Sunday, July 27, 2008

Adat Batak itu tidak mengenal kelas

Diskusi dengan Ali Yusran

Oleh DIAN PURBA

HAMPIR semua aktivis gerakan di Medan kenal Ali Yusran. Usianya sudah beranjak 70. Badannya masih tegap bagaikan pohon berusia ratusan tahun. Setelah mati-matian mencari kerja seadanya akhirnya Bung Ali, demikian dia sering dipanggil, bisa ngontrak rumah mungil di pinggiran kota.

Siang itu kami diterima dengan hangat. Kami biasa datang ke rumah itu untuk diskusi. Diskusi mulai hal-hal terberat sampai diskusi yang paling ringan. Memang begitulah. Setiap orang akan “kecanduan” diskusi dengan Bung Ali. Menurutku ada beberapa hal penyebabnya. Bung Ali menerapkan metode diskusi yang sehat. Tidak menggurui. Paparannya mendasar dan membumi. Analisanya tajam. Pendapatnya “subversif”. Bung Ali tidak pernah menunjukkan dirinya sebagai orang yang paham betul dengan materi yang akan didiskusikan. Semua diajak mengeluarkan pendapat. “Mulailah dengan bertanya,” ungkap Bung Ali tiap kali mau memulai diskusi.

Diskusi kali ini tentang adat isitiadat Batak. Bung Ali sendiri bukanlah orang Batak. Bung Ali berasal dari tanah di mana perempuan yang meminang laki-laki, Minang. “Tanah Batak tidak mengenal feodalisme, “ Bung Ali memulai diskusi. “Adat asli Batak rusak semenjak kolonial memasuki Tanah Batak. Adat asli batak itu bagaikan sorga,” tambahnya. Ketika kami tanya kenapa di Tanah Batak tidak ada feodalisme Bung Ali menjawab, “Di adat Batak kita mengenal banyak sekali raja. Tiap marga memiliki raja sendiri. Sistem inilah yang menangkal budaya feodal tersebut. Kalau kamu raja di margamu, ya, itu berlaku di margamu saja. Di marga lain kamu itu boru. Ini berbeda dengan adat Jawa yang terasa sekali budaya feodalnya,” komentarnya dengan yakin. “Adat asli Batak tidak mengenal raja turun temurun. Raja baru akan dipilih ketika dirasa sudah waktunya memiliki raja baru. Dan raja baru yang terpilih adalah raja pilihan dari marga tempat dia berada. Pemilihannya juga demokratis. Berbeda dengan adat Jawa. Di Jawa itu raja turun-temurun.” Kami ketawa ketika Bung Ali mengatakan kelemahan raja yang turun-temurun, “Walaupun raja Jawa yang baru itu bodohnya seperti kerbau, dia tetaplah raja yang harus disembah.” Kami sedikit kuatir mendengar komentar Bung Ali tentang raja Jawa tersebut. Kemudian dia mengatakan bahwa Pramoedya yang Jawa tidak pernah mengaku dirinya orang Jawa. “Pram itu orang Jawa, tapi dia benci sama budaya Jawa.”

“Masuknya kolonialisme ke Tanah Batak (agama, dalam hal ini agama Kristen) adalah awal mula hancurnya budaya asli Batak,” tambahnya. “Budaya asli Batak tidak mengenal agama. Mereka menganut agama animisme. Masyarakat dengan tingkatan kelas juga tidak ditemukan di Tanah Batak.” Ini mengingatkan kita tentang teori masyarakat tanpa kelasnya Karl Marx. Sebuah pemaparan yang sangat baru bagi kami. Kami yang hadir sore itu semua suku Batak. Kami terkejut. “Ahli-ahli sejarah Batak tidak pernah atau takut mengatakan fakta ini. Mereka malu mengatakan bahwa agama asli orang Batak itu adalajh animisme,” Bung Ali berkata sambil menyalakan rokok. Bung Ali mengatakan bahwa cirri-ciri masyarakat tanpa kelas tidak mengenal adanya agama. Karena agama, menurut Bung Ali, adalah alat penindasan. Agama hanyalah pelarian rakyat kecil untuk mengendapkan masalah ekonomi-sosial-politiknya. Agama tidak pernah menyelesaikan masalah. “Kakek kita itu mengatakan bahwa agama itu adalah candu masyarakat.” Kakek yang dimaksudkan adalah Karl Marx.

Generasi yang tumbuh di jaman sekarang sudah sangat jarang yang mau mendalami budaya asli Batak. Sangat jarang kita temui pemuda-pemudi Batak yang peduli dengan masalah ini. Kami terpukul dengan paparan Bung Ali. Kami beranggapan bahwa budaya Baratlah budaya yang patut ditiru.

Diskusi pun berlanjut. Sambil meneguk kopi yang dari tadi belum diteguk, diskusi semakin hangat saja. “Alat produksi utama orang Batak adalah tanah,” Bung Ali memulai lagi. “Tanah bagi orang Batak adalah tanah kolektif. Tanah milik bersama. Tanah kolektif ini dibagi berdasarkan clan (marga). Marga Purba misalnya memiliki tanah yang diusahai bersama oleh marga Purba. Tanah di Tanah Batak tidak untuk diperjualbelikan,” Bung Ali bertambah semangat. “Setiap anggota keluarga mendapatkan tanah sesuai dengan kebutuhan. Orang Batak tidak pernah bersengketa gara-gara memperebutkan tanah.” Kami makin asik mendengarkan penjelasan Bung Ali. Kami mencoba membandingkan dengan kondisi sekarang. Orang Batak sudah banyak yang bertengkar gara-gara tanah. Bahkan saling membunuh. Persatuan marga terpecah gara-gara perebutan tanah.

“Tanah inilah yang dijadikan untuk berladang. Hasil dari ladang adalah milik bersama. Dulu di Tanah Batak kita mengenal adanya lumbung padi besar. Lumbung ini fungsinya sebagai stock gabah. Setiap kali panen lumbung ini diisi. Cara pengisiannya setelah semua kebutuhan keluarga terpenuhi. Sisa panen inilah yang disetor ke lumbung tersebut.” Bung Ali kelihatan paham betul dengan topik diskusi kali ini. “Siapa saja bisa mengambil gabah dari lumbung tersebut. Tentunya sesuai kebutuhan. Takkan ada yang berantam dan berebutan. Setiap orang akan mengambil sebanyak yang diperlukan. Kepemilikan lumbung padi besar ini bersifat kolektif.” Sesuatu yang sangat langka di jaman sekarang.

Era komunal primitif, sejarah perkembangan masyarakat, mendasari pola produksinya berdasarkan nilai guna. Artinya semua produk yang diproduksi semuanya diperuntukkan untuk kebutuhan masyarakat. Karena alat produksi satu-satunya pada masyarakat Batak adalah tanah, maka hasil produksinya adalah hasil ladang, terutama padi. Inilah yang dimaksudkan Bung Ali dengan kepemilikan kolektif itu. “Inilah sorga di tanah Batak itu. Setiap orang bekerja dan mendapatkan sesuai dengan kebutuhannya,” Bung Ali meneguk kopi sambil tersenyum sumringah.

“Sorga ini kemudian hancur dengan datangnya Belanda ke Tanah Batak. Agama Kristen diperkenalkan. Awlalnya agama ini ditentang keras,” tambahnya dengan wajah tampak kesal. “Perlahan-lahan namun pasti, budaya asli masyarakat Batak terkikis. Ini tidak boleh kita biarkan,” Bung Ali menatap kami dengan mata tajam. “Ini tidak boleh dibiarkan,” ulangnya lagi.

Kondisi Tanah Batak sekarang ini sudah jauh menyimpang dari budaya aslinya. Tanah sudah dijual. Lumbung padi besar sudah tidak kita temukan lagi. Agama yang masuk melalui penjajah sudah menghilangkan agama asli masyarakat Batak. Masyrakat berkelas sudah tercipta. Konsep raja seperti dipaparkan di atas sudah tidak ada lagi. Raja masih ada. Namun, proses pemilihannya tidak lagi demokratis. “Budaya Jawa yang feodal sudah memasuki seluruh negeri. Hampir 75 persen penduduk Indonesia beretnis Jawa. Orang Batak ikut-ikutan memilih budaya ini,” Bung Ali memberikan jawaban.

Ruangan sepi sejenak. Hening. Mata kami saling melirik. Tampak tiap peserta diskusi memikirkan perkataan terakhir Bung Ali.

Salah satu dari kami memecah keheningan. “Apa solusinya?”

Bung Ali ketawa kecil. Asap rokoknya mengepul mengisi ruangan. “Kembalikan firdaus yang hilang itu, “ katanya tegas. “Tugas besar orang seperti kalian ini adalah mengembalikan sorga itu ke Tanah Batak.” “Apa itu mungkin?”, kawan tadi melanjutkan pertanyaannya. “Mungkin,” jawabnya ringkas. “Kalian mulai sekarang harus memikirkan caranya. Revolusi kebudayaan di Tanah Batak harus kita ciptakan. Tanah Batak yang dulunya tidak mengenal budaya feodal sekarang sudah merajalela,” Bung Ali seperti memberikan petuah. “Di sinilah kalian harus ambil peran. Hancurkan budaya feodal itu. ”

Kembali kami terdiam. Kali ini kami serasa mendapatkan titah dari sang raja. Titah yang harus cepat-cepat dilaksanakan. “Bentuk Front Pertahanan Adat Batak,” sang raja menambah titah. Kami saling melirik satu sama lain. Front Pertahanan Adat Batak????

Sore pun beranjak malam. Waktunya pamit dari tuan rumah. Peserta diskusi nampak sedikit letih. Diskusi sore ini menambah banyak pertanyaan baru di kepala kami. Bung Ali berdiri di depan pintu dan memberangkatkan pasukan tempurnya menuju medan juang. ***

DIAN PURBA, Mahasiswa semester akhir di Fakultas Sastra Inggris Universitas Methodist Indonesia.

Harga BBM


Oleh DIAN PURBA

BERDEDA dengan Indonesia, Malaysia justru semakin "kaya" dengan kenaikan harga BBM dunia. Logikanya sangat sederhana. Negara itu mempunyai kedaulatan di bidang energi.

Indonesia kaya dengan lading minyak. Ini fakta. Pada tahun 70-an ketika harga minyak memblooming, Indonesia menikmati rejeki nomplok ini. Pemerintah Orde Baru mensubsidi rakyat dari keuntungan menjual produksi minyak dalam negeri.

Sekarang kondisinya terbalik. Indonesia lewat pemerintah (SBY_JK) tidak bisa mengulang kisah sukses pemerintahan Orde Baru tersebut. Negeri kaya minyak ini harus mengorbankan rakyatnya menanggung harga minyak dunia yang cenderung naik. Hari ini, 23 Mei 2008, pemerintah menaikkan harga BBM sebesar 28, 7 persen. Harga bensin dipatok sebesar Rp 6.000/liter dari harga sebelumnya Rp 4.500/liter. Harga solar dari Rp 4.300/liter menjadi Rp 5.500/liter. Sementara untuk minyak tanah dipatok harga Rp 2.500/liter dari harga sebelumnya Rp 2.000/liter. Pemerintah terkesan menutup mata dengan aksi rakyat yang menolak kebijakan ini. Sesungguhnya untuk siapakah mereka memerintah?

Menaikkan harga BBM adalah pilihan terakhir yang harus ditempuh pemerintah. Semua pembantu presiden berlomba-lomba untuk memberikan rasionalisasi. Ada yang memberikan komentar, ada yang mengajukan data, ada yang memasang muka berat seolah-olah mereka itu bekerja sesungguhnya untuk rakyat. Bantuan langsung tunai (BLT) pun diluncurkan untuk mendobrak daya beli masyarakat miskin. Tapi apakah ini efektif? Ketika seorang tukang becak mengatakan bahwa BLT hanya membuat rakyat menjadi bermental "pengemis", pemerintah semakin memposisikan dirinya bahwa mereka memerintah bukan karena praktek pikiran dan kerja mereka yang sudah teruji. Rakyat sudah tidak bisa dibodohi lagi.

Apakah menaikkan harga BBM adalah pilihan terakhir ?

Ekonom Kwik Kian Gie berkomentar: "Tidak ada subsidi BBM. Pemerintah mengambil minyak bumi milik rakyat secara gratis dengan biaya hanya US$10/barrel. Tapi karena hanya bisa menjualnya seharga US$ 77/barrel pemerintah merasa rugi jjika harga minyak internasional lebih dari harga iitu." Berbeda dengan beberapa negara Amerika Latin. Mereka mensejahterakan rakyatnya dari hasil minyaknya. Venezuela di bawah pimpinan Hugo Chaves malah membantu sekutunya Kuba untuk membangun perumahan bagi rakyat Kuba. Semuanya adalah hasil dari minyak.

Pemerintah selalu berdalih bahwa negara kita mengimpor minyak untuk kebutuhan konsumsi dalam negeri. Produksi minyak dalam negeri kira-kira 1 juta barel per hari (bph). Sementara itu konsumsi minyak dalam negeri sebesar 1,2 juta bph. Artinya kita deficit sebesar 0,2 juta bph. Dengan demikian Indonesia hanya perlu mengimpor minyak sebesar 0,2 bph. Mari kita lihat data di bawah ini.


Biaya $/brl

Jual $/brl

Untung

Kuantitas

Untung/hari

Produksi

15

77

62

1.000.000

62.000.000

Impor

140

77

(63)

200.000

(12.600.000)

Untung





49.400.000

Jika harga minyak internasional US$ 125/barrel dan biaya produksi US$ 15/barrel serta impor sebesar 200 ribu bph, maka pemerintah Indonesia dengan harga Rp 4.500/liter (US$ 77/barrel) untung sebesar US$ 49,4 juta per hari atau sama dengan Rp 165,8 trilyun dalam setahun (1 US$= Rp 9.200).

Pemerintah untung sebesar Rp 165, 8 trilyun.

Jadi adalah bohong besar jika pemerintah mengatakan bahwa negar rugi sebesar Rp 123 trilyun per tahun.

Alasan lain yang tidak kalah menghebohkan adalah perbandingan harga bensin per liternya dengan negara-negara lain. Mari kita lihat data di bawah ini.



Negara

US$/Ltr

Rp/Ltr

Populasi

GNP/Kapita

Venezuela

0, 05

460

26.000.000

3.490

Turkmenistan

0, 08

736

5.000.000

1.120

Iran

0, 09

828

68.000.000

2.010

Nigeria

0, 10

920

129.000.000

350

Saudi Arabia

0, 12

1.104

27.000.000

9.240

Kuwait

0, 21

1.932

2.400.000

17.960

Mesir

0, 25

2.300

78.000.000

1.390

Indonesia

0, 49

4.500

220.000.000

810

Malaysia

0, 53

4.876

24.000.000

3.880

Cina

0, 64

5.888

1.300.000.000

1.100

AS

0, 92

8.464

296.000.000

37.870

Jepang

1, 01

9.292

128.000.000

34.180

Pada prinsipnya rakyat tidak keberatan harga BBM tinggi. Tapi pemerintah melupakan aspek ini: daya beli. Dari data kita ambil contoh negara Amerika Serikat. Pendapatan per kapitanya cukup tinggi. Sementara itu Indonesia mencoba menyamakan harga minyaknya dengan harga minyak dunia dengan pendapata per kaita hanya 810/tahun. Sebuah logika yang tidak bisa diterima akal.

Alasan pembenaran lainnya adalah bahwa rakyat Indonesia boros dalam menggunakan BBM. Kembali kita akan melihat betapa pemerintah selalu salah dalam mengeluarkan data.

Negara

Ranking

Konsumsi

GNP/Kapita

Singapura

1

59, 5

21.230

AS

7

25, 8

37.870

Jepang

23

15, 6

34.180

Jerman

36

12, 4

25.270

Malaysia

47

7, 8

3.880

Botswana

87

3, 7

3.530

Namibia

98

2, 6

1.930

Indonesia

116

1, 7

810

Konsumsi BBM Indonesia berada di urutan 116 di bawah negara Afrika yang jarang kita dengar namanya Botswana dan Namibia. Pemerintah lupa bahwa jauh-jauh sebelum harga BBM dinaikkan rakyat miskin sudah selalu berhemat karena memang tidak ada yang harus dihemat. Dari data di atas terbantahlah sudah bahwa pemerintah dalam mengeluarkan data tidak pernah teruji keakuratannya.

Bantuan Langsung Tunai

Bantuan langsung tunai (BLT) sama sekali tidak bisa mengatasi masalah kenaikan harga BBM. Kebijakan ini mengundang banyak kontroversi. Pada kenaikan BBN tahun 2005 sebesar 125 persen tidak semua orang miskin mendapatkan bagian. Jumlah penerima BLT hanya 18 juta (sekitar 30 persen) dari 62 juta rakyat miskin di seluruh Indonesia (Data BankDunia). Program ini hanya berjalan selama setahun. Setelah pemerintah menaikkan harga BBM, semua harga barang-barang naik. Daya beli masyarakat semakin menurun. Akibatnya jumlah korban busung lapar dan kurang gizi menunjukkan angka memprihantinkan, 5 juta orang. Korban tewas terdapat di beberapa propinsi. Aceh, NTT, Sulawesi Selatan, dan Papua adalah propinsi yang paling banyak menyumbang korban.

Program ini juga mengakibatkan tewasnya beberapa warga berusia lanjut. Mereka meninggal karena berdesak-desakan untuk mengambil "uang pelipur lara." Di samping itu banyak warga merusak fasilitas umum karena kecewa nama mereka tidak termasuk dalam daftar penerima BLT. Yang membuat bulu kita merinding adalah anak sesama bangsa rela saling membunuh hanya demi mendapatkan dana yang hanya membuat rakyat menjadi pengemis di tanah air mereka sendiri. Sungguh ironis. Program yang sama juga akan digunakan pemerintah untuk mengatasi kenaikan harga BBM. Kebijakan ini pantas disebut sebuah kebijakan gila. Orang gila mengharapkan hasil yang lebih baik dari hasil sebelumnya tetapi masih menggunakan cara yang sama.

Energi Indonesia untuk Siapa ?

Indonesia adalah satu negara pengekspor batu bara. Setiap tahun Indonesia mengekspor 70 persen produksi batu bara dalam negeri. Indonesia juga negara pengekspor LPG terbesar di dunia. Untuk minyak Indonesia mengekspor minyak sebesar 500 ribu bph.

Sementara itu kita sering kali mengalami padam listrik. Rakyat kekurangan gas, minyak tanah, solar, dan bensin. Energi Indonesia untuk siapa?

Kita dicengangkan dengan fakta bahwa 90 persen lading minyak Indonesia dikelola dan dikuasai oleh pihak asing. Keuntungan perusahaan migas yang beroperasi di Indonesia (Exxon Mobil) tahun 2007 sebesar US$ 40, 6 milyar (Rp 373 trilyun) dari pendapatan US$ 114, 9 milyar (Rp 1.057 trilyun) (CNN). Bagi hasil migas sebesar 85:15 untuk pemerintah dan perusahaan asing baru dilakukan setelah dipotong cost recovery yang besarnya ditetapkan oleh perusahaan asing. Jika tidak tersisa maka Indonesia tidak mendapatkan sepeser pun. Contoh kasus, Blok Natuna yang dikelola oleh Exxon Mobil, setelah dipotong cost recovery-nya, Indonesia mendapatkan "nol" persen dan Exxon mendapatkan 100 persen.

Inilah pelanggaran terhadap konstitusi yang dilegalkan oleh negara. Jika energi diprioritaskan untuk kebutuhan dalam negeri (misalnya pembangkit listrik), Indonesia tidak perlu impor BBM sama sekali.

Solusi Pro-Rakyat

Karena harga BBM sudah naik maka solusi yang bisa kita gunakan adalah perkuat barisan massa sadar dengan turun langsung ke basis rakyat. Perjuangan ini harus dilakukan secara massif. Kampanyekan kepada rakyat bahwa rejim yang memimpin sekarang adalah rejim pro-pasar, rejim yang lebih mengutamakan kepentingan pemodal ketimbang kepentingan rakyat. Sudah sebuah konsekuensi bahwa pemerintahan kapitalistik hanyalah pemerintahan yang mengelola negara untuk menambah pundi-pundi mereka melalu regulasi yang selalu pro pada pengusaha. Kita tidak usah heran dengan ini.

Kita tidak bisa berharap terlalu banyak pada pemerintah sekarang untuk menasionalisasi semua tambang. Kekuatan untuk merebut kekuasaan ini yang belum kita miliki. Jika kita sudah merebut kekuasaan semua kebijakan yang diambil pasti sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat tertindas.

Hidup rakyat!

DIAN PURBA, Mahasiswa semester akhir di Fakultas Sastra Inggris Universitas Methodist Indonesia.