Thursday, August 21, 2008

Orang Golput Orang Bijak


Oleh DIAN PURBA

Golput selalu menang di setiap Pilkada yang dilaksanakan. Tidak tanggung-tanggung, golput berhasil mengalahkan jumlah perolehan suara sang pemenang Pilkada. Tulisan ini mencoba mencari tahu apa yang menjadi penyebab semua ini. Lebih lanjut saya paparkan di bawah ini.


GOLONGAN PUTIH (golput) yang digagas oleh Arief Budiman dan kawan-kawan tahun 1972, kini menemukan gemanya kembali. Dari beberapa pemilihan kepala daerah (pilkada) golput tidak tersisihkan dari peringkat pertama perolehan suara. Mari kita lihat faktanya.

Golongan putih memenangkan pilkada Jawa Timur yang digelar pada 23 Juli lalu. Berdasar hasil final penghitungan suara, golput (golongan putih) "meraih" 327.037 suara. Daftar pemilih tetap (DPT) 809.100. Berarti, warga yang tidak menyalurkan hak politiknya mencapai 40,42 persen (VHRmedia.com). Dalam pilkada Sumatera Utara golput memperoleh suara sebesar 5 juta orang atau 43 persen. Hasil rekap suara pemilihan kepala daerah Kalimantan Timur yang dilakukan KPUD Balikpapan menunjukkan hasil yang mencegangkan. Setidaknya 50 persen suara dari para pemilih di Tingkat II Kabupaten/Kota Balikpapan memilih golput (okezone.com). GOLPUT menang di pilkada Jabar. Sebesar 34,67 persen (kompas.com).

Tentunya fenomena ini membuat jajaran partai mengaruk kepala. Mereka dipusingkan karena gagal duduk di kursi-I di daerah. Sementara itu mereka sudah menghamburkan begitu banyak uang mulai dari masa pra-kampanye sampai proses pencoblosan suara. Bahkan ada satu calon yang kalah dalam pilkada mendapat predikat baru: orang gila. Yuli, nama sang calon itu, kalah dalam pemilihan bupati Ponorogo periode 2005-2010. Tidak sekedar kalah, Yuli juga terbelit utang. Yuli meminjam uang hingga hampir Rp 3 miliar. Setelah dinyatakan kalah oleh KPUD Ponorogo, Yuli pun mendapatkan tagihan pinjaman bertubi-tubi. Ia tidak bias membayarnya. Tingkah lakunya mulai aneh-aneh. Ia mulai cengar-cengir sendirian tanpa alasan. Kadang-kadang berteriak histeris. Bahkan, ia turun ke jalan raya sambil berteriak menirukan gaya yang ia gunakan semasa kampanye dengan hanya mengenakan celana dalam (Media Indonesia, 11/8).

Ternyata golput cukup berhasil “menggilakan” sang calon kalah.

Kenapa harus golput?

Slogan yang dipampang oleh KPU di depan kantornya adalah Orang Bijak Tidak Golput. Butuh kehati-hatian dalam mengeluarkan sebuah slogan. Slogan inilah yang dibaca oleh masyarakat luas. Masyarakat yang sudah mengerti tentang esensi sebuah pemilihan umum tentunya akan tahu bahwa slogan tersebut harus dipertanyakan kebenarannya.

Lantas timbul pertanyaan, mengapa orang golput? Atau pertanyaan ini bisa disandingkan dengan pertanyaan, untuk apa pemilihan umum?

Kita kembali ke gerakan yang dicetuskan oleh Arief Budiman dan kawan-kawan. Mereka memrotes pemerintah Orde Baru saat itu karena melarang Masyumi dan PSI berdiri. Saat itu ada pemaksaan bagi rakyat untuk memilih Golkar. Kemudian mereka mengeluarkan semacam “manifesto golput”. Ada beberapa hal yang terkandung di manifesto tersebut.

Golongan putih bukanlah sebuah atau suatu organisasi. Golput ada karena protes terhadap pemerintah karena telah menginjak-injak aturan permainan demokrasi oleh partai politik. Golput tidak melanggar hokum. Golput ada justru utnuk menguatkan kekuatan hukum. Golput harus dilihat sebagai pendidikan politik bagi masyarakat. Tujuannya untuk membuat orang berpikir kritis. Penguasa tidak berhak memaksakan rakyat untuk menggunakan hak suaranya. Pendirian yang berlainan dengan pendirian penguasa harus dilindungi supaya tradisi berdemokrasi yang sehat senantiasa terpelihara.

Pemilu 2009

Kita memulai dari sebuah pertanyaan untuk menyambut pemilihan umum (pemilu) 2009: apa yang bisa diharapkan dari pemilu 2009?

Setelah Soeharto lengser Indonesia memasuki babak baru dalam berdemokrasi. Kotak Pandora yang selama ini tertutup rapat pelan-pelan terbuka. Dalam keterbukaan itu kita belajar merangkak, berjalan, dan bahkan suatu hari nanti berlari dalam menggunakan demokrasi sejati.

Beberapa undang-undang baru pun dibuat. Salah satunya adalah undang-undang pemilu. Rakyat yang tadinya memilih pemimpin bagaikan memilih kucing dalam karung, kini sudah bisa memilih sesuai dengan pilihan mereka sendiri. Pemilu pertama (2004) dimana rakyat memilih langsung pemilihnya pun dilaksanakan. Partai-partai “bebas berdiri”. Masyarakat mencoblos sesuai pilihan mereka. Kita kemudian mendapatkan pemenang: Susilo Bambang Yudhono berpasangan dengan Jusuf Kalla.

Rakyat menaruh harapan yang begitu besar kepada dua orang itu. Krisis ekonomi yang belum juga berakhir menghancurkan penghidupan sebagian besar rakyat Indonesia. Pemerintah baru berjanji akan mengangkat kaum miskin dari posisi “permanen” yang sudah teramat lama mereka diami.

Di awal pemerintahannya rakyat terkejut bukan kepalang. Tiga bulan setelah memerintah pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak. Jumlah penduduk miskin bertambah. Pemerintah menggunakan kebijakan sepihak tanpa merasa perlu mengetahui kondisi objektif rakyat seperti apa. Jurang antara orang kaya dengan orang miskin semakin “menganga” bagaikan jurang tak terseberangi.

Daya beli masyarakat menurun drastis. Tingkat pengangguran yang dijanjikan akan diminimalkan jumlahnya ternyata menempuh jalan buntu. Masyarakat kesulitan untuk mengakses pendidikan bermutu. Ongkos berobat selangit. Setumpuk persoalan inilah yang membuat masyarakat bertanya: kok beda ya kenyataannya dengan jani manis semasa kampanye? Pemerintah terkesan menutup semua perangkat untuk mendengar aspirasi yang berkembang di masyarakat.

Kejadian yang sama berulang kembali di tahun 2008 pemerintahan SBY-JK. Harga BBM naik lagi. Masyarajat yang di tahun 2004 sudah jatuh dari garis kemiskinan kini menempati posisi yang baru: masyarakat miskin tertimpa garis. Menjelaskan kondisi ini cukup dengan membuka mata dan hati nurani, maka kita akan melihat begitu transparan betapa kehidupan ini bukanlah kehidupan untuk sebuah bangsa yang sudah “merdeka.”

Sebentar lagi “kita” akan menyelenggarakan pemilu. Rakyat kembali memainkan perannya sebagai peserta pencoblos suara di bilik suara sekali dalam lima tahun. Apa yang kita harapkan dari pemilu 2009?

Arief Budiman pernah berkata bahwa demokrasi Indonesia telah kembali. Namun, demokrasi ini hanya memberikan kita kesempatan memilih politisi busuk. Sampai detik ini kita belum menemukan calon-calon baru yang lebih muda. Semua yang sudah mendeklarasikan dirinya maju di pemilihan presiden mendatang berasal dari generasi 4L: lho lagi lho lagi. Sekedar menyebut beberapa nama, Sutioso, Gus Dur, Megawati, Amien Rais. Semua mereka sudah berkepala enam. Artinya mereka sebentar lagi akan memasuki era pensiun dalam kemampuan untuk berkarya. Kita tidak melihat perubahan mendasar yang mereka lakukan semasa mereka berkuasa. Kehidupan rakyat tidak kunjung membaik.

Partai politik yang mencalonkan mereka cenderung untuk mendukung habis-habisan segala kebijakan yang dikeluarkan sekalipun itu sangat menyakitkan hati rakyat. Partai politik tidak memiliki tanggung jawab terhadap konstituen yang memberikan dukungan. Partai sama sekali tidak merepresentasikan kepentingan rakyat. Partai sama sekali tidak mampu menyediakan pemimpin alternatif yang pro-perubahan.

Dengan demikian golput menjadi halal karena memang materi yang tersedia untuk kita pilih sangat terbatas, tidak berbobot, ada di bawah standar, dan tidak bermutu. Kita tidak mau memilih para politi busuk yang gemar korupsi, pelanggar HAM, perusak lingkungan, pengguna narkoba, pelaku kekerasan terhadap perempuan, dan juga dewan bersih namun tidak menunjukkan kinerja apa pun.

Golput di pemilu mendatang kita maknai sebagai aksi protes terhadap partai dan juga calon-calon seperti yang sudah dikemukakan di atas. Fadjroel Rahman mengatakan bahwa kita tidak cukup hanya golput saja tanpa berangkat dari kesadaran bahwa demokrasi itu mengandung kebebasan sejati. Kita harus memilih sebagai golput aktif. Golput aktif artinya menyumbangkan kemampuan intelektual, membantu menyebarkan informasi, demonstrasi, diskusi, seminar, kampanye di media massa, dan lain-lain. Golput merupakan mosi kepercayaan terhadap masa depan demokrasi, sekaligus mosi terhadap partai politik maupun capres-cawapres yang ditawarkan. Yah, ternyata orang bijak lebih memilih golput. ***

Dian Purba, tercacat sebagai Mahasiswa Fakultas Sastra Inggris Universitas Methodist Indonesia Medan

Thursday, August 14, 2008

Lagi-Lagi Reforma Agraria


Oleh MUFIDAH


KEKERINGAN yang melanda sejumlah besar daerah Jawa. Selain dapat mengancam ketahan pangan. Juga berpotensi mengancam kehidupan sosial.

Menurut Kompas (01/06) musim tanam kali ini, sekitar 2300 ha dari 14000 ha lahan kering terancam puso atau gagal panen (Kompas,01/06/2008). Hal itu disebapkan musim kemarau yang berkepanjangana. Kondisi diperparah dengan kerusakan infrastruktur pengairan. Dari 106 bendungan., 50 dalam keadaan rusak.

Dampak kerusakan ini berimbas pada penuruan debit air. Akibatnya petani harus memompa air. Sedangkan untuk memompa air biaya nya mahal. Terlebih kenaikan BBM yang lalu telah membuat harga bahan bakar melambung. Akhirnya petani harus menanggung biaya sebesar Rp. 575.000 hanya untuk memompa air. Kondisi ini otomatis menambah biaya produksi.

Belum lagi jika air tidak cukup, maka padi dipastikan puso. Karena tanpa sokongan air yang cukup, bulir padi menjadi gabug (kosong).lagi-lagi ini membuat produktifitas petani turun.

Kegagalan panen akibat kekeringan menyebabkan petani merugi. Modal produksi yang dikeluarkan terancam tidak kembali. Perekonomian keluargapun jadi goyah. Ketika petani tidak lagi bisa menggantungkan hidup dari lahan pertanian. Maka petani dipaksa untuk mensiasati kebutuhan hidup agar tetap terpenuhi. Akhirnya, banyak petani yang alih profesi menjadi buruh. Bahkan merantau ke ibu kota untk menjadi pengemis atau pemulung.

Sebagai contog adalah puso di desa Krimun, Indramayu, Jawabarat. Banyak petani dari daerah itu yang menjadi buruh dan mengadu nasib ke Jakarta. Mereka terpaksa beralih profesi demi menutup biaya produksi. Dan syukur-syukur bisa dapat modal untuk musim tanam berikutnya.

Para pengadu nasib musiman itu memilih hijrah sementara ke Jakarta, karena pendapatan di kota lebih menggiurkan. Disaat hasil pertanian tidak bisa diandalkan. Dengan menjadi pengemis, pengamen atau pemulung mereka mendapatkan penghasilan Rp. 70.000/hari. Dipotong biaya sewa alat mengamen, mereka bisa menyimpan rp. 30.000/hari yang digunakan untuk modal penanaman berikutnya (Kompas,06/08/2008).

Meskipun datang secara musiman, namun pendatang menambah deretan perantau dan kaum miskin di ibu kota. Laju urbanisasi makin meningkat. Mereka terjebak menjadi pengasong, pengemis dan pemulung. Ini tidak terhindarkan. Realisasi pembangunan yang tidak merata turut mendukung laju urbanisasi.

Berbagai kebijakan pemerintah tentang pertanian yang tak berpihak, membuat kehidupan petani di desa semakin sulit. Tingginya harga benih, kelangkaan pupuk, kesulitan akses modal, kekeringan dan kerusakan infrastruktur membuat kualitas dan kuantitas produk pertanian menjadi turun. Pendapatan pun dipastikan ikut menurun. Padahal biaya hidup semakin tinggi.

Lagi-lagi, Reforma Agraria

Kompleksitas masalah pertanian ini, merupakan rembertan dari persoalan klasik yaitu reforma agraria yang terabaikan. Peningkatan angka urbanisasi, walau hanya musiman, disebabkan perekonomian pedesaan yang terus defisit.

Tujuan ekonomi reforma agraria salah satunya yaitu,memberikan kemudahan petani untuk memperoleh saprodi (sarana dan prasarana produksi ). Pembangunan pertanian yang efisien dan responsif terhadap industri. Reforma agraria memungkinkan orang desa untuk tetap bekerja di desa dengan memanfaatkan lahan dan mengolah hasil pertanian.

Untuk itu diperlukan komitmen pemerintah untuk menuntaskan reforma agrarian. Dukungan kepada petani untuk memperoleh saprodi dan infrastrukur. Pastinya akan menambah kekuatan ekonomi pedesaan. Dampak nya akan setali tiga uang, laju urbanisasi akan menurun, perekonomian petani naik, kuantitas dan kualitas produk pertanian meningkat. Ujung-ujungnya kemiskinan menurun. Rakyat Indonesiapun semakin sejahtera. Semoga. **

Mufidah, ibu guru SLTA asal Blitar, Jawa Timur yang concren dengan masalah pertanian.


Monday, August 11, 2008

Menelusuri Akar Kemiskinan di Pulau Nias

Sekadar Pengantar

Oleh ERIX HUTASOIT

KEMISKINAN di Pulau Nias adalah anomali. Tidak seharusnya kemiskinan ”berjangkit” di daerah yang kaya akan sumber daya alam. Pulau Nias punya keindahan alam, punya tanah yang produktif, punya laut yang kaya akan ikan dan hasil lainnya, punya orang-orang yang kuat bekerja. Jika kita mengunjungi desa-desa di puncak gunung di daerah Gomo sana. Kita akan berjumpa dengan orang asli Nias yang tenaga nya begitu kuat. Dan mereka pun rajin bekerja.

Dari titik ini lah saya menyimpulkan kemiskinan di Pulau Nias bukan kemiskinan natural. Melainkan kemiskinan struktural. Kemiskinan yang disebabkan sistem yang tidak beres dan tidak adil (injustice system).

Mari saya ajak Anda menelusuri sejenak jejak-jejak injustice system itu. Kita berangkat dari segi pertumbuhan ekonomi. Jika kita baca laporan Badan Pusat Statistik (BPS). Kita akan temui fakta spektakuler bahwa pertumbuhan ekonomi Kabupaten Nias jauh lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi Indonesia dan Sumatera Utara.

Fakta yang lebih fantastis terjadi di tahun 1998-1999. Di tahun 1998, perekonomian Nias ambruk ke angka sekitar minus 10 persen. Tapi kejatuhan ini dapat dimaklumi, karena pada tahun itu Indonesia sedang diguncang kekacauan ekonomi. Namun setahun kemudian, pertumbuhan ekonomi Nias melonjak sekitar 15 persen. Ini menunjukkan betapa produktif nya perekonomian Nias.

Jika kita ikuti teori pertumbuhan ekonomi. Harusnya pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu akan membawa dampak pada pemerataan kesejahteraan. Akan tetapi Trickle Down Effect yang diyakini dapat mendistribusikan kesejahteraan, ternyata tidak ”tiba” di Nias.

Pertumbuhan yang tinggi itu, malah berbanding terbalik dengan angka kemiskinan. Kemiskinan terus meningkat. Alhasil pada tahun 2004, Kabupaten Nias Selatan dan Kabupaten Nias ”dinobatkan” sebagai kabupaten termiskin pertama dan kelima di Sumatera Utara.

Inilah yang menggiring nalar kita pada pertanyaan kritis, ”Siapa seh yang menikmati pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu ?”

Mari kita kembali telusuri perekonomian Nias untuk menemukan jawabnya. Berdasarkan data BPS di tahun 2005. Lebih dari 46 persen perekonomian Nias di topang oleh sektor pertanian; urutan kedua ditempati sektor perdagangan sebesar 21 %. Sektor jasa-jasa memberikan kontribusi sebesar 11 % dan berada di peringkat ketiga. Sedangkan peringkat keempat adalah sektor bangunan yang menyumbang 10 %.

Tapi yang terjadi adalah paradoks. Sektor pertanian malah menjadi penyumbang angka kemiskinan terbanyak. Artinya orang miskin di sini umumnya adalah petani. Kok bisa ?

Mari kita lihat kembali data BPS. Pada tahun 2004 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Nias adalah Rp.200.106.529.780,-. Dimana sektor pertanian menyumbang 41,09 persen. Dan sektor perdagangan hanya berkontribusi sebesar 21,78 persen .

Akan tetapi dari segi distribusi (penyebaran) terjadi kesenjangan yang besar. Petani yang berjumlah 341.130 jiwa hanya memperoleh bagian dari PDRB sebesar Rp.1.900.000,-/kapita. Sedangkan pedagang yang jumlahnya hanya 15.040 jiwa, meraup Rp.26.000.000,-/kapita. Artinya perbedaan PDRB perkapita antara petani dan pedagang sebesar 1 berbanding 13. Dan jurang antara si miskin dan si kaya di Nias semakin jauh terbentang.

Merujuk pada Gunawan Sumodiningrat dalam Pemberdayaan Sosial; Kajian Ringkas Pembangunan Manusia Indonesia (2007). Dia menyebut kesenjangan terjadi apabila 20 persen penduduk yang tergolong kaya meraih 50 persen atau lebih dari GNP (Gross National Product). Untuk tingkat kabupaten dari bisa lihat dari PDRB (Produk Domestik Regional Bruto).

Inilah yang menggiring kita pada pertanyaan lain, ”Bagaimana caranya 20 persen penduduk kaya itu mampu meraup lebih dari setengah perekonomian Nias ?”

Nias dalam Pusaran Hukum Pasar: M-C-M`

Bagian ini saya mulai dengan mengutip Noniwati Telaumbanua dalam Kepulauan Nias: Konsekuensi Sebuah Ketidakstabilan dan Ketidakpastian Kondisi Alam (Bagian II) (2007):

“Dunia bisnis berpusat di Gunungsitoli, Teluk Dalam dan Lahewa, namun tidak diimbangi dengan ketangguhan penduduk untuk menguasai sektor-sektor vital, melainkan dipegang oleh pendatang, baik sebagai badan tunggal maupun sebagai pemodal kuat. Wilayah ini menjadi bergantung sekali dengan fluktuasi pasaran yang ditetapkan secara otonom oleh penguasa pasar yang berada di tiga kota di atas…”

Dari paragraf ini saya menyimpulkan. Pertama, sektor bisnis di Pulau Nias terpusat pada tiga kota yaitu Gunungistoli, Teluk Dalam dan Lahewa. Kedua, sektor bisnis itu dikuasai oleh para pendatang sebagai pemilik modal (kapitalis). Ketiga, kelompok ini secara otonom menjadi “decision of price” (penentu tingkat harga-harga).

Nah, sebentar kita beralih ke teori-teori seputaran pertukaran (perdagangan). Karl Marx dalam buku babon nya Das Capital: A Critique of Political Economy Volume I (1954) pada bagian kedua The Transformation of Money into Capital. Menyebut bahwa pertukaran dalam masyarakat kapitalis mengambil rumus Money – Commodity – Money (M-C-M).

Menurut hukum ini, si kapitalis memulainya dengan uang (M) untuk membeli komoditi (C). Komoditi tersebut kemudian dijualnya untuk memperoleh uang lagi (M2). Marx menamakan tahap pertama ini (M – C) sebagai kapital pendahuluan (Advanced Capital), dan tahap kedua (C – M) sebagai kapital kerja (Relation of Capital).

Tetapi, Marx mengingatkan bahwa keseluruhan proses ini (M – C – M ), tidak ada maknanya, jika si kapitalis hanya mendapatkan uang sebesar uangnya semula. Misalnya, jika semua ia memiliki Rp. 1000,- (M), kemudian digunakannya untuk membeli atau memproduksi sepatu seharga Rp. 900.- (C), dan menjual sepatu itu dengan harga dasar Rp. 1.000,- (M).

Bagi Marx, pertukaran model ini bukanlah cara produksi kapitalis. Karena itu, Marx menuliskan kembali rumusnya ini menjadi M – C – M’, dimana M’ (M plus) mewakili jumlah yang lebih besar dari M atau M’ > M. Uang senilai Rp. 1000,- (M) yang digunakan untuk membeli atau memproduksi sepatu senilai Rp. 900,- (C). Sepatu itu kemudian dijual menjadi Rp. 1.100 (M’). Dari proses ini, si kapitalis mendapatkan tambahan uang senilai Rp. 100,- yang kemudian sirkuit ini terus berputar tanpa henti. M’ inilah yang nantinya disebut Marx sebagai “nilai lebih“.

Pada tahap M – C – M’, yang disebut Marx dengan istilah sirkuit uang, si kapitalis memproduksi komoditi bukan untuk konsumsi tapi, untuk dijual dengan tujuan semata-mata akumulasi nilai uang. Demikian pula, si konsumen membeli barang bukan semata-mata bertujuan memenuhi kebutuhannya. Proses M – C – M’ ini terjadi dalam situasi yang tidak pernah usai dan diam, sehingga terjadi apa yang disebut surplus product (kelebihan produksi).

Dalam konteks Pulau Nias, hukum ini berlaku dalam dua fase. Fase pertama, pemilik modal menggunakan uangnya (M) untuk membeli komoditas (C) seperti karet, kopra, coklat dengan harga yang murah. Kemudian menjual kembali Komoditas itu dengan harga mahal (M2). Dari sana pemilik modal mendapat keuntungan. Sedangkan fase kedua adalah keuntungan yang dapat dari memasok barang-barang dari Sumatera daratan ke Nias dengan cara yang sama.

Ini yang membuat kelompok pemilik modal seperti pedagang mampu menguasai lebih dari 50 persen perekonomian Nias. Dari sini pula saya menyimpulkan bahwa kemiskinan di Pula Nias sangat dipengaruhi oleh sistem kapitalisme. Pemilik modal terlalu “berkuasa” dalam mendikte tingkat harga. Aktivitas mereka seolah tidak terjamah oleh kekuatan apapun. Maka tidak aneh kalau Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menepatkan Pulau Nias sebagai daerah yang paling amburadul tata kelola ekonominya.

Demikianlah untuk sementara penelusuran kita tentang akar kemiskinan di Nias. Akan lebih menarik lagi, jika ada yang berminat untuk melakukan pendalaman. Menemukan siapa aktor-aktor yang terlibat dan bagaimana pola keberlangsungan sistem kapitalisme di Pulau Nias ini. Salam***


Erix Hutasoit, anggota team editorial CEFIL 19. Saat ini bekerja di Nias. Tulisan ini dipublikasikan pertama sekali oleh situs : http://niasoneline.net