim dalam melakukan penahanan. Kewenangan ini sering dipermainkan oleh mereka. Tersangka yang punya uang tidak ditahan, dengan dalih mereka kooperatir. Tapi bagi tersangka yang tidak punya uang ditahan dengan dalih ditakutkan melarikan diri. Revisi KUHAP harus menyeluruh, jangan lagi ada pasal-pasal yang memungkinkan polisi, jaksa dan hakim bisa jual beli perkara.

Selama ini orang yang menjadi tersangka posisinya sangat lemah di dalam penyidikan. Azas “praduga tidak bersalah”, hanya menjadi slogan belaka. Bagi penyidik tahan dulu benar dan salah nanti dibuktikan dipengadilan. Contoh kasus, Eddy Widiono (mantan dirut PLN dan Sahudi (kepala dinas Pendidikan Surabaya) mereka diduga korupsi lalu ditahan karena tidak tidak cukup bukti, akhirnya bebas.

Yang tidak kalah penting adalah, menanamkan sikap hidup sederhana dikalangan aparat penegak hukum. Gaji yang ada harus dipergunakan secukupnya dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebab gaji ratusan juta setiap bulan tidak bisa mencukupi aparat yang korup. Jika penyidik KPK bisa cukup dengan gaji yang ada, kenapa polisi, jaksa dan hakim tidak bisa.

Muhammad Sholeh, SH, Advokat di Surabaya. Artikel ini diposting pertama kali di milist IndoProgress