Wednesday, June 27, 2007

Petani, nasib mu kini ...


Oleh : Mufidah (Blitar)

Penulis tinggal di Blitar dan aktif dalam advokasi petani.

Sabtu (16/6/07) salah satu radio swasta Blitar membahas pertumbuhan ekonomi Cina yang fantastis. Terutama di bidang pertanian. Saat ini Cina tercatat sebagai negara pengimpor beras terbesar ke-3 di dunia. Petani Cina juga tergolong petani makmur. Sederet prestasi itu mendongkrak ‘kredebilitas’ Cina yang selama ini diremehkan lantaran berideologi komunis. Ideologi yang dianggap sederajat dengan barbarian dan kanibalisme serta dikodratkan untuk miskin.

Lalu apa kabar Indonesia? Negara agraris dimana 70 persen penduduknya bekerja di sektor pertanian. Tapi justru sangat lambat perkembangannya. Pada tahun 2005 saja, pertumbuhan sektor pertanian tidak sampai 5 persen. Padahal pemerintahan SBY-JK sudah mencanangkan Revitalisasi Pertanian. Hasilnya (?)

Pemerintah memang jagonya berwacana. Mari kita simak ‘arahan’ Wakil Presiden RI, Jusut Kalla: “ Indonesia harus swasembada beras pada tahun 2008. Swasembada beras hanya mungkin terjadi jika petani mampu meningkatkan produksinya sebesar 20 persen.” Itu diutarakan JK ketika berada di Chengdu, Sichuan, Chin. Kehadiran JK disana untuk menandatangi kerjasama pembangunan pusat Hibrida terintegrasi Departemen Pertanian RI dengan Republik Rakyat Cina (RRC).

Terus terang saya pesimis dengan target 20 persen itu. Alasan saya, pertama penyusutan lahan pertanian yang terjadi secara drastis tentulah berkorelasi dengan tingkat produksi. Lahan sedikit, produksi juga sedikit. Penyusutan Ini imbas dari program pengalihan lahan (konversi) untuk di ubah menjadi pemukiman, pusat bisnis, perkantoran dan seterusnya. Saat ini saja, Badan Pertanahan Nasional (BPN) mencatat dari 8,9 juta hektar luas total sawah. Hampir 40 persen atau 3,099 juta hektarnya akan dikonversi melalui tata ruang wilayah (RTRW). Ditambah lagi banyak kasus sengketa lahan yang belum terselesaikan. Jelas ini akan membuat petani semakin sulit untuk mengakses lahan.

Kedua, pemanasan global. Konsentrasi CO2 di atmosfer yang kian bertambah menyebabkan perubahan iklim yang tidak menentu. Petani yang tidak ‘ikut-ikutan’ menyumbang emisi gas CO2, tapi harus pula menanggung resiko akibat pemanasan global. Perubahan iklim yang tidak menentu, kekeringan yang berkepanjangan dan pola hujan yang tidak tertebak lagi secara pasti membantu menurunkan produktivitas pertanian.

Ketiga, perdagangan bebas. Kebijakan AOA (Agreement on agriculture) yang mempromosikan liberalisasi perdangan hasil pertanian, betul-betul memukul petani Indonesia. Produk asing yang membanjiri pasar domestik menyebabkan hasil pertanian kita ‘kalah’ di pasaran. Bayangkan saja, beras asal Vietnam yang berlayar dari seberang laut sana, masih bisa dijual dibawah harga beras lokal. Akibatnya harga beras lokal jatuh dan pendapatan petani berkurang dratis.

Keempat, kebijakan pemerintah yang tidak memihak petani. Pertumbuhan produksi beras yang tidak sejalan dengan pertumbuhan penduduk. Sehingga untuk mengamankan ketersediaan pangan, pemerintah harus mengimpor beras. Bulan September 2006 sebanyak 210.000 ton, kemudian pada bulan Januari-Februari 2007 sebanyak 500.000 ton.

Siswono Yudo Husodo, Ketua HKTI mengatakan impor beras merupakan kegagalan pemerintah dalam manajemen produksi dan distribusi beras. Impor tidak akan terjadi jika Bulog membeli beras sampai volume 3 juta ton saat panen raya.

Ini memang dilematis, jika pemerintah tidak mengimpor beras maka ketersediaan pangan terancam. Tidak itu saja, harga beras akan terus melonjak. Ini tentu akan memberatkan rakyat. Disisi lain, impor beras tidak bisa dipungkiri, pasti akan merugikan petani pula.

Keluarnya PP No. 7/2003 tentang perubahan status kelembagaan bulog dari lembaga non departemen menjadi Perum menambah rumit ’urusan’ perberasan nasional. Dengan menjadi Perum, maka bulog mempunyai dua fungsi yaitu antara public servic dan komersil. Pada pratiknya kehadiran Bulog tidak ada beda dengan pedagang. Akibatnya tugas mulia Bulog untuk menyeimbangkan harga serta menjamin stock beras, dikalahkan niat untuk mendapatkan keuntungan dari fluktuasi selisih harga.

Kelima, rendahnya posisi tawar petani. Petani kesulitan karena tidak punya jalur pemasaran sendiri, akibatnya petani menggunakan sistim tebang jual. Dengan sistim ini sebanyak 40 % dari hasil penjualan panenan padi menjadi milik tengkulak. Apalagi pada praktiknya ketika musim panen tiba, tengkulak masih meminta bagian 50 % dari hasil keuntungan bersih petani. Alasannya karena harga gabah dan beras sedang jatuh. Petani tidak punya pilihan lain selain menjual hasil ke tengkulak, jika menjual hasil panen sendiri, maka biaya angkut dan transportasi ditanggung sendiri oleh petani dan itu tidak sedikit. Sekali lagi ini terjadi karena posisi tawar yang lemah.

Semakin mahalnya biaya produksi pertanian, juga menjadi masalah vital bagi petani. Kelangkaan pupuk, menyebabkan melambungnya harga pupuk di pasaran, bahkan harga pupuk jenis ZA bisa mencapai Rp. 120.000-150.000/kg. Belum lagi jika musim kemarau tiba membuat petani kesulitan untuk mendapatkan air dan kalaupun ada air, petani harus membelinya untuk keperluan irigasi sawah

Land reform sebagai jalan

Revitalisasi pertanian yang dicanangkan pemerintah akan efektif jika dilengkapi pemberian tanah kepada rakyat (land reform). Tanah-tanah ini akan menjadi alat produksi yang kelak akan memberikan kontribusi bagi perekonomian bangsa. Tapi, tidak cukup sekadar land reform. Pemerintah harus pula merevisi kebijakan tata ruangnya sehingga konversi lahan persawahan bisa dikendalikan.

Rangsangan kredit lunak dengan bunga rendah dipastikan bisa mendongkrak produktivitas pertanian. Landasan hukum untuk itu sudah ada yaitu INPERS No. 6/2007 tentang kebijakan percepatan pembangunan sektor riil dan pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah. Tinggal implementasinya saja yang masing mengawang-awang. Jika kebijakan itu segera diimplementasikan, tidak mustahil swasembada beras yang dicita-citakan itu bisa terwujud dalam waktu satu atau dua tahun kedepan.

Pemerintah juga harus berani main ‘keras’ diranah internasional. Pemerintah harus berani mendesak negara-negara industri untuk menurunkan pembuangan gas emisinya. Ini penting untuk menghindari perubahan iklim yang lebih ekstrim lagi. Selain itu, pemerintah harus pula mendorong pengembangan industri yang ramah lingkungan (sustainable development).

Untuk menjamin tidak terjadinya permainan harga, pemerintah harus memastikan Bulog bekerja secara maksimal. Fungsi stabilisator harga dan ketersediaan barang harus benar-benar dilakukan. Semua itu harus dikerjakan diatas prinsip “Demi kesejateraan rakyat” bukan di atas logika untung rugi. Karena negara dan bangsa ini bukan barang dagangan yang bisa dijual seenaknya.

Kalau bukan negara ini yang 'melindungi' petaninya, jadi siapa lagi ? Perlindungan atau proteksi terhadap pertanian bukanlah seruan moral bagi pemerintah. Tapi mutlak sebagai kewajiban negara. Sekali lagi, melindungi petani itu tugas negara.***

Tuesday, June 26, 2007

Dari Mafia Berkley di Indonesia sampai Los Chicago Boys di Cile : Satu kebetulankah ? (2)

lanjutan....

Cile ‘mencontek’ Indonesia

PASCA tumbangnya Soekarno yang anti kapitalisme, hampir dipastikan tidak ada lagi kekuatan penghalang bagi masuknya paham ekonomi (kapitalisme) itu ke Indonesia. Jenderal Soeharto lewat Orde Baru (Orba) memilih logika ‘ekonomi pasar’ sebagai jalan pembangunan. Sederet ekonom-cum ditugasi menyusun cetak birunya.

Sederet ekonom itu merupakan Jebolan dari AS yang di kenal sebagai “Tim Widjojo”. Oleh akitivis pro demokrasi, tim inilah yang kemudian dijuluki “Mafia Berkley”. Anggota tim yang dipimpin oleh Widjojo Nitisastro ini adalah Mohammad Sadli, Ali Wardhana, Emil Salim, Radius Prawiro, Subroto. J.B. Sumarlin, Suhadi Mangkusuwondo, Adrianus Mooy dan Saleh Afif.

Seperti kata Sadli,"Kelompok dosen FE-UI ini sejak 1957 menjalin kerjasama dengan TNI lewat Seskoad (Sekolah Jenderal) di Bandung, tempat Soeharto pernah menjadi siswa pada 1952….. Jenderal Soeharto lalu memborong seluruh tim sebagai pembantunya ketika menyusun pemerintahan." Pada 1967, Ali Wardhana, misalnya, menjadi Menteri Keuangan, Widjojo Nitisastro menjadi Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Radius Prawiro menjadi Gubernur Bank Indonesia, dan Sadli, sendiri, menjadi Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Dalam memajukan ekonomi nasional, Tim Widjojo mengusung keyakinan bahwa hanya melalui pasar bebas, hanya dengan cara mengintegrasikan diri ke dalam kapitalisme, bangsa Indonesia bisa sejajar dengan bangsa-bangsa maju lainnya. Kata Emil Salim, pengintegrasian ke dalam kapitalisme itu merupakan jalan yang "rasional," sebagai lawan dari konsep membangun ekonomi nasional yang berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) yang dianut oleh rejim Soekarno, yang tidak rasional.

Secara lebih konkret, menurut ekonom Rizal Ramli, kebijakan ekonomi yang diusung oleh Tim Widjojo berisi empat strategi utama: (1) kebijakan anggaran yang ketat dan penghapusan subsidi; (2) meliberalisasi keuangan; (3) meliberalisasi industri dan perdagangan; dan (4) melakukan privatisasi.

Segera setelah bangunan kekuasaan Orba terkonsolidasi, hasil kerja Tim Widjojo mulai membuahkan hasilnya. Inflasi yang pernah mencapai angka 600 persen berhasil ditarik hingga di bawah angka dua digit. Investasi asing berkembang pesat, dan pada saat yang sama, bantuan dari IMF dan Bank Dunia mengucur deras.

Setelah terjadi lonjakan harga minyak dunia pada 1970an, performa ekonomi betul-betul mengkilap. Tim Widjojo inipun memperoleh kehormatan tak terkira sebagai arsitek ekonomi Orba. Sukses ekonomi ini membuat Bank Dunia memasukkan Indonesia ke dalam deretan “the Asian Economic Miracle.” Pada titik inilah, figur-figur ini seolah menjelma seperti dewa, yang tutur kata dan lakunya menjadi perlambang dan digugu oleh generasi sesudahnya (Coen Husain Pontoh, Tim Widjojo, IndoProgress, 2007).

Sukses Jenderal Soerharto kemudian ‘dicontek’ Jenderal Augusto Pinochet. Arief Budiman dalam Cile dan Indonesia Saling Belajar, menuliskan itu. “Ketika Jenderal Soeharto melakukan kudeta terselubung terhadap Soerkarno pada 1966, alasannya adalah untuk mencegah berkuasanya komunisme di Indonesia. Jenderal Pinochet menggunakan alasan yang sama ketika melancarkan kudeta terhadap Presiden Allende pada tahun 1973. Pinochet sadar benar akan persamaan ini, sehingga kudeta Cile diberi nama sandi “Operasi Jakarta”.” (Arief Budiman, Ibid, hal.437).

Tetapi, jika secara politik Pinochet sukses, tidak demikian secara ekonomi. Ia gagal merestorasi kembali bangunan ekonomi kapitalis yang coba dihancurkan Allende. Sektor ini seperti “terra incognita” bagi angkatan laut yang diserahi tanggung jawab mengurusinya. Satu-satunya patokan adalah mengganti seluruh kebijakan ekonomi yang sebelumnya dilaksanakan oleh pemerintah Allende.

Saat itulah Pinochet ‘teringat’ strategi ekonomi ‘seniornya’ (Jenderal Soeharto) yang diurusi ekonom jebolan AS. Rejim militer Cile akhirnya juga menerima uluran tangan dari sekelompok ekonom jebolan AS, di bawah bimbingan profesor Milton Friedman dan Arnold Harberger dari Chicago School of Economics. Para ekonom yang terdiri dari 25 sampai 30 orang ini, kemudian terkenal dengan sebutan Los Chicago Boys atau the Chicago Boys.

Dalam waktu singkat, kelompok ini menduduki jabatan-jabatan strategis. Sergio de Castro, dekan fakultas ekonomi Universitas Katolik Chile, yang dianggap sebagai pemimpin kelompok the Chicago Boys, diangkat sebagai menteri keuangan (1974-1982); Pablo Baraona menjadi menteri ekonomi (1976-1979); Álvaro Bardón menteri ekonomi (1982-1983); Hernán Büchi menteri ekonomi (1979-1980); dan selanjutnya menteri keuangan (1985-1989); Robert Kelly menteri ekonomi (1978-1979); Fernando Léniz menteri ekonomi (1973 - 1975); Emilio Sanfuentes sebagai penasehat ekonomi di Bank Sentral; Juan Villarzú menjabat sebagai direktur anggaran; dan Jorge Cauas sebagai menteri perumahan (1975).

Pada bulan Maret 1975, kelompok ini menggelar seminar ekonomi yang mendapat perhatian luas media nasional. Dalam seminar tersebut, mereka memaparkan proposal penyelamatan ekonomi Cile melalui program pengetatan radikal, yang disebut shock treatment atau terapi kejut.

Dalam proposal tersebut dicantumkan serangkaian program seperti pengurangan drastis suplai uang dan pengeluaran pemerintah, privatisasi pelayanan-pelayanan pemerintah, deregulasi pasar besar-besaran, dan liberalisasi perdagangan internasional.

Segera setelah seminar tersebut, pemerintah Cile meluncurkan program pemulihan ekonomi (Economic Recovery Program/ERP). Fase pertama dari kebijakan terapi kejut ini adalah mereduksi suplai uang dan pembelanjaan pemerintah, yang diikuti dengan pemotongan inflasi hingga level yang bisa diterima.

Namun demikian, kebijakan ini menyebabkan meningkatnya angka pengangguran dari 9.1 menjadi 18.71 persen antara 1974 dan 1975. Selain itu pula, seluruh program pemulihan ekonomi ini dilakukan ditengah-tengah tidak adanya demokrasi.

Di sinilah peran Pinochet yaitu mendukung dan merepresi seluruh tantangan yang menghambat kerja-kerja the Chicago Boys. Buruh dan sektor rakyat miskin lainnya dipaksa menerima program terapi kejut ini di bawah todongan senapan.

Pada pertengahan 1976, ekonomi Cile mulai membaik. Dan sejak 1978 hingga 1981, hasil dari program terapi kejut ini menggembirakan pemerintahan Pinochet dan dunia internasional. Friedman menyebut sukses ekonomi Cile sebagai the economic miracle, sementara IMF dan Bank Dunia menjadikan sukses Cile sebagai contoh yang pantas bagi negara berkembang lainnya.

Investasi dan bantuan asing mengucur deras ke Cile, meningkat tiga kali lipat antara 1977 hingga 1981. Sekitar 507 perusahaan negara yang dibangun sebelum atau selama pemerintahan Allende, sukses diprivatisasi menjadi tersisa 27 (Coen Husain Pontoh, The Chicago Boys, Worldpress, 2006).

Akhir tragis dari dua cerita sukses ini.

Lima belas tahun kemudian pasca kudeta berdarah kepada Presiden Allende. Rezim Pinochet tumbang juga. Melalui sebuah referendum diakhir 1980an, rakyat Cile menolak dilanjutkannya pemerintahan militer. Pinochet pun dipaksa ‘lengser’ dari jabatan presiden.

Tumbangnya rezim ini tak jauh akibat kerjanya yang buruk. Terlebih pada sektor ekonomi. Prestasi the Chicago Boys yang selama ini dipuja-puji ternyata dibangun diatas pondasi yang rapuh bahkan fiktif.

Steve Kangas mencatat, sesungguhnya pertumbuhan ekonomi Cile bersifat artifisial atau fiktif alias tidak riil. Antara 1977 dan 1981, 80 persen pertumbuhan Cile terjadi di sektor ekonomi yang tidak produktif seperti pasar dan jasa keuangan. Sebagian besar praktek spekulasi ini telah melambungkan tingkat suku bunga hingga mencapai 51 persen pada 1977. Prestasi yang tertinggi di dunia saat itu.

Lalu, bagaimana dengan komposisi struktur sosial? Ketimpangan pendapatan di Cile merupakan yang terburuk di kawasan itu. Pada 1980, 10 persen penduduk kaya menikmati 36,5 persen pendapatan nasional. Pada 1989, meningkat menjadi 46,8 persen. Sebaliknya, 50 persen kelompok bawah pendapatan mereka jatuh dari 20.4 menjadi 16.8 persen dalam periode yang sama.

Pendapatan tentu saja bukan satu-satunya ukuran ketimpangan. Produksi harus juga dilihat. Ketika the Chicago Boys meluncurkan program privatisasi, oligopoli terbentuk sangat cepat di hampir semua sektor. Sebagai contoh, di sektor industri kertas dan selulosa, jumlah industri yang bermain di sektor ini hanya ada dua sementara share industrinya mencapai 90,0 persen. Atau di sektor produk-produk hutan, jumlah industri yang berkiprah hanya lima dengan share industrinya sebesar 78,4 persen. (The Chicago Boys, 2006).

Bagaimana dengan Indonesia? Delapan belas tahun setelah Pinoche jatuh, rezim Soeharto mengalami hal serupa. Sebuah gerakan rakyat yang dimotori mahasiwa pro demokrasi berhasil memaksa Soeharto mengundurkan diri.

Tak jauh dari ‘juniornya’ di Cile, ambruknya rezim Soeharto tidak lepas pula dari kinerja buruk di bidang ekonomi. Kapitalisme yang berkembang di masa Orba, yang diarsiteki Tim Widjojo, adalah kapitalisme cangkokkan, kapitalisme yang dibangun di atas timbunan ratusan ribu mayat rakyat Indonesia.

Karena cangkokkan, maka terjadi dua keadaan: pertama, ekonomi Indonesia tidak pernah menjadi ekonomi kapitalis yang maju melainkan, hanya sebagai ekonomi kapitalis yang tergantung: tergantung pada pasar luar negeri, tergantung pada modal asing, tergantung pada utang luar negeri, dan tergantung pada teknologi asing. Keadaan yang kedua, kapitalis-kapitalis yang bertumbuh bukan mereka yang sungguh-sungguh mengabdi pada liberalisme, seperti yang terjadi di Eropa pada abad ke-19.

Kapitalis-kapitalis yang muncul di bawah arahan Tim Widjojo ini adalah para kapitalis yang lemah, oportunis dan pengkhianat. Mereka pada awalnya bukanlah kapitalis, mereka menjadi kapitalis karena posisinya sebagai kelas penguasa (the ruling class). Sebagian dari mereka muncul dari dalam elite birokrasi (birokrat kapitalis), sebagian lainnya muncul dari dalam elite militer (militer kapitalis) dan sebagian yang lain karena kedekatannya dengan Soeharto (kroni kapitalis).

Gabungan antara ekonomi kapitalis yang tergantung dengan kapitalis yang lemah, oportunis dan pengkhianat itu, menyebabkan ekonomi Indonesia langsung bangkrut begitu terjadi krisis pada pertengahan 1997.

Setelah tahun-tahun itu, ekonomi Indonesia sangat sulit untuk kembali pulih (semakin tergantung pada modal asing, semakin tergantung pada utang luar negeri, semakin tergantung pada pasar luar negeri, dan semakin tergantung pada teknologi asing). ''Kita semakin ketinggalan dari segi pendapatan per kapita, distribusi pendapatan paling timpang, stok utang paling besar, dan landasan struktural dan industri yang paling rapuh,'' ujar Rizal Ramli (Tim Widjojo, 2007).

Dari sisi pendapatan per kapita, pada pertengahan tahun 1960-an, GNP perkapita Indonesia, Malaysia, Thailand, Taiwan dan Cina nyaris sama yakni, kurang dari $100 per kapita. Setelah lebih dari 40 tahun, GNP per kapita negara-negara tersebut pada tahun 2004 mencapai: Malaysia $4.520, Korea Selatan $14.000, Thailand $ 2.490, Taiwan $14.590, Cina $1500, sedangkan Indonesia hanya sekitar $1.000.

Distribusi pendapatan juga mengalami ketimpangan yang dahsyat. Sebagai contoh, per tahun 1999 jumlah perusahaan di Indonesia sebanyak 36.816.409. Yang tergolong besar sejumlah 1.830 perusahaan (0,01 persen). Yang menengah kecil sejumlah 36.813.588 perusahaan (99,9 persen).

Namun dalam pembentukan PDB (pendapatan Domestik Bruto), perusahaan yang hanya 0,01 persen itu menyumbangkan 40, 64 persen. Sedangkan andil perusahaan menengah kecil yang 99,9 persen itu sebesar 59,36 persen.

Tidak itu saja, perusahaan besar yang menghasilkan PDB sebesar 40,64 persen itu hanya menyerap tenaga kerja sebesar 0,56 persen, sedangkan perusahaan kecil dengan PDB sebesar 59,36 persen mampu menyerap tenaga kerja sebesar 99,44 persen dari seluruh angkatan kerja.

Menurut catatan koalisi anti utang (KAU), per Februari 2004 , kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia (IPM) berada di urutan 111 dari 177 negara; jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan nasional sebesar 38.394 ribu orang dan yang memiliki rumah hanya 32,3 persen. Angka pengangguran juga meningkat dari 3.738. ribu orang pada tahun 1994 menjadi 9.531 ribu orang pada tahun 2003.

Bidang pendidikan dan kesehatan tak kalah mengenaskan. Anak-anak usia pendidikan dasar yang bisa menyelesaikan sembilan tahun pendidikan dasar hanya 46,8 persen, angka kematian ibu mencapai 307 orang setiap 100 ribu kelahiran, setiap 1000 kelahiran 35 bayi meninggal (M. Shodiq Ramadhan, Mafia Berkeley dan Cengkeraman Kapitalisme Global di Indonesia, 2006).

Refleksi Penutup

Kembali kepada Sabam Siagian yang mengkritik teori konspirasi David Ransom dengan menulis,“….itu membuktikan, menurut teori konspirasi yang dikembangkan oleh David Ramson, bahwa AS telah merencanakan sejak dini-hari munculnya pemerintahan militer yang anti komunis ditopang oleh sekelompok ahli ekonomi yang dididik oleh AS, supaya perekonomiannya mantap di mana modal AS dan negara-negara Barat terjamin mekar. Ternyata David Ransom tidak akurat dalam penulisannya.”

Dari pemaparan kami sebelumnya. Ada beberapa poin yang bisa ditarik, setidaknya ada lima poin penting, yaitu :

Pertama, merupakan fakta yang sulit dibantahkan bahwa Amerika Serikat (AS) memang terlibat dalam kudeta yang melahirkan rezim militer di Indonesia dan Cile. Tanpa dukungan AS, mustahil kudeta ini dapat berhasil, mengingat kedua presiden yang digulingkan adalah presiden populis.

Kedua, strategi pembangunan yang dipraktekkan di Cile dan Indonesia melalui jalan kebijakan deregulisasi, liberalisasi dan privatisasi. Merupakan paket kebijakan Washington Consesus yang getol dipromosikan AS.

Ketiga, dua tim ekonomi yang membangun pondasi ekonomi Cile dan Indonesia pernah didik di AS dan pendidikan mereka dibiayai oleh lembaga yang bekerja untuk kepentingan AS pula.

Keempat, tesis bahwa keterbukaan ekonomi pada akhirnya melahirkan keterbukaan politik, seperti yang dikampanyekan AS, terbukti gagal pada prakteknya. Demorakrsi yang hendak dibangun di Indonesia tidak pernah terjadi. Rezim Orde Baru malah semakin terbirokratisasi, anti politik, militeristik, teknokratis, konservatif, dan mengusung jargon-jargon hidup harmonis yang didiktekan dengan todongan senjata.

Kelima, rezim militer di kedua negara itu akhirnya ambruk dengan menyisakan persoalan sosial yang luar biasa. Ini membuktikan sistem ekonomi yang ditiru secara ‘paksa’ dari AS terbukti gagal membawa kesejahteraan.

Fakta-fakta ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia dan Cile. Banyak negara-negara yang dikuasai rezim diktator (baik sipil dan militer) mengalami hal yang sama. Dan dipastikan Amerika Serikat (AS) terlibat didalamnya. Sebutlah Argentina, Bolivia, Venezulea sebagai contoh lain.

Inilah yang membuat kami sampai pada kesimpulan. Bahwa sangat sulit untuk menerima ‘kemunculan’ Mafia Berkley sampai Los Chicago Boys sebagai sebuah kebetulan. Lebih tegasnya,”Adalah kesalahan jika teori konspirasi David Ransom dianggap mengada-ada.”

Dari situ pula argumentasi Sabam Siagian yang menyebut Ransom,”….tidak akurat dalam penulisannya.” Kami simpulkan,”Kurang menyakinkan.” Karena itu Sabam perlu melakukan pembuktian lebih dalam dan rinci, agar argumentasinya tidak dianggap emosional dan sektarian.***

Dari Mafia Berkley di Indonesia sampai Los Chicago Boys di Cile : Satu kebetulankah ? (1) *)

Oleh : Erix Hutasoit & Dedek Purba **)

SELASA (19/6/2007) pada kolom opini Harian Analisa, kami membaca artikel “Bertemu dengan Batara Simatupang”. Artikel itu di tulis oleh Sabam Siagian, salah satu penulis-cum favorit kami. Dengan gaya bahasa sederhana yang mengalir indah, Sabam menuliskan pengalamannya bertemu DR. Batara Simatupang, pensiunan dosen Fakultas Ekonomi Universitas Amsterdam, Belanda.

Setelah membaca dua tiga kali, ternyata Sabam tidak sekadar menulis untuk memperkenalkan DR. Batara. Di samping itu. Melalui tulisannya, Sabam berupaya pula ‘membersihkan’ nama Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE-UI) dari julukan Mafia Berkley.

Sepertinya Sabam ‘kesal’ bekas kampusnya itu di tuding pro kapitalisme. Untuk membalas itu Sabam menulis,“ ….ada juga anggota kelompok FE-UI yang mendalami ekonomi sosialisme, berkelana ke Beograd dan Warsawa, akhirnya menetap di Amsterdam. Dan menganalisa secara mendalam akan kegagalan ekonomi sosialisme tersebut (“The Wandering member of the Berkley Mafia….!, komentar seorang pengamat”).”

Apa yang disorot Sabam bermula dari artikel David Ramson dalam Majalah Radikal Rampart tahun 1970. Artikel itu mengulas peranan sekelompok ekonom-cum lulusan Berkley University, Amerika Serikat (AS) dalam membangun pondasi ekonomi Orde Baru (Orba).

Kontroversi tulisan itu berakar pada teori konspirasi yang diajukan Ramson. “Ramson berteori bahwa kelompok Widjojo Nitisastro dan kawan-kawan itu dibiayai oleh Yayasan Ford (lembaga hasil keuntungan kapitalisme AS), kemudian setelah kembali menjadi para dosen di sekolah Staf dan Komando Angakatan Darat di Bandung.

Dan akhirnya, setelah Orde Baru muncul dipimpin Jenderal Soeharto, maka tamatan Berkley itu menjadi anggota pemerintahannya. Itu membuktikan, menurut teori konspirasi yang dikembangkan oleh David Ramson, bahwa AS telah merencanakan sejak dini-hari munculnya pemerintahan militer yang anti komunis ditopang oleh sekelompok ahli ekonomi yang dididik oleh AS, supaya perekonomiannya mantap di mana modal AS dan negara-negara Barat terjamin mekar...,” tulis Sabam.

Sebagai sebuah teori, tesis Ramson itu memang bisa saja diperdebatkan. Namun yang menarik dari teori Ramson, bukan sekadar pada teori konspirasinya. Lebih dari itu. Teori ini memiliki daya jelajah yang luas. Walau fokus bahasan Ramson adalah Indonesia, akan tetapi teori ini dapat pula digunakan untuk melihat kasus-kasus negara lainnya, semisal Cile.

Cile dan Indonesia adalah dua negara yang terpisah jauh antar benua. Tapi jika dilihat dengan teori Ramson, maka keduanya punya ‘kemiripan’.

Pertama, kedua negara itu pernah dipimpin rezim militer yang berhasil naik ke puncak karir politik melalui kudeta yang berdarah-darah. Jenderal Soeharto di Indonesia dan Jenderal Augusto José Ramón Pinochet Ugarte atau Augusto Pinochet di Cile.

Kedua, sistem perekonomian pemerintahan rezim militer itu di bangun ekonom-cum lulusan universitas AS. Indonesia ditopang lulusan Berkley University dan Cile diarsiteki lulusan Chicago School of Economic.

Ketiga, perekonomian kedua negara pernah mencapai titik gemilangnya. Bank Dunia pernah memasukkan Indonesia ke dalam deretan “the Asian Economic Miracle.” Milton Friedman, guru besar Chicago School of Economic, menyebut sukses ekonomi Cile juga sebagai “The Economic Miracle”.

Dan yang keempat atau kesamaan terakhir terletak pada kisah tragis kedua negara yaitu ambruknya semua cerita-cerita sukses itu, diikuti kekacauan sosial yang mengiring tumbangnya rezim militer yang berkuasa.

Nah, jika Anda sedikit ‘kritis’ tentulah akan terbersik pertanyaan,“Kok bisa-bisanya sama? Mungkinkah ini hanya sebuah kebetulan?”

Ada Amerika Serikat di Indonesia dan Cile

Tanggal 11 September 1973, hari itu dikenang rakyat Cile sebagai hari dimulainya pemerintahan diktator pimpinan Jenderal Augusto Pinochet. Melalui kudeta yang kejam, Pinochet menggulingkan pemerintahan yang sah pimpinan Presiden Salvador Isabelino del Sagrado Corazón de Jesús Allende Gossens atau lebih dikenal dengan nama Salvador Allende.

Sang Presiden Allende kemudian di tembak mati, tepat di depan meja kerjanya karena menolak mengundurkan diri. Sejak saat itu Cile memasuki babak baru yang penuh darah dan kematian. Ribuan pendukung Allende ditangkap. Dan sekitar 3000 orang atau 0,03 persen penduduk Cile yang berjumlah sepuluh juta orang saat itu terbunuh.

Delapan tahun sebelumnya, tepatnya tanggal 30 September 1965 terjadi peristiwa yang hampir sama. Sebuah pemberontakan berdarah terjadi di Jakarta. Korbannya adalah sederet perwira tinggi Angkatan Darat (AD) yang dibunuh dengan kejam. Partai Komunis Indonesia (PKI) di tuduh mendalangi.

Peristiwa itu kemudian dimanfaatkan Mayor Jenderal Soeharto bersama kelompok militernya untuk memukul balik. PKI dan organisasi kiri lainnya dibubarkan dan anggotanya ditangkapi. Diperkirakan dua juta orang yang terbunuh selama proses ‘pembersihan’ itu. Akhir dari lakon politik ini sama-sama diketahui. Soekarno dijatuhkan dari kursi presiden karena dianggap pro PKI. Lalu digantikan Jenderal Soeharto yang kemudian berkuasa 32 tahun lamanya.

Yang menarik adalah keterlibatan pemerintahan AS pada kedua kudeta ini, melalui CIA. Di Cile, keterlibatan ini menjadi jelas saat sebuah komisi di Kongres AS di bentuk beberapa tahun kemudian untuk menyelidiki hal ini. Hasil yang dilaporkan, CIA memang terlibat. Bukan saja pada kudeta tahun 1973, tetapi juga pada kudeta yang gagal sebelumnya yang dilakukan kelompok militer.

Terungkap pula AS memberikan bantuan keuangan pada partai politik yang anti komunis. Bantuan itu digunakan dalam membiayai kampanye anti komunis yang dilakukan melalui media di zaman Presiden Allende. Dokumen yang merangkum semua itu dikenal dengan nama “Track 1” dan “Track 2”. Arief Budiman menuliskannya dalam artikel berjudul Amerika, Cile dan Indonesia.

Arief Budiman menulis lebih lanjut. Di Indonesia, keterlibatan AS juga terbukti setelah publik diperbolehkan melihat dokumen yang semula masuk ke dalam katagori top secret (sangat rahasia), setelah dokumen itu berumur beberapa puluh tahun. Dari dokumen itu tampak adanya hubungan antara CIA dan militer Indonesia dalam usaha menumpas PKI. CIA rupanya sudah tahu bahwa G30S akan terjadi, bahkan ada kemungkinan mereka ikut merencanakannya.

Setelah G30S terjadi, CIA memberi daftar nama anggota PKI yang oleh militer lalu ditangkap dan dibunuh. Sebuah film dokumenter yang bagus tentang keterlibatan AS dalam peristiwa G30S baru-baru ini dibuat, berjudul Shadow Player (Arief Budiman, Kebebasan, Negara, Pembangunan Kumpulan Tulisan 1965-2005, Freedom Institute, Jakarta, 2006, hal. 429-430).

BERSAMBUNG.....

Erix Hutasoit, Team Editorial www.cefil19.co.cc Dedek Purba, Staff Litbang BEM UMI




Thursday, June 21, 2007

Hidup hanya sekali, sesudah itu mati..


Zulfikar Akbar ( Banda Aceh)

Kita sudah menjadi manusia-manusia yang di hadapkan dengan persoalan-persoalan yang cukup mampu membuat dada sesak. Dari persoalan pribadi hingga ke skala yang lebih besar, manusia secara keseluruhan.

Saya hanya tertarik dengan dua persoalan saja: kemiskinan dan pertikaian. Alasannya 2 hal tersebut di antara berbagai persoalan lainnya, semakin menggurita. Tidak sedikit karena kemiskinan harus rela membunuh hingga bunuh diri, dan malah muak jika harus d ajak berbicara tentang harga diri.

Orang miskin berpandangan, harga diri hanya milik orang-orang kenyang. Ketika mereka merampok, mencuri itu semata karena tuntutan perut, perut dan perut.

Kita, bagaimanapun telah di berikan tuhan kelebihan berupa kesempatan sebagai pembelajar, kita telah di tunjukkan oleh Tuhan pada beragam persoalan yang menuntut peran kita sebagai manusia. Tinggal kita bergerak ke depan untuk berbuat sesuatu yang menyentuh akar persoalan atau termangu diam sembari hanya mengeluh, tanpa pernah membawa pengaruh apapun untuk kemajuan peradaban. Sertifikat akhir yang kita dapatkan hanya, hidup dengan matinya sama saja. Semoga sertifikat itu bukan untuk kita.

Terakhir, saya ingin katakan dan yakinkan, syurga di ciptakan Tuhan bukan untuk kaum religius yang individualistis tetapi untuk manusia yang PEDULI.

Penulis adalah pengiat Hak Azasi Manusia (HAM). Sementara ini menetap di Nanggroe Aceh Darusallam.

Tuesday, June 19, 2007

Sekolah di Aceh

Oleh : Arman Darmanto (Jawa Tengah).

Bencana besar Tsunami yang melanda Bumi Serambih Mekkah secara tidak langsung memberikan berkah kepada rakyat Aceh. Salah satunya adalah tercapainya perdamaian yang kini dinikmati. Bencana telah membangkitkan pula kesadaran rakyat aceh untuk bersatu membangun kembali daerahnya. Pilkada juga telah selesai di gelar. Calon independen berhasil memenangi pilkada di beberapa tempat. Termasuk untuk posisi Gubernur Nanggroe Aceh Darusalam (NAD). Dengan demikian massa depan untuk rakyat Aceh semakin bersinar.

Di bidang pendidikan perhatian, NAD mendapatkan perhatian yang besar dari pemerintah, swasta dan LSM baik asing maupun lokal. Berbagai program dengan standar internasional telah banyak digulirkan. Di sisi lain upaya penuntasan wajb belajar 9 tahun masih menjadi tugas berat Pemda NAD. Terlebih persentase APK (angka partisipasi kasar) di Aceh baru mencapai 88 %, butuh 7 % lagi agar mencapai target program yaitu 95 %.

Pemerintah Pusat dalam hal ini Depdiknas telah memberikan berbagai program untuk membantu daerah mengakselerasi percepatan penuntasan wajar pendidikan dasar (dikdas) di daerah.

Yayasan sekolah rakyat sebagai lembaga yang concern dalam membantu pemerintah di bidang pendidikan. Aktif terlibat melakukan sosialisasi penuntasan wajar dikdas melalui program SP2WB ( sarjana dan Pemuda Penggerak wajib belajar). Ada 20 kabupaten yang menjadi lokasi program. Salah satunya adalah kabupaten Aceh Barat. Kabupaten ini termasuk daerah yang paling parah terkena Tsunami, sehingga banyak strutur dan infrastruktur yang harus dibangun kembali dari awal. Semangat pelajar di aceh barat juga harus terus di pompa agar segera bangkit dan melupakan berbagai tragedy yang pernah menimpa mereka di masa lampau.

Program yang saat ini gencar adalah pada aspek perluasan akses pendidikan melalui pemberian kemudahan dalam sekolah. Selain itu program peningkatan mutu juga juga menjadi perhatian penuh. Upaya itu dilakukan dengan cara memperbaiki dan menyediakan fasilitas tambahan, pelatihan dan pengembangan kompetensi guru. Semua itu sangat mungkin dilakukan mengingat saat ini aceh memiliki banyak sumber dana cukup. Oleh karena itu usaha keras pemda dalam menyadarkan masyarakat untuk menyekolahkan anak-anak mereka harus didukung oleh seluruh element masyarakat di aceh.(***)

Arman Darmanto, aktif di aktivitas pengembangn masyarakat di Plan International.

Catatan dari Yogyakarta


Arief - Aceh Magazine -

There is a win, there is a will Pulang ke kotamu, Ada setangkup haru dalam rindu, Masih seperti dulu, Tiap sudut menyapaku bersahabat Penuh selaksa makna,........... Terhanyut aku akan nostalgia, Saat kita sering luangkan waktu Oooo........ Nikmati bersama suasana Jogja........

Bait lagu di atas adalah sepenggal lagu milik KLA Project,
sebuah kelompok musik pop alternatif yang juga berasal
dari Yogyakarta. Lagu ini kembali terlintas di benak
ketika pesawat Garuda mendarat mulus di Bandara
Internasional Adi Sucipto, Yogyakarta, akhir Maret 2007
yang lalu. Ini merupakan pengalaman pertama menapaki
Yogyakarta. Sebelumnya, nama Yogyakarta kerap terdengar
ketika banyak orang bercerita tentang UGM (Universitas
Gadjah Mada), pasar Malioboro, Kaliurang, Merapi, bahkan
yang paling terbaru cerita tentang Mbah Marijan, seorang
tua yang sederhana. Namanya demikian melambung mengalahkan
artis papan atas Indonesia, tidak lain karena icon salah
satu minuman kuat ini tidak beranjak pergi ketika gunung
Merapi mengeluarkan ”batuk”nya.

Ada banyak cerita tentang Yogyakarta, kota yang masih
mempertahankan adat dan budaya kuno, sementara arus modern
terus mengikis keberadaan kearifan lokal. Pun, disisi
sejarah, Yogyakarta tercatat pernah menjadi ibukota
sementara ketika Jakarta dikuasai penjajah Belanda.
Bahkan, terlepas dari kontroversi yang menyelimutinya,
serangan umum 1 Maret 1949 juga terjadi di kota ini. Dan
yang teranyar adalah beberapa orang yang dituduh gembong
teroris sekaliber Abu Dujana juga pernah beroperasi di
kota ini. Sebuah kota yang sungguh fenomenal!

Keberangkatan ke Yogyakarta kali ini dalam rangka mengikuti
pelatihan CEFIL (Civic Education for Future Indonesian
Leaders), sebuah pelatihan pendidikan sipil bagi (calon)
pemimpin masa depan. Pelatihan ini sendiri telah memasuki
angkatan ke XIX, yang berlangsung sepanjang awal April
hingga awal Mei 2007 dan diselenggarakan oleh USC-Satunama
Yogyakarta bekerjasama dengan Konrad Adenauer Stiftung,
sebuah lembaga funding yang berasal dari Jerman.

USC-Satunama terletak di Dusun Duwet, jalan Sambisari no.
99, Sendangadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman,
Yogyakarta. Keikutsertaan saya pada pelatihan ini sebagai
bagian kebijakan Aceh Magazine yang secara berkala
mengirim para staf keluar. Policy ini ditempuh guna
memperbaharui khazanah intelektual para crew. Sudah tentu,
berbekal ”bahan bakar” baru yang didapat selama pelatihan
akan menjadi kekuatan penyajian informasi yang lebih
mendalam kepada pembaca. ”Jika secara berkala staf Aceh
Magazine ikut pelatihan, maka wawasan akan bertambah” ucap
Murizal Hamzah, selaku Redaktur Senior suatu waktu.
”Karena banyak dilihat, akan banyak tahu,” tambahnya.

Mengikuti pelatihan di Yogyakarta merupakan suatu
keberuntungan. Sebagai kota pelajar, Yogyakarta
menyediakan ketersediaan sumber ilmu yang (tergolong)
murah dibandingkan dengan kota-kota lain. ”Disini (UGM)
setiap Minggu pagi ada pasar murah yang menjual buku-buku
dengan harga diskon”, ujar Sugeng Arif Widodo, salah
seorang peserta CEFIL yang berasal dari Gunung Kidul,
Yogyakarta.

Tidak itu saja, ternyata Yogyakarta juga
memiliki beberapa toko buku yang menjual di bawah harga
pasar disamping juga banyak penerbit mengadakan pameran
buku yang sudah tentu dengan harga yang sangat miring. Hal
ini mengingatkan saya pada Titi Gantung di Medan dan Pasar Berkarat
di Kuala Lumpur, Malaysia.

Kota bekas Trah Mataram ini
memiliki beberapa lembaga pendidikan tinggi terkenal
diantaranya, Universitas Gajah Mada, Universitas Negeri
Yogyakarta, IAIN Sunan Kalijaga (kini UIN) dan beberapa
perguruan tinggi swasta lainnya. Maka, tidak heran bila
mahasiswa juga berasal dari berbagai etnis
di Indonesia bahkan dari manca negara.

Para mahasiswa/i Aceh saja setidaknya memiliki lebih dari 10 perkumpulan
mahasiswa di Yogyakarta. Ketika gempa Yogyakarta 27 Mei
2006, keseluruhan asrama mahasiswa Aceh mengalami
kerusakan. Pasca gempa, dilakukan renovasi (menurut kabar)
menggunakan dana yang diberikan oleh DPRA. ”Pasca gempa
seluruh asrama Aceh mendapat bantuan renovasi, besarnya
900 juta rupiah”, ujar Yusra salah seorang mahasiswa Aceh
di Yogyakarta.

Selain sebagai kota yang banyak menyediakan sumber bacaan
sebagai penunjang ilmu pengetahuan, Yogyakarta juga
dikenal sebagai kota budaya dan seni. Begitu mudah kita
menemukan seniman disana, baik yang amatir maupun yang
profesional. Seniman-seniman ini begitu unik melahirkan
karya-karyanya. Jalan Malioboro adalah tempat yang paling
mudah menemukan kreatifitas mereka. Tidak heran bila
kemudian sejumlah grup musik ternama seperti KLA Project,
Sheila on 7, dan beberapa penyanyi solo lainnya berasal
dari kota ini, disamping beberapa budayawan terkenal
setaraf Emha Ainun Nadjib, juga berasal dari daerah ini.

Apa yang sangat menarik selama berada di Yogyakarta adalah
kemampuan pemerintah dan warganya mempertahankan cagar
budaya yang nota bene sebagai aset sejarah. Menurut
beberapa kawan disana, sejumlah bangunan tua bersejarah
yang hancur karena bencana gempa, ketika direnovasi tidak
menghilangkan bentuk dan bahan aslinya. Hal ini
mencerminkan kepedulian yang tinggi akan nilai sejarah.
Berkaitan dengan itu, hal ini mengingatkan kita akan Atjeh
Hotel. Sebuah bangunan yang sarat makna sejarah, namun
kita dan generasi berikutnya tidak lagi dapat
menyaksikannya. Tidak saja Atjeh Hotel, beberapa bangunan
bersejarah yang masih berbekas pun tidak terawat dengan
baik.Dan, secara perlahan sebuah 'lurik' sejarah sedang berjalan
menuju kepunahannya.

Yogyakarta adalah kota unik, sebuah kota yang hidup dari kreatifitas seni. Salah satu
seni yang masih terus dipertahankan adalah membatik.
Kain-kain batik yang dilukis secara tradisional memiliki
nilai harga jauh lebih mahal daripada yang dihasilkan
mesin/pabrik. Sebuah penghargaan budaya yang tinggi!
Kreatifitas seni lain yang mudah ditemukan adalah
bentuk-bentuk cendera mata sebagai buah tangan bagi
pelancong domestik maupun manca negara.

Nah, jika tidak ingin berlebihan, bahan-bahan dasar hasil karya seni ini
(padahal) juga banyak terdapat di Aceh. Lantas, apa yang
menyebabkan kita ”tumpul” kreatifitas? Konflik? Malahan
kita sudah damai! Artinya ada banyak kesempatan untuk
terus belajar. Mengetahui dan belajar tentang sesuatu
tidak harus terikat dengan idiom formal dan konteks
sektoral. Siapa saja, berangkat dari latar belakang yang
berbeda, keyakinan agama yang tidak sama, warna kulit yang
berwarna, dan etnis yang beragam, berhak untuk belajar.
Semangat itu tercermin pada pelatihan ini.

Dan semangat ini akan terus digulirkan sebagai upaya
peningkatan mutu (capacity building) crew Aceh Magazine.
Tentunya, agar isi dan tampilan Aceh Magazine semakin
mendapat tempat di hati pembaca dan bahkan menjadi
referensi bagi banyak pihak dalam melihat rehab rekons dan
perdamaian di Aceh. Seperti kata orang bijak, segala
sesuatu dapat dilakukan ketika memiliki keinginan maka
pasti ada jalan (there is a will, there is a win).***

Arif- Laki-laki sederhana berkacamata ini adalah punggawa Aceh Mangazine. Ciri khas laki-laki yang tinggal di Banda Aceh ini, dia selalu mengatakan," sekolah saja belum selesai."

Wednesday, June 6, 2007

Tanah Bagi Petani..

Oleh : Mufidah (Blitar)

(Terima kasih P.Ndut dan Mbh. To untuk obrolannya)

Kita bergerak karena kesengsaraan kita, kita bergerak karena ingin hidup lebih layak dan sempurna. Rakyat dimana-mana di bawah kolong langit ini tidak mau ditindas bangsa lain, tidak mau dieksploiter oleh golongan apapun, meskipun golongan itu adalah bangsa sendiri. (pidato Soekarno ’Mencapai Indonesia Merdeka’)

Peristiwa Alastlogo bukanlah sengketa tanah pertama yang terjadi di Indonesia. Berbagai peristiwa ketidakadilan yang mengiringi sengketa tanah telah banyak tercatat di negeri ini. Sebut saja peristiwa penggusuran warga Boyolali untuk pembangunan waduk Kedungombo pada tahun 1989, peristiwa Tapos pada tahun 1974 penyerobotan 750 ha tanah rakyat oleh Orde Baru untuk keperluan peternakan dan pertanian pribadi Soerhato. Masih banyak peristiwa lain yang tidak mampu tertuliskan. Ini semua membuktikan bahwa semangat agraria reform melalui UUPA 1960 sama sekali sirna.

Jika kita menengok ke belakang, kasus sengketa tanah telah terjadi sejak masa kolonial. Pada masa penjajahan Belanda banyak tanah rakyat yang di ambil paksa untuk lahan perekebunan. Maka pada saat peralihan kekuasaan, rakyat berusaha untuk mengambil kembali tanah mereka. Namun sistem distribusi lahan saat itu masih menganut semangat feodalisme.

Untuk menghindari terjadinya sistem kolonial-feodal, lalu Presiden Soekarno menerbitkan UU No.5 tahun 1960 tentang Pembaharuan Agraria. Di kenal sebagai UUPA. Dalam pembuatannya, UU ini juga dipengaruhi konsep HMN (hak menguasai negara). Sebagaimana yang tertuang pada pasal 33 UUD 1945. Pasal 33 ini dimaksudkan untuk mencegah adanya kepemilikan pribadi, anti kolonialisme dan anti feodalisme.

Namun pada prakteknya, agraria reform ternyata sangat dipengaruhi oleh keadaan politik. Peralihan pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru sangat mempengaruhi aplikasi kebijakan UUPA 1960. Model pemerintahan orde baru yang developmentalis, menekankan pada pengadaan tanah skala besar untuk berbagai proyek pemerintah maupun swasta. Sehingga pada masa orde baru banyak muncul sengketa tanah struktural. Hal ini tercermin kebijakan pemberian hak baru atas lahan bagi perusahaan bermodal besar maupun proyek pemerintah.

Implementasi agraria reform semakin sulit ketika pemerintah orde baru menerbitkan UU No.1 tahun 1967 tentang Undang-undang penanaman modal asing . UU ini menjadi "jalan tol" bagi y investasi asing untuk masuk ke Indonesia. Itu sama artinya perluasan penguasaan lahan oleh asing atas tanah rakyat Indonesia.

Pemerintahan orde baru juga memberikan hak istimewa (privilage) kepada militer tanpa batas. Sehingga atas nama keamanan negara, militer merasa memiliki hak untuk mengambil tanah rakyat bagi kepentingan mereka. Tidaklah mengherankan jika banyak kasus sengketa tanah akhirnya melibatkan militer dengan rakyat.

Ditambah lagi kebijakan "satu atapnya" orde baru. Dimana organisasi massa di satukan untuk mempermudah dalam pengontrolam. Imbasnya dbagi petani, hanya HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) yang di perkenankan sebagai organisasi tani. Di luar HKTI di anggap komunis dan harus 'dihabisi'.

Kebijakan ini berakibat meluasnya krisis legitimasi yang selanjutnya meningkatkan skala artikulasi konflik. Dimana krisis legitimasi sudah mengarah pada artikulasi hak untuk menentukan nasib sendiri/right to self determination dengan mengambil bentuk tuntutan kemerdekaan/right to free determinatin (Noer Fauzi, 2000-3). Sehingga tidak heran jika yang terjadi adalah rakyat menempuh jalan sendiri untuk distribusi lahan. Karena ternyata berbagai badan yang dibentuk pemerintah tidak mampu berpihak pada rakyat. Apalagi penyelesaian kasus-kasus tanah selalu berbelit dan berlarut-larut.

E. Eckholm, pengamat agraria, menyebutkan peningkatan peningkatan kekerasan dan ketidakstabilan politik cenderung terjadi paling tinggi pada negara yang pola pemilikan tanahnya sangat tidak adil. Merunut tesis Ecklhom, maka tidak mengherankan jika politik Indonesia selalu tidak stablil dan di penuhi nuansa kekerasan.

Sebenarnya kejadian di Alastlogo bisa dijadikan langkah strategis untuk mendesak pemerintah. Bagaimanapun juga semua petani di daerah sengketa tanah, mempunyai potensi menjadi korban seperti petani Alastlogo. Kasus sengketa tanah bagaikan bom waktu yang suatu saat bisa meledak kapanpun.

Oleh karena itu, semangat agraria reform tidak akan tercapai tanpa adanya penguatan berbasis rakyat. Tanpa adanya kekuatan dan kesanggupan rakyat tani sendiri, maka semuanya akan hanya tinggal wacana dan semakin jauh dari kenyataan. Rakyat tani harus bergerak dan mengorganisir diri mereka sendiri untuk menyusun kekuatan sebagai senjata perjuangan.

Dan bukankah ”Petani adalah soko guru revolusi” (Bung Karno)

Indonesia dan pertanahan saat ini

Indonesia sebagai salah satu negara agraris terbesar di dunia. Namun warga pedesaan yang memiliki lahan sendiri hanya berjumlah kurang dari 25 %. Dari data yang dihimpun BPN (Badan Pertanahan Nasional) menunjukkan terdapat 2810 konflik agraria di Indonesia. Ironisnya ada 2 % penduduk Indonesia menguasai 56 % aset nasional (tanah dan sumber-sumber agraria)

Pada pidato awal tahun, Presiden SBY mengatakan akan segera melaksanakan program PPAN (Program Pembaharuan Agraria Nasional). Program ini akan melakukan sertifikasi dengan membagikan lahan seluas 9,25 juta hektar secara gartis. Di perkirakan akan ada k 12001 keluarga yang akan memperoleh. SBY dengan bangga mengklaim program ini sebagai wujud landreform.

Meskipun pemerintah telah menginisiasi program tersebut, namun bukan berati para petani bisa diatas angin. Bagaimanapun juga petani harus tetap melakukan pengawalan program tersebut. Bukan tidak mungkin program tersebut akan menimbulkan masalah baru bagi para petani, khususnya. Siapa yang bisa jamin kalau program tersebut bersih dari praktek korupsi. Maka langkah strategis yang harus dilakukan petani adalah (1) Memperkuat basis gerakan petani (2) meningkatkan partisipasi politik petani (3) terlibat aktif dalam perjuangan memperbaiki nasib petani. Tanpa perjuangan dari petani sendiri, mustahil nasib petani akan lebih baik.

Mufidah adalah aktivist di Sitas Desa ( Solidaritas Masyarakat Desa) - Blitar (Jawa Timur).



Tuesday, June 5, 2007

Mungkinkah Pemilu 2009 Bebas Politik Uang ?

oleh : Achmad Salman Farisy

Pemilu 2004 dinilai sebagai Pemilu yang cukup demokratis,
jujur dan adil. Meskipun dinilai demokratis dan jurdil,
pemilu 2004 tetap saja menyisakan persoalan keuangan yang
mempengaruhi perkembangan demokrasi di Indonesia.


Pemilu 2004 juga masih menyisakan sejumlah kelemahan dari
hasil audit dana kampanye yang tidak layak, sistem
pelaporan yang tidak mengikuti standar akutansi, hingga
laporan keuangan yang kurang detail. Dan yang paling
menarik perhatian adalah praktek money politic (politik
uang) yang terjadi selama pemilu 2004, namun sampai saat
ini tidak ada yang ditindaklanjuti sampai ke tingkat
pengadilan, sehingga tidak ada sanksi yang jelas.

Memang sangat diakui bahwa selama 9 tahun Reformasi
berjalan, masih banyak ”PR” yang sampai saat ini belum
terselesaikan. Dari kasus Tragedi Semanggi I, II, kasus
HAM di Ambon, Aceh, sampai Kasus Korupsi yang semakin
merajarela dan malah menjadi dewa. Dalam Press Releasnya
tentang Indeks Presepsi Korupsi (IPK) tahun 2006 pada
Selasa 27 Maret 2007, TI-Indonesia menyebutkan bahwa masih
banyaknya tindakan korupsi yang dilakukan bukan saja
secara individual tapi malah dilakukan secara berjamaah
dan tidak dilakukan sembunyi-sembunyi (terang-terangan)

Salah satu contoh kasus yang sekarang masih hangat saat
ini didalam persidangan Tim Pemberantas Tindakan Korupsi
(Timtastipikor), yang mengusut penyaluran dana non
bugedter yang merugikan negara dengan terdakwa mantan
menteri perikanan dan kelautan (DKP) Rokhmin Dahuri
menjelaskan bahwa terdapat beberapa elemen yang menerima
dana tersebut. Diantaranya adalah Tim Sukses
Capres-Cawapres yang turut dalam pemilu 2004 yang lalu
yang dibuktikan dengan berkas yang berisi nama-nama
penerima dana tersebut.

Hal ini sebelumnya sudah dilaporkan oleh Indonesian
Corruption Watch (ICW), TI-Indonesia, dan Lembaga Studi
Pers dan Pembangunan (LSPP) dalam bentuk sebuah buku yang
diterbitkan setahun setelah Pemilu, dimana dalam pemilu
2004 tidak bebas politik uang!!. Namun sangat disayangkan
hal ini baru direspon pada tahun 2007.

Lemahnya peran KPU

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai ujung tombak dalam
menjaga ketaatan sistem administrasi para peserta pemilu,
justru tak berkutik berhadapan dengan parpol. Terbukti KPU
enggan menegur parpol yang membandel tidak konsisten dalam
penyampaian dana kampanynya.selain itu, KPU tidak memiliki
kapasitas memantau penggunaan dana kampanye baik asal
usulnya. Kalau saya bisa bilang bahwa, jangankan untuk
memantau tetek bengek dari yang kecil sampai yang besar,
didalam tubuh KPU sendiri melakukan yang namanya korupsi.
Korupsi dalam pengadaan barang dan jasa (PBJ) dalam tubuh
penyelenggaranya Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dimana akan
terjadi suatu pemilhan yang demokratis serta jurdil, kalau
panitianya (KPU) terlibat masalah Korupsi atau mark up
(penggelembungan dana). Dan yang paling ironis dalam kasus
ini melibatkan Ketua, wakil ketua dan pengurus yang
lainnya. Padahal mereka sudah diambil sumpahnya pada saat
pelantikan sebagai pengurus KPU, untuk bisa
menyelenggarakan pemilu yang demokratis, jujur dan adil
serta transparan.

Pemilu Bebas Politik Uang

Kalau kita melihat penyelenggaraan Pemilu 2004 masih
banyak kekurangan disana-sini seperti disebutkan diatas,
maka perlu adanya perbaikan yang dilakukan baik DPR
selaku pembuat Undang-undang, pemerintah, dan KPU sendiri.
Ada beberapa elemen yang bisa dilakukan. Pertama,
Perubahan Undang-undang (UU) Pemilu. Dimana dalam UU
pemilu nanti perlu dimasukan aturan yang mengatur dana
kampanye agar transparansi adan akuntabilitas –mulai dari
sumber dana, pengelolaan, penggunaan, sampai
pertangungjawabannya—karena dana yang sebagaian itu
berasal dari masyarakat umum dan pengusaha akan sangat
mempengaruhi kebijakan parpol atau pemerintah di masa
mendatang. Pada saat kampanye parpol menjual janji-janji,
ide-idenya. Ketika parpol itu menang, sehingga menguasai
legislatif dan eksekutif, akibatnya keputusan-keputusan
yang diambil tidak mencerminkan kepentingan masyarakat
umum tapi mencerminkan kepentingan penyumbang dana
kampenye mereka, tanpa melihat masyarakat yang akan
terkena dampak dari kebijakan itu.

Kedua, Pembenahan KPU. KPU yang dibentuk, merupakan
orang-orang yang memilki kapasitas jujur, adil serta
kompoten di bidang pengawasan sesuai amanat undang-undang.
Sehingga dalam melaksanakan pengawasannya bersikap lebih
tegas.

Ketiga, Pembersihan proses-proses rekrutman politik.
Pembersihan dalam proses rekrutman harus dilakukan baik
didalam internal partai maupun untuk posisi-posisi
legislatif dan eksekutif dari politik uang. Maka syarat
dalam rekrutman poliik haruslah berdasarkan indikator yang
jelas, berdasarkan kemampuan, dibuat dan dilakukan secara
transparan.

Dan keempat, Adanya kode etik DPR/DPRD yang jelas. Kode
etik ini diharapkan bisa mengawasi tingkah laku anggota
DPR yang bisa saja melakukan kecurangan-kecurangan
politik, atau mengatasnamakan rakyat untuk bisa mengambil
keuntungan atau hati rakyat.

Memang itu semua kembali kepada pribadi masing-masing.
Namun itu semua dapat terwujud atas keinginan dari semua
rakyat dalam menciptakan pemilu yang demokratis, jujur,
adil, dan transparansi. Jadi, akanlah Pemilu 2009 bebas politik
Uang ? kita tunggu saja. **

Penulis merupakan pengamat politik muda yang tinggal di
Tangerang.