Friday, June 6, 2008

Khotbah Sosial


Oleh ZULFIKAR AKBAR

DEFENISIKAN saja khotbah dengan orang yang paham tentang ilmu keagamaan yang berdiri di depan khalayak dan menyampaikan orasi keagamaan, mengangkat persoalan yang berkaitan dengan agama. Baik pada hari Jum’at maupun pada seremoni keagamaan lainnya.

Lazimnya, khotbah mengajak manusia untuk melihat relasinya dengan Tuhan, dengan Allah. Sangat jarang sebuah khotbah yang membangkitkan orang untuk juga seimbang dalam melihat permasalahan disekitar. Sebut saja kemiskinan, bagaimana masalah tersebut harus diselesaikan, sangat jarang terbahas di media tersebut. Lantas, seseorang mendebat saya,”toh, mereka ahli dalam bidang agama, bukan dalam masalah sosial. Sosial mah kan ada pakar lain tersendiri? Kalau seorang agamawan juga ikut-ikutan berbicara persoalan sosial, apalagi yang harus di kerjakan seorang ahli sosial?”

Begini, sejauh ini---lepas dari posisi saya sebagai pemeluk sebuah agama----, saya meyakini bahwa sebagai agama, spesifik Islam, tidak saja mengatur persoalan yang melangit. Relasi yang hanya berit dengan Manusia dengan Tuhan saja, tetapi juga Islam mengatur hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan makhluk lain. Intinya, dalam Islam jama’ diketahui mengandung nilai-nilai universalitas. Nah, nilai-nilai universalitas itu yang semstinya menjadi acuan, menjadi barometer untuk kemudian di ejawantahkan kedalam perilaku keseharian. Tentu saja kalau saya kembalikan ke tema yang memiliki keterkaitan ke persoalan sosial, maka khutbah semestinya tidak luput dari keniscayaan ini.

Sesekali menolehlah kesamping saat anda sedang mengikuti khotbah Jum’at. Silahkan kalkulasikan menurut yang anda bisa lakukan, berapa orang yang bear-benar serius dalam mendengarkan khutbah tersebut. Dan berapa orang yang terlihat terpekur dengan mata terpejam, sepintas nampak begitu serius dalam menyimak, sepertinya sedang menghayati apa-apa yang disampaikan oleh peng-khotbah. Baru kita tersentak, saat iqamat dikumandangkan, terlihatlah bagaimana mereka mengucek-ucek mata seperti bayi yang baru bangun tidur. Beberapa dengan cerdas bisa mengusap wajahnya, laiknya orang yang habis berdoa untuk menyembunyikan ia baru saja menikmati pola tidur unik, tidur sembari duduk.

Kenapa hal itu bisa terjadi. Kita akui, dari sejak kita masih berstatus sebagai bocah dulunya, betapa telah cukup akrabnya kuping ini tersinggahi dengan ekspresi penceramah yang seperti marah, terkadang ada yang sampai memdelikkan mata, tak jarang juga dengan warna mata yang memerah. Sebuah ironi juga, bagaimana mereka yang ‘phobia’ dengan agama justru menjadikan fenomena tersebut sebagai guyon. Tak sedikit yang mengatakan Islam sebagai agama pemarah, yang melulu hanya mengancam umatnya dengan neraka.

Itu realitas. Lantas apakah sebuah pilihan cerdas ketika kita menggeram marah saat menjadi bahan ledekan. Tidak. Ledekan-ledekan yang kemudian mencuat itu merupakan akibat, sebuah akibat yang di sebabkan oleh perilaku keagamaan kita yang terkadang sudah begitu melangit sampai kita lupa, begitu banyak permasalah yang ada disekeliling kita yang juga membutuhkan perhatian kita semua. Dan media khutbah menjadi sebua media alternatif sebenarnya yang sangat tepat untuk membicarakan hal itu. Memberikan pencerahan kepada pendengarnya agar mata masyarakat terbuka. Apalagi, jika hari ini permasalahan seliter beras bukanlah masalah besar bagi kita. Minyak kompor didapur tidak mengganggu pikiran kita. Tentu berbeda halnya dengan ribuan masyarakat yang masih menempati ‘tahta’ angka dalam segi kesejahteraan yang rendah.

Terakhir kita disodorkan berita yang sedikit enak didengar, bahwa jumlah angka kemiskinan di Aceh adalah 26, 65 % (
http://www.nad. go.id). Tetapi itu dikertas, dalam laporan dan yang sejenisnya, bagaimana riilnya? Saya kira penting untuk kita lebih banyak untuk masuk ke lorong-lorong kota dan dusun-dusun di pelosok, saya tidak yakin anda juga akan mengangguk dengan keabsahan dari data tersebut.

Selanjutnya mari kita melangkah ke warung-warung kopi, pusat infromasi yang paling representatif di Aceh. Tempat orang dari semua unsur masyarakat ngaso obrolkan banyak permasalahan. Dari bisnis sampai dapur yang telah beberapa hari tidak mengepulkan asap. Dari persoalan politik sampai ke ekspresi wajah istri yang muram karena kurangnya setoran. Lakukan saja diskusi kecil dengan para awak becak. Betapa, masayrakat kecil tidak banyak yang terlalu mempersoalkan lagi tentang relasi dengan Tuhan seperti apa? Memakmurkan mesjid bagaimana? Toh, alam pikiran mereka terbalut dengan keadaan istri yang mungkin sedang menunggu proses persalinan yang menuntut biaya yang sulit terjangkau. Atau anaknya yang sudah tidak betah untuk sekolah karena belum bisa digantikan ayahnya celana yang sudah bertambal dengan yang lebih baik. Menjadi sebuah hal penting para peng-khotbah, para da’i di Aceh untuk lebih sering merekam semua fenomena tersebut. Karena agama tidak diturunkan Tuhan untuk Tuhan, tetapi juga Ia secara cerdas menitahkan kita untuk tawazun (baca: seimbang) dalam mencermati apa yang semestinya diprioritaskan. Agar kedepan jangan lagi masayrakat dengan wajah tanpa dosa kembali berujar, Gasien meukuwien lam tapeh, kaya mulia bak wareh (Miskin terkulai dalam tumpukan sabut kelapa, kaya dimuliakan) dengan ekspresi pesimis. Terus, tacok haba kitab, ue tupee kap han tateumee rasa (mendengarkan perintah agama, kelapa yang sudah digerogoti tupai pun tidak mungkin untuk sempat kita makan).

Saya nukilkan juga keluhan Eko Prasetyo dalam bukunya: Islam, Agama Perlawanan,”. ..sesekali izinkanlah para aktivis yang sering bergelut dengan persoalan sosial untuk juga berkhotbah di mesjid-mesjid.” Semoga menjadi bahan renungan kita bersama.


Zulfikar Akbar, anak Atjeh yang mempersembahkan hidup nya untuk social justice (keadilan sosial).

Referensi:

Eko Prasetyo: Islam Kiri, Melawan Kapitalisme Modal, dari wacana menuju gerakan. Penerbit Resist Book
------------ -------, Islam Agama Perlawanan, Resist Book
Sub Commandante Marcos: Kata adalah Senjata, Resist Book
T. Kemal Pasya: Libido Nasionalisme
Sritua Arief: Ilusi Kemerdekaan, Resist Book
Al Ghazali: Ihya ulumuddin
‘ibn Attaillah: Al Hikam

Penurunan HIV/AIDS dan Perda


oleh ENIK MASLAHAH

DI TENGAH kontroversi mengenai Perda Larangan Pelacuran (No 5/2007) yang dikeluarkan pemerintah Bantul, Tim Dinas Kesehatan Bantul mengemukakan hasil survey yang menarik untuk didiskusikan : Berkat keberhasilan Kabupaten Bantul dalam mengimplementasikan Perda No 5 / 2007, angka pengidap HIV-AIDS di Bantul menurun dari tahun sebelumnya. Menurut survey Dinkes tahun 2006 terhadap 378 sample ditemukan 12 kasus penderita HIV, sementara pada tahun 2007 dengan menggunakan sample yang lebih besar,403, hanya ditemukan 4 kasus penderita HIV. (KR,5/2/2008).


Menyangkut angka penurunan itu sendiri, kita tentu harus bergembira apabila hasil survey itu menggambarkan realitas yang sesungguhnya. Karena kita sedang berada dalam situasi yang ironis dalam hal perkembangan penanganan HIV-AIDS. Di tingkat global, saat ini ada perkembangan positif tingkat prevalensi kasus HIV-AIDS berhasil ditekan dan tetap di kisaran 33,2 juta, sementara jumlah penderita HIV-AIDS baru menurun. Penurunan ini diyakini sebagai hasil dari usaha yang massif terhadap kontrol penyebaran HIV-AIDS (Jakarta Post, 26/1/2008). Ironisnya, kasus HIV-AIDS di Indonesia sendiri semakin meningkat. Secara kumulatif hingga September 2007, pendirita AIDS di Indonesia berjumlah 10.384 kasus, sedangkan penderita dalam stadium HIV yang belum mempunyai gejala mencapai 6.000 kasus. Kita tahu bahwa fenomena ini sudah menyebar di seluruh propinsi Indonesia. Tidak ada propinsi di Indonesia yang bebas dari HIV-AIDS. Dengan kata lain, penyebaran HIV-AIDS di Indonesia akhir-akhir semakin meluas dan tidak terkendali.


Tetapi, kalaupun angka penurunan itu valid, kita harus berhati-hati untuk tidak terlalu tergesa-gesa menariknya sebagai hasil dari Perda yang hingga sekarang masih di perdebatkan itu. Masalahnya, menarik kesimpulan yang tergesa-gesa bisa berpotensi membawa kepada kebijakan kesehatan yang salah, dan bisa berakibat buruk pada program akselarasi pencegahan HIV-AIDS yang sedang ingin digalakkan. Pertanyaan elementer yang mungkin segera muncul adalah, pertama, apakah waktu beberapa bulan ini sudah memadai untuk mengukur keberhasilan sebuah kebijakan. Kedua, sejauhmana sample yang diambil sudah cukup representatif untuk memperoleh gambaran yang akurat mengenai penurunan angka tersebut. Ketiga, bagaimana menjelaskan hubungan kausal antara Perda dan penurunan angka penderita HIV.

Perda No 5/2007



Tulisan ini ingin urun rembug mengenai hal itu. Dengan mengandaikan angka itu valid, penulis tetap berada dalam posisi yang sangat skeptis mengenai hubungan kausal antara penurunan HIV dengan Perda Larangan Pelacuran. Terlebih dahulu, kita perlu melihat apa substansi dari perda tersebut. Apakah sebenarnya yang mau diatur ? Adakah Perda tersebut mengandung pasal-pasal yang mengatur pencegahan penularan HIV-AIDS ?


Sebagaimana dikatakan di atas, Perda No 5/2007 itu sendiri kontroversial dan mendapat reaksi negatif dari sebagian masyarakat, terutama masyarakat yang kehidupan sosial dan ekonominya tergangu karena implementasinya yang ceroboh. Di wilayah Yogya sudah terbentuk Aliansi Tolak Perda Larangan Pelacuran yang didukung berbagai NGO dan masyarakat Bantul. Saat ini Perda tersebut sedang menjalani proses judicial review di Mahkamah Agung. Dari kacamata hukum, Perda no.5/2007 mengandung kelemahan dan bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM, serta mengabaikan prinsip keadilan bagi warganya. Dalam implementasinya, Perda ini juga telah memakan korban yang tidak berdosa karena dilaksanakan secara kekerasan dan telah melanggar asas praduga tak bersalah.


Dalam kaitannya dengan masalah HIV-AIDS, Perda tersebut tidak memuat pasal yang menyangkut pencegahan penularan HIV-AIDS. Dari seluruh 11 pasalnya, tidak ada satu katapun menyebut soal pencegahan penularan HIV-AIDS. Perda lebih menekankan hanya pada pelarangan pelacuran, tanpa memuat solusi atas masalah-masalah struktural yang mendorong kepada munculnya aktivitas pelacuran. Perda ini mengandung pasal-pasal represif dalam menangani masalah pelacuran. Pada sisi lain, pasal-pasal yang sifatnya persuasif, dan rehabilitasi sebagai acuan penanganan masalah pelacuran tidak muncul di dalamnya.
Pendekatannya sangat moralistik, sehingga menurut saya, Perda ini tidak bisa dikatakan memiliki kemampuan memecahkan permasalahan kesehatan pada pelacuran. Perda ini terjebak pada ideologi dominan dalam memandang pelacuran. Perda memandang pelacuran adalah kotor, maksiat, dan asusila sehingga pelacuran harus dibasmi, tanpa melihat penyebab munculnya pelacuran itu sendiri. Padahal, pada banyak kasus, pelacuran adalah konsekwensi dan cerminan dari desakan ekonomi rumah tangga yang miskin.



Perda semestinya memuat klausul kategorisasi pihak-pihak yang ada dalam pelacuran. Yaitu, perempuan yang dilacurkan, perempuan korban trafficking, dan pelacur professional yang lebih mengedepankan aspirasi material. Kategorisasi ini dapat dijadikan tolak ukur dalam penanganan masalah pelacuran. Maka, agak janggal pelarangan pelacuran hanya dibatasi pada pembasmian pelacuran tanpa memikirkan pencegahan, penanganan, dan rehabilitasi bagi mereka yang terlibat didalam aktivitas pelacuran.


Kesan yang muncul dari upaya implementasi perda ini adalah pemerintah sangat agresif dalam melarang kegiatan pelacuran. Akan tetapi, gampang dilihat bahwa realitas menunjukkan pelacuran tidak bisa langsung lenyap di Bantul. Sebaliknya, pelacuran tetap berlangsung dengan sembunyi-sembunyi. Kita tidak bisa menutup mata bahwa realitas pelacuran sangat mungkin dekat di sekitar kita. Transaksi maupun aktivitas pelacuran bisa terjadi di mana saja, di mall, hotel, wisma, kafe, pasar, kos-kosan, rumah tetangga atau rumah kita.


Berdasarkan pengalaman lebih mudah membayangkan bahwa Perda ini akan menghambat upaya pencegahan penyebaran HIV-AIDS. Adanya praktek sembunyi-sembunyi akan mempersulit petugas kesehatan dalam melakukan penyuluhan tentang kesehatan dan kontrol terhadap kesehatan mereka. Sosialisasi soal pencegahan HIV-AIDS kepada kelompok resiko tinggi akan menjadi lebih susah dilakukan. Berdasarkan atas pengalaman, banyak lembaga swadaya masyarakat merasa kesulitan ketika sosialisasi HIV-AIDS di lokalisasi, karena masih melekatnya stigma dan diskriminasi terhadap mereka yang mengidap HIV-AIDS . Jika dalam lokalisasi saja masih sulit untuk mensosialisasi pencegahan HIV-AIDS, di luar lokalisasi akan menjadi semakin sulit mengidentifikasi kelompok resiko tinggi. Hal ini akan mendorong penyebaran HIV-AIDS tak terkendali.


Sosialisasi HIV-AIDS ini sangat penting untuk memudahkan penyadaran mereka untuk melakukan VCT (Voluntary Checking and Testing). Pengalaman di Thailand, Kamboja, dan Myanmar menunjukkan sosialisasi dan penyuluhan tentang seks aman di kalangan PSK (pekerja seks komersial) berpengaruh pada menurunnya penyebaran HIV.

HIV-AIDS di Yogya dan Tugas Kita



Kita sangat berharap kepada pemerintah untuk memiliki politik kesehatan dalam pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS. Mengingat di Indonesia penyebaran HIV-AIDS semakin meluas dan tidak terkendali. Dan sekali lagi, fenomena ini sudah menyebar di seluruh propinsi Indonesia, dan tidak ada propinsi di Indonesia yang bebas dari HIV-AIDS. Menurut Dinas Kesehatan DIY pada tahun 2002 hingga Oktober 2007, penderita HIV-AIDS berjumlah 398. Perlu disadari bahwa jumlah penderita HIV-AIDS merupakan fenomena gunung es. Secara riil penderita HIV-AIDS belum terdata secara keseluruhan. Selama ini data HIV-AIDS masih banyak didapat dari kelompok resiko tinggi dan bagi mereka yang sadar memeriksakan dirinya. Meski pemerintah DIY memberikan layanan bagi masyarakat yang hendak memeriksakan diri melalui VCT di sejumlah rumah sakit terpilih yang ada di propinsi Yogyakarta. Akan tetapi, sebagaimana diakui oleh Dinkes sendiri kesadaran untuk melakukan test HIV masih rendah di masyarakat Yogyakarta, karena terkait dengan stigma dan diskriminasi yang melekat pada penderita HIV-AIDS. Yakni, HIV-AIDS adalah penyakit kutukan bagi baik para pekerja seks maupun perilaku seksual menyimpang. Stigma dan diskriminasi terhadap penderita HIV-AIDS ini menimbulkan ketakutan akan konsekwensi negatif yang ditimbulkan, sehingga banyak orang menghindari tes HIV-AIDS.


Kondisi penyebaran HIV-AIDS di Yogyakarta sebenarnya sangat memperihatinkan, mengingat penderita HIV-AIDS tidak hanya dari kelompok pekerja seks saja, dan lebih dari 80 persen penderita berada dalam usia produktif . Hal ini terkait dengan perilaku seksual di usia pra-nikah dan pemakaian obat-obatan terlarang bagi pengguna injecting drug user (IDU) atau narkoba dengan jarum suntik yang menempati peringkat kedua terbanyak di DIY(Kompas, 1/12/07). Melihat kondisi HIV-AIDS di Yogyakarta yang cukup menghawatirkan, maka tidak seyogyanya pemerintah Bantul dengan mudah mengklaim angka penderita HIV-AIDS di daerahnya turun akibat Perda No 5/ 2007 tentang pelarangan pelacuran di Bantul.


Ada beberapa hal yang mesti dipertimbangkan oleh pemerintah Bantul terkait soal HIV-AIDS. Pertama, konteks struktural , dalam penanggulangan HIV-AIDS diperlukan adanya politik kesehatan yang jelas dan terarah. Dan disertai anggaran kesehatan untuk menanggulangi HIV-AIDS, terutama anggaran obat-obatan untuk penderita HIV-AIDS. Pemerintah Yogyakarta telah menyediakan layanan one stop service di puskesmas-puskesmas dan melalui mobile clinic untuk menjangkau kelompok-kelompok resiko tinggi. Akan tetapi, jika perda No 5/2007 tersebut tidak melokalisir para pekerja seks, maka akan menyulitkan kontrol kesehatan mereka. Akibatnya kesehatan kelompok resiko tinggi ini tidak terjamin. Kegiatan seks merekapun cenderung tidak aman, sehingga epidemic HIV cepat berkembang.


Kedua, pertimbangan kultural yang berbasis adil gender sebaiknya dipertimbangkan oleh pemerintah dalam penanggulangan HIV-AIDS. Artinya, pemerintah dalam mencegah epidemic HIV-AIDS hendaknya menggunakan respon yang berbasis gender. Salah satunya adalah pencegahan HIV untuk perempuan. Dengan pertimbangan, baik kondisi fisiologis maupun sosial kultural perempuan rentan terhadap penularan HIV. Organ reproduksi perempuan memiliki selaput mukosa yang luas sehingga mudah luka dan iritasi. Sedangkan kerentanan sosial kultural lebih dijelaskan pada posisi subordinate perempuan. Dalam perilaku seksual, laki-laki memiliki peran dominan dalam menetukan aktifitas seksual. Posisi ini menimbulkan dampak yang merugikan bagi perempuan. Perempuan gampang mengalami tindak kekekerasan, yakni korban kekerasan seksual atau korban perkosaan.


Selain itu, selama ini stigma dan diskriminasi melekat pada penderita HIV-AIDS. Yakni, HIV-AIDS adalah penyakit kutukan, penyakitnya pekerja seks, perilaku seksual menyimpang, dan lain-lain. Stigmatisasi ini juga dilekatkan pada orang yang menderita HIV-AIDS, sehingga para odha (orang dengan HIV-AIDS) mengalami diskriminasi baik dari keluarga maupun masyarakat. Konsekwensi negatif tersebut menimbulkan perempuan menghindari tes HIV-AIDS. Terbukti di Bantul selama tahun 2007 ini hanya 2 orang yang melakukan VCT (KR,5 Feb 2008).
Pendekatan moralistik tidak akan mampu efektif untuk mencegah penyebaran HIV-AIDS, jika solusi yang ditawarkan tidak menyentuh pada problem struktural dan kultural dalam pencegahan epidemik HIV-AIDS. Untuk itu, hasil survey tersebut perlu diperdebatkan dan dikaji ulang, agar tidak menyesatkan bagi para pengambil kebijakan, terutama kebijakan kesehatan.

*) Enik Maslahah, Koordinator Tim Kampanye Aliansi Tolak Perda Larangan Pelacuran di Bantul. Alumnus Program Magister Ilmu Kependudukan UGM. Bekerja di Pusat Layanan Informasi Perempuan (PLIP) Mitra Wacana, Yogyakarta.



Tulisan ini dipresentasikan pada acara Diskusi Panel “Membangun Sinergisitas Gerakan HIV-AIDS, Gerakan Perempuan dan Gerakan HAM”, Selasa , 12 Maret 2008 di Gedung Kepatihan Yogyakarta