Tuesday, November 27, 2007

Carut Marut Kurikulum Pendidikan


Oleh MUFIDAH

KURIKULUM NASIONAL (Kurnas) menjadi acuan tunggal dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Kurikulum ini di pukul rata berlaku untuk semua lembaga pendidikan. Baik yang ada di pesisir pantai, di ujung gunung, pelosok pedesaan maupun yang berada di kota besar. Tapi satu pertanyaan,” akankah pola penyeragaman ini efektif?”

Dalam sejarah perkurikuluman di Indonesia. Dunia pendidikan kita telah ”melahirkan“ beberapa kurikulum. Pada masa orde lama, di kenal kurikulum 1947, 1952 dan 1964. Selanjutnya pada masa orde baru terdapat kurikulum 1975. Kemudian disempurnakan menjadi Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Kemudian disempurnakan lagi menjadi kurikulum 1994.

Pada era reformasi, muncul pula kurikulum 2004. Yang ini akrab disebut kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Dalam perkembanganya terjadi perubahan pada pola standar isi dan standar kompetensi. Inilah yang selanjutnya melahirkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP).

Jika melihat runtutan sejarah kurikulum diatas. Terlihat jelas bagaimana setiap periode kekuasaan politik selalu “menciptakan“ metode pendidikan masing-masing. Metode (kurikulum) ini memang sengaja diciptakan untuk mempertahankan dominasi kekuasaan (dari kelompok politik yang berkuasa tentunya). Inilah yang belakangan dikenal sebagai alat haegomoni.

Peran penguasa begitu dominan dalam menentukan arah pendidikan. Contohnya adalah kebijakan pemberlakuan Ujian Akhir Nasional (UAN) sebagai satu-satunya standar kelulusan. Mekanisme UAN ini kerap diprotes karena sangat diskrimintif. Pelbagai artikel ramai mengulas tentang itu. Tapi UAN sepertinya tidak tergoyahkan untuk terus diberlakukan.

Desentralisasi vs Sentralisasi

Pasca reformasi 1998, kata sentralisasi tiba-tiba menjadi sangat “buruk” terdengar ditelinga siapapun. Istilah itu menjadi sederajat buruknya dengan kata komunis pasca 1965. Sebagai gantinya muncul jargon baru yang dikenal sebagai desentralisasi. Istilah ini semakin mengencang gaungnya, seiring pemberlakukan otonomi daerah di Indonesia.

Tidak hanya sektor politik praktis yang tersapu gelombang otonomi. Dunia pendidikan pun tidak mau ketinggalan “mengadopsi“ desentralisasi dalam kehidupannya. Akhirnya munculah istilah KTSP atau kurikulum tingkat satuan pendidikan.

Pemberlakuan KTSP di nilai berbagi pihak cukup membawa angin pada sistem pendidikan di Indonesia. Secara prinsip, KTSP dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi, kerakteristik daerah dan sosial budaya masyarakat setempat. KTSP dianggap sebagai kurikulum otonom yang berbasis kerakyatan. Karena didalamnya dijamin adanya muatan kearifan lokal. Dan yang terpenting, guru diberikan kesempatan untuk memaksimalkan segala potensi yang ada dimasing-masing daerah.

Itulah yang membuat KTSP dianggap paling cocok untuk Indonesia. Menggingat keberagaman budaya yang membentang dari ujung Sumatera sampai Papua. Dengan KTSP segala kekayaan itu dapat diadopsi sebagai material teaching (bahan pengajaran). Ini tentunya akan membawa nilai tambah dalam khazanah pendidikan Indonesia.

Jika KTSP cukup ideal dalam konsep tertulis. Namun tidak demikian dalam aplikasinya. Terdapat banyak paradoks yang menghinggapi KTSP. Meskipun KTSP disusun oleh setiap satuan pendidikan. Namun standar isi dan kompetensinya tetap saja ditentukan oleh pusat. Sehingga KTSP yang dianggap mewakili desentralisasi, pada kenyataannya tetap sentralisme melalui penyeragaman-penyeragaman.

Selain itu pula, standarnisasi kelulusan setiap peserta didik tetap diukur dengan menggunakan UAN yang nota bene bersifat nasional. Ini jelas kontradiktif dengan semangat KTSP yang mengakomodir kearifan lokal sebagai komponen penting pendidikan.

Pada titik ini, keberagaman yang diakui sebagai kekayaan budaya Indonesia, diabaikan begitu saja.

Padahal, bagaimanapun, perbedaan sosial, budaya dan letak geografis sangatlah mempengaruhi penerimaan akses dan kesempatan. Sangatl tidak adil, tentunya, mengevaluasi peserta didik dengan cara yang sama. Padahal peserta didik itu pada dasarnya mempunyai latar belakang dan kesempatan yang jauh berbeda. Tidaklah etis secara serta merta menyamakan kualitas pendidikan di desa dengan perkotaan. Ini jelas tidak fair.

Bisa dipastikan KTSP yang desentralis, akan mati kutu jika berhadapan dengan UAN yang sangat sentralistik.

Global vs Lokal

Melestarikan kearifan lokal, tidak bisa dipungkiri merupakan suatu keharusan. Namun memiliki pengetahuan dan teknologi yang bersifat global juga mutlak diperlukan. Kalau tidak mau negara ini dianggap ketinggalan zaman.

Jadi, lembaga pendidikan seperti sekolah, selain dituntut menyajikan materi yang sifatnya lokal. Disini lain juga dituntut untuk juga menyajikan materi pengetahuan global. Keduanya seperti dua kaki yang harus berdiri sama tinggi, jika tidak maka akan timpang. Dari sinilah kemudian populer jargon :‘Think Globally act locally’.

Sejurus dengan jargon itu, lembaga pendidikan kemudian berlomba-lomba meningkatkan mutunya. Bahkan ada yang membuka kelas dengan taraf internasional. Dan tentun pula peserta didiknya dipaksa untuk bertaraf “internasional“.

Tapi sekolah semacam SBI (sekolah bertaraf internasional) pastilah memerlukan biaya yang besar. Dan ini berimbas pada semakin menjauhkan akses. Akhirnya sekolah-sekolah semacam ini hanya untuk anak-anak “gedongan“. Ujung-ujungnya kembali lagi, ketimpangan antara si miskin dan si kaya yang terjadi.

Ironisnya logika itu pula yang dianut pemerintah. Dunia pendidikanpun digenjot untuk menghasilkan lulusan yang kemampuannya sejajar dengan dunia belahan lain. Melaluin UAN, peserta didik didorong mempunyai kemampuan untuk menghadapi tantangan global.

Sayangnya pemerintah seperti orang mabuk yang sedang marah. Main hantam kromo saja tanpa melihat realitas. Usaha pemerintah menggejot mutu lulusan tidak dibarengin dengan pemberian akses yang berimbang. Si miskin hanya dipaksa untuk cerdas tanpa diberikan suplemen-suplemen lain yang secara gampang bisa diakses oleh sikaya. Belum lagi tantangan untuk melestaraikan budaya dan kearifan local. Sering berlawanan dengan watak developmentalis yang dianut dunia global. Pendidikanpun terjebak pada lingkaran paradoks.

Pemerintah juga terkesan setengah-setengah dalam melaksanakan program. Bukan sekali pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tumpang tindih. Toh, ujung-ujungnya warga miskinlah yang menjadi korban.

Carut marut kurikulum ini harus mendapat perhatian serius. Bagaimana pun lembaga pendidikan bukan hanya membekali peserta didik dengan kemampuan kognitif saja. Tapi juga kemampuan afektif. Karena itu pendidikan harus membuat manusia semakin menjadi manusia. Pendidikan yang tidak tidak seperti itu, tidaklah pantas disebut pendidikan. Tapi lebih tepatnya disebut : pembodohan.***

Mufid, menyelesaikan pendidikannya di bidang Psikologi dari IAIN Blitar. Saat ini sedang bekerja sebagai guru SLTA. Waktu sisanya dihabiskan sebagai sukarelawan untuk Sitas Desa, sebuah lembaga perjuangan petani di Blitar, Jawa Timur.

Ironi Reformasi Kita

Oleh MUFIDAH

SEMBILAN tahun sudah reformasi telah berjalan. Reformasi yang menawarkan kebebasan pendapat dan berpolitik. Reformasi yang konon membawa angin segar bagi rakyat Indonesia.

Namun, disisi lain, kebebasan berpendapat dan berpolitik ternyata membawa ironi . Kebebasan hanya dinikmati oleh para akademisi dan para elit politik. Pada level akar rumput, kebebasan itu dirasa tidak membawa kabar baik dan menentramkan.

Warga merasa tidak butuh kebebasan berpendapat. Jika jaminan akses dan peningkatan taraf perekonomian, masih sebatas omongan dan khayalan. Bagaimanapun, rakyat butuh kepastian ekonomi.

Mengutip artikel Malik Ruslan di harian Kompas bertajuk Gatra Ekonomi Pembangunan Demokrasi. Malik menuliskan bahwa ternyata reformasi yang didesakkan pada masyarakat, terjebak pada kebutuhan untuk menghembuskan kebebasan politik (logika politik). Padahal dalam kondisi perekonomian yang timpang, rakyat lebih mementingkan kesejahteraan dan keamanan ekonomi (logika ekonomi)

Kenyataan ini membuat saya teringat pada kuliah Psikologi Kepribadian yang pernah saya kecap di bangku kuliah. Dalam kuliah itu dibahas teori Motivasi Abraham Maslow, seorang humanis pertama pada aliran psikologi barat. Teori Maslow menyebutkan bahwa setiap manusia mempunyai hirarki need, dimana need terbawah memotivasi seseorang untuk mencapai need selanjutnya.

Hirarki need tersebut dibagi dua yaitu basic need dan metaneed. Basic need meliputi : (1) physiological need, meliputi kebutuhan untuk makan, minum dan sex. Need pertama ini berhubungan dengan kebutuhan homoistatis manusia. (2) safety need, meliputi kebutuhan akan jaminan keamanan, perlindungan dan kebebasan dari rasa takut seperti kepemilikan rumah. (3) love/belongingness need, meliputi kebutuhan untuk mencintai, dicintai dan menjalin hubungan dengan orang lain. (4) self esteem need, meliputi kebutuhan untuk dihargai, diapresiasi dan diterima oleh orang lain.

Sedangkan metaneed yaitu self actualization need, meliputi kebutuhan untuk menyalurkan bakat dan keinginan secara maksimal sehingga seseorang dapat mecapai puncak potensinya (peek experience).

Jika mencoba melihat apa yang terjadi di Indonesia dengan teori Maslow. Saya menganalisi bahwa sekitar 39,05 juta atau sekitar 17,97 % (pada Maret 2006) rakyat Indonesia berada pada garis kemiskinan. Sejurus dengan itu terjadi peningkatan jumlah daerah tertinggal yang mencapai 32.379 dari total 70,611 desa di Indonesia.

Angka-angka itu bisa menjadi ukuran (parameter). Basic need warga yang meliputi kebutuhan makan, minum, hunian, keamanan dan keselamatan mereka belum terpenuhi. Angka-angka itu pula bisa menjadi acuan besaran warga yang tidak mempunyai akses terhadap pelayanan yang memadai.

Salah satu contoh yang bisa dilihat secar kasat mata adalah petani. Setiap saat harus mengerut kening karena antara biaya produksi dan hasil tidak seimbang. Pedagang di pasar harus terima saja kalau dipungli atas nama “keamanan“. Atau bagaimana raut pedagang kali lima (PKL) yang ketakutan setiap kali Polisi Pamong Praja mengusur mereka. Bukan pemandangan aneh jika mereka kerap kucing-kucingan.

Ini bukan film india yang dipenuhi kisah tragis. Inil adalah kisah nyata di depan mata. Warga negara yang tergusur di negeri sendiri. PKL diusir dengan alasan keindahan kota. Petanipun ditembaki dari lahannya demi industrialisasi.

Lalu dimana kebebasan yang dihembuskan reformasi itu? Kapan rakyat bisa tenang tanpa harus bingung memikirkan,“ mau makan apa kami besok?“ Siapa pula yang menikmati “kebebasan“ itu.

Saya harus menuliskannya dengan gamblang. Mereka yang terpenuhi basic need, baik physiological,safety,love need lah yang menikmati itu semua. Karena mereka lebih mempunyai waktu untuk memikirkan hal lain. Mereka tidak perlu memikirkan bagaimana memenuhi kebutuhan dasar mereka. Sebut saja politikus atau akademisi. Mereka tidak lagi berpikir apa yang harus dimakan, dimana harus tidur . Merekapun bisa membayar orang untuk siaga 24 jam menjaga dari segala gangguan.

Kini kerap terdengar anekdot yang mengatakan SBY bukannya kepanjangan dari "Susilo Bambang Yudoyono" tetapi "Susilo Bambang Nyudonyowo" (mengurangi nyawa). Mengingat semenjak SBY berkuasa, berbagai bencana silih berganti menderea. Tak hanya becana alam, bencana sosialpun terjadi

Rakyatpun tiba-tiba rindu dengan pemerintahan Soeharto. Kerinduan itu bukan tanpa alasan. Kestabilan perekonomian di masa itu sulit ditukar dengan kebebasan politik saat ini. Senada dengan itu, Malik menulis kembali,“... bahwa mendesakkan reformasi pada rakyat yang papa, akan menimbulkan keragu-raguan rakyat pada reformasi dan demokrasi. Pemulihan stabilitas ekonomi merupakan jalan untuk menegakkan reformasi di Indonesia karena demokrasi sejati hanya lahir pada kondisi perekonomian yang stabil.“

PR besar bagi SBY-Kalla bahwa reformasi tanpa perbaikan sistem perekonomian yang memihak rakyat. Hanya akan menyisakan penderitaan rakyat. Kini tantangn besar ada dipundak Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif untuk melakukan itu.

Tapi kita tidak boleh hanya menunggu dan menyerahkan urusan itu mentah-mentah kepada negara. Kita punya turut berpartisipasi mendidik rakyat dengann pendidikan politik. Warga harus dicerahkan pemikirannya untuk memperjuangkan hak-haknya

Pendidikan politik akan mentrasformasikan kesadaran rakyat dalam memahami reformasi dan demokrasi. Sehingga demokrasi di negara ini tidak milik segelintir orang (oligarki). Negara ini punya ku, punya mu dan punya kita semua. ***

Mufid, menyelesaikan pendidikannya di bidang Psikologi dari IAIN Blitar. Saat ini sedang bekerja sebagai guru SLTA. Waktu sisanya dihabiskan sebagai sukarelawan untuk Sitas Desa, sebuah lembaga perjuangan petani di Blitar, Jawa Timur.

Wednesday, November 7, 2007

KEMERDEKAAN

Oleh THOMAS PRASASTI

Kemerdekaan, sebagai Modal Awal

KEMERDEKAAN, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti terbebas dari perhambaan dan penjajahan bangsa lain. Dalam Undang Undang Dasar negara kita tertulis bahwa kemerdekaan sebagai pintu gerbang bagi kehidupan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur, dan negara Indonesia berkewajiban untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia
melalui susunan negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat berdasarkan
Pancasila.

Membangun Manusianya dan Kondisi Sekarang

Untuk mencapai visi bangsa dalam Pembukaan UUD tadi, menjadi misi
pemerintah untuk menjabarkannya ke dalam perencanaan jangka panjang,
jangka menengah dan jangka pendek dengan target dan indikator yang
jelas. Rencana pembangunan berkelanjutan tadi harus menempatkan
manusia, yakni seluruh warga negara Indonesia, tanpa membedakan suku,
ras, agama, serta embel-embel lainya, sebagai subjek sekaligus objek
pembangunan, dengan membangun manusianya.

Melihat kondisi bangsa kita saat ini, dimana masalah kemiskinan,
ketahanan pangan -- ketersediaan pangan yang sehat dan terjangkau,
kebodohan -- kualitas pendidikan pembentuk SDM, korupsi yang
terstruktur , terorisme dan tindak kejahatan, penanganan bencana alam,
wabah penyakit, pengangguran, perdagangan manusia, pelanggaran HAM,
menjadi parameter yang jelas bahwa pemerintah masih gagal mewujudkan
misi yang diembannya.
Strategi Yang digunakan

Pemerintah sebagai pengelola negara mesti mampu mempertimbangkan
kelebihan, kekurangan yang dimiliki oleh bangsa, dalam membuat
strategi guna menangkap sebanyak mungkin peluang yang ada, sekaligus
membuat strategi alternatif yang jitu bila berjumpa dengan
kendala-kendala. Menurut Gunnar Mirdal, suatu desain yang
berkelanjutan, memiliki keempat unsur yang berurutan sebagai kerangka
yang tidak bisa dibantah, yaitu harus relevan (saling terkait,
dirasakan langsung), kemudian signifikan (penting dilakukan), lalu
harus logis (masuk akal), dan terakhir harus realistis (wajar).
Langkah Konkrit

Kondisi yang dihadapi pusat maupun daerah sangat berat, sehingga
dibutuhkan tim yang solid dan berkualitas dengan pemimpin yang
berkarakter kuat, memiliki visi jelas, inovatif, integritas tinggi,
mampu mengambil keputusan yang tepat secara cepat. Yang mendesak
untuk dilakukan pemimpin negara dan daerah, yang pertama, melakukan
perombakan mendasar terhadap sistem birokrasi yang lamban, kurang
bermutu, korup, serta bermental feodal menjadi birokrasi yang efektif,
efisien, ekonomis dan memiliki mental melayani. Langkah awal yang bisa
memaksa pembenahan birokrasi, misalnya mengeluarkan aturan tentang
sistim penggajian pegawai yang salah satunya didasarkan atas kualitas
hasil kerja, serta menerapkan reward and punishment dengan kriteria
yang jelas. Kedua, Pengelolaan setiap anggaran, sejak perencanaan,
pelaksanaan hingga evaluasi juga harus dilaksanakan secara
partisipatif, transparan, berasaskan keadilan, akuntabel, efektif,
efisien & ekonomis, rasionalitas sebagaimana diatur dalam pasal 3 UU
17 tahun 2003. Untuk memberantas korupsi, seluruh birokrat dan
pegawai diwajibkan menandatangani kontrak berisi kesediaan dicopot
jabatannya jika terlibat korupsi, kemudian diberi sangsi hukuman
seumur hidup dan dianugerahi gelar kanibal pemakan sesama. Ketiga,
penegakan hukum, agar hukum menjadi hamba kebenaran, seluruh aparat
penegak hukum juga diwajibkan menandatangani kontrak berisi kesediaan
dicopot jabatannya jika terlibat mafia peradilan, diberi sanksi
hukuman seumur hidup dan diberi gelar sebagai penjahat bangsa.
Keempat, bagaimana mengurangi angka kemiskinan, merubah paradigma
developmentalisme dengan sekali lagi menjadikan manusia sebagai subjek
pembangunan. Pemerintah harus mampu menghilangkan ketimpangan Jakarta
– Irian barat, bagaimana nelayan atau petani di daerah tertinggal bisa
mencontoh temen-temannya di lereng merbabu (sudah punya website
sendiri).

Bagi rakyat awam yang tidak memiliki posisi dan jabatan, tugas mengisi
kemerdekaan dapat dilakukan melalui Lembaga Swadaya Masyarakat, untuk
bersama-sama pemerintah melakukan penguatan pada masyarakat yang
miskin, bodoh dan terpinggirkan. Bila menemui penyimpangan,
ketidakbenaran, kaum muda harus berani meluruskan, sebagaimana dulu
dipesankan Soe Hok Gie: kini mereka telah menghianati perjuangannya
sendiri, kita generasi muda ditugaskan untuk memberantas generasi tua
yang mengacau. Melakukan sesuatu yang sederhana, semacam tidak makan
gaji (upah) buta, membayar pajak, tertib berlalu-lintas, tidak
membuang sampah sembarangan juga merupakan hal tak kalah luhur
dibanding hal-hal bersifat patriotik.

Terakhir, saya ingat satu nasehat bijak, nasibmu kumpulan dari
tindakanmu, dan itu hanya dua, buruk dan bahagia. Ayo bertindak ...
Merdeka !

Thomas Prasasti, laki-laki gondrong ini aktif disebuah NGO local di Lampung.