Friday, February 6, 2009

Kembali Pada Kearifan Lokal

Oleh THOMAS PRASASTI

BERITA  yang beredar di berbagai media cetak satu bulan belakangan memuat keluhan para petani sehubungan dengan kelangkaan pupuk – rutinitas musiman yang seharusnya tak perlu terjadi. Pun ketika terjadi peredaran benih palsu, kembali petani yang menjadi korbannya. Suatu kondisi yang kontradiktif karena di satu sisi kita masih sering mengklaim sebagai bangsa agraris. Pupuk dan benih – sesuatu yang amat vital bagi kelangsungan usaha pertanian – justru tidak dikuasai oleh petani. Semua serba beli.

Pertanyaan yang muncul di benak kita mungkin mirip dengan judul film yang dibintangi oleh si cantik Dian Sastro beberapa tahun silam : AADP – Ada Apa Dengan Petani ? Ketergantungan dan ketidakberdayaan, adalah kata yang bisa mewakili fenomena tragis yang dialami para petani Indonesia, termasuk di Lampung saat ini.

Skenario Menjerat Petani


Ketergantungan dan ketidakberdayaan petani bukanlah nasib yang harus diterima oleh para petani, juga bukan suatu yang kebetulan terjadi. Hal tersebut disebabkan oleh upaya sistematis dan terorganisir dari perusahaan trans-nasional yang bergerak di bidang pertanian, yang begitu ‘halus’ sehingga para petani tidak menyadari kalau mereka sudah masuk perangkap.

Berikut fact sheet yang dikeluarkan Yayasan IDEP mengenai data penjualan produk kimia dan produk transgenik dari enam perusahaan trans-nasional yang bergerak di bidang kimia pada tahun 2000. Sygenta ($ 5.888.000.000.- dan $ 958.000.000.-), Monsanto ($ 3.605.000.000.- dan $ 1.608.000.000), DuPont ($ 2.027.000.000.- dan $ 1.838.000.000.-), Aventis ($ 3.480.000.000.- dan $ 247.000.000.-), B.A.S.F ($ 3.336.000.000.-, dan -), Dow Chemical ($ 2.086.000.000.- dan $ 185.000.000.-). Jika ramalan pasar tentang peningkatan penjualan per tahun produk insektisida sebesar 0,6 %, fungisida: 1,0 %, dan transgenik: 13,8 %, terlihat betapa ke depan para petani akan semakin terbelit oleh tentakel yang ditebar para produsen bahan kimia.

Fakta yang sering saya temui, saat ini para petani lebih memilih menggunakan herbisida untuk memberantas gulma di lahan mereka – dari pada mengoret dengan menggunakan cangkul misalnya. Sekilas tidak ada masalah dan bukan merupakan persoalan, namun itulah pembukaan skenarionya.

Kebanyakan petani akan berargumen bahwa penggunaan herbisida merupakan pilihan yang menguntungkan, karena selain lebih murah juga lebih mudah dan cepat dalam pengaplikasian. Padahal konsekuensi yang harus diterima para petani dari pilihan tadi amat panjang dan merugikan. Perhatikan !, pertama-tama para petani menjadi harus membeli benih yang dirancang tahan terhadap herbisida tersebut (biasanya hasil rekayasa genetika) – tentunya produk satu pabrik dengan herbisida yang digunakan tadi. Berikutnya agar benih tadi tumbuh normal, perlu pupuk yang berasal dari produsen yang sama. Benih non lokal tadi (yang biasanya diklaim unggul) cenderung lebih rakus unsur hara atau asupan dari luar, sehingga petani harus membeli lebih banyak pupuk. Resiko lain, benih non lokal biasanya tidak tahan terhadap serangan hama dan penyakit setempat, sehingga petani perlu merogoh kantong lagi untuk membeli insektisida atau fungisida – atau kalaupun tahan terhadap penyakit tertentu, lagi-lagi melalui rekayasa genetika.

Penggunaan benih buatan pabrik dalam jangka waktu lama berakibat mematikan keberadaan benih lokal. Akhirnya, para petani kehilangan benih lokal yang telah teruji tahan terhadap serangan hama dan penyakit setempat, serta mampu tumbuh tanpa input pupuk berlebihan. Disinilah awal bencana bagi para petani. Akibat kehilangan benih lokal, petani harus membeli benih dari pabrik, selanjutnya konsekuensi seperti diuraikan diatas harus mereka pikul seumur hidup. Maka tak heran dari hari ke hari penggunaan insektisida dan transgenik cenderung meningkat, sebagaimana ramalan pasar di atas. Akibat beban biaya produksi yang makin berat, tidak sedikit petani yang terpaksa berhutang kepada rentenir atau tengkulak hanya untuk membeli benih dan pupuk untuk budidaya selanjutnya, istilahnya yarnen – bayar saat panen. Benar ujar-ujaran : siapa menguasai benih, dia akan menguasai kehidupan.

Komitmen Pemerintah

Komitmen keberpihakan pemerintah terhadap petani dan rakyat secara keseluruhan, hingga saat ini masih merupakan tanda tanya. Sebagai contoh, tahun lalu, ketika Konferensi Perubahan Iklim di Bali baru dimulai, Dirjen Tanaman Pangan Departemen Pertanian, Sutarto Alimoeso, mengungkapkan perusahaan Monsanto akan menggarap benih tanaman pangan seperti padi, jagung dan kedelai, dengan menanamkan investasi sekitar US$ 4-5 juta untuk mengembangkan industri perbenihan di tanah air. Lebih lanjut ia mengatakan Pemerintah selalu mendukung. siapa saja yang ingin tanamkan investasi di perbenihan (Inilah.com, 3 desember 2007), padahal kita masih ingat , awal Januari 2005 pers Amerika mengekspose pengakuan Monsanto bahwa pihaknya sejak tahun 1997 sampai 2002. telah menyuap 140 pejabat tinggi Indonesia sebesar 700.000 dolar AS melalui anak perusahaannya di Jakarta, PT Monagro Kimia, untuk meloloskan beberapa produknya di Indonesia (benih kapas transgenik, pestisida merk Roundup, Polaris, dan Spark)

Sengsara Membawa Nikmat

Untuk memutus jerat, petani perlu melakukan suatu upaya yang radikal: stop membeli pupuk dan insektisida sintetis serta benih pabrik, tapi buatlah sendiri pupuk dan insektisida organik serta benih lokal. Mungkin awalnya petani harus merasakan sengsara, namun itu hal yang lumrah dalam suatu perjuangan. Dalam satu-dua musim tanam, kemungkinan produksi mereka akan turun, namun jika konsisten dilakukan, para petani akan terbebas dari ketergantungan terhadap produk dari perusahaan kimia pertanian.

Nenek moyang kita mewariskan kearifan lokal yang mendorong terwujudnya usaha pertanian yang berkelanjutan (sustainable). Ambil contoh, pranoto mongso; perhitungan kapan saatnya mengolah tanah, kapan harus menanam, kapan harus menuai dan kapan lahan perlu diistirahatkan. Suatu ajaran yang tidak hanya menyangkut teknis bertani, namun juga mengandung tuntunan untuk tidak mengeksploitasi alam, agar kita tidak terjatuh dalam keserakahan dan kebangkrutan. Kembali pada kearifan lokal, itu yang saya maksud dengan upaya radikal tadi.

Sebenarnya tidak ada lagi yang perlu ditakuti oleh petani – yang saat ini ’nasibnya’ ibarat sudah jatuh masih tertimpa tangga pula. Maka situasi menjepit semacam kelangkaan pupuk dan peredaran benih palsu justru bisa dijadikan peluang atau titik balik untuk bangkit.

Thomas Prasasti, aktivis  yang concern dengan buruh dan petani. Tinggal di Bandar Lampung

Barrack Obama: Dilema The Rising Star

Oleh ERIX HUTASOIT

RASA PENASARAN Amien Rais, akademicus cum politikus itu seperti mau meledak. Sudah lama Guru Besar Ilmu Politik Universitas Gajah Mada (UGM) ini menebak-nebak arah pendulum politik luar negeri Barack Husein Obama, presiden Amerika Serikat (AS) ke 44. Dan begitu Obama dilantik, rasa penasaran bekas Ketua MPR periode 1999/2004 itu seolah menemukan jawab. Setelah menyimak pidato Obama, Amien berkesimpulan kalau si Barry (panggilan akrab Obama selama di Indonesia) tidak beda dengan para pendahulunya. “…tidak ada yang berubah,” kata Amien kepada presenter dari Trans TV (Selasa, 20/01).

Jauh hari sebelum Amien berjumpa jawab atas penasarannya, Harian Analisa sudah lebih dulu menurunkan artikel bagus tentang pesisime terhadap Obama. Artikel itu saya baca dalam perjalanan udara dari Medan ke Metro Manila, Filipina, judulnya “Masa Depan Ekonomi Kita Setelah Obama Terpilih” (Analisa, 26/11/2008 p.20) ditulis Lusiah, SE, MM seorang akademicus cum ekonom dari Medan.

Menurut Lusiah, negara seperti Indonesia tidak bisa mengantungkan harapan kepada Obama. Alasannya : karena AS sedang terguncang krisis financial, ribuan warganya menjadi pengangguran dan harga-harga kebutuhan hidup melambung tinggi. Sehingga prioritas utama Obama adalah menyelamatkan kehidupan domestik AS.

Lusiah menyimpukan tesisnya cukup sistemik. Tidak lupa dia melengkapi rimbunan data-data sebagai fakta pendukung. Hanya saja, tesis Lusiah menyisakan ”lubang besar”, karena analisis yang digunakan hanya memakai pengandaian tunggal yaitu krisis financial. Dengan cara analisis seperti itu, Lusiah tidak saja ”menyederhanakan” persoalan hubungan luar negeri AS-Indonesia, tetapi juga berpotensi gagal menjelaskan wajah asli kebijakan luar negeri AS. Karena itu, artikel berikut saya tuliskan untuk memberikan gambaran kebijakan luar negeri AS. Setidaknya dengan mengetahui ”wajah” aslinya, kita bisa memprediksi ke mana Obama akan menarik bandul kebijakan luar negerinya.


Market Drive Empire atau Military Drive Empire

Seorang bijak pernah berkelakar soal urusan luar negeri Uncle Sam itu. Orang itu mengibaratkan cara AS mengurus kebijakan luar negerinya, seperti merawat mobil Ford tua. Mobil tua itu rutin ganti cat dan onderdil mengikuti jadwal pemilu AS. Soal warna hanya ada dua pilihan yaitu merah (Republik) dan biru (Demokrat), tergantung siapa yang menang pemilu.

Selama berpuluh tahun mobil tua itu tidak pernah diganti. Kalaupun ada yang berubah paling sang sopir dan tentu saja style (gaya) si sopir itu mengemudi. Ya, ada sopir yang dingin, pelan namun pasti seperti Bill Clinton, tapi ada pula yang grasak-grusuk dan suka parkir di sembarangan tempat seperti George W. Bush.

Mark Enger dalam How to Rule the World The Coming Battle Over the Global Economy mengklasifikasikan gaya “mengemudi” di atas menjadi dua : corporate-globalization dan imperial-globalization. Josep H. Nye memisahkannya menjadi : soft power dan hard power. Sedangkan Coen Husain Pontoh, seorang Indonesia yang tinggal di jantung AS, New York punya istilah lain yaitu Market-Driven-Empire (MaDE) dan Military- Driven – Empire (MiDE).

Menurut Pontoh, semenjak perang dunia II berakhir, kebijakan luar negeri AS selalu berporos pada MaDE dan MiDE. Lebih lanjut Coen mengambil contoh pada masa Bill Clinton. Presiden AS yang terkenal karena skandal “asmara” dengan Monica Lewinsky itu, selama dua periode menjalankan strategi MaDE dengan sukses. Orang-orang seperti Al Gore, Wakil Presiden AS, Menteri Keuangan Lawrence Summers, dan presiden World Bank, James Wolfensohn menjadi “pengawal” sejati kebijakan-kebijakan Bill Clinton pada masa itu.

Pada era Clinton kampanye “free market” (pasar bebas) dijalankan besar-besaran. Clinton meneken sederet perjanjian perdagangan bebas antarregional seperti NAFTA dan FTAA. Urat-urat diplomasi Clinton juga agresif mendorong-dorong percepatan pembentukan WTO (Wolrd Trade Organization) di tahun 1995. Diplomasi ala soft dan hard dijalankan untuk merayu sambil “memaksa” negara-negara berkembang ikut serta dalam gerbong free market. Clinton menabur agin surga bahwa negara-negara yang ikut arus besar free market akan menuai keuntungan : baik dari segi tenaga kerja, teknologi dan ilmu pengetahuan.

Berbeda lagi ketika Bush Jr. menjadi presiden AS. Begitu si “pengecer” minyak dari Texas itu menguasai The White House, pendulum kebijakan segera berubah kearah Military – Driven – Empire (MiDE). Penasehat Bush Jr. seperti Irving Kristol, William Kristol dan Robert Kagan adalah orang-orang yang tidak percaya dengan pendekatan soft power. Bagi mereka tatanan dunia yang damai dan tentram bukanlah kondisi ideal untuk membangun Empire (Kekaisaran) bagi AS. ”Dalam bahasa Kagan, tidak bisa dibayangkan bagaimana bisa Pepsi Cola diperjual-belikan secara bebas di Uni Soviet tanpa didahului oleh kejatuhan komunisme,” kata Pontoh dalam artikel Meraba Kebijakan Luar Negeri Pemerintahan Barack Obama (2008).

Walau di atas kertas kebijakan Bill Clinton dan Bush Jr. seolah putih dan hitam, akan tetapi pada praktiknya MaDE dan MiDE dijalankan untuk kepentingan yang sama. Yaitu mengurusi kepentingan para “corporate” yang menjadi mesin uang pada masa kampanye mereka. Itulah sebabnya peneliti tekun seperti George Junus Aditjondro haul yakin kalau politik luar negeri AS tidak lebih perpanjangan tangan korporasi AS. “…korporasi-korporasi pertambangan migas AS yang terbesar didominasi oleh satu keluarga, yakni keluarga Rockefeller, sementara bank-bank AS yang terbesar, yang menguasai Wall Street, dikuasai oleh satu keluarga lain, yakni keluarga Morgan. Kedua dinasti itu bersinerji menguasai kebijakan politik luar negeri AS, tidak perduli dari partai mana presiden nya berasal,” kata Doktor sosiologi dari Cornell University, AS itu dalam artikel Relevansi Das Capital Bagi Gerakan-Gerakan Kemasyarakatan (S0sial Movements) di Indonesia (2006).

Bagaimana dengan Obama ?

Obama sepertinya tidak akan luput dari prakek hutang budi ini. Bagaimana tidak, dana besar untuk kampanye tidak seutuhnya disumbang oleh pendukung setia Obama. Tetapi juga datang dari korporasi besar yang bermain di Wall Street. Berikut adalah daftar penyumbang terbesar kampanye Obama : Goldman Sachs (#1 at $692,000), Citigroup (#3 at $449,000), JP Morgan Chase (#4 at $405,000), Lehman Bros. (#10 at $371,000), dan Morgan Stanley (#16 at $319,000). “…Goldman Sachs menyumbang tiga kali terhadap Obama ketimbang terhadap McCain dan Citigroup menyumbang dua kali lebih besar kepada Obama ketimbang yang diberikannya kepada McCain. Sementara bank investasi Morgan Stanley, Jzmemberikan dana $20,000 lebih besar kepada Obama ketimbang yang diterima oleh McCain dari penyumbang terbesarnya, bank investasi dan perusahaan broker Merrill Lynch,” papar Coen Husain Pontoh dalam artikel Mengapa Obama dan Mc Cain Setuju Bailout (2008).

Lantas bagaimana Obama akan membalas “budi” pada penyumbang besar nya itu? Noam Chomsky, profesor Linguistics and Philosophy Massachusetts Institute of Technology (MIT) AS, menyebut salah satu cara klasik yaitu dengan menjamin iklim investasi korporasi itu di negara-negara ketiga.

Sepertinya untuk balas budi itu, Obama cenderung merapatkan diri pada MaDE sebagai strategi urusan luar negeri. Hal itu terditeksi dari susunan kabinet Obama yang diisi wajah-wajah lama yang dekat dengan Bill Clinton seperti Hillary Clinton, Timothy Geithner, Robert Gates, Lawrence Summer dan lain-lain.

Tapi ada pertanyaan lain yang lebih penting : “Mampukah MaDe membuka ruang investasi di negara ketiga hanya dengan mengandalkan diplomasi semata?” Jika mengacu pada tesis Chomsky sepertinya sulit. Menurut Chomsky jaminan terhadap iklim investasi AS di negara dunia ketiga, hanya bisa diwujudkan dengan “teror”. Dalam kalimat berbeda : jaminan akan pasti, jika kelompok tukang protes seperti buruh, petani, rohaniawan berhasil disingkirkan.

Dan untuk melakukan “penyingkiran” itu, AS pernah (dan kerap) menempuh dua cara yaitu invisible hand (tangan yang tidak kelihatan) dan visible hand (tangan yang kelihatan). Invisible hand dijalankan dengan menggunakan “tangan” dari pemimpin-pemimpin lokal pada negara yang bersangkutan. Cara seperti ini pernah dikerjakana AS selama beberapa dekade di Guatemala dan El Salvador. Sedangkan untuk negara yang tidak bisa diatur, strategi visible hand akan dijalankan oleh marinir, jeep tempur hamvee dan jet tempur F-18 Hornet. Contohnya adalah Nikaragua.” Terhadap satu negara, Nikaragua, Amerika Serikat secara mendasar harus langsung menyerangnya, karena disana tidak ada angkatan bersenjata yang bisa dipakai untuk menjalankan teror itu sebagaimana di negeri-negeri lain nya,” ungkap Chomsky dalam buku nya Power and Teror (2003).

Nah, akankah Obama akan melakukan hal itu juga? Waktu yang akan menjawab.***

Erix Hutasoit, alumni cefil 19. Artikel ini pertama kali dipublikasikan di erixreview