Wednesday, October 29, 2008

PDI Perjuangan dan Peringatan Hari Sumpah Pemuda


Oleh DIAN PURBA

BUNDA itu tersenyum lebar. Tangan kanan diangkat sejajar dengan ubun-ubun. Berdiri di depan foto Sang Bapak. Hari ini tanggal 28 oktober 2008. Sumpah Pemuda.

PDI Perjuangan, juga, merayakannya. Mereka menjatuhkan pilihan kepada Harian Kompas. Promosi. Kampanye. Atau apalah namanya. Tidak tanggung-tanggung. Dua halaman penuh ples setengah halaman yang sengaja dipotong dari atas ke bawah. Didominasi warna merah dan hitam. Warna yang terlalu sering “didewakan” sebagai warna perjuangan, perlawanan, dan segala macamnya.

Halaman pertama cukup membuat pembaca terkesima. SUMPAH PEMUDA 28 OKTOBER 1928. Angka 28 sengaja dibuat istimewa. Cetak tebal, warna hitam tebal, ukuran huruf berbanding jauh besarnya dengan huruf sebelumnya, dan pinggir huruf warna putih.

Di bawahnya:

PERTAMA

Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah air Indonesia.

KEDUA

Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.

KETIGA

Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

Ada yang menarik di sini. Sumpah Pemuda poin ketiga yang oleh Orde Baru diubah teksnya: mengaku berbahasa satu bahasa Indonesia, tidak latah diikuti.

Halaman kedua, sama, menggiurkan.

Sumpah Pemuda 28 Oktober lahir karena semangat Nasionalisme. Nasionalisme melahirkan PDI Perjuangan No. 28.

Menggiurkan karena orang tergiur untuk bertanya lebih lanjut. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928: betul. Nomor urut PDI Perjuangan nomor 28 karena nasionalisme: ???

Mari kita sebut ini sebuah keberuntungan, atau sebuah kebetulan. Setelah semua partai peserta pemilu terdaftar dan lolos verifikasi, nomor urut pun dikocok. PDI Perjuangan sungguh berbangga bisa dapat nomor itu. Nomor yang di hari ini mendapatkan jodoh yang teramat pas.

Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 tidak bisa dipisahkan dari konteks: Indonesia negeri terjajah/dijajah (kolonialisme) dan bibit untuk memerdekakan diri dimulai dari kesadaran pemuda. Pemuda, saat itu, sadar betul si mata biru harus cepat-cepat hengkang dari negeri yang sudah terlalu lama dipijak-pijak harga dirinya. Mereka berkumpul dari berbagai daerah. Terkumpul dari berbagai organisasi: Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes, Jong Minahasa, Sekar Roekoen, dan Jong Bataks Bond. Mereka berkongres dan bersepakat: Indonesia harus merdeka. Titik. Mari kita namai ini Revolusi Pemuda.

Apakah semangat ini yang coba disamapaikan lewat iklan politik tersebut?

Halaman terakhir halaman penuh klise. Klise dari penampilan. Klise dari isi. Tidak ada yang istimewa. Basi. Monoton. SBY dengan Partai Demokratnya juga sudah melakukan hal yang sama.

Belakangan kita digempur iklan tokoh-tokoh yang gemar mengutip pendapat orang. “Hidup adalah perbuatan,” “Indonesia adalah satu kesatuan administratif,” bla-bla-bla... Mereka rupanya buta akan analisa kekinian akan kesadaran anak-anak bangsa. Mereka tidak tahu di jaman mana mereka hidup. Mereka tidak menyadari rakyat lebih memilih tindakan dari ucapan. Rakyat lebih memilih pemimpin teruji dari pemimpin omong kosong.

Megawati Soekarno Putri. Putri bapaknya yang tidak akan pernah bisa mengikuti jejak Sang Bapak. Putri yang teramat percaya diri mencalonkan diri untuk memimpin bangsa ini kembali. Semua komentar peserta iklan tersebut memuji dan mendamba kepemimpinan Sang Ibu. Inilah bahayanya sebuah iklan.

Iklan kita pahami, atau iklan lajimnya, selalu bertolak belakang dengan kenyataan. Iklan shampo, misalnya. Hampir tidak ada produsen shampo mengatakan produk mereka nomor dua. Selalu nomor satu. Ada puluhan merek shampo di negeri ini. Apa mungkin semuanya di peringkat pertama?

Calon pemimpin yang ingin memimpin dan menggunakan iklan mempromosikan diri harus diwaspadai. Kita perlu mawas diri. Karena setelah dia terpilih dia akan menerapkan “manajemen iklan”. Mengiklankan segala sesuatunya dan menganggap segala sesuatunya itu sebagai iklan. Rakyat perutnya besar, busung lapar: iklan. Rakyat tidak dapat pekerjaan: iklan. Rakyat sakit-sakitan: iklan. Negeri ini dijarah orang: iklan. Semua jadi iklan, iklan, dan iklan.

Apa yang terjadi seandainya PDI Perjuangan mendapat nomor urut 17, misalnya? Atau 25?

Dian Purba, mahasiswa semester akhir di fakultas sastra Universitas Methodist Indonesia (UMI).

Eddy Sartimin: Pelaku Sejarah yang Berujar*


Oleh DIAN PURBA

Anak cucu biologi hilang bersama munculnya anak-anak dan cucu ideologi. Inilah yang menjadikan aku tambah gairah dalam gerakan kiri. Eddy Sartimin

SATU lagi saksi sekaligus pelaku sejarah berujar. Siksaan, stigmatisasi, dan semua perlakuan tidak adil dari bangsa yang mereka perjuangkan, diceritakan di tulisan ini. Sejarah mononaratif Orde Baru dijejali lewat buku-buku sejarah, penataran-penataran, dan segala bentuk indoktrinasi yang lain: harus diganti. Diganti dengan sejarah multinaratif. Eddy Sartimin sudah mau berbagi. Berbagi ke generasi yang hampir kehilangan jejak dengan sejarah bangsanya sendiri. Tongkat estafet pemahaman sejarah yang benar harus berpindah tangan. Inilah tugas besar bangsa ini, terkusus pemuda: menggali dan mencatat sejarah yang sudah terlau lama dibengkokkan.


Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sebenarnya apa yang saya alami selama ditahan sejak dari tanggal 19 September 1967 hingga dibebaskan pada tanggal 20 Juli 1978 dan dinyatakan Bebas Murni (Gol B) dan KTP/ET/OT tidak bersih lingkungan (anak keturunan), dan dianggap oleh rezim Orde Baru Soeharto sebagai warga negara terendah.

Untuk itu saya:
Nam : Eddy Sartimin
Tempat/tanggal lahir :
Medan, 22 Agustus 1936
Umur : 71 tahun
Pangkat terakhir : Koptu NRP 330001
Kesatuan : Denma Koanda Sum/Kalbar Pembantu Perbekalan

Pekerjaan sekarang tukang foto amatiran. Beralamat sekarang Jalan Kejaksaan Nomor 6 Medan. Menyatakan dengan sesungguh-sungguhnya kejadian yang telah saya alami selama masa tahanan. Ada pun kronologis peristiwa tersebut adalah sebagai berikut.

Kronologis

Menjelang dua tahun rezim otoriter meliteristik Soeharto, Orde Baru, dan Golkar berkuasa di republik ini, negara melalui sekrining/pembersihan terhadap oknum yang ada kaitannya dengan PKI cs dalam tubuh aparatnya TNI, Polisi, PNS. Mulai September 1967 diadakan operasi secara kontinu (bertahap) ke setiap kesatuan di seluruh wilayah NKRI.

Hampir setiap hari ada saja yang diambil oleh SatGas Intel setiap apel pagi. Pada ja, 19.30 WIB datang empat orang dari SatGas Intel yaitu Serma Ukur Gintings, Koptu Permadi, Koptu Tabroni, Kopda Domeri bertamu ke rumah/barak mengajak aku untuk menjumpai DAN YON Para Sum 100. Aku sebagai Pasukan Khusus sudah menjadi tradisi sewaktu diperlukan kembali ke induk pasukan. Sedikit pun tak merasa curiga, aku dibawa mereka ke Jl. M Yamin, SH persimpangan JL. Durian. Setelah turun aku langsung ditodongkan empat pucuk senjata, dipaksa menghadap Kapt M. Mawardi selaku Perwira SatGas Intel. Belum selesai aku menghadap untuk melapor, pukulan popor senjata bertubi-tubi menyerang. Aku coba melawan namun beberapa pukulan mengenai kepalaku dan aku jatuh terkulai. Setelah sadar kulihat banyak teman sesame kesatuan YON PARA dalam keadaan loyo dan babak belur tanpa pakaian (bugil). Kedua tanggannya diikat selama tiga hari tiga malam tanpa diberi makan dan minum. Hanya diberikan air leding. Luka-luka yang diderita selama di tahanan hanya diberi air ludah basi.

Kami sebanyak 79 orang terdiri dari Bintara, Tamtama. Seorang teman Kopda Legiman nekat gantung diri karena tak tahan disiksa. Seorang Kopda Sujimanto yang paling kecil di antara kami dipress oleh empat oknum SatGas hingga keluar tai mudanya. Selama 40 hari kami disekap selama 3x24 jam. Harus telanjang bulat. Ini menjadikan mental kami trauma. Bagi yang pernah mengalaminya selama bertahun-tahun. Sepuluh orang di antaranya bebas dan kembali bertugas dengan syarat tidak boleh menceritakan apa yang pernah dialaminya. Dan yang 68 orang diserahkan ke Laksusda Jl. Gandhi. Selama tiga bulan disekap dalam kamar gelap bercampur baur dengan warga sipil.

Aku mendengar setiap saat jeritan rintihan dari Tapol karena siksaan dari juru periksa. Aku menyaksikan pula dua orang Tapol TNI AD, yaitu Lettu Inf Mansyur Ismael dari G I Koanda Sum/Kalbar dan Kapt Trauli Gintings, Wa Dan YON Inf 123 ditempatkan dalam WC yang tumpat dengan alas dua kursi dan sebelah tangannya digari. Dibuka sewaktu mandi dan makan. Kami makan sekali sehari dengan dua ons nasi jagung grontolan, sayur kangkung tanpa garam selama 11 tahun. Banyak teman yang busung lapar dan meninggal dunia. Kesengsaraan bertambah. Istri yang semula setia akhirnya banyak yang minta cerai atau pun lari entah ke mana. Dalam pemeriksaan Laksusda, aku dinyatakan aidak punya Golongan X. Semestinya sudah bebas dan kembali bertugas di kesatuan semula pada tahun 1972 bersama Golongan C. Namun karena ada sedikit perselisihan sama istriku yang sudah tersesat, akhirnya aku dikhianatinya dengan menceritakan perihal orang tuanya Sarbupri wajib lapor dan saudaraku ada yang diganyang massa sebagai orang PKI.

Itulah yang menjadikan aku kembali ditahan menjadi 11 tahun lamanya tanpa diperiksa ulang kebebasan. Di TPU/A Sukamulia tujuh tahun. Sejak 1967 sampai 1970 dikurung siang malam dalam krangkeng persis binatang buas. Bukan tahanan saja yang diperlakukan semena-mena. Termasuk juga bagi keluarga yang mengirim mendapat perlakuan tak senonoh. Bila ingin berjumpa harus bayar ongkos becak tiga trip. Tapol diambil dari TPU/A Sukamulia dibawa ke Laksusda Jl. Gandhi. Dalam keadaan tangan digari, perjumpaan hanya setengah jam lalu dikembalikan ke TPU. Selain itu pengawalnua minta dibelikan rokok yang mahal. Bagi keluarga yang masih muda dan berparas cantik menjadi sasaran pelampiasan nafsu secara halus atau pun intimidasi.

Pada tanggal 16 Agustus 1972 serombongan besar tahanan ABRI/sipil diangkat ke TPU/C Tanjung Kassau Asahan (kini Batu Bara). Kami dijual sebagai pekerja paksa untuk Proyek Korem. Sebagian di perkebunan Deli Muda untuk menanam jagung tanpa dibayar kecuali diberi jatah target 100 gawang. Banyak di antaranya yang tak bisa, termasuk aku. Rasa putus asa kami nekad membakar areal yang baru ditanami pohon karet muda kurang lebih 40Ha. Yang berakibat hangus dan matinya selang dua hari sejak kebakaran tersebut. Pengawas yang kejam dan arogan itu dipecat dari perkebunan tersebut.

Kembali ke kesatuan semula dari POM Binjai bernama Kopti Rusli diganti oleh POM DAM I BB Serma Siagian yang seangkatan dan pernah di kesatuan Yonif B. Satu bulan kemudian, Tapol ABRI ditarik dari seluruh proyek dan kembali ke TPU/C Tanjung Kassau. Walaupun kami masih dalam tahanan, ada kelonggaran dalam pengawasan bagi yang berkeluarga. Diperbolehkan bertamu nginap dengan bayar Rp 1000. Bagi yang mampu dapat berhari-hari asalkan setoran lancar. Bahkan bisa cuti pulang ke rumah.

Di sini nasib kami mulai jauh berubah. Aku punya kegiatan usaha kerajinan tangan dari tempurung kelapa. Sudah tidak payah lagi nasi catu. Jagung jarang dimakan. Malahan ada kawan yang beternak ayam dan itik. Bagi kaum Gerwani ada yang jualan nasi dan kedai kopi selama empat tahun di TPU/C Tanjung Kassau.

Berangsur-angsur kami dibebaskan sebagai Tapol tetapi stigma PKI masih tetap melekat dengan KTP ET/OT, tidak bersih lingkungan bagi anak keturunan untuk nikah dan bekerja sebagai TNI, POLRI, PNS, BUMN, bahkan di perusahaan swasta yang dibeking ABRI/TNI AD.

Trauma paranoid selalu menghantui mantan Tapol. Sebagian besar dari keluarganya termasuk saudara-saudariku sendiri, anak cucu sampai saat ini pun belum mau mengakui bapak dan kakeknya dengan dalih karena aku ditahan. Lalu mereka jadi turut sengsara. Tidak boleh nikah dengan ABRI. Tak mampu melanjutkan sekolah. Apa daya, sedikit pun tak menyangka akan mendapat perlakuan yang demikian dari sanak keluarga yang menyayangiku. Satu-satunya ibuku yang begitu percaya dan berkeyakinan seluruh masalah ini ulahnya Soeharto yang berambisi kekuasaan. Sayangnya ibuku meniggal karena sakit setelah keluarnya aku dari tahanan sejak itu.

Semua sinis dan dan bencinya sanak keluarga maupun terang-terangan, termasuk ayahku yang takut dikucilkan dari pergailan masyarakat di mana kami tinggal.

Kuputuskan tekad untuk secepatnya aku pergi menjauhi mereka dan tidak akan kembali kecuali berubah situasi keadaan dengan berbagai cara. Akhirnya aku merantau ke Riau. Bekerja sebagai centeng warung remang-remang selama tiga tahun pada seorang kawan semasa di Raiders. Setelah dapat KTP Riau aku pindah ke Manggala Johson Dusun Arang-arang Bencah Seribu. Aku bekerja sebagai buruh bongkar muat balok/loging serta tarik ongkang persis kerbau tarik luku. Babat hutan untuk perkebunan sawit. Pernah hampir ketimpa pohon lapuk yang tumbang di luar perhitungan karena getaran senso (chainsaw) ranting mengenai pelipis sebelah kiri hingga cacat sampai kini. Naik sepeda jatuh, masuk jurang dalamnya kira-kira 10 meter.

Di Jambi selama empat tahun. Tanggal 2 Januari 1992 disengat lebah madu seluruh badan. Empat jam baru dapat pertolongan kesehatan. Pertolongan pertama aku makan mesiu korek api sebanyak 20 batang. Ini pengalaman aku dapat dari tahanan kriminal. Tanggal 20 Juli 1977 aku pulang karena dapat surat dari anakku Susy yang telah menikah dan punya dua orang anak. Aku seorang bapak juga seorang kakek terpanggil untuk pulang dengan harapan hidup tenteram karena masih ada yang peduli padaku.

Tetapi hanya beberapa bulan saja aku bersama mereka. Ternyata anakku benci dengan orang-orang PKI, apalagi bila aku bertamu ke tetangga yang pernah jadi wajib lapor/walap. Kami sering bertengkar. Aku berusaha menasehatinya. Ia mau mengurusi aku tetapi dengan syarat tak boleh bergaul dengan eks PKI cs, termasuk pamannya sendiri.

Aku memang yang punya darah pemarah menyimpulkan apa yang kulakukan benar. Pada akhirnya ia mengusirku dengan kata-kata, “Ini rumahku. Pergilah dari sini.” Sejak itu aku meninggalkan rumah anakku. Aku berpesan sampai kapan pun tak dapat kumaafkan. Ia lebih suka jadi anak durhaka dan cucuku lebih baik jadi jahanam. Mau ngaku bila ada uang Rp 1.000.000. Ini kurasa sudah keterlaluan sekali. Tindasan bukan saja dari rejim otoriter. Anak cucu sendiri pun berbuat serupa. Justru itu aku pergi dari rumah dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain hingga kini.

Aku mulai bergabung dengan aktivis PRD dan NGO. Turut menjadi pelopor mendirikan PAKORBA YPKD 65/66 bidang advokasi TNI AD. Rasa sedih dan traumaku secara bertahap hilang. Aku yang lampau bukanlah aku sekarang dan masa mendatang. Anak dan cucu biologi hilang bersama munculnya anak-anak dan cucu ideologi. Inilah yang menjadikan aku tambah gairah dalam gerakan kiri. Aku tetap tampil di Sumatera Utara ini. Aku satu-satunya mantan Tapol TNI AD yang mau turut jadi aktivis prodem. Pernah mendapat penghargaan sebagai pejuang rakyat 10 besar dari 14 NGO dan organ dihadiri 2000 massa tepat pada hari HAM sedunia tanggal 10 Desember 2005 di Medan.

Mantan Tapol G 30 S 65 menyampaikan statement ke DPRD Sumut. Kami diterima oleh enam orang dari Komisi A: Golkar, PAN, PBB, Patriot, PP, PBR. Sewaktu pembacaan sikap KPP HAM 65 tuntutan adili Soeharto. Tiba-tiba saja SIHAMAS Muda Siregar dari Golkar menghentikan pembacaan tersebut. Koordinator KPP HAM 65 kawan B. Siboro pucat dan gemetar. Kulihat semua kawan diam tak bereaksi sedikit pun. Melihat kondisi tersebut si Golkar dengan soknya menyatakan, “Dasar tak tahu diuntung. Minta bersih nama kalian orang-orang PKI. Pulang saja ke rumah, tak perlu lagi bersih nama dan kompensasi. Perbanyak sholat untuk tobat kalian. Sudah tua bangka menunggu……… Kalau dulu kalian memang orangtuaku sudah masuk daftar hitam. Lagi pula keputusan TAP MPR/25/26 sudah final. Pulang saja,” hardiknya. Lalu memukul meja dan tanganya menyuruh kami keluar.

Aku yang melihat keangkungan si Golkar tersebut bangkit dari kursi.Kupukulkan meja dengan keras, brak-brak. Sebelum ada reaksi aku dengan suara keras menyatakan”aku tidak terima perlakuan DPRD seperti ini. Aku mantan Tapol TNI AD ditahan 11 tahun tanpa proses hukum. Aku bukan anggota kalian, bodoh sebagai anggota DPRD, tidak mengerti UUD 1945, sehingga menganggap TAP MPR lebih sakti dari UUD 1945. Sebagai DPR semestinya melayani persoalan rakyat suka atau tidak itu menjadi kewajiban DPRD. Tahu rakyat yang menggaji kalian.” Entah karena malunya, Ketua Komisi A menegur si Golkar dan mempersilahkan melanjutkan pembacaan statement, dan kami pun kembali. Sejak itu sampai sekarang si Golkar malu bila jumpa aku di waktu demo ke DPRD Sumut. Kupikir cukup data yang kusampaikan. Sekian.

Medan, 30 April 2008

Eddy Sartimin


*Tulisan ini disalin ulang sesuai dengan versi aslinya.