Thursday, December 13, 2007

SELAMAT NATAL & TAHUN BARU


Team Editorial www.cefil19.co.cc dan Keluarga Besar CEFIL 19 mengucapkan:

Selamat Natal 25 Desember 2007
dan
Tahun Baru 1 Januari 2008


Monday, December 3, 2007

Bila Bola Menjadi Yang Utama, apa kata dunia ?

Oleh ARI KRISMERI

GAWANG tim nasional kebobolan 7 angka pada pertandingan Pra-Piala Dunia 2010 tersebut. Wouw…fantastis. Inilah prestasi persepakbolaan nasional yang konon katanya menelan dana sampai miliaran rupiah. Bila itulah prestasi tim nasional lalu bagaimana dengan prestasi tim lokal?

Kita sering menyaksikan terjadinya tawuran antarsuporter klub, wasit yang tak becus mengomandani pertandingan, jual beli point, perang tanding antar pemain pada saat laga dan yang sangat fantastis adalah kasus yang sedang hangat-hangatnya menyita perhatian semua pihak, Sang Ketua Umum PSSI, Nurdin Halid yang juga terpidana korupsi tidak mau legowo untuk turun tahta, melepas jabatan yang telah beberapa tahun dipegangnya. Kasus yang terakhir dianggap begitu hebatnya, sehingga FIFA harus turut campur memberikan petisi. Itulah mendung yang masih melingkupi wajah persepakbolaan negeri ini. Sepakbola yang notabene adalah olah raga yang paling merakyat di Indonesia . Namun, juga yang paling banyak menguras uang rakyat dengan pengalokasian APBD untuk membiayai klub di daerah.

Terbitnya Permendagri No.13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri No.59 Tahun 2007 jo surat edaran Mendagri No 900/2677/SJ, tertanggal 8 November tentang penggunaan APBD untuk klub, memberikan angin segar bagi seluruh komponen rakyat, terkecuali kelompok yang berkepentingan dengan sepak bola. Dengan terbitnya Permendagri No. 13 Tahun 2006 tersebut diharapkan pengalokasian dana APBD sesuai dengan tuntutan pembangun daerah. Sehingga rakyat berharap semakin dekatlah kesejahteraan bagi mereka. Tidak seperti yang terjadi selama ini, miliaran rupaih dana APBD masuk ke kantong klub hanya untuk membiayai operasional klub yang tak kunjung mengukir prestasi. Namun, bagi para pemangku kepentingan sepak bola terutama di daerah, Permendagri tersebut dianggap sebagai bencana yang akan menghancurkan dunia sepak bola tanah air. Sebab klub tidak lagi mendapat suntikan dana APBD yang memang semestinya di gunakan untuk kepentingan rakyat.

Pengalokasian dana untuk klub sepak bola sekitar 1,5 % dari total anggaran APBD 1 triliun rupiah atau sekitar 8 miliar rupiah pertahun. Kisaran dana sebesar itu dianggap terlalu membebani rakyat yang masih berada di pusaran buruknya situasi ekonomi, tingkat penganguran yang tinggi dan masih banyak lagi persoalan rakyat yang musti ditangani dengan segera.

Majunya kepala daerah sebagai ketua umum klub saja sudah membuat cemburu rakyat. Berapa banyak waktu yang seharusnya digunakan kepala daerah untuk menangani permasalahan rakyat tersita hanya untuk mengurusi klub, berapa dana yang dikeluarkan dari APBD hanya untuk membiayai akomodasi sang kepala daerah untuk menyaksikan pertandingan di luar kota . Seperti saat pertandingan di Yogyakarta , dengan rela dan senang hatinya menyaksikan pertandingan. Atau ini dianggap sebagai rekreasi sang Kepala Daerah ?

Pada pertemuan yang diprakarsai oleh WH, Wali Kota Tangerang pada hari Kamis, 12 November 2007 di Balai Kota Tangerang, Ruang Akhlaqul Karimah Pada Jam 21.00 WIB, yang dihadiri puluhan pemangku kepentingan persepakbolaan menghasilkan kesepakatan untuk menuntut perubahan pada Permendagri No.13 Tahun 2006 tersebut. Dengan tuntutan yang demikian santernya, berarti sepak bola dianggap lebih berharga dari apapun. Lalu bagaimana dengan cabang olah raga lainnya? Sedemikian hebatnyakah perhatian yang diberikan?

Bila dana APBD yang dialokasikan untuk pembiayaan sepakbola mengenai sasaran dalam artian berbanding lurus dengan prestasi yang dihasilkan, mampu mengharumkan nama bangsa, mengukir sejarah mengagumkan atas nama Bangsa Indonesia dikancah internasional, maka rakyat dengan senang hati meski dalam keadaan susah akan mendukung sepenuhnya. Namun, bila yang terjadi adalah makin terpuruknya dunia sepak bola dalam negeri masihkah rela rakyat dirampok uangnya hanya untuk sepak bola?

Penggunaan APBD selama ini lebih banyak untuk membeli pemain asing, memperkaya mereka dengan alasan mereka akan mampu mengukir prestasi bagi masing- masing klub. Inilah gaya Pengukiran Prestasi Instan para pejabat sepak bola kita. Bila saja dana APBD lebih digunakan untuk memberdayakan pemain lokal, meningkatkan kesejahteraan mereka sehingga akan ada motivasi untuk terus berkarya, menjaring pemain junior untuk dipersiapkan menjadi pemain bintang maka itu akan lebih mengena daripada membeli pemain asing yang harus mengeluarkan dana ratusan juta rupiah hanya untuk satu pemain saja. Sebaiknya memang harus dirubah sistem persepakbolaan daerah. Saya kira banyak anak negeri yang mumpuni namun tidak mendapat tempat untuk berkembang.

Tak ada kata lain selain harus berbenah, melihat ke dalam hati untuk berinstropeksi diri dan berkarya bagi bangsa tercinta.

Ari Krismeri, Mahasiswa peduli perubahan yang tinggal di Tanggerang, Banten.

Tuesday, November 27, 2007

Carut Marut Kurikulum Pendidikan


Oleh MUFIDAH

KURIKULUM NASIONAL (Kurnas) menjadi acuan tunggal dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Kurikulum ini di pukul rata berlaku untuk semua lembaga pendidikan. Baik yang ada di pesisir pantai, di ujung gunung, pelosok pedesaan maupun yang berada di kota besar. Tapi satu pertanyaan,” akankah pola penyeragaman ini efektif?”

Dalam sejarah perkurikuluman di Indonesia. Dunia pendidikan kita telah ”melahirkan“ beberapa kurikulum. Pada masa orde lama, di kenal kurikulum 1947, 1952 dan 1964. Selanjutnya pada masa orde baru terdapat kurikulum 1975. Kemudian disempurnakan menjadi Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Kemudian disempurnakan lagi menjadi kurikulum 1994.

Pada era reformasi, muncul pula kurikulum 2004. Yang ini akrab disebut kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Dalam perkembanganya terjadi perubahan pada pola standar isi dan standar kompetensi. Inilah yang selanjutnya melahirkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP).

Jika melihat runtutan sejarah kurikulum diatas. Terlihat jelas bagaimana setiap periode kekuasaan politik selalu “menciptakan“ metode pendidikan masing-masing. Metode (kurikulum) ini memang sengaja diciptakan untuk mempertahankan dominasi kekuasaan (dari kelompok politik yang berkuasa tentunya). Inilah yang belakangan dikenal sebagai alat haegomoni.

Peran penguasa begitu dominan dalam menentukan arah pendidikan. Contohnya adalah kebijakan pemberlakuan Ujian Akhir Nasional (UAN) sebagai satu-satunya standar kelulusan. Mekanisme UAN ini kerap diprotes karena sangat diskrimintif. Pelbagai artikel ramai mengulas tentang itu. Tapi UAN sepertinya tidak tergoyahkan untuk terus diberlakukan.

Desentralisasi vs Sentralisasi

Pasca reformasi 1998, kata sentralisasi tiba-tiba menjadi sangat “buruk” terdengar ditelinga siapapun. Istilah itu menjadi sederajat buruknya dengan kata komunis pasca 1965. Sebagai gantinya muncul jargon baru yang dikenal sebagai desentralisasi. Istilah ini semakin mengencang gaungnya, seiring pemberlakukan otonomi daerah di Indonesia.

Tidak hanya sektor politik praktis yang tersapu gelombang otonomi. Dunia pendidikan pun tidak mau ketinggalan “mengadopsi“ desentralisasi dalam kehidupannya. Akhirnya munculah istilah KTSP atau kurikulum tingkat satuan pendidikan.

Pemberlakuan KTSP di nilai berbagi pihak cukup membawa angin pada sistem pendidikan di Indonesia. Secara prinsip, KTSP dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi, kerakteristik daerah dan sosial budaya masyarakat setempat. KTSP dianggap sebagai kurikulum otonom yang berbasis kerakyatan. Karena didalamnya dijamin adanya muatan kearifan lokal. Dan yang terpenting, guru diberikan kesempatan untuk memaksimalkan segala potensi yang ada dimasing-masing daerah.

Itulah yang membuat KTSP dianggap paling cocok untuk Indonesia. Menggingat keberagaman budaya yang membentang dari ujung Sumatera sampai Papua. Dengan KTSP segala kekayaan itu dapat diadopsi sebagai material teaching (bahan pengajaran). Ini tentunya akan membawa nilai tambah dalam khazanah pendidikan Indonesia.

Jika KTSP cukup ideal dalam konsep tertulis. Namun tidak demikian dalam aplikasinya. Terdapat banyak paradoks yang menghinggapi KTSP. Meskipun KTSP disusun oleh setiap satuan pendidikan. Namun standar isi dan kompetensinya tetap saja ditentukan oleh pusat. Sehingga KTSP yang dianggap mewakili desentralisasi, pada kenyataannya tetap sentralisme melalui penyeragaman-penyeragaman.

Selain itu pula, standarnisasi kelulusan setiap peserta didik tetap diukur dengan menggunakan UAN yang nota bene bersifat nasional. Ini jelas kontradiktif dengan semangat KTSP yang mengakomodir kearifan lokal sebagai komponen penting pendidikan.

Pada titik ini, keberagaman yang diakui sebagai kekayaan budaya Indonesia, diabaikan begitu saja.

Padahal, bagaimanapun, perbedaan sosial, budaya dan letak geografis sangatlah mempengaruhi penerimaan akses dan kesempatan. Sangatl tidak adil, tentunya, mengevaluasi peserta didik dengan cara yang sama. Padahal peserta didik itu pada dasarnya mempunyai latar belakang dan kesempatan yang jauh berbeda. Tidaklah etis secara serta merta menyamakan kualitas pendidikan di desa dengan perkotaan. Ini jelas tidak fair.

Bisa dipastikan KTSP yang desentralis, akan mati kutu jika berhadapan dengan UAN yang sangat sentralistik.

Global vs Lokal

Melestarikan kearifan lokal, tidak bisa dipungkiri merupakan suatu keharusan. Namun memiliki pengetahuan dan teknologi yang bersifat global juga mutlak diperlukan. Kalau tidak mau negara ini dianggap ketinggalan zaman.

Jadi, lembaga pendidikan seperti sekolah, selain dituntut menyajikan materi yang sifatnya lokal. Disini lain juga dituntut untuk juga menyajikan materi pengetahuan global. Keduanya seperti dua kaki yang harus berdiri sama tinggi, jika tidak maka akan timpang. Dari sinilah kemudian populer jargon :‘Think Globally act locally’.

Sejurus dengan jargon itu, lembaga pendidikan kemudian berlomba-lomba meningkatkan mutunya. Bahkan ada yang membuka kelas dengan taraf internasional. Dan tentun pula peserta didiknya dipaksa untuk bertaraf “internasional“.

Tapi sekolah semacam SBI (sekolah bertaraf internasional) pastilah memerlukan biaya yang besar. Dan ini berimbas pada semakin menjauhkan akses. Akhirnya sekolah-sekolah semacam ini hanya untuk anak-anak “gedongan“. Ujung-ujungnya kembali lagi, ketimpangan antara si miskin dan si kaya yang terjadi.

Ironisnya logika itu pula yang dianut pemerintah. Dunia pendidikanpun digenjot untuk menghasilkan lulusan yang kemampuannya sejajar dengan dunia belahan lain. Melaluin UAN, peserta didik didorong mempunyai kemampuan untuk menghadapi tantangan global.

Sayangnya pemerintah seperti orang mabuk yang sedang marah. Main hantam kromo saja tanpa melihat realitas. Usaha pemerintah menggejot mutu lulusan tidak dibarengin dengan pemberian akses yang berimbang. Si miskin hanya dipaksa untuk cerdas tanpa diberikan suplemen-suplemen lain yang secara gampang bisa diakses oleh sikaya. Belum lagi tantangan untuk melestaraikan budaya dan kearifan local. Sering berlawanan dengan watak developmentalis yang dianut dunia global. Pendidikanpun terjebak pada lingkaran paradoks.

Pemerintah juga terkesan setengah-setengah dalam melaksanakan program. Bukan sekali pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tumpang tindih. Toh, ujung-ujungnya warga miskinlah yang menjadi korban.

Carut marut kurikulum ini harus mendapat perhatian serius. Bagaimana pun lembaga pendidikan bukan hanya membekali peserta didik dengan kemampuan kognitif saja. Tapi juga kemampuan afektif. Karena itu pendidikan harus membuat manusia semakin menjadi manusia. Pendidikan yang tidak tidak seperti itu, tidaklah pantas disebut pendidikan. Tapi lebih tepatnya disebut : pembodohan.***

Mufid, menyelesaikan pendidikannya di bidang Psikologi dari IAIN Blitar. Saat ini sedang bekerja sebagai guru SLTA. Waktu sisanya dihabiskan sebagai sukarelawan untuk Sitas Desa, sebuah lembaga perjuangan petani di Blitar, Jawa Timur.

Ironi Reformasi Kita

Oleh MUFIDAH

SEMBILAN tahun sudah reformasi telah berjalan. Reformasi yang menawarkan kebebasan pendapat dan berpolitik. Reformasi yang konon membawa angin segar bagi rakyat Indonesia.

Namun, disisi lain, kebebasan berpendapat dan berpolitik ternyata membawa ironi . Kebebasan hanya dinikmati oleh para akademisi dan para elit politik. Pada level akar rumput, kebebasan itu dirasa tidak membawa kabar baik dan menentramkan.

Warga merasa tidak butuh kebebasan berpendapat. Jika jaminan akses dan peningkatan taraf perekonomian, masih sebatas omongan dan khayalan. Bagaimanapun, rakyat butuh kepastian ekonomi.

Mengutip artikel Malik Ruslan di harian Kompas bertajuk Gatra Ekonomi Pembangunan Demokrasi. Malik menuliskan bahwa ternyata reformasi yang didesakkan pada masyarakat, terjebak pada kebutuhan untuk menghembuskan kebebasan politik (logika politik). Padahal dalam kondisi perekonomian yang timpang, rakyat lebih mementingkan kesejahteraan dan keamanan ekonomi (logika ekonomi)

Kenyataan ini membuat saya teringat pada kuliah Psikologi Kepribadian yang pernah saya kecap di bangku kuliah. Dalam kuliah itu dibahas teori Motivasi Abraham Maslow, seorang humanis pertama pada aliran psikologi barat. Teori Maslow menyebutkan bahwa setiap manusia mempunyai hirarki need, dimana need terbawah memotivasi seseorang untuk mencapai need selanjutnya.

Hirarki need tersebut dibagi dua yaitu basic need dan metaneed. Basic need meliputi : (1) physiological need, meliputi kebutuhan untuk makan, minum dan sex. Need pertama ini berhubungan dengan kebutuhan homoistatis manusia. (2) safety need, meliputi kebutuhan akan jaminan keamanan, perlindungan dan kebebasan dari rasa takut seperti kepemilikan rumah. (3) love/belongingness need, meliputi kebutuhan untuk mencintai, dicintai dan menjalin hubungan dengan orang lain. (4) self esteem need, meliputi kebutuhan untuk dihargai, diapresiasi dan diterima oleh orang lain.

Sedangkan metaneed yaitu self actualization need, meliputi kebutuhan untuk menyalurkan bakat dan keinginan secara maksimal sehingga seseorang dapat mecapai puncak potensinya (peek experience).

Jika mencoba melihat apa yang terjadi di Indonesia dengan teori Maslow. Saya menganalisi bahwa sekitar 39,05 juta atau sekitar 17,97 % (pada Maret 2006) rakyat Indonesia berada pada garis kemiskinan. Sejurus dengan itu terjadi peningkatan jumlah daerah tertinggal yang mencapai 32.379 dari total 70,611 desa di Indonesia.

Angka-angka itu bisa menjadi ukuran (parameter). Basic need warga yang meliputi kebutuhan makan, minum, hunian, keamanan dan keselamatan mereka belum terpenuhi. Angka-angka itu pula bisa menjadi acuan besaran warga yang tidak mempunyai akses terhadap pelayanan yang memadai.

Salah satu contoh yang bisa dilihat secar kasat mata adalah petani. Setiap saat harus mengerut kening karena antara biaya produksi dan hasil tidak seimbang. Pedagang di pasar harus terima saja kalau dipungli atas nama “keamanan“. Atau bagaimana raut pedagang kali lima (PKL) yang ketakutan setiap kali Polisi Pamong Praja mengusur mereka. Bukan pemandangan aneh jika mereka kerap kucing-kucingan.

Ini bukan film india yang dipenuhi kisah tragis. Inil adalah kisah nyata di depan mata. Warga negara yang tergusur di negeri sendiri. PKL diusir dengan alasan keindahan kota. Petanipun ditembaki dari lahannya demi industrialisasi.

Lalu dimana kebebasan yang dihembuskan reformasi itu? Kapan rakyat bisa tenang tanpa harus bingung memikirkan,“ mau makan apa kami besok?“ Siapa pula yang menikmati “kebebasan“ itu.

Saya harus menuliskannya dengan gamblang. Mereka yang terpenuhi basic need, baik physiological,safety,love need lah yang menikmati itu semua. Karena mereka lebih mempunyai waktu untuk memikirkan hal lain. Mereka tidak perlu memikirkan bagaimana memenuhi kebutuhan dasar mereka. Sebut saja politikus atau akademisi. Mereka tidak lagi berpikir apa yang harus dimakan, dimana harus tidur . Merekapun bisa membayar orang untuk siaga 24 jam menjaga dari segala gangguan.

Kini kerap terdengar anekdot yang mengatakan SBY bukannya kepanjangan dari "Susilo Bambang Yudoyono" tetapi "Susilo Bambang Nyudonyowo" (mengurangi nyawa). Mengingat semenjak SBY berkuasa, berbagai bencana silih berganti menderea. Tak hanya becana alam, bencana sosialpun terjadi

Rakyatpun tiba-tiba rindu dengan pemerintahan Soeharto. Kerinduan itu bukan tanpa alasan. Kestabilan perekonomian di masa itu sulit ditukar dengan kebebasan politik saat ini. Senada dengan itu, Malik menulis kembali,“... bahwa mendesakkan reformasi pada rakyat yang papa, akan menimbulkan keragu-raguan rakyat pada reformasi dan demokrasi. Pemulihan stabilitas ekonomi merupakan jalan untuk menegakkan reformasi di Indonesia karena demokrasi sejati hanya lahir pada kondisi perekonomian yang stabil.“

PR besar bagi SBY-Kalla bahwa reformasi tanpa perbaikan sistem perekonomian yang memihak rakyat. Hanya akan menyisakan penderitaan rakyat. Kini tantangn besar ada dipundak Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif untuk melakukan itu.

Tapi kita tidak boleh hanya menunggu dan menyerahkan urusan itu mentah-mentah kepada negara. Kita punya turut berpartisipasi mendidik rakyat dengann pendidikan politik. Warga harus dicerahkan pemikirannya untuk memperjuangkan hak-haknya

Pendidikan politik akan mentrasformasikan kesadaran rakyat dalam memahami reformasi dan demokrasi. Sehingga demokrasi di negara ini tidak milik segelintir orang (oligarki). Negara ini punya ku, punya mu dan punya kita semua. ***

Mufid, menyelesaikan pendidikannya di bidang Psikologi dari IAIN Blitar. Saat ini sedang bekerja sebagai guru SLTA. Waktu sisanya dihabiskan sebagai sukarelawan untuk Sitas Desa, sebuah lembaga perjuangan petani di Blitar, Jawa Timur.

Wednesday, November 7, 2007

KEMERDEKAAN

Oleh THOMAS PRASASTI

Kemerdekaan, sebagai Modal Awal

KEMERDEKAAN, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti terbebas dari perhambaan dan penjajahan bangsa lain. Dalam Undang Undang Dasar negara kita tertulis bahwa kemerdekaan sebagai pintu gerbang bagi kehidupan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur, dan negara Indonesia berkewajiban untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia
melalui susunan negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat berdasarkan
Pancasila.

Membangun Manusianya dan Kondisi Sekarang

Untuk mencapai visi bangsa dalam Pembukaan UUD tadi, menjadi misi
pemerintah untuk menjabarkannya ke dalam perencanaan jangka panjang,
jangka menengah dan jangka pendek dengan target dan indikator yang
jelas. Rencana pembangunan berkelanjutan tadi harus menempatkan
manusia, yakni seluruh warga negara Indonesia, tanpa membedakan suku,
ras, agama, serta embel-embel lainya, sebagai subjek sekaligus objek
pembangunan, dengan membangun manusianya.

Melihat kondisi bangsa kita saat ini, dimana masalah kemiskinan,
ketahanan pangan -- ketersediaan pangan yang sehat dan terjangkau,
kebodohan -- kualitas pendidikan pembentuk SDM, korupsi yang
terstruktur , terorisme dan tindak kejahatan, penanganan bencana alam,
wabah penyakit, pengangguran, perdagangan manusia, pelanggaran HAM,
menjadi parameter yang jelas bahwa pemerintah masih gagal mewujudkan
misi yang diembannya.
Strategi Yang digunakan

Pemerintah sebagai pengelola negara mesti mampu mempertimbangkan
kelebihan, kekurangan yang dimiliki oleh bangsa, dalam membuat
strategi guna menangkap sebanyak mungkin peluang yang ada, sekaligus
membuat strategi alternatif yang jitu bila berjumpa dengan
kendala-kendala. Menurut Gunnar Mirdal, suatu desain yang
berkelanjutan, memiliki keempat unsur yang berurutan sebagai kerangka
yang tidak bisa dibantah, yaitu harus relevan (saling terkait,
dirasakan langsung), kemudian signifikan (penting dilakukan), lalu
harus logis (masuk akal), dan terakhir harus realistis (wajar).
Langkah Konkrit

Kondisi yang dihadapi pusat maupun daerah sangat berat, sehingga
dibutuhkan tim yang solid dan berkualitas dengan pemimpin yang
berkarakter kuat, memiliki visi jelas, inovatif, integritas tinggi,
mampu mengambil keputusan yang tepat secara cepat. Yang mendesak
untuk dilakukan pemimpin negara dan daerah, yang pertama, melakukan
perombakan mendasar terhadap sistem birokrasi yang lamban, kurang
bermutu, korup, serta bermental feodal menjadi birokrasi yang efektif,
efisien, ekonomis dan memiliki mental melayani. Langkah awal yang bisa
memaksa pembenahan birokrasi, misalnya mengeluarkan aturan tentang
sistim penggajian pegawai yang salah satunya didasarkan atas kualitas
hasil kerja, serta menerapkan reward and punishment dengan kriteria
yang jelas. Kedua, Pengelolaan setiap anggaran, sejak perencanaan,
pelaksanaan hingga evaluasi juga harus dilaksanakan secara
partisipatif, transparan, berasaskan keadilan, akuntabel, efektif,
efisien & ekonomis, rasionalitas sebagaimana diatur dalam pasal 3 UU
17 tahun 2003. Untuk memberantas korupsi, seluruh birokrat dan
pegawai diwajibkan menandatangani kontrak berisi kesediaan dicopot
jabatannya jika terlibat korupsi, kemudian diberi sangsi hukuman
seumur hidup dan dianugerahi gelar kanibal pemakan sesama. Ketiga,
penegakan hukum, agar hukum menjadi hamba kebenaran, seluruh aparat
penegak hukum juga diwajibkan menandatangani kontrak berisi kesediaan
dicopot jabatannya jika terlibat mafia peradilan, diberi sanksi
hukuman seumur hidup dan diberi gelar sebagai penjahat bangsa.
Keempat, bagaimana mengurangi angka kemiskinan, merubah paradigma
developmentalisme dengan sekali lagi menjadikan manusia sebagai subjek
pembangunan. Pemerintah harus mampu menghilangkan ketimpangan Jakarta
– Irian barat, bagaimana nelayan atau petani di daerah tertinggal bisa
mencontoh temen-temannya di lereng merbabu (sudah punya website
sendiri).

Bagi rakyat awam yang tidak memiliki posisi dan jabatan, tugas mengisi
kemerdekaan dapat dilakukan melalui Lembaga Swadaya Masyarakat, untuk
bersama-sama pemerintah melakukan penguatan pada masyarakat yang
miskin, bodoh dan terpinggirkan. Bila menemui penyimpangan,
ketidakbenaran, kaum muda harus berani meluruskan, sebagaimana dulu
dipesankan Soe Hok Gie: kini mereka telah menghianati perjuangannya
sendiri, kita generasi muda ditugaskan untuk memberantas generasi tua
yang mengacau. Melakukan sesuatu yang sederhana, semacam tidak makan
gaji (upah) buta, membayar pajak, tertib berlalu-lintas, tidak
membuang sampah sembarangan juga merupakan hal tak kalah luhur
dibanding hal-hal bersifat patriotik.

Terakhir, saya ingat satu nasehat bijak, nasibmu kumpulan dari
tindakanmu, dan itu hanya dua, buruk dan bahagia. Ayo bertindak ...
Merdeka !

Thomas Prasasti, laki-laki gondrong ini aktif disebuah NGO local di Lampung.

Monday, October 8, 2007

Monday, October 1, 2007

Pendidikan Gratis Vs "Political Will"

Oleh SUPRIADI


Pembaca yang budiman, senang sekali bisa menyelesaikan
artikel yang berjudul "Pendidikan Gratis Vs "Political
Will"?" ini. penulis menyadari tulisan ini masih
banyak kekurangan, maka kritik dan saran sangat
diharapkan oleh penulis mengenai topik yang diangkat
ini.


PADA artikel kali ini penulis ingin menyampaikan apa
yang sering mengusik hati kecil ini.
Penulis sering menyatakan bahwa untuk menjadi sebuah
Negara yang "besar" kita tidak harus saling
menyalahkan dan menjatuhkan. Tapi kali ini penulis
kecewa dengan pemerintah. Penulis ingin menggugat
pemerintah untuk bertanggungjawab. Yaitu untuk
menyelenggarakan tidak hanya pendidikan yang
berkualitas tetapi juga pendidikan yang Gratis. Tidak
ada tawar menawar lagi. Pendidikan gratis untuk semua
golongan. Jangan katakan tidak! Karena kita mampu
melakukannya.

Di Jembrana Bali misalnya. Bupati Jemberan Bali adalah
Bupati pertama yang memberikan pendidikan dan
pelayanan gratis kepada semua lapisan mayarakat tanpa
mendiskiminasikan golongan tertentu. Andai semua
"penguasa" mempunyai "politcal will" yang sama.
(M.Nurdin: 2005)

Banyak kasus telah terjadi akibat mahalnya biasaya
sekolah. Dari anak putus sekolah, kemudian anak
menjadi pekerja di bawah umur, banyak
anak yang stress, bahkan banyak yang nekat bunuh diri.
Andang misalnya, Siswa SD garut nekat gantung diri
karena tidak mampu membayar uang ekstra kurikuler.
Sedangkan DI Tegal, seorang anak SD nekat mencoba
bunuh diri, dengan alasan menunggak SPP 9 bulan
(Pontianakpost Edisi: Kamis, 17 Mei 2007 ).

Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mendesak
pemerintah untuk segera mewujudkan pendidikan gratis
agar semua anak bisa bersekolah. Namun yang ada
hanyalah janji. Sekali lagi JANJI. Kapan akan ditepati
BUNG? Pembaca yang budiman, bukankah tugas utama
anak-anak seharusnya adalah belajar yang banyak,
karena posisi mereka sebagai generasi penerus.

Besarnya biaya pendidikan, yang berujung pada
ketidakmampuan pihak pembiaya (orang tua, wali maupun
anak sendiri) dalam membayar, mengharuskan anak putus
sekolah. Kasus seperti ini belakangan jumlah-nya terus
meningkat, menjadi fenomena di seluruh pelosok tanah
air.

Putus Sekolah Tidak Seharusnya Terjadi

Melihat kasus putus sekolah-nya anak anak usia sekolah
khususnya di Kalimantan Barat misalnya yang cukup
tinggi yaitu sebesar 2,5 persen merupakan sebuah
fenomena yang seharusnya tidak terjadi. (Warta Pemprov
- 08/07/2005). Sebagai Hak Asasi Manusia pendidikan
seharusnya menjadi kewajiban pemerintah, tidak soal
siapa yang menjadi Bupati, Gubernur ataupun Presiden,
jika itu tidak terjadi maka secara terbuka pemerintah
telah melanggar HAM, pemenuhan hak pendidikan tidak
hanya dalam penyediaan sarana pendidikan dan guru.
Kalau tidak mampu merealisasikn atau menepati janji
sebaiknya segera mundur dari kursi kepemiminan yang
sudah "reot" atau bagi yang mau mencalonkan diri
menjadi pemimpi terutama Gubernur, walikota, bupati
dan sebagainya sebaiknya jangan terlalu banyak
berjanji jika tidak mamu menepatinya nanti.

Dalam kasus seperti putus sekolah di Indonesia saat
ini, jalan keluar yang paling mungkin adalah
pendidikan anak harus gratis, pendidikan gratis di
dalamnya termasuk penyediaan segalah fasilitas

pendidikan seperti, alat tulis, sarana pendidikan
lainya, solusi ini akan menurunkan tingkat putus
sekolah karena alasan faktor eksternal, di harapkan ke
depan tidak ada lagi alasan bagi anak-anak untuk tidak
sekolah.

Masih juga segar diingatan kita sumua bagaimana SBY JK
berjanji di hadapan publik pemilihnya di masa kampanye
pemilihan presiden dan wakil presiden beberepa waktu
lalu. "Kami akan memberikan perhatian lebih kepada
dunia pendidikan. Semua pihak harus mencatat janji
kami dalam hati yang paling dalam". Kemudian beliau
(SBY) menegaskan mulai tahun 2005 pemerintah akan
membebaskan biaya pendidikan bagi anak-anak terutama
di tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah tingkat
pertama. (Kompas, 18 Juni 2005)

Mereka sudah berjanji berarti mereka harus menepati.
Nabi mengingatkan janji adalah hutang yang wajib di
bayar. Orang bijak bertutur "Ketika sudah berjanji
maka tidak ada kata lain kecuali harus ditepati.
Sekarang tidak henti-hentinya rakyat menagih janji.

Kalau tidak sekarang kapan lagi? Kalau tidak untuk
rakyat untuk siapa lagi? Pembaca yang budiman tentunya
kita semua sepakat jika masa depan kemajuan suatu
bangsa tergantung kepada bagaimana pendidikan saat ini
terhadap anak-anak bangsa. Oleh karena itu sudah
saatnya pemerintah mendengarkan hati nurani. Sudah
saatnya menggunakan "power" atau kekuasaan dan
"political will" nya untuk menepati janji yang yang
sudah di gembar-gemborkan
sebelumnya.

Semoga…

Supriadi adalalah Mahasiwa di departemen Sastra Inggris Unversitas Tangjungpura, Kalimantan Barat.

Monday, September 10, 2007

KEKELIRUAN DI FAKULTAS EKONOMI

Oleh ERIX HUTASOIT


”… dosen-dosen ekonomi di Universitas telah “berdosa” mengajarkan ilmu ekonomi secara keliru atau bahkan mengajarkan “ilmu ekonomi yang keliru”.” (Prof.Mubyarto, 2003)

SESAAT setelah membaca artikel Martin Manurung (2007), yang bertajuk ”Bedanya Stiglitz dan Boediono,” saya langsung teringat pada almarhum Prof. Mubyarto. Dalam kuliah umum tahun 2001 di Medan, Prof. Mubyarto, secara terbuka menyatakan kegelisahannya terhadap kualitas sarjana ekonomi di Indonesia.

Pada kesempatan itu, Prof.Mubyarto dengan lugasnya menyoroti lemahnya kemampuan sarjana ekonomi dalam memberikan konsep pembangunan yang pro-rakyat. Kegelisahan itu, kembali dituangkannya dalam artikelnya di tahun 2002, dimana Prof.Mubyarto menyatakan, ”..tidak jarang sarjana-sarjana sosial non-ekonomi lebih cerdas berpikir ekonomi dan mampu mengusulkan rencana-rencana pembangunan yang rasional ketimbang sarjana ekonomi.”
Lebih lanjut Prof.Mubyarto menulis, ”Kesimpulan kita adalah bahwa pengajaran ilmu ekonomi di fakultas-fakultas Ekonomi kita kurang tajam, kurang relevan, atau keliru. Lebih merisaukan lagi, jika kemudian timbul kesan bahwa ilmu ekonomi mengajarkan bagaimana orang mencari uang, atau mengejar untung, dengan tidak mempertimbangkan akibat tindakan seseorang bagi orang lain.”

Bertolak dari kritisisme Mubyarto, saya melihat kelemahan sarjana-sarjana ekonomi ini disebabkan oleh pertama, konsep homosocialis (manusia sosial) yang dirilis Adam Smith (1723-1790) dalam "On the Theory of Moral Sentiments" (1759), yang menggambarkan tentang empati atau kecenderungan cinta kasih manusia kepada masyarakatnya yaitu, propensities such as fellow feeling and the desire to attain approval of his brethren, tidak diajarkan secara utuh atau malah “dibonsai” habis di ruang-ruang kuliah fakultas ekonomi.

Sebaliknya, konsep homoeconomicus (manusia ekonomi) yang dituliskan Smith dalam "The Nature And Causes of The Wealth of Nations" (1776), malah diajarkan secara berlebihan. Keegoisan manusia untuk memenuhi kebutuhannya dianggap sebagai ”kewajaran.” Dan adagium maximum gain minimum sacrifice, dijadikan prinsip suci ekonomi yang pantang dilanggar. Inilah yang membuat isi kepala sarjana ekonomi kita tak ada bedanya dengan isi kepala para spekulan di pasar modal: uang dan lebih banyak lagi uang.

Sudah menjadi rahasia umum kalau spekulan pasar modal, tidak mengenal istilah ideologi dan politik apalagi punya nasionalisme. Logika spekulan ini berangkat dari pemikiran Joseph Schumpeter yang menyebut, ”..sejarah kemajuan ekonomi adalah sejarah perkembangan kreativitas manusia.” Lebih lanjut, Schumpeter mengatakan, perkembangan ekonomi adalah kenaikan output yang disebabkan oleh inovasi (pendapatan baru) yang dilakukan oleh para wiraswasta (pengusaha).

Petuah Schumpeter inilah yang menjadi jalan tol bagi para spekulan untuk meraup keuntungan. Atas nama ”kreativitas,” para spekulan memanfaatkan setiap keadaan demi maximum gain (inovasi). Bahkan, situasi yang krisis sekalipun tetap bisa mengutungkan bagi mereka. Coen Husain Pontoh (2007) dalam "Bermimpi Mengejar Investasi," mencontohkan spekulan yang tinggal di Pulau Macau, misalnya, boleh saja membeli salah satu perusahaan yang bangkrut di Indonesia (karena krisis ekonomi/politik - ed.) untuk kemudian di jual lagi ke spekulan lain di negeri seberang.

Sekalipun aksi spekulan ini menyebabkan kerugian banyak orang, mereka tidak perduli. Yang menjadi panduan mereka adalah lonjakan angka-angka statistik pada monitor komputer. Bukan barisan panjang ibu-ibu yang antri berjam-jam untuk mendapatkan pembagian beras miskin. Atau, jumlah balita (bawah lima tahun) yang meninggal dunia karena kekurangan gizi.

Dosa kedua, menempatkan analisis empiris-analitis (deduktif) sebagai patron dalam analisis ekonomi. Ini membuat fenomena ekonomi mendapatkan pembuktian ilmiah hanya melalui rimbunan statistika dan kerumitan matematika. Logika ini diambil dari anggapan bahwa ekonomi adalah ilmu murni yang ”bebas nilai.” Muasal logika ini tidak terlepas dari kemenangan kelompok positivisme dalam perdebatan metodologi di Jerman, pada abad ke-18. Ketika itu, kaum positivisme mengganggap klaim ilmiah hanya dapat dibuktikan kebenaranya lewat metode ilmu alam (science). Setiap pengetahuan yang tidak berdasarkan metode ilmu alam, konon tidak layak disebut sebagai ilmu.

Satu perdebatan seru terjadi antara Gustav Schmoller dan Carl Menger di tahun 1870an dan 1880an. Perdebatan itu untuk menentukan status dan metodologi ilmu ekonomi. Mereka berdebat dalam soal, apakah ilmu ekonomi harus bekerja menurut metode “eksakta” atau metode “historis,” metode “deduktif” atau “induktif,” dan metode “abstrak” atau “empiris.”
Dengan kata lain, apakah ilmu ekonomi merupakan disiplin yang termasuk dalam katagori pengetahuan nomonetik atau ideografik. Nomonetik adalah pengetahuan yang mencari hukum-hukum umum atau keteraturan. Sedangkan ideografik adalah pengetahuan spesifik yang menyoroti gejala individu dan historis.

Ujung dari perdebatan metode dalam rangka penentuan status epistomologi ilmu ekonomi itu “dimenangkan” kaum positivisme. Ilmu ekonomi lantas dipaksa berdiri sama tinggi dengan ilmu alam, dengan cara menggunakan metode ilmu alam dalam ‘analisisnya.” Dan semenjak itu (1) ilmu ekonomi “dianggap” terpisah dari ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, anthropologi, dan ilmu kritik sosial lainya; dan (2) melalui pemikiran Ragar Frish dan Jan Timbergen yang mengembangkan Ekonometri, ilmu ekonomi kemudian disahkan sebagai ilmu murni dengan mengambil statistika dan matematika sebagai alat analisisnya.

Di Indonesia, penerapan ekonomi sebagai ilmu murni semakin mendapatkan tempat terhormat, kala alumnus university of California at Berkeley, yang berhaluan neoklasik (liberal), menukangi perekonomian Orde Baru (Orba). Dalamnya strateginya, ekonom teknorat yang dikomandani Widjojo Nitisastro, memfokuskan pertumbuhan ekonomi sebagai jalan pembangunan. Disinilah arogansi cateris paribus sebagai sebuah syarat mekanisme pasar dipraktikkan dengan ketat. Dan militer dipercaya sebagai stabilitator untuk memastikan semua syarat-syarat itu berjalan dengan baik.

Rakyat lalu dipaksa menerima program penghapusan subsidi, liberalisasi industri dan pangan serta privatisasi dengan todongan senapan. Atas nama pembangunan, Orba merampas tanah-tanah rakyat untuk diubah menjadi perkebunan atau lokasi industri. Siapapun yang tidak sepaham atau melawan, akan segera berakhir sebagai pecundang di penjara atau liang kubur.

Dampaknya, investasi asing dengan segera mengucur deras ke Indonesia. Diikuti regulasi besar-besaran untuk menjamin tidak terjadinya perubahan pada faktor yang bisa mempengaruhi penawaran dan permintaan (cateris paribus). Alhasil, angka-angka statistik pun segera melonjak drastis, inflasi yang pernah mencapai 600 persen berhasil ditarik hingga di bawah dua digit. Sukses inilah yang membuat Indonesia diganjar Bank Dunia sebagai salah satu ”the Asian Economic Miracle.”

Sukses ini menjalar sampai ke ruang-ruang kuliah fakultas ekonomi. Teori ekonomi neoklasik lengkap dengan metode analitis empiriknya, dengan segera menjadi buku babon ekonomi. Setiap dosen merasa tidak bertaraf ”internasional” kalau tidak merujuk Paul Samuelson, di kelas-kelas ekonomi. Bahkan, dosen ekonomi merasa tidak ”muktahir” kalau analisisnya tidak menyertakan rimbunan statistika. Dari sinilah model penelitian kuantitatif segera menghegomoni fakultas ekonomi.

Dalam kasus ini, penelitian dilakukan dengan mengambil jarak dari objek penelitian (yang diteliti). Pengambilan jarak dimaksudkan agar peneliti tidak ’bias’ dalam memberikan penilaian. Ini muncul dari anggapan, semakin ’bias nilai’ bisa dihindari, semakin objektiflah penelitian itu. Peneliti berkuasa penuh atas jalannya penelitian, dari observasi hingga penarikan kesimpulan. Kenyataannya, tidak ada penelitian yang bebas nilai. Penelitian selalu berpihak pada nilai tertentu. Karena pada praktiknya, peneliti (pelaku penelitian) adalah orang yang punya kepentingan. Baik dari segi teknis maupun ideologis.

Di masa Orba, misalnya, kepentingan ini tercermin pada kehendak ahli pembangunan dan peneliti sosial untuk mengontrol dan memanipulasi informasi, agar dapat memprediksi jalannya transformasi sosial. Melalui kontrol politik yang ketat, masyarakat lalu direkayasa (baik dengan kekerasan) agar target-target yang telah dituangkan dalam cetak biru sebelumnya menjadi kenyataan.

Disinilah kelemahan teori ekonomi neoklasik dengan model empiris-analisisnya (kuantitatifnya) terlihat jelas. Karena, apa yang tertera di atas kertas berdasarkan statistik dan matematika cenderung berbeda bahkan, berlawanan dengan kenyataan (realitasnya). Atau dalam kata lain, pertumbuhan ekonomi yang tinggi sekalipun belum tentu berdampak pada pemerataan kesejahteraan rakyat. Selain itu, keyakinan objektivitas yang bebas nilai telah mengakibatkan dehumanisasi. Karena orang yang ada di balik metode menjadi ’netral,’ lalu menjadi tidak bertanggung jawab terhadap informasi yang diperoleh. Sehingga mereka kadang menggunakan hasil penelitiannya, justru untuk menindas objek yang diteliti.

Karena sifatnya yang deduktif, model penelitian seperti ini hanya bersifat teknokratis, monologal dan tidak memperhatian realitas. Menurut Prof.Mubyarto, kelemahan neoklasik terletak di situ. Yaitu pada keengganannya untuk memasukkan faktor keadilan dan kebudayaan dalam analisisnya. Inilah yang membuat sarjana ekonomi kita menjadi pragmatis dan sesat. Di benak mereka, faktor etis seperti nilai, etika, dan ideologi seolah tidak berperan dalam penentuan kebijakan ekonomi.

Sampai disini pula, dosen–dosen di fakultas ekonomi harusnya menyadari bahwa tidak ada penelitian yang bebas nilai. Selain itu, yang perlu disadari, tindakan penelitian juga merupakan tindakan sosial dan pada tingkat tertentu, merupakan tindakan politik. Lebih jelasnya, sebuah tindakan penelitian cenderung membawa dua dampak politis: mendukung status quo dari sebuah sistem atau sebaliknya, mempertanyakan legitimasinya. Akibatnya, hasil sebuah penelitian sosial dapat dipakai untuk mendukung suatu rezim dan sekaligus menindas masyarakat. Atau, malah digunakan untuk mengevaluasi kebijakan rezim dan berupaya mengubah keadaan struktur sosial-ekonomi-politik yang berlangsung.

Dari titik ini kritik terhadap fakultas ekonomi dan haegomoni teori neoklasik menjadi sah dilancarkan. Setiap sarjana ekonomi atau mereka yang tengah belajar di fakultas ekonomi, harus menyadari kalau ilmu ekonomi yang bebas nilai itu hanya mitos. Atau lebih tepatnya, hanya akal busuk pemuja neoklasik untuk melanggengkan paham liberalisme.

Seperti petuah Rev. Imamanuel G. Singgih, Ph.D ”..ekonomi terlalu penting untuk hanya diurusin ekonom saja,” maka dari sana setiap sarjana ekonomi semakin sadar kalau ekonomi bukan sekadar hukum penawaran dan permintaan semata. Tapi, juga menyangkut hajat hidup orang banyak. Karena itu, adalah sah jika setiap sarjana ekonomi mempunyai keberpihakan (ideologi). Dan dalam konteks ini, keberpihakan itu jelas harus kepada rakyat dan bukan kepada pasar. ***

Erix Hutasoit, Editor CEFIL 19. Menyelesaikan pendidikan dibidang ekonomi. Saat ini sedang bekerja untuk lembaga sosial gereja katolik dibidang komunikasi dan advokasi.

Kepustakaan:

Erix Hutasoit, ”Mitos Investasi dalam Paradoks Ekonomi Indonesia,” Tambahan untuk DR.Syahrir, Harian Analisa, 19 Juni 2007.

Coen Husain Pontoh, ”Bermimpi Mengejar Investasi,” http://indoprogress.blogspot.

Coen Husain Pontoh, ” Tim Widjojo,” http://indoprogress.blogspot.com.

Heru Nugroho,”Menumbuhkan ide-ide Kritis,” Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000.

Martin Manurung, ”Bedanya Stiglitz dan Boediono,” http://indoprogress.blogspot.com

Mubyarto, ”Membangkitkan Ekonomi Kerakyatan Melalui Gerakan Koperasi: Peran Perguruan Tinggi,” Jurnal Ekonomi Kerakyatan Th.I No.6, Agustus 2002.

Tuesday, August 28, 2007

ORANG BIJAK TIDAK GOLPUT (?)

Oleh ERIX HUTASOIT

KALAU Anda penduduk Medan atau sedang berkunjung ke Medan, cobalah untuk memperhatikan spanduk-spanduk yang tergantung dipersimpangan jalan kota ini. Di simpang dekat Universitas HKBP Nommensen dan Hotel Grand Angkasa misalnya. Di sana Anda akan membaca sebuah spanduk yang isinya mensosialisasikan pemilihan kepala daerah (pilkada) Sumatera Utara.

Jika Anda membaca secara seksama isi spanduk itu, pasti Anda akan menemui kalimat,”Orang Bijak Tidak Golput.” Bagi penulis, makna kalimat seperti ini sangat kacau dan diskriminatif. Kalimat ini jelas telah ‘menghakimi’ orang-orang yang tidak menggunakan hak konsitusinya dalam pemilu (golput) sebagai orang yang tidak bijak.

Ironisnya, kalimat itu terpampang jelas bersama logo Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebuah lembaga negara yang dibiayai publik untuk mensosialisasikan dan menyelenggaran pemilu. Tapi dalam konteks kalimat tadi, KPU malah terkesan seperti lembaga ‘tafsir’ yang menentukan mana warga negara yang bijak dan mana yang tidak bijak.

Apa yang dilakukan KPU ini mirip prilaku Orde Baru (Orba) lewat konsep Negara Kekeluargaannya. Konsep ini menurut Arief Budiman (2006) dalam,”Mitos dan Ideologi di Indonesia,” menempatkan negara sebagai kepala keluarga atau “bapak” dan warga adalah anak-anaknya. Warga tidak dibiarkan punya kekuasaan penuh. Ini akan jadi anarki, karena mereka masih anak-anak (masih bodoh), belum tahu apa yang paling baik bagi mereka. Pengetahuan ini hanya dimiliki oleh sang bapak.

Bapaklah yang paling mengetahui apa yang dibutuhkan oleh anak-anaknya. Dan bapak pula yang berhak menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Mana yang harus dilakukan dan mana yang harus disingkirkan.

Sang bapak dalam setiap kesempatan terus mengingatkan pentingnya stabilitas politik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Kita tidak boleh banyak bertikai. Mari satukan langkah dalam derap pembangunan ekonomi. Kalau ada yang tidak sederap, dia itu adalah orang yang mau menyabot pembangunan. Dia adalah musuh rakyat. Termasuk orang yang selalu membicarakan soal hak asasi manusia. Bukan karena pemerintah anti kepada hak asasi manusia, tapi dalam era pembangunan ini, hak tersebut hendaknya tidak terlalu diutamakan, katanya.

Celakanya prilaku sang bapak ini memasung kebebasan sipil dan politik serta mematikan demokrasi. Tafsir ‘kebenaran’ sang bapak telah pula memakan korban jutaan jiwa warga negaranya. Warga negara (anak-anak) yang berseberangan dengan sang bapak diposisikan layaknya musuh. Kemudian secara sewenang-wenang di penjara atau di bunuh. Prilaku sang bapak inilah yang selama 32 tahun dikenal sebagai kediktatoran rejim Orde Baru.

Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, akhirnya konsep Negara Kekeluargaan ini harus berakhir secara tragis. Di tahun 1998, sang bapak (Orba) dilengserkan oleh anak dan cucu sendiri yang bernama rakyat Indonesia. Dan konsep sang bapak yang dulu di puja dan digugu serta ditabukan untuk dibahas. Kini dikritik habis-habisan bahkan ditempatkan sebagai catatan buruk sejarah bangsa ini.

Hal serupapun bisa menimpa KPU, jika lembaga ini ikut-ikutan keliru ‘menafsir’ hak konstitusi warga negara. Pada hal, sudah sangat jelas bahwa memilih (menggunakan hak pilih) dalam pemilu adalah hak konstitusi warga secara perseorangan. Hak yang dilindungi secara hukum. Sebagai sebuah hak, setiap warga berotoritas penuh untuk menggunakan atau tidak menggunakan sama sekali hak tersebut alias golput.

Golput sebagai Pilihan Bijak

Golongan putih (golput) bukanlah fenomena baru di Indonesia. Ia muncul pertama sekali di tahun 1971. Beberapa tokoh nasional pernah mengagas gerakan golput ini, mereka adalah Adnan Buyung Nasution, Julius Usman, Arief Budiman, Asmara Nababan. Bahkan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) melalui Kardinal Julius Darmaatmadja, dalam surat Gembala Pra Paskah 1997, pernah menulis,”…Anda tidak berdosa apabila tidak memberikan suara.”

Fenomena golput bukan pula hal yang aneh, tabu apalagi kriminal. Di negara yang mengagungkan demokrasi prosedural (pemilu) seperti Amerika Serikat (AS) saja, angka golput juga tidak pernah beranjak (berkurang) dari 40 persen.

Hasil studi The Committee for Study of the American Electorate di tahun 2001, melansir di 16 negara bagian dari 50 negara bagian di seluruh AS, hanya 16,2 persen eligiable voters (pemegang hak pilih) yang mendatangi tempat pemungutan suara. Bahkan tiga tahun sebelumnya angka eligiable voters yang berpartisipasi malah jauh lebih rendah.

Jika pertanyaannya,” Mengapa golput bisa muncul?” Maka ada dua keadaan yang menyebabkan itu. Pertama, karena faktor tidak sengaja. Hal ini bisa terjadi dalam bentuk (1) Warga tidak terdata sebagai calon pemilih, penyebabnya bisa saja karena berpindah domisili. Ini yang menyebabkan warga kehilangan hak pilih (2) Warga sudah tercatat sebagai calon pemilih, namun meninggal dunia (3) Warga melakukan kekeliruan pada saat melakukan pencoblosan, sehingga hak suaranya dianggap batal.

Kedua, sengaja untuk golput. Kondisi kedua ini dapat terjadi dalam bentuk (1) Warga sengaja menghindari pendataan atau sengaja tidak terdaftar sebagai calon pemilih (2) Warga yang sudah terdaftar tapi pada hari pelaksanaan, si warga tidak menggunakan hak pilihnya (3) Warga sengaja melakukan kekeliruan agar suaranya dianggap batal.

Untuk keadaan kedua atau sengaja untuk golput, tindakan ini umumnya bermakna politik. Pelakunya (orang yang golput) melakukannya sebagai bentuk ‘perlawanan’. Perlawanan itu bisa saja dipicu dengan berbagi alasan, misalnya (1) Perlawanan terhadap mekanisme politik yang terjadi saat itu, seperti yang dilakukan Arief Budiman di tahun 1971 yang memboikot pemilu karena Masyumi dan PSI dilarang mengkuti pemilu (2) Figur – figur yang muncul di pemilu dianggap tidak kredibel, seperti yang dilakukan Prof. Bactiar Hasan Miraza di tahun 2004. Prof. Bactiar merasa kecewa karena banyak calon legislatif yang menggunakan ijasah palsu, sehingga dia merasa ‘ogah’ memilih orang-orang seperti itu.

Menurut penulis, golput dalam konteks yang dilakukan Arief Budiman dan Prof. Bactiar Hasan Miraza adalah pilihan sadar (rasional). Mereka melakukannya berdasarkan analisis dan alasan tertentu. Yang secara logika dapat diterima. Karena itu, penulis menggolongkan golput model seperti ini sebagai pilihan bijak.

Dari sini pula penulis berangkat bahwa asumsi orang bijak tidak golput, tidaklah tepat. Golput adalah produk politik, sehingga harus juga dipahami dalam konteks politik. Golput janganlah dicampur-adukkan dengan konteks moral agar pemaknaannya tidak bias dan rancu.

Sebagai catatan kritis bagi KPU dalam menggelar tahapan pilkada, terutama dalam tahapan sosialisasi. Hendaknya KPU lebih selektif dan kreatif lagi dalam mengemas komunikasi politik. Terkhusus dalam memilih kalimat-kalimat yang akan dimunculkan di wilayah publik. Jangan main asal tayang saja.

Penulis percaya anggota KPU Sumatera Utara saat ini tidak perlu lagi diragukan kemampuan dan intergritasnya. Mereka pasti mengerti bagaimana harus mengemas komunikasi politik yang baik dan mendidik. Dan pastinya mereka juga paham bagimana memaknai sebuah kritik. Akhirnya, penulis mengucapkan selamat bekerja untuk anggota KPU Sumatera Utara. Semoga sukses menggelar Pemilihan Gubernur Sumatera Utara periode 2008/2013. (***)

Erix Hutasoit, Editor CEFIL 19. Menyelesaikan pendidikan dibidang ekonomi. Saat ini sedang bekerja untuk lembaga sosial gereja katolik dibidang komunikasi dan advokasi.

Pustaka :

Arief Budiman,”Mitos dan Ideologi di Indonesia,” dalam Kebebasan, Negara, Pembangunan ; Kumpulan Tulisan 1965 – 2005, Freedom Institute, Jakarta, 2006.

Erix Hutasoit,”Tidak Percaya dengan Partai Pemilu 2004? Boikot bukan Jawabannya,” Bulletin Skopos, PNB HKI Ressort Medan I, Edisi I Tahun IV, April-Juni 2004.

___________,”Prof. Bactiar Hasan Miraza Mengaku Dirinya Golput,”Harian Sinar Indonesia Baru (SIB), Edisi No.0737/Tahun XXXIII, Kamis, 19 Februari 2004.


PENDIDIKAN TINGGI SEBAGAI KOMODITAS BISNIS *)

Oleh ERIX HUTASOIT

BARU saja ribuan calon mahasiswa baru tahun 2003 selesai mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Dengan keyakinan penuh, setiap calon bersaing memperebutkan satu bangku di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Sekilas perjuangan mereka (calon mahasiswa baru ini) sangat menyentuh dan benar-benar menunjukkan betapa pendidikan memiliki arti penting.

Tetapi cerita menyentuh ini akan segera berakhir ketika hasil SPMB diumumkan kelak. Akan ada cerita senang, bagi mereka yang dinyatakan diterima. Akan ada pula cerita sedih bagi mereka yang gagal. Namun di balik kedua cerita ini, mereka dihadapkan dengan satu permasalahan baru yaitu mahalnya biaya pendidikan.

Sedikit beruntung bagi mereka yang diterima di PTN, walau biaya pendidikan di PTN sebenarnya sudah tergolong mahal, namun setidaknya masih lebih murah ketimbang di Perguruan Tinggi Swasta (PTS).

Bagi kelompok warga yang cukup mampu secara keuangan, biaya pendidikan yang mahal di PTS mungkin tidak begitu dipersoalkan. Tapi bagi 40 juta warga Indonesia yang penghasilannya hanya 2 USD per hari (ukuran kemiskinan menurut Bank Dunia). Biaya kuliah yang angkanya bisa menyentuh jutaan itu, hanyalah mimpi yang tidak terbeli.

Kondisi ini jelas menciptakan kesenjangan sosial dalam tatanan kehidupan warga. Bahkan fenomenanya kini, PTN yang harusnya ‘dikuasai’ warga yang pas-pasan, kini malah di banjiri anak-anak dari warga yang tergolong mampu (kaya). Ada gengsi khusus rupanya jika bisa duduk di bangku PTN. Celakanya, gengsi itu pula yang lebih mendorong anak-anak orang kaya ini untuk berebut duduk disana.

Lantas mereka yang miskin di mana? Satu dua tiga orang dari kelompok warga yang miskin ini ada juga yang bisa masuk PTN. Tapi kalau mau jujur dihitung, jumlah mereka yang tidak bisa berkuliah dari golongan miskin jauh lebih banyak.

Ironisnya lagi, tidak hanya jalur SPMB yang didominasi kelompok warga yang mampu ini. Akses lain untuk duduk di PTN melalui jalur khusus juga mereka borong. Walau angka yang harus di bayar sangat mahal, berkisar Rp. 15 juta sampai Rp. 150 juta (Media Indonesia,19/6/2003), tapi tetap saja jalur khusus ini ramai peminat.

Apa yang terjadi dalam realitas pendidikan saat ini, tidaklah lepas dari trend globalisasi. Sebagaimana yang di catat sejarah, globalisasi berawal dari GATS (Global Agreement on Trade and Tariffs) yang dicanangkan tahun 1994 oleh 140 negara. Kesepakatan inilah yang pada tahun 1995 melahirkan World Trade Organization/WTO (organizasi perdangangan dunia).

WTO pada dasarnya dilahirkan untuk meningkatkan liberalisasi perdagangan internasional. Soekartwati (2003) dalam artikelnya WTO dan Globalisasi Pendidikan, mencatat 12 sektor yang dimasukkan sebagai ‘produk’ dagang WTO. Yaitu bisnis, komunikasi, distribusi, pendidikan, lingkungan, keuangan, kesehatan, turisme, transportasi dan jasa lainnya. Sejak itulah pendidikan kemudian berubah wajah dari aktivitas sosio budaya menjadi aktivitas bisnis.

Perubahan Fungsi Pendidikan

Margiyono (2002) dalam artikelnya Menghadapi Globalisasi Pendidikan, menganalisis perubahan semangat pendidikan Indonesia. Semangat yang pada awalnya sebagai aktivitas sosio budaya, kini berubah menjadi semangat untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya mengikuti darah bisnis yang kini kecang mengalir dalam tubuh pendidikan.

Mariyono mencatat sedikitnya ada 7 (tujuh) perubahan fungsi dalam aktivitas pendidikan Indonesia saat ini.

Pertama, fungsi mahasiswa yang semula sebagai sasaran pendidikan atau sumber daya manusia yang dikembangkan potensinya untuk membangun masyarakat. Berubah menjadi konsumen atau pembeli produk pendidikan. Ini dimaksudkan sebagai prasyarat memasuki dunia kerja.

Kedua, fungsi dosen yang semula sebagai pendidik dan pengembang ilmu pengetahuan berubah sebagai pekerja.

Ketiga, fungsi rektorat yang bertindak untuk mengelola dan mengembangkan mutu pendidikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Berganti menjadi manajer bisnis pendidikan.

Keempat, fungsi yayasan yang bertujuan mengabdi kepada kepentingan masyarakat untuk menyalurkan ide dan gagasannya. Berganti menjadi investor atau penanam modal untuk mencari laba (profit oriented) .

Kelima, SPP yang berfungsi sebagai sumbangan dana untuk mengembangkan pendidikan (bentuk partisipasi warga dalam pendidikan). Berubah menjadi income atau sumber laba.

Keenam, Ijasah atau gelar yang berfungsi sebagai tanda bukti kelulusan untuk penghargaan. Berganti menjadi tanda bukti kelulusan untuk komoditas. Ijasah seolah-olah menajadi ukuran mutlak kualitas seseorang dan alat ukur untuk memasuki dunia kerja.

Ketujuh, negara yang seharusnya berfungsi membiayai dan mensubsidi (untuk swasta) pelaksanaan pendidikan guna mengembangkan SDM bangsa. Beralih fungsi menjadi penyedia iklim yang kondusif agar bisnis pendidikan berkembang. Negara bertindak layaknya jasa security (keamanan) yang siap segera menindak siapa saja yang ‘mengganggu’ aktivitas bisnis pendidikan ini.

Analisa Margiyono ditulis berdasarkan pengaruh program Structural Ajust Programme/SAP yang dicanangkan Dana Moneter Internasional/IMF. Melalui SAP, IMF memaksa pemerintah Indonesia melakukan program privatisasi dan pemotongan subsisi publik secara besar-besaran. Hasil pemotongan subsidi publik ini yang kemudian dialokasikan untuk pembayaran Utang Luar Negeri (ULN).

Itulah sebab mengapa pemerintah mampu mengalokasikan 22,8 persen APBN 2003 (sebesar Rp. 80.887.40 Milyar) untuk pembayaran ULN. Sedangkan untuk subsidi untuk sekitar 220 juta warga Indonesia hanya Rp.25.339.50 Milyar atau hanya 7,2 persen dari APBN 2003.

Dalam konteks pendidikan tinggi, pemotongan subsidi menyebabkan kemampuan perguruan tinggi (PT) baik negeri maupun swasta menurun drastis. Untuk PTS penuruan ini ditutupi dengan menaikkan biaya pendidikan. Untuk PTN, penurunan ini ditutupi juga dengan menaikkan biaya pendidikan serta membuka akses keuangan lain. Pembukaan akses lain inilah yang mendorong PTN berubaha menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Perubahan ini membuat PTN tidak ubahnya seperti Badah Usaha Milik Negara (BUMN) yang tujuannya mencari keuntungan.

Lalu pertanyaan kita semua,” Apakah setelah pendidikan ikut dibisniskan, lantas mutu pendidikan meningkat?” Menjawab pertanyaan ini, penulis mengutip buku Mc.Donaldlisasi Pendidikan Tinggi tulisan Heru Nugroho (2002) Direktur Program Pasca Sarjana Sosiologi Universitas Gajah Mada (UGM).

Buku ini sendiri diterbitkan tepat setelah UGM berubah menjadi BHMN. Menurut Heru Nugroho, UGM mengalami kegamanang pasca ditetapkan sebagai BHMN. Heru menulis,”Ternyata para petinggi yang berkuasa di UGM tampaknya sedang bingung dalam menterjemahkan arti kata “otonomi pendidikan” (satu konsep yang muncul dari trend demokratisasi, otonomi daerah dan desentralisasi).”

UGM yang dianggap sebagai PTN terbaik di Indonesia pasca terbitnya PP No.153 tahun 2003 tentang perubahan status hukumnya, terus mengalami degradasi kualitas. Lihat saja laporan Asiaweek. Bahkan beberapa program studi yang ada di UGM menurut Badan Akreditasi Nasional (BAN) berada di bawah PTN lainnya bahwa di bawah PTS.

Tidak hanya Heru Nugroho yang angkat bicara, Prof. Mubiarto juga mengungkapkan ‘keprihatinannya’. Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM ini mengatakan bahwa dosen – dosen di fakultas ekonomi UGM tidak pernah lagi membaca buku semacam The Principle of Teaching Economics, akibatnya dosen cenderung mengajarkan ilmu ekonomi yang dipelajarinya dari luar negeri, semisal Amerika Serikat (AS), dan memberikan contoh luar negeri itu kepada mahasiswanya. Pada hal pada praktiknya, model AS berbeda dengan kondisi Indonesia, akhirnya sarjana – sarjana yang ditamatkan tidak mengerti permasalahan ekonomi yang dialami Indonesia.

Kegelisahan Heru Nugroho dan Prof. Mubiarto sangatlah beralasan. Pendidikan yang sejatinya adalah produk idealisme untuk mengembangkan potensi SDM bangsa. Kini berlahan ditinggalkan seiring masuknya semangat bisnis dalam tubuh pendidikan. Pada hal sekalipun pendidikan sudah dibisniskan, tidak ada jaminan mutu pendidikan beserta lulusannya akan lebih baik. Malah dampak umum yang terjadi akibat trend bisnis itu adalah :

Pertama, meningkatnya biaya pendidikan menjadi sangat mahal, sedangkan kualitas pendidikan tidak meningkat. Lalu akses untuk memperoleh pendidikan semakin terbatas, bahkan dikhawatirkan hanya dikuasai sekelompok kecil warga yang mampu secara keuangan.

Kondisi ini sangat berbahaya untuk jangka panjang. Pembatasan akses ini secara pasti menciptakan gap/pemisahan diantara warga yang bisa memicu rasa sentimen dan rasa ketidakadilan. Inilah yang kelak akan menciptakan konflik-konflik sosial diantar warga.

Kedua, munculnya trend baru dikalangan masyarakat melalui pendidikan instant, bahkan jual beli gelar dll.

Ketiga, peningkatan biaya pendidikan, tidak secara otomatis meningkatkan upah pekerja di sektor pendidikan seperti dosen, pegawai administrasi, staff dll. Karena tujuan bisnis lebih cenderung untuk mengakumulasi modal untuk diputar kembali demi pencapaian keuntungan sebesar-besarnya.

Di akhir artikel ini, penulis menyarankan agar kita belajar dari Sindicato deEstudiantes, sebuah gerakan gabungan pelajar/mahasiswa bersama guru dan dosen di Spanyol. Mereka bersama-sama menuntut pendidikan tetap sebagai hak warga negara yang harus disubsidi negara, bukan sebagai priveles atau komoditas yang penyediaannya diserahkan begitu saja kepada publik.

Refleksi bagi kita semua, selama pendidikan masih dijadikan komoditas bisnis, maka selama itu pula bangsa ini tidak akan mampu keluar dari keterpurukan.(***)

Erix Hutasoit, Editor CEFIL 19. Menyelesaikan pendidikan dibidang ekonomi. Saat ini sedang bekerja untuk lembaga sosial gereja katolik dibidang komunikasi dan advokasi.

Pustaka :

Erix Hutasoit,”Pendidikan Tinggi Seperti Kapal Pukat Harimau,” Sumut Post, 15 Desember 2002.

Herman Sulistiono,”Perguruan Silat itu Bernama Universitas,”Sumut Post, 25 Juni 2003.

Heru Nugroho,”Menumbuhkan Ide-Ide Kritis,”Pustaka Pelajar, Yogayakrta, 2001.

Heru Nugroho,”Mc Donaldlisasi Pendidikan Tinggi,”Kanisius, Yogayakarta, 2002.

J.H.Rapar,”Filsafat Politik,” Rajawali Pers, Jakarta, 2001.

Jean Duval,”Pendidikan ; Dari Dasar ke Komoditas,” www.marxist.com

Josep E. Stigilizt,”Washington Consessus,”INFID, Jakarta, 2002.

Majda El-Muhtaj,”Komersialisasi PTN Ancaman Dilematis,” Harian Waspada, 24 Juni 2003.

Margiyono,”Menghadapi Globalisasi Pendidikan,” www.pds.or.id

M. Dahlan Al Barry,”Kamus Bahasa Indonesia,”Arkola, Jakarta, 1994.

Soerkawati,”WTO dan Globalisasi Pendidikan,” www.kompas.com

Suryadi Radjab,”Indonesia ; Hilangnya Rasa Aman,” Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Azasi Manusia Indonesia (PBHI) dan The Asia Foundation, Jakarta, 2002.

Tuesday, August 21, 2007

MEMPROMOSIKAN PERDAMAIAN DENGAN JURNALISME DAMAI

Oleh Erix Hutasoit

DALAM perjalanan di atas kereta listrik dari Birmingham ke Leicester, Inggris (UK) Jumat (24/11/2006). Saya membaca buku yang dipinjamkan Warni Ode Bello, seorang sahabat dari Ambon, Maluku. Buku itu berjudul,“Perlawanan Tanpa- Kekerasan ; cerita-cerita dari Daerah Konflik di Indonesia.”

Selama 120 menit buku terbitan Center for Security and Peace Studies (CSPS) Universitas Gajah Mada (UGM) ini, mampu membuat saya merasakan ketar ketirnya suasana konflik. Kumpulan cerita-cerita para inisiator perdamaian di Poso, Pontianak dan Ambon itu, mengambarkan dengan jelas, betapa ‘mahalnya’ harga yang harus dibayar untuk satu perdamaian.

Jurnalisme Perang dan Jurnalisme Damai.

Setelah membaca buku itu. Saya teringat teori jurnalistik yang pernah saya baca. Satu ideologi baru dalam jurnalisme. Peace Jurnalism, begitu ideologi itu di beri nama.

Jurnalisme Damai (JD) awalnya dipopulerkan oleh Prof.Dr.Johan Galtung dalam sebuah kuliah di Taplow Court, Buckingham Shire, Inggris (1997). Model jurnalisme ini mengambil bentuk yang berlawanan dengan Jurnalime Perang ( JP).

Masih jelas terlintas dibenak kita perang Irak yang dimulai tahun 2003 lalu. Waktu itu, Amerika Serikat (AS) bersama sekutunya, Inggris, menyerang pemerintahan Saddam Hussein. Dengan dalih, Irak menyimpan senjata nuklir yang konon mengancam dunia. Pasukan Koalisi (AS, Inggris dan sekutunya) lalu memporakporandakan negeri 1001 malam itu.

Namun, perang tidak hanya terjadi di padang pasir atau kota-kota di Irak. Perang pun terjadi di televisi. CNN, Fox News dan NBC “bertempur” habis-habisan melawan televisi Al – Jazeera dan Al –`Arabiyya untuk merebut opini publik.

Media-media AS, terang-terangan membela kebijakan politik George W. Bush. Bahkan media-media itu berusaha menggiring penontonnya ke diskursus "starwars". Dimana kecanggihan perlengkapan perang menjadi fokus utama mereka. Penonton "dihipnotis" seolah-seolah perang hanya pertarungan kecanggihan teknologi, tanpa ada korban dari sipil. Tujuan utamanya jelas, agar penonton mendukung perang Irak.

Disisi berbeda, Al - Jazeera mengangkat pemberitaan korban perang sebagai fokus utama. Cuplikan-cuplikan gambar korban-korban bom AS, memberikan kesan sesungguhnya kepada penonton tentang perang. Al- Jazeera juga menampilkan kekalahan-kekalahan pihak koalisi. Tujuannyapun jelas, membangun semangat anti invasi.

Belajar dari Perang Teluk pertama, ketika Irak menginvasi Kuwait. Petinggi militer AS telah menyadari pentingnya peran media. Waktu itu, AS memakai sistem pool : wartawan dikumpulkan dalam satu pool, lalu ia meliput dengan bantuan militer. Fenomena itu disebut embdded journalist yaitu wartawan “melekat” di dalam militer.

Di Indonesia model embded journalist itu pernah terjadi ketika Operasi Darurat Militer II di Aceh tahun 2003. Wartawan yang akan meliput di Aceh diharuskan mengikuti pelatihan militer di markas Kostrad. Bahkan wartawan diwajibkan mengenakan seragam loreng-loreng, tak beda dari tentara sungguhan. Diduga tujuan militer mengeluarkan kebijakan ini, agar wartawan lebih bisa “dikontrol”. Terutama agar berita yang dipublikasikannya tidak "menyudutkan" pemerintahan yang berkuasa. Jelaslah media, menjadi bagian penting dalam perang.

Kembali ke JP . Model jurnalisme ini lebih mengedepankan pada hasil menang kalah (win – lose solutions). Seperti pertandingan olahraga, maka kemenangan merupakan berita besar, begitu pula kekalahan. Logika pemikiran ini diambil dari teori jurnalistik klasik, dimana tugas wartawan adalah,“melaporkan fakta apa adanya.”

Dalam arena konflik, seperti di Poso, Pontianak dan Ambon. Model JP cenderung terfokus pada kekerasan sebagai penyebabnya dan enggan menggali asal-usul struktural sebuah konflik itu secara mendalam. JP hanya berkosentrasi pada fakta-fakta seperti korban tewas atau terluka, kerusakan material yang kelihatan, bukan kerusakan psikologis, struktur atau budaya. Model JP ini menyelesaika konflik dengan rumus, perdamaian = kemenangan + genjatan senjata.

Model perdamaian ala JP sebenarnya tidak lebih dari bom waktu. Kelompok yang sedang “kalah” saat ini, akan menggunakan perdamaian untuk mengumpulkan kekuatan. Disaat kelompok yang “menang” lengah dan merasa diatas angin. Giliran kelompok yang “kalah” menyerang balik. Ini sama saja konflik tidak berakhir.

Bagaimana dengan Jurnalisme Damai (JD)? Menurut Annabel McGoldrick dan Jake Lynch (2000), Jurnalisme Perdamaian (JD) melaporkan sesuatu kejadian dengan bingkai yang lebih luas, yang lebih berimbang dan lebih akurat, yang didasarkan pada informasi tentang konflik dan perubahan-perubahan yang terjadi.

Tujuan utamanya adalah memetakan konflik, mengindentifikasi pihak-pihak yang terlibat, dan menganalisis tujuan-tujuan mereka. Pendekatan JD adalalah memberikan jalan baru bagi pihak-pihak yang bertikai untuk menyelesaikan konflik secara kreatif dan tidak memakai jalan kekerasan. Prinsip ini disederhanakan dengan rumus, perdamaian = non – kekerasan + kreatifitas (Purnawan Kristanto, Jurnalisme yang membawa perdamaian, tt).

Logika JD menggunakan pendekatan menang-menang ( win-win solutions) untuk menyelesaikan konflik. JD percaya, kreatifitas menjadi salah kuncinya. Caranya dengan menyediaan alternatif penyelesaikan konflik. Hal itu diyakini mampu mengurangi konflik sampai menuju titik perdamaian.

Pers dalam logika ini berfungsi membangun debat publik yang sehat tentang kepentingan umum. Alur berpikir JD dimulai dari merumuskan (1) masalah (2)penyebab (3) alternatif penyelesaian (4) evaluasi alternatif (5) pilihan alternatif terbaik (6) sistem dan mekanisme pelaksanaan (7) evaluasi dan feedback. Menurut Prof.Dr.Johan Galtung, hikmah menjadi tujuan akhir dari model jurnalisme seperti ini.

Ya, hikmah menjadi bagaian yang penting setiap konflik. Menyadari konflik fisik hanya menghasilkan penderitaan. Untuk menyadarkan itulah, kita membutuhkan Pers dengan Jurnalisme damainya. [***]

KELIRUAN TENTANG CALON INDEPENDEN *)


Oleh Erix Hutasoit **)

KEPUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberikan celah bagi calon independen, disambut dengan euforia dimana-mana. Bahkan euforia itu kini menjurus menjadi kekeliruan. Seolah-olah calon independenlah solusi dari kemandekan demokrasi yang telah lama mendera Indonesia.

Sejumlah kekeliruan itu berseleweran dalam bentuk opini dipelbagai media massa. Ada pengamat politik yang menulis demokrasi Indonesia seolah sempurna dengan adanya calon independen. Bahkan demokrasi Indonesia disejajarkan pula dengan Amerika Serikat (AS). Kenapa AS? karena menurut pengamat itu, AS lah ‘kampiun’ nya demokrasi.

Mari kita periksa satu persatu. Pertama, jika demokrasi sekadar diukur dari bisa tidaknya warga negara terlibat dalam pemilu, itu sama saja ‘mengkerdilkan’ demokrasi menjadi sebatas prosedural. Pemikiran ini tidak beda dengan para Schumpeterian, yang dengan naif, mengukur demokrasi hanya dari ada tidaknya kompetisi dan partisipasi dalam pemilihan umum (pemilu). Negara yang punya pemilu secara reguler dengan sistem multi partai serta melibatkan warga negaranya, secara serta-merta digolongkan sebagai negara demokratis.

Belakangan konsep Schumpeterian ini usang dimakan waktu bahkan tidak lagi ‘akurat’ sebagai acuan demokrasi. Sebab, banyak negara yang sudah melakukan pemilu secara reguler, menganut sistem multi partai dan warganya terlibat dalam pemilu. Namun di negara itu kebebasan sipil dan politik tidak diakui, kesenjangan sosial terjadi dengan lebar, si kaya makin kaya dan si miskin semakin terpuruk. Rejim Orde Baru adalah contoh. Inilah yang dalam politik dikenal sebagai pseudo democracy.

Larry Jay Diamond (1996) dalam Is the Third Wave Over? mengkritik demokrasi ala Schumpeterian dengan menyebutnya sebagai electoral democracy (demokrasi elektoral). Yaitu demokrasi yang hanya terjadi di saat pemilu saja, setelah itu tidak ada lagi.

Kedua, menempatkan Amerika Serikat (AS) sebagai ‘kampiun’ demokrasi, ini jelas keliru kalau bukan kesesatan. Karena seolah-olah, demokrasi di negara seperti AS ‘lebih baik’ sehingga dianggap pantas ditiru. Padahal William I. Robison (2006), profesor sosiologi dan studi internasional dari universitas California, Santa Barbara (AS), pada artikelnya Democrary or Poliarchy menegaskan di AS tidak ada demokrasi yang ada adalah poliarchy.

Bagi pegiat ilmu politik pastilah mengetahui, kalau istilah poliarchy dekat dengan Robert A.Dahl. Namun, dari penelusuran Robinson ditemukan, ternyata poliarchy berakar dari karya klasik Joseph Alois Schumpeter,“Capitalism, Socialism and Democracy.” Inilah teori yang digugu dan dipuja para pemikir demokrasi liberal (liberal democracy) yang terkenal sebagai ‘Schumpeterian’.

Paradigma Schumpeterian yang berpuncak pada Robert A. Dahl ini, menurut Robinson, telah menyebabkan demokrasi menjadi kereta kencana tunggangan elite. Makna dasar demokrasi sebagai kekuasaan (rule/kratos) rakyat (people/demos), lenyap dalam rimbunan belukar birokrasi beserta seluruh aturan mainnya. Suara rakyat, yang berlangsung secara periodik pada akhirnya, hanya dibutuhkan sekadar sebagai sumber otoritas bagi elite untuk melayani kepentingannya sendiri.

Ironisnya, walau teori Schumpeterian sudah usang, namun selalu dan masih ada saja pemikir-pemikir yang setia mempromosikan teori ini. Seolah-olah pilihan untuk meniru demokrasi dari negara kapitalis seperti AS sudah harga mati. Tanpa itu demokrasi dianggap tidak sempurna atau tidak pantas disebut demokrasi.

Logika tiru-meniru seperti ini sebenarnya berakar dari paham ‘ekspor-impor’ demokrasi. Demokrasi diposisikan layaknya barang dagang, seperti sepatu atau kaos kaki, yang dapat ‘dikirim’ atau ‘ditirukan’ kemana saja. Satu diantara pemikir ‘ekspor-impor’ itu adalah Adam Przeworski (1996) seorang teorikus-cum-penulis buku Sustainable Democracy.

Menurut Przeworski demokrasi menjadi stabil jika negara-negara yang sedang mengalami transisi demokrasi mengintegrasikan diri kedalam sistem ekonomi dunia, yang dikombinasikan dengan peniruan ekonomi, politik dan pola kebudayaan di negara-negara kapitalis maju. Konsep ini dikenal sebagai strategi Modernization via Internationalization dan ini pula yang ditiru Indonesia.

Bagaimana hasil nya? merujuk Thomas Carothers (2002) dalam artikelnya The End of The Transition Paradigm, dari 100 negara yang mengalami transisi demokrasi, hanya sedikit sekali (mungkin hanya 20 negara) yang benar-benar menuju demokrasi. Dan sisanya terjebak dalam wilayah politik abu-abu (the political gray zone) dimana demokrasi tidak kunjung tiba namun tidak pula kembali ke masa kediktatoran.

The political gray zone ini ditandai oleh dua sindrom. Pertama, sindrom “feckless pluralism”. Yaitu terdapatnya sejumlah ciri demokrasi seperti kebebasan politik, pemilu reguler dan rotasi kekuasaan antar kelompok politik yang berbeda secara hakiki. Tetapi disisi lain, demokrasi tampak seperti ilusi dan ironi.

Kenapa bisa seperti itu? Coen Husain Pontoh (2005) dalam Malapetaka Demokrasi Pasar, menyebut penyebabnya,” …karena aspirasi rakyat diberi ruang yang terbatas.” Pembatasan ruang itu dilakukan dengan, pertama, desain politik masa mengambang (political floating mass design). Warga dibuat/diposisikan untuk tidak terlibat aktif dalam proses mengambilan keputusan politik-ekonomi. Sekalipun keputusan itu menyangkut hajat hidupnya sehari-hari.

Warga boleh saja ‘berpartisipasi’ asal melalui ‘prosedural’. Namun soal keputusan akhir (final decission) tetap ‘dibajak’ dari dan oleh elite-elite partai politik yang duduk dipelbagai lembaga. Dan keputusan yang diambil dipastikan tidak jauh dari kepentingan segelintir elite ini. Model inilah yang kemudian disebut dengan “rule by the few” atau oligarki.

Kedua, jika warga terus mendesak untuk terlibat secara aktif. Maka alat-alat kekerasan negara akan ‘dilibatkan’ untuk menjamin legitimasi kekuasaan oligarki ini. Itulah sebab dalam menghadapi aksi-aksi buruh, tani dan kelompok warga lainnya, negara kerap menggunakan kekerasan. Bahkan tidak jarang sampai ‘memenjarakan’ atau ‘mematikan’ mereka yang terlibat. Pelbagai peristiwa kekerasan politik seperti penangkapan aktivis, merupakan contoh.

Sindrom yang kedua adalah “dominant-powers politics.” Yaitu terjadinya kekaburan antara kekuasaan negara dan partai berkuasa (atau kekuatan politik yang berkuasa). Negara merupakan aset utama. Artinya, negara menjadi sumber uang, pekerjaan, informasi publik (melalui media negara) dan kebijakan kekuasaan yang secara bertahap aset-aset tersebut ditempatkan untuk melayani secara langsung partai yang berkuasa.

Akibatnya, korupsi dalam skala besar-besaran tidak terhindarkan, kroni kapitalisme menggejala dikalangan elite dan pelanggaran hak-hak sipil dan politik kembali terjadi. Semua kejahatan sosial ini dilakukan demi satu tujuan : “Mempertahankan Kekuasaan.”

Kasus korupsi yang menimpa Rohmin Dahuri, mantan Menteri Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) membuka mata kita. Bagimana uang negara dikerus untuk kepentingan elite politik. Dan modus seperti ini hanyalah salah satu trik dari beragam cara yang ditempuh untuk menguras pundi-pundi negara.

Dalam konteks ini, calon independen juga bisa berprilaku yang sama. Tidak ada jaminan calon independen akan lebih baik dan lebih konsisten. Itulah sebab penulis menilai calon independen bukanlah solusi dari kemandekan demokrasi saat ini. Calon independen hanyalah sebuah alternatif dalam carut-marutnya sistem demokrasi prosedural.

Dari analisis inilah penulis berkesimpulan, kemandekan demokrasi yang mendera Indonesia bukan menumpuk pada,”Siapa yang memimpin.” Tapi lebih pada lemahnya kemampuan warga untuk mengontrol kebijakan penguasa. Warga tidak mampu ‘memaksa’ penguasa untuk memihak kepentingannya (warga). Warga hanya jadi mainan politik elite dikala pemilu tiba, kemudian ditendang begitu pemilu berakhir.

Dari titik ini pula tugas aktivis pro-demokrasi menjadi jelas, yaitu semakin memperkuat posisi warga untuk terlibat dalam pengambilan keputusan. Dan jalannya hanya dengan konsolidasi demokrasi. Merujuk pada Guillermo O’Donnel (1993) dalam Transisi Menuju Demokrasi, jika bicara soal konsolidasi demokrasi maka “Partai Politik” adalah kuncinya. Karena parpol merupakan kendaraan terbaik bagi warga untuk terlibat dalam pengelolaan kekuasaan secara aktual dan effektif.

Selain itu, parpol tidak hanya berfungsi mengawasi pemerintahan yang busuk, tapi juga bersiap mengantikan pemerintahan tersebut. Parpol memiliki isu paling menyeluruh dan menjangkau kelas masyarakat yang paling luas. Parpol tidak bekerja berdasarkan isu tapi bekerja atas dasar kepentingan paling mendasar dari seluruh warga.

Nah, karena itu mari kita tunggu lahirnya parpol baru yang berkarakter kerakyatan. Parpol yang dibangun dari hasil insiatif dan unifikasi (penyatuan) gerakan masyarakat sipil (civil society movement). Ia lahir dari kesadaran warga untuk bersatu dan memperjuangkan haknya. Tanpa itu, warga hanya akan berakhir sebagai penonton dan demokrasi tidak lebih dari mainan para oligarki.(***)

Pustaka :

Arif Budiman, “Kebebasan, Negara dan Pembangunan ; kumpulan tulisan 1965-2005,” Freedom Institute, Jakarta, 2006.

Arie Sujito,”Kemesorotan Demokrasi-Liberal: Indonesia Pasca Otoritarisme,“ http://www.berpolitik.com/news

Coen Husain Pontoh,”Malapetaka Demokrasi Pasar,” Resist Book, Yogyakarta, 2005.

Coen Husain Pontoh,”Tranformasi dari Atas Pengalaman Venezuela di Bahwa Hugo Chavez,” dalam Gerakan Massa Menghadang Imperialisme Global, Ressit Book, Yogyakarta, 2005.

Coen Husain Pontoh,”Promosi Demokrasi,” http://indoprogress.blogspot.com


*) Artikel ini merupakan analisis penulis menanggapi pemikiran tentang calon independen yang bermunculan dipelbagai media massa.

**) Erix Hutasoit, menyelesaikan pendidikan dibidang ekonomi. Alumni Civic Education for Indonesian Future Leaders (CEFIL) angkatan XIX.