Monday, October 8, 2007

Monday, October 1, 2007

Pendidikan Gratis Vs "Political Will"

Oleh SUPRIADI


Pembaca yang budiman, senang sekali bisa menyelesaikan
artikel yang berjudul "Pendidikan Gratis Vs "Political
Will"?" ini. penulis menyadari tulisan ini masih
banyak kekurangan, maka kritik dan saran sangat
diharapkan oleh penulis mengenai topik yang diangkat
ini.


PADA artikel kali ini penulis ingin menyampaikan apa
yang sering mengusik hati kecil ini.
Penulis sering menyatakan bahwa untuk menjadi sebuah
Negara yang "besar" kita tidak harus saling
menyalahkan dan menjatuhkan. Tapi kali ini penulis
kecewa dengan pemerintah. Penulis ingin menggugat
pemerintah untuk bertanggungjawab. Yaitu untuk
menyelenggarakan tidak hanya pendidikan yang
berkualitas tetapi juga pendidikan yang Gratis. Tidak
ada tawar menawar lagi. Pendidikan gratis untuk semua
golongan. Jangan katakan tidak! Karena kita mampu
melakukannya.

Di Jembrana Bali misalnya. Bupati Jemberan Bali adalah
Bupati pertama yang memberikan pendidikan dan
pelayanan gratis kepada semua lapisan mayarakat tanpa
mendiskiminasikan golongan tertentu. Andai semua
"penguasa" mempunyai "politcal will" yang sama.
(M.Nurdin: 2005)

Banyak kasus telah terjadi akibat mahalnya biasaya
sekolah. Dari anak putus sekolah, kemudian anak
menjadi pekerja di bawah umur, banyak
anak yang stress, bahkan banyak yang nekat bunuh diri.
Andang misalnya, Siswa SD garut nekat gantung diri
karena tidak mampu membayar uang ekstra kurikuler.
Sedangkan DI Tegal, seorang anak SD nekat mencoba
bunuh diri, dengan alasan menunggak SPP 9 bulan
(Pontianakpost Edisi: Kamis, 17 Mei 2007 ).

Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mendesak
pemerintah untuk segera mewujudkan pendidikan gratis
agar semua anak bisa bersekolah. Namun yang ada
hanyalah janji. Sekali lagi JANJI. Kapan akan ditepati
BUNG? Pembaca yang budiman, bukankah tugas utama
anak-anak seharusnya adalah belajar yang banyak,
karena posisi mereka sebagai generasi penerus.

Besarnya biaya pendidikan, yang berujung pada
ketidakmampuan pihak pembiaya (orang tua, wali maupun
anak sendiri) dalam membayar, mengharuskan anak putus
sekolah. Kasus seperti ini belakangan jumlah-nya terus
meningkat, menjadi fenomena di seluruh pelosok tanah
air.

Putus Sekolah Tidak Seharusnya Terjadi

Melihat kasus putus sekolah-nya anak anak usia sekolah
khususnya di Kalimantan Barat misalnya yang cukup
tinggi yaitu sebesar 2,5 persen merupakan sebuah
fenomena yang seharusnya tidak terjadi. (Warta Pemprov
- 08/07/2005). Sebagai Hak Asasi Manusia pendidikan
seharusnya menjadi kewajiban pemerintah, tidak soal
siapa yang menjadi Bupati, Gubernur ataupun Presiden,
jika itu tidak terjadi maka secara terbuka pemerintah
telah melanggar HAM, pemenuhan hak pendidikan tidak
hanya dalam penyediaan sarana pendidikan dan guru.
Kalau tidak mampu merealisasikn atau menepati janji
sebaiknya segera mundur dari kursi kepemiminan yang
sudah "reot" atau bagi yang mau mencalonkan diri
menjadi pemimpi terutama Gubernur, walikota, bupati
dan sebagainya sebaiknya jangan terlalu banyak
berjanji jika tidak mamu menepatinya nanti.

Dalam kasus seperti putus sekolah di Indonesia saat
ini, jalan keluar yang paling mungkin adalah
pendidikan anak harus gratis, pendidikan gratis di
dalamnya termasuk penyediaan segalah fasilitas

pendidikan seperti, alat tulis, sarana pendidikan
lainya, solusi ini akan menurunkan tingkat putus
sekolah karena alasan faktor eksternal, di harapkan ke
depan tidak ada lagi alasan bagi anak-anak untuk tidak
sekolah.

Masih juga segar diingatan kita sumua bagaimana SBY JK
berjanji di hadapan publik pemilihnya di masa kampanye
pemilihan presiden dan wakil presiden beberepa waktu
lalu. "Kami akan memberikan perhatian lebih kepada
dunia pendidikan. Semua pihak harus mencatat janji
kami dalam hati yang paling dalam". Kemudian beliau
(SBY) menegaskan mulai tahun 2005 pemerintah akan
membebaskan biaya pendidikan bagi anak-anak terutama
di tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah tingkat
pertama. (Kompas, 18 Juni 2005)

Mereka sudah berjanji berarti mereka harus menepati.
Nabi mengingatkan janji adalah hutang yang wajib di
bayar. Orang bijak bertutur "Ketika sudah berjanji
maka tidak ada kata lain kecuali harus ditepati.
Sekarang tidak henti-hentinya rakyat menagih janji.

Kalau tidak sekarang kapan lagi? Kalau tidak untuk
rakyat untuk siapa lagi? Pembaca yang budiman tentunya
kita semua sepakat jika masa depan kemajuan suatu
bangsa tergantung kepada bagaimana pendidikan saat ini
terhadap anak-anak bangsa. Oleh karena itu sudah
saatnya pemerintah mendengarkan hati nurani. Sudah
saatnya menggunakan "power" atau kekuasaan dan
"political will" nya untuk menepati janji yang yang
sudah di gembar-gemborkan
sebelumnya.

Semoga…

Supriadi adalalah Mahasiwa di departemen Sastra Inggris Unversitas Tangjungpura, Kalimantan Barat.