Monday, March 16, 2009

Mixed Economics

Oleh ERIX HUTASOIT

Pemilihan Umum tinggal sebentar lagi. Persaingan antar partai politik (parpol) kian memuncak. Bidang ekonomi misalnya, persaingan itu telah mengkerucut menjadi tiga kutub: pro ekonomi pasar (market economics), pro ekonomi kerakyatan (peoples’ economic), dan ekonomi campuran (mixed economics).

Kubu market economics atau yang sering disebut neo-liberalisme diusung oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dalam gerbong ini ada sejumlah ekonom seperti Sri Mulyani, Chatib Basri yang terkenal sangat setia menjalankan Washington Consensus. Sedangkan kubu peoples’ economic diusung Prabowo Subianto dan ekonom Rizal Ramli. Dan kubu yang terakhir yaitu mixed economics, digagas orang-orang dari luar partai politik. Kolomnis Bersihar Lubis ada di kelompok ke tiga ini.

Sebagai alternatif dari dua kutub pertama, Bersihar menawarkan jalan tengah. Menurut Lubis, menolak kapitalisme jelas sulit. “ … karena Indonesia tidak bisa berdiri sendiri dalam perekonomian dunia,” kata Lubis. Setali tiga uang dengan pemikiran Moh. Sadli yang menawarkan Ekonomi Pancasila, Lubis menawarkan ekonomi campuran (mixed economics). “Gagasan itulah yang tercetus dalam Kongres I PSI pada 1952. PSI yang dipimpin Sjahrir menerima arus modal asing maupun kapitalisme liberal, tetapi harus dikontrol oleh negara dan parlemen…,” tulis Lubis dipenghujung artikelnya, “Terima Kasih, Sjahrir” (Harian Medan Bisnis, 6/3/09).

Bagi saya, mixed economics yang ditawarkan Bersihar menarik untuk di diskusikan lebih lanjut. Setidaknya ada dua pertanyaan yang menarik untuk ditemukan jawabannya: pertama, akankah kapitalisme bersedia dikontrol oleh negara dan parlemen? kedua, mampukah negara dan parlemen mengontrol kapitalisme?

Membahas kapitalisme berarti harus menyertakan frasa pasar. Itu sebabnya ekonomi kapitalisme disebut ekonomi pasar (market economics). Coen Husain Pontoh dalam Pasar (2004) membantu mengurai watak pasar kapitalisme secara sistematis. Coen mengutip pemikiran Karl Marx untuk membagi pasar atas dua bentuk: pertama, pertukaran yang menggunakan rumus C-M-C (Comodity-Money-Comodity), dan kedua, pertukaran yang mengambil rumus M-C-M (Money-Comodity-Money).

Pada pertukaran jenis pertama, Marx menyebutnya sebagai sirkuit komoditi (Comodity Sircuit/CS). Menurut Marx model CS tidak menjelaskan secara utuh pertukaran dalam masyarakat kapitalis. Marx lalu menulis ulang rumusnya menjadi M-C-M. Menurut hukum ini, si kapitalis memulainya dengan uang (M) untuk membeli komoditi (C). Komoditi tersebut kemudian dijualnya untuk memperoleh uang lagi (M2). Marx menamakan tahap pertama ini (M-C) sebagai kapital pendahuluan (advanced capital), dan tahap kedua (C– M) sebagai kapital kerja (relation capital).

Tetapi, Marx mengingatkan bahwa keseluruhan proses ini (M-C-M), tidak ada maknanya, jika si kapitalis hanya mendapatkan uang sebesar uangnya semula. Misalnya, jika semua ia memiliki Rp. 1000,- (M), kemudian digunakannya untuk membeli atau memproduksi sepatu seharga Rp. 900.- (C), dan menjual sepatu itu dengan harga dasar Rp. 1.000,- (M). Bagi Marx, pertukaran model ini bukanlah cara produksi kapitalis.

Karena itu, Marx menuliskan kembali rumusnya ini menjadi M-C-M’, dimana M’ (M plus) mewakili jumlah yang lebih besar dari M atau M’ > M. Uang senilai Rp. 1000,- (M) yang digunakan untuk membeli atau memproduksi sepatu senilai Rp. 900,- (C). Sepatu itu kemudian dijual menjadi Rp. 1.100 (M’). Dari proses ini, si kapitalis mendapatkan tambahan uang senilai Rp. 100,- yang kemudian sirkuit ini terus berputar tanpa henti. M’ inilah yang nantinya disebut Marx sebagai “nilai lebih“ (surplus value’).

Pada tahap M-C-M’, yang disebut Marx dengan istilah sirkuit uang (money circuit), si kapitalis memproduksi komoditi bukan untuk konsumsi tapi, untuk dijual dengan tujuan semata-mata akumulasi nilai uang. Demikian pula, si konsumen membeli barang bukan semata-mata bertujuan memenuhi kebutuhannya. Proses M-C-M’ ini terjadi dalam situasi yang tidak pernah usai dan diam, sehingga terjadi apa yang disebut surplus product (kelebihan produksi).

Inti hukum M-C-M’ adalah keuntungan maksimal. Oleh PERC (Political and Economic Risk Consultantcy) logika M-C-M’ itu, diadopsi menjadi syarat bagi sebuah negara agar digolongkan sebagai investor friendly (ramah investor). PERC mengurainya menjadi sebelas syarat: (1) biaya sewa; (2) beban pajak; (3) kualitas sistem perpajakan; (4) ada/tidaknya monopoli/kartel; (5) persaingan pemerintah dan swasta; (6) birokrasi; (7) kemudahan mendirikan usaha; (8) hambatan untuk impor; (9) pelanggaran hak kekayaan intelektual (HKI); (10) perlindungan hukum atas HKI; (11) daya saing regional.

Menurut I. Wibowo dalam Globalisasi, Kapitalisme Global, dan Matinya Demokrasi (Kompas, 2002) sebelas syarat ini jelas mengacu kepada sejauh mana negara mengurangi campur tangannya dalam ekonomi. Butir 2, 3, dan 8 mengukur sejauh mana membebaskan para investor itu bebas bergerak: pajak yang rendah, tarif impor yang rendah. Butir 6 dan 7 sangat berkaitan, dan jelas mengacu kepada negara: semakin berbelit birokrasi, semakin tinggi campur tangan negara. Urusan mendapatkan lisensi yang paling disorot sebagai cengkeraman negara paling menakutkan investor. Cuma butir 9 dan 10 saja yang menginginkan peran aktif dan agresif dari negara untuk memerangi para pembajak.

Jika mengacu pada pendapat Wibowo, jelas kapitalisme tidak akan rela dikontrol oleh negara maupun parlemen. Sebagai contoh, pada tahun 1999 Oskar Lafontaine, Menteri Keuangan Jerman, berusaha menaikkan pajak bagi perusahaan-perusahaan di Jerman. Sontak rencana itu ditolak perusahaan besar seperti Deutshce Bank, Dresdner Bank, Asuransi Allianz, BMW dan lain-lain. Perusahaan-perusahaan itu malah mengancam balik. Mereka akan memindahkan investasi keluar Jerman, jika kenaikan pajak itu terwujud. Pemerintah Jerman “kalah” dan Lafontaine mengundurkan diri.

Pajak Momok bagi Kapitalisme

Bagi sebuah negara, pajak adalah pendapatan utama. Semakin banyak pajak yang diperoleh, maka semakin banyak pula program pembangunan yang bisa direalisasikan. Tapi sebaliknya, pajak adalah momok bagi kapitalisme. Semakin tinggi pajak, maka semakin sulit hukum M-C-M’ direalisasikan. “Paradoks” inilah yang disebut B. Heri Priyono dalam Demokrasi & Kapitalisme (BASIS, 2002) sebagai paradoks antara “Demokrasi” dan “Kapitalisme”.

Menurut Priyono, dalam demokrasi, pejabat negara yang tidak becus mengelola tugasnya bisa dituntut tanggung jawabnya dan dipecat, lewat mosi tidak percaya atau pemilu. Tetapi hal itu tidak berlaku bagi para kapitalis. Mereka tidak bisa dituntut kalau mereka tidak melakukan investasi. Menanam atau tidak menanam modal menjadi hak mereka sendiri, bukan urusan publik dalam istilah hukum.

Praktek politik di Indonesia selama ini, mengindikasikan kalau para politisi memahami paradoks ini. Itu yang membuat mereka lebih memilih bekerjasama dengan kapitalisme ketimbang berusaha mengontrolnya. Para politisi bertransformasi menjadi “pedagang” atau sebaliknya, pedagang bertransformasi menjadi “politisi”. Dengan memanfaatkan posisi sebagai kelas penguasa (the rulling class), mereka bisa lebih leluasa mengeruk keuntungan. Praktek inilah yang diendus Peter Evans, seorang sosiolog asal Amerika Serikat (AS), melalui teori yang tersohor: triplle alliance theory (teori kerjasama segitiga ).

Teori Evans itu menunjukkan kerjasama, antara modal asing (kapitalis) dengan pemerintah di negara pinggiran dan borjuasi lokal dalam mengeruk kekayaan dari negara pinggiran. Menurut Evans, negara membutuhkan modal, teknologi dan akses kepada dunia untuk menggerakkan pembangunan. Tetapi supaya pemerintah tidak dituduh hanya menjadi pelayan modal asing, maka perlu ditumbuhkan borjuasi lokal.

Dalam persekutuan segitiga ini, masing-masing pihak mendapatkan keuntungannya. Modal asing mendapatkan keuntungan berupa re-produksi kapital secara terus-menerus dalam bentuk repatriasi keuntungan ke negara asal. Sementara pemerintah dan borjuasi lokal memperoleh bagian yang maksimal guna mempertahankan kekuasaannya. Fenomena ini mirip dengan kesimpulan Richard Robison dalam bukunya yang terkenal, Indonesia: The Rise of Capital (1986).

Sampai disini saya berkesimpulan: ide untuk mengontrol kapitalisme lewat mixed economics seperti yang diajukan Bersihar, hanya mungkin terwujud dengan tiga syarat: Pertama, negara dan parlemen mempunyai kekuasaan yang mampu memaksa kapitalisme tunduk atas aturan negara. Kedua, para pejabat negara di tiga cabang kekuasaan (eksekutif, legislatif dan yudikatif) pada semua level, tidak punya hubungan kepentingan ekonomi (personal bussiness interest).

Ketiga, rakyat mempunyai hak langsung untuk mengontrol kekuasaan. Kontrol itu penting untuk memastikan kekuasaan dan kapitalisme tidak menjalin simbiosis mutualisme yang merugikan rakyat.

Dengan ke tiga pilar di atas, mixed economis bisa mengelinding sempurna sebagai model ekonomi alternatif. Tapi jika salah satu saja tidak terpenuhi, maka ide Bersihar akan berjalan terbungkuk-bungkuk karena ditindih beban berat yaitu: kemiskinan yang tidak adil.***

Penulis adalah Alumni CEFIL angkatan XIX (Civic Education for Future Indonesian Leaders). Artikel ini pertama sekali dipublikasikan oleh Harian Analisa, Senin, 16 Maret 2009.