Wednesday, October 29, 2008

PDI Perjuangan dan Peringatan Hari Sumpah Pemuda


Oleh DIAN PURBA

BUNDA itu tersenyum lebar. Tangan kanan diangkat sejajar dengan ubun-ubun. Berdiri di depan foto Sang Bapak. Hari ini tanggal 28 oktober 2008. Sumpah Pemuda.

PDI Perjuangan, juga, merayakannya. Mereka menjatuhkan pilihan kepada Harian Kompas. Promosi. Kampanye. Atau apalah namanya. Tidak tanggung-tanggung. Dua halaman penuh ples setengah halaman yang sengaja dipotong dari atas ke bawah. Didominasi warna merah dan hitam. Warna yang terlalu sering “didewakan” sebagai warna perjuangan, perlawanan, dan segala macamnya.

Halaman pertama cukup membuat pembaca terkesima. SUMPAH PEMUDA 28 OKTOBER 1928. Angka 28 sengaja dibuat istimewa. Cetak tebal, warna hitam tebal, ukuran huruf berbanding jauh besarnya dengan huruf sebelumnya, dan pinggir huruf warna putih.

Di bawahnya:

PERTAMA

Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah air Indonesia.

KEDUA

Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.

KETIGA

Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

Ada yang menarik di sini. Sumpah Pemuda poin ketiga yang oleh Orde Baru diubah teksnya: mengaku berbahasa satu bahasa Indonesia, tidak latah diikuti.

Halaman kedua, sama, menggiurkan.

Sumpah Pemuda 28 Oktober lahir karena semangat Nasionalisme. Nasionalisme melahirkan PDI Perjuangan No. 28.

Menggiurkan karena orang tergiur untuk bertanya lebih lanjut. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928: betul. Nomor urut PDI Perjuangan nomor 28 karena nasionalisme: ???

Mari kita sebut ini sebuah keberuntungan, atau sebuah kebetulan. Setelah semua partai peserta pemilu terdaftar dan lolos verifikasi, nomor urut pun dikocok. PDI Perjuangan sungguh berbangga bisa dapat nomor itu. Nomor yang di hari ini mendapatkan jodoh yang teramat pas.

Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 tidak bisa dipisahkan dari konteks: Indonesia negeri terjajah/dijajah (kolonialisme) dan bibit untuk memerdekakan diri dimulai dari kesadaran pemuda. Pemuda, saat itu, sadar betul si mata biru harus cepat-cepat hengkang dari negeri yang sudah terlalu lama dipijak-pijak harga dirinya. Mereka berkumpul dari berbagai daerah. Terkumpul dari berbagai organisasi: Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes, Jong Minahasa, Sekar Roekoen, dan Jong Bataks Bond. Mereka berkongres dan bersepakat: Indonesia harus merdeka. Titik. Mari kita namai ini Revolusi Pemuda.

Apakah semangat ini yang coba disamapaikan lewat iklan politik tersebut?

Halaman terakhir halaman penuh klise. Klise dari penampilan. Klise dari isi. Tidak ada yang istimewa. Basi. Monoton. SBY dengan Partai Demokratnya juga sudah melakukan hal yang sama.

Belakangan kita digempur iklan tokoh-tokoh yang gemar mengutip pendapat orang. “Hidup adalah perbuatan,” “Indonesia adalah satu kesatuan administratif,” bla-bla-bla... Mereka rupanya buta akan analisa kekinian akan kesadaran anak-anak bangsa. Mereka tidak tahu di jaman mana mereka hidup. Mereka tidak menyadari rakyat lebih memilih tindakan dari ucapan. Rakyat lebih memilih pemimpin teruji dari pemimpin omong kosong.

Megawati Soekarno Putri. Putri bapaknya yang tidak akan pernah bisa mengikuti jejak Sang Bapak. Putri yang teramat percaya diri mencalonkan diri untuk memimpin bangsa ini kembali. Semua komentar peserta iklan tersebut memuji dan mendamba kepemimpinan Sang Ibu. Inilah bahayanya sebuah iklan.

Iklan kita pahami, atau iklan lajimnya, selalu bertolak belakang dengan kenyataan. Iklan shampo, misalnya. Hampir tidak ada produsen shampo mengatakan produk mereka nomor dua. Selalu nomor satu. Ada puluhan merek shampo di negeri ini. Apa mungkin semuanya di peringkat pertama?

Calon pemimpin yang ingin memimpin dan menggunakan iklan mempromosikan diri harus diwaspadai. Kita perlu mawas diri. Karena setelah dia terpilih dia akan menerapkan “manajemen iklan”. Mengiklankan segala sesuatunya dan menganggap segala sesuatunya itu sebagai iklan. Rakyat perutnya besar, busung lapar: iklan. Rakyat tidak dapat pekerjaan: iklan. Rakyat sakit-sakitan: iklan. Negeri ini dijarah orang: iklan. Semua jadi iklan, iklan, dan iklan.

Apa yang terjadi seandainya PDI Perjuangan mendapat nomor urut 17, misalnya? Atau 25?

Dian Purba, mahasiswa semester akhir di fakultas sastra Universitas Methodist Indonesia (UMI).

Eddy Sartimin: Pelaku Sejarah yang Berujar*


Oleh DIAN PURBA

Anak cucu biologi hilang bersama munculnya anak-anak dan cucu ideologi. Inilah yang menjadikan aku tambah gairah dalam gerakan kiri. Eddy Sartimin

SATU lagi saksi sekaligus pelaku sejarah berujar. Siksaan, stigmatisasi, dan semua perlakuan tidak adil dari bangsa yang mereka perjuangkan, diceritakan di tulisan ini. Sejarah mononaratif Orde Baru dijejali lewat buku-buku sejarah, penataran-penataran, dan segala bentuk indoktrinasi yang lain: harus diganti. Diganti dengan sejarah multinaratif. Eddy Sartimin sudah mau berbagi. Berbagi ke generasi yang hampir kehilangan jejak dengan sejarah bangsanya sendiri. Tongkat estafet pemahaman sejarah yang benar harus berpindah tangan. Inilah tugas besar bangsa ini, terkusus pemuda: menggali dan mencatat sejarah yang sudah terlau lama dibengkokkan.


Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sebenarnya apa yang saya alami selama ditahan sejak dari tanggal 19 September 1967 hingga dibebaskan pada tanggal 20 Juli 1978 dan dinyatakan Bebas Murni (Gol B) dan KTP/ET/OT tidak bersih lingkungan (anak keturunan), dan dianggap oleh rezim Orde Baru Soeharto sebagai warga negara terendah.

Untuk itu saya:
Nam : Eddy Sartimin
Tempat/tanggal lahir :
Medan, 22 Agustus 1936
Umur : 71 tahun
Pangkat terakhir : Koptu NRP 330001
Kesatuan : Denma Koanda Sum/Kalbar Pembantu Perbekalan

Pekerjaan sekarang tukang foto amatiran. Beralamat sekarang Jalan Kejaksaan Nomor 6 Medan. Menyatakan dengan sesungguh-sungguhnya kejadian yang telah saya alami selama masa tahanan. Ada pun kronologis peristiwa tersebut adalah sebagai berikut.

Kronologis

Menjelang dua tahun rezim otoriter meliteristik Soeharto, Orde Baru, dan Golkar berkuasa di republik ini, negara melalui sekrining/pembersihan terhadap oknum yang ada kaitannya dengan PKI cs dalam tubuh aparatnya TNI, Polisi, PNS. Mulai September 1967 diadakan operasi secara kontinu (bertahap) ke setiap kesatuan di seluruh wilayah NKRI.

Hampir setiap hari ada saja yang diambil oleh SatGas Intel setiap apel pagi. Pada ja, 19.30 WIB datang empat orang dari SatGas Intel yaitu Serma Ukur Gintings, Koptu Permadi, Koptu Tabroni, Kopda Domeri bertamu ke rumah/barak mengajak aku untuk menjumpai DAN YON Para Sum 100. Aku sebagai Pasukan Khusus sudah menjadi tradisi sewaktu diperlukan kembali ke induk pasukan. Sedikit pun tak merasa curiga, aku dibawa mereka ke Jl. M Yamin, SH persimpangan JL. Durian. Setelah turun aku langsung ditodongkan empat pucuk senjata, dipaksa menghadap Kapt M. Mawardi selaku Perwira SatGas Intel. Belum selesai aku menghadap untuk melapor, pukulan popor senjata bertubi-tubi menyerang. Aku coba melawan namun beberapa pukulan mengenai kepalaku dan aku jatuh terkulai. Setelah sadar kulihat banyak teman sesame kesatuan YON PARA dalam keadaan loyo dan babak belur tanpa pakaian (bugil). Kedua tanggannya diikat selama tiga hari tiga malam tanpa diberi makan dan minum. Hanya diberikan air leding. Luka-luka yang diderita selama di tahanan hanya diberi air ludah basi.

Kami sebanyak 79 orang terdiri dari Bintara, Tamtama. Seorang teman Kopda Legiman nekat gantung diri karena tak tahan disiksa. Seorang Kopda Sujimanto yang paling kecil di antara kami dipress oleh empat oknum SatGas hingga keluar tai mudanya. Selama 40 hari kami disekap selama 3x24 jam. Harus telanjang bulat. Ini menjadikan mental kami trauma. Bagi yang pernah mengalaminya selama bertahun-tahun. Sepuluh orang di antaranya bebas dan kembali bertugas dengan syarat tidak boleh menceritakan apa yang pernah dialaminya. Dan yang 68 orang diserahkan ke Laksusda Jl. Gandhi. Selama tiga bulan disekap dalam kamar gelap bercampur baur dengan warga sipil.

Aku mendengar setiap saat jeritan rintihan dari Tapol karena siksaan dari juru periksa. Aku menyaksikan pula dua orang Tapol TNI AD, yaitu Lettu Inf Mansyur Ismael dari G I Koanda Sum/Kalbar dan Kapt Trauli Gintings, Wa Dan YON Inf 123 ditempatkan dalam WC yang tumpat dengan alas dua kursi dan sebelah tangannya digari. Dibuka sewaktu mandi dan makan. Kami makan sekali sehari dengan dua ons nasi jagung grontolan, sayur kangkung tanpa garam selama 11 tahun. Banyak teman yang busung lapar dan meninggal dunia. Kesengsaraan bertambah. Istri yang semula setia akhirnya banyak yang minta cerai atau pun lari entah ke mana. Dalam pemeriksaan Laksusda, aku dinyatakan aidak punya Golongan X. Semestinya sudah bebas dan kembali bertugas di kesatuan semula pada tahun 1972 bersama Golongan C. Namun karena ada sedikit perselisihan sama istriku yang sudah tersesat, akhirnya aku dikhianatinya dengan menceritakan perihal orang tuanya Sarbupri wajib lapor dan saudaraku ada yang diganyang massa sebagai orang PKI.

Itulah yang menjadikan aku kembali ditahan menjadi 11 tahun lamanya tanpa diperiksa ulang kebebasan. Di TPU/A Sukamulia tujuh tahun. Sejak 1967 sampai 1970 dikurung siang malam dalam krangkeng persis binatang buas. Bukan tahanan saja yang diperlakukan semena-mena. Termasuk juga bagi keluarga yang mengirim mendapat perlakuan tak senonoh. Bila ingin berjumpa harus bayar ongkos becak tiga trip. Tapol diambil dari TPU/A Sukamulia dibawa ke Laksusda Jl. Gandhi. Dalam keadaan tangan digari, perjumpaan hanya setengah jam lalu dikembalikan ke TPU. Selain itu pengawalnua minta dibelikan rokok yang mahal. Bagi keluarga yang masih muda dan berparas cantik menjadi sasaran pelampiasan nafsu secara halus atau pun intimidasi.

Pada tanggal 16 Agustus 1972 serombongan besar tahanan ABRI/sipil diangkat ke TPU/C Tanjung Kassau Asahan (kini Batu Bara). Kami dijual sebagai pekerja paksa untuk Proyek Korem. Sebagian di perkebunan Deli Muda untuk menanam jagung tanpa dibayar kecuali diberi jatah target 100 gawang. Banyak di antaranya yang tak bisa, termasuk aku. Rasa putus asa kami nekad membakar areal yang baru ditanami pohon karet muda kurang lebih 40Ha. Yang berakibat hangus dan matinya selang dua hari sejak kebakaran tersebut. Pengawas yang kejam dan arogan itu dipecat dari perkebunan tersebut.

Kembali ke kesatuan semula dari POM Binjai bernama Kopti Rusli diganti oleh POM DAM I BB Serma Siagian yang seangkatan dan pernah di kesatuan Yonif B. Satu bulan kemudian, Tapol ABRI ditarik dari seluruh proyek dan kembali ke TPU/C Tanjung Kassau. Walaupun kami masih dalam tahanan, ada kelonggaran dalam pengawasan bagi yang berkeluarga. Diperbolehkan bertamu nginap dengan bayar Rp 1000. Bagi yang mampu dapat berhari-hari asalkan setoran lancar. Bahkan bisa cuti pulang ke rumah.

Di sini nasib kami mulai jauh berubah. Aku punya kegiatan usaha kerajinan tangan dari tempurung kelapa. Sudah tidak payah lagi nasi catu. Jagung jarang dimakan. Malahan ada kawan yang beternak ayam dan itik. Bagi kaum Gerwani ada yang jualan nasi dan kedai kopi selama empat tahun di TPU/C Tanjung Kassau.

Berangsur-angsur kami dibebaskan sebagai Tapol tetapi stigma PKI masih tetap melekat dengan KTP ET/OT, tidak bersih lingkungan bagi anak keturunan untuk nikah dan bekerja sebagai TNI, POLRI, PNS, BUMN, bahkan di perusahaan swasta yang dibeking ABRI/TNI AD.

Trauma paranoid selalu menghantui mantan Tapol. Sebagian besar dari keluarganya termasuk saudara-saudariku sendiri, anak cucu sampai saat ini pun belum mau mengakui bapak dan kakeknya dengan dalih karena aku ditahan. Lalu mereka jadi turut sengsara. Tidak boleh nikah dengan ABRI. Tak mampu melanjutkan sekolah. Apa daya, sedikit pun tak menyangka akan mendapat perlakuan yang demikian dari sanak keluarga yang menyayangiku. Satu-satunya ibuku yang begitu percaya dan berkeyakinan seluruh masalah ini ulahnya Soeharto yang berambisi kekuasaan. Sayangnya ibuku meniggal karena sakit setelah keluarnya aku dari tahanan sejak itu.

Semua sinis dan dan bencinya sanak keluarga maupun terang-terangan, termasuk ayahku yang takut dikucilkan dari pergailan masyarakat di mana kami tinggal.

Kuputuskan tekad untuk secepatnya aku pergi menjauhi mereka dan tidak akan kembali kecuali berubah situasi keadaan dengan berbagai cara. Akhirnya aku merantau ke Riau. Bekerja sebagai centeng warung remang-remang selama tiga tahun pada seorang kawan semasa di Raiders. Setelah dapat KTP Riau aku pindah ke Manggala Johson Dusun Arang-arang Bencah Seribu. Aku bekerja sebagai buruh bongkar muat balok/loging serta tarik ongkang persis kerbau tarik luku. Babat hutan untuk perkebunan sawit. Pernah hampir ketimpa pohon lapuk yang tumbang di luar perhitungan karena getaran senso (chainsaw) ranting mengenai pelipis sebelah kiri hingga cacat sampai kini. Naik sepeda jatuh, masuk jurang dalamnya kira-kira 10 meter.

Di Jambi selama empat tahun. Tanggal 2 Januari 1992 disengat lebah madu seluruh badan. Empat jam baru dapat pertolongan kesehatan. Pertolongan pertama aku makan mesiu korek api sebanyak 20 batang. Ini pengalaman aku dapat dari tahanan kriminal. Tanggal 20 Juli 1977 aku pulang karena dapat surat dari anakku Susy yang telah menikah dan punya dua orang anak. Aku seorang bapak juga seorang kakek terpanggil untuk pulang dengan harapan hidup tenteram karena masih ada yang peduli padaku.

Tetapi hanya beberapa bulan saja aku bersama mereka. Ternyata anakku benci dengan orang-orang PKI, apalagi bila aku bertamu ke tetangga yang pernah jadi wajib lapor/walap. Kami sering bertengkar. Aku berusaha menasehatinya. Ia mau mengurusi aku tetapi dengan syarat tak boleh bergaul dengan eks PKI cs, termasuk pamannya sendiri.

Aku memang yang punya darah pemarah menyimpulkan apa yang kulakukan benar. Pada akhirnya ia mengusirku dengan kata-kata, “Ini rumahku. Pergilah dari sini.” Sejak itu aku meninggalkan rumah anakku. Aku berpesan sampai kapan pun tak dapat kumaafkan. Ia lebih suka jadi anak durhaka dan cucuku lebih baik jadi jahanam. Mau ngaku bila ada uang Rp 1.000.000. Ini kurasa sudah keterlaluan sekali. Tindasan bukan saja dari rejim otoriter. Anak cucu sendiri pun berbuat serupa. Justru itu aku pergi dari rumah dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain hingga kini.

Aku mulai bergabung dengan aktivis PRD dan NGO. Turut menjadi pelopor mendirikan PAKORBA YPKD 65/66 bidang advokasi TNI AD. Rasa sedih dan traumaku secara bertahap hilang. Aku yang lampau bukanlah aku sekarang dan masa mendatang. Anak dan cucu biologi hilang bersama munculnya anak-anak dan cucu ideologi. Inilah yang menjadikan aku tambah gairah dalam gerakan kiri. Aku tetap tampil di Sumatera Utara ini. Aku satu-satunya mantan Tapol TNI AD yang mau turut jadi aktivis prodem. Pernah mendapat penghargaan sebagai pejuang rakyat 10 besar dari 14 NGO dan organ dihadiri 2000 massa tepat pada hari HAM sedunia tanggal 10 Desember 2005 di Medan.

Mantan Tapol G 30 S 65 menyampaikan statement ke DPRD Sumut. Kami diterima oleh enam orang dari Komisi A: Golkar, PAN, PBB, Patriot, PP, PBR. Sewaktu pembacaan sikap KPP HAM 65 tuntutan adili Soeharto. Tiba-tiba saja SIHAMAS Muda Siregar dari Golkar menghentikan pembacaan tersebut. Koordinator KPP HAM 65 kawan B. Siboro pucat dan gemetar. Kulihat semua kawan diam tak bereaksi sedikit pun. Melihat kondisi tersebut si Golkar dengan soknya menyatakan, “Dasar tak tahu diuntung. Minta bersih nama kalian orang-orang PKI. Pulang saja ke rumah, tak perlu lagi bersih nama dan kompensasi. Perbanyak sholat untuk tobat kalian. Sudah tua bangka menunggu……… Kalau dulu kalian memang orangtuaku sudah masuk daftar hitam. Lagi pula keputusan TAP MPR/25/26 sudah final. Pulang saja,” hardiknya. Lalu memukul meja dan tanganya menyuruh kami keluar.

Aku yang melihat keangkungan si Golkar tersebut bangkit dari kursi.Kupukulkan meja dengan keras, brak-brak. Sebelum ada reaksi aku dengan suara keras menyatakan”aku tidak terima perlakuan DPRD seperti ini. Aku mantan Tapol TNI AD ditahan 11 tahun tanpa proses hukum. Aku bukan anggota kalian, bodoh sebagai anggota DPRD, tidak mengerti UUD 1945, sehingga menganggap TAP MPR lebih sakti dari UUD 1945. Sebagai DPR semestinya melayani persoalan rakyat suka atau tidak itu menjadi kewajiban DPRD. Tahu rakyat yang menggaji kalian.” Entah karena malunya, Ketua Komisi A menegur si Golkar dan mempersilahkan melanjutkan pembacaan statement, dan kami pun kembali. Sejak itu sampai sekarang si Golkar malu bila jumpa aku di waktu demo ke DPRD Sumut. Kupikir cukup data yang kusampaikan. Sekian.

Medan, 30 April 2008

Eddy Sartimin


*Tulisan ini disalin ulang sesuai dengan versi aslinya.

Thursday, August 21, 2008

Orang Golput Orang Bijak


Oleh DIAN PURBA

Golput selalu menang di setiap Pilkada yang dilaksanakan. Tidak tanggung-tanggung, golput berhasil mengalahkan jumlah perolehan suara sang pemenang Pilkada. Tulisan ini mencoba mencari tahu apa yang menjadi penyebab semua ini. Lebih lanjut saya paparkan di bawah ini.


GOLONGAN PUTIH (golput) yang digagas oleh Arief Budiman dan kawan-kawan tahun 1972, kini menemukan gemanya kembali. Dari beberapa pemilihan kepala daerah (pilkada) golput tidak tersisihkan dari peringkat pertama perolehan suara. Mari kita lihat faktanya.

Golongan putih memenangkan pilkada Jawa Timur yang digelar pada 23 Juli lalu. Berdasar hasil final penghitungan suara, golput (golongan putih) "meraih" 327.037 suara. Daftar pemilih tetap (DPT) 809.100. Berarti, warga yang tidak menyalurkan hak politiknya mencapai 40,42 persen (VHRmedia.com). Dalam pilkada Sumatera Utara golput memperoleh suara sebesar 5 juta orang atau 43 persen. Hasil rekap suara pemilihan kepala daerah Kalimantan Timur yang dilakukan KPUD Balikpapan menunjukkan hasil yang mencegangkan. Setidaknya 50 persen suara dari para pemilih di Tingkat II Kabupaten/Kota Balikpapan memilih golput (okezone.com). GOLPUT menang di pilkada Jabar. Sebesar 34,67 persen (kompas.com).

Tentunya fenomena ini membuat jajaran partai mengaruk kepala. Mereka dipusingkan karena gagal duduk di kursi-I di daerah. Sementara itu mereka sudah menghamburkan begitu banyak uang mulai dari masa pra-kampanye sampai proses pencoblosan suara. Bahkan ada satu calon yang kalah dalam pilkada mendapat predikat baru: orang gila. Yuli, nama sang calon itu, kalah dalam pemilihan bupati Ponorogo periode 2005-2010. Tidak sekedar kalah, Yuli juga terbelit utang. Yuli meminjam uang hingga hampir Rp 3 miliar. Setelah dinyatakan kalah oleh KPUD Ponorogo, Yuli pun mendapatkan tagihan pinjaman bertubi-tubi. Ia tidak bias membayarnya. Tingkah lakunya mulai aneh-aneh. Ia mulai cengar-cengir sendirian tanpa alasan. Kadang-kadang berteriak histeris. Bahkan, ia turun ke jalan raya sambil berteriak menirukan gaya yang ia gunakan semasa kampanye dengan hanya mengenakan celana dalam (Media Indonesia, 11/8).

Ternyata golput cukup berhasil “menggilakan” sang calon kalah.

Kenapa harus golput?

Slogan yang dipampang oleh KPU di depan kantornya adalah Orang Bijak Tidak Golput. Butuh kehati-hatian dalam mengeluarkan sebuah slogan. Slogan inilah yang dibaca oleh masyarakat luas. Masyarakat yang sudah mengerti tentang esensi sebuah pemilihan umum tentunya akan tahu bahwa slogan tersebut harus dipertanyakan kebenarannya.

Lantas timbul pertanyaan, mengapa orang golput? Atau pertanyaan ini bisa disandingkan dengan pertanyaan, untuk apa pemilihan umum?

Kita kembali ke gerakan yang dicetuskan oleh Arief Budiman dan kawan-kawan. Mereka memrotes pemerintah Orde Baru saat itu karena melarang Masyumi dan PSI berdiri. Saat itu ada pemaksaan bagi rakyat untuk memilih Golkar. Kemudian mereka mengeluarkan semacam “manifesto golput”. Ada beberapa hal yang terkandung di manifesto tersebut.

Golongan putih bukanlah sebuah atau suatu organisasi. Golput ada karena protes terhadap pemerintah karena telah menginjak-injak aturan permainan demokrasi oleh partai politik. Golput tidak melanggar hokum. Golput ada justru utnuk menguatkan kekuatan hukum. Golput harus dilihat sebagai pendidikan politik bagi masyarakat. Tujuannya untuk membuat orang berpikir kritis. Penguasa tidak berhak memaksakan rakyat untuk menggunakan hak suaranya. Pendirian yang berlainan dengan pendirian penguasa harus dilindungi supaya tradisi berdemokrasi yang sehat senantiasa terpelihara.

Pemilu 2009

Kita memulai dari sebuah pertanyaan untuk menyambut pemilihan umum (pemilu) 2009: apa yang bisa diharapkan dari pemilu 2009?

Setelah Soeharto lengser Indonesia memasuki babak baru dalam berdemokrasi. Kotak Pandora yang selama ini tertutup rapat pelan-pelan terbuka. Dalam keterbukaan itu kita belajar merangkak, berjalan, dan bahkan suatu hari nanti berlari dalam menggunakan demokrasi sejati.

Beberapa undang-undang baru pun dibuat. Salah satunya adalah undang-undang pemilu. Rakyat yang tadinya memilih pemimpin bagaikan memilih kucing dalam karung, kini sudah bisa memilih sesuai dengan pilihan mereka sendiri. Pemilu pertama (2004) dimana rakyat memilih langsung pemilihnya pun dilaksanakan. Partai-partai “bebas berdiri”. Masyarakat mencoblos sesuai pilihan mereka. Kita kemudian mendapatkan pemenang: Susilo Bambang Yudhono berpasangan dengan Jusuf Kalla.

Rakyat menaruh harapan yang begitu besar kepada dua orang itu. Krisis ekonomi yang belum juga berakhir menghancurkan penghidupan sebagian besar rakyat Indonesia. Pemerintah baru berjanji akan mengangkat kaum miskin dari posisi “permanen” yang sudah teramat lama mereka diami.

Di awal pemerintahannya rakyat terkejut bukan kepalang. Tiga bulan setelah memerintah pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak. Jumlah penduduk miskin bertambah. Pemerintah menggunakan kebijakan sepihak tanpa merasa perlu mengetahui kondisi objektif rakyat seperti apa. Jurang antara orang kaya dengan orang miskin semakin “menganga” bagaikan jurang tak terseberangi.

Daya beli masyarakat menurun drastis. Tingkat pengangguran yang dijanjikan akan diminimalkan jumlahnya ternyata menempuh jalan buntu. Masyarakat kesulitan untuk mengakses pendidikan bermutu. Ongkos berobat selangit. Setumpuk persoalan inilah yang membuat masyarakat bertanya: kok beda ya kenyataannya dengan jani manis semasa kampanye? Pemerintah terkesan menutup semua perangkat untuk mendengar aspirasi yang berkembang di masyarakat.

Kejadian yang sama berulang kembali di tahun 2008 pemerintahan SBY-JK. Harga BBM naik lagi. Masyarajat yang di tahun 2004 sudah jatuh dari garis kemiskinan kini menempati posisi yang baru: masyarakat miskin tertimpa garis. Menjelaskan kondisi ini cukup dengan membuka mata dan hati nurani, maka kita akan melihat begitu transparan betapa kehidupan ini bukanlah kehidupan untuk sebuah bangsa yang sudah “merdeka.”

Sebentar lagi “kita” akan menyelenggarakan pemilu. Rakyat kembali memainkan perannya sebagai peserta pencoblos suara di bilik suara sekali dalam lima tahun. Apa yang kita harapkan dari pemilu 2009?

Arief Budiman pernah berkata bahwa demokrasi Indonesia telah kembali. Namun, demokrasi ini hanya memberikan kita kesempatan memilih politisi busuk. Sampai detik ini kita belum menemukan calon-calon baru yang lebih muda. Semua yang sudah mendeklarasikan dirinya maju di pemilihan presiden mendatang berasal dari generasi 4L: lho lagi lho lagi. Sekedar menyebut beberapa nama, Sutioso, Gus Dur, Megawati, Amien Rais. Semua mereka sudah berkepala enam. Artinya mereka sebentar lagi akan memasuki era pensiun dalam kemampuan untuk berkarya. Kita tidak melihat perubahan mendasar yang mereka lakukan semasa mereka berkuasa. Kehidupan rakyat tidak kunjung membaik.

Partai politik yang mencalonkan mereka cenderung untuk mendukung habis-habisan segala kebijakan yang dikeluarkan sekalipun itu sangat menyakitkan hati rakyat. Partai politik tidak memiliki tanggung jawab terhadap konstituen yang memberikan dukungan. Partai sama sekali tidak merepresentasikan kepentingan rakyat. Partai sama sekali tidak mampu menyediakan pemimpin alternatif yang pro-perubahan.

Dengan demikian golput menjadi halal karena memang materi yang tersedia untuk kita pilih sangat terbatas, tidak berbobot, ada di bawah standar, dan tidak bermutu. Kita tidak mau memilih para politi busuk yang gemar korupsi, pelanggar HAM, perusak lingkungan, pengguna narkoba, pelaku kekerasan terhadap perempuan, dan juga dewan bersih namun tidak menunjukkan kinerja apa pun.

Golput di pemilu mendatang kita maknai sebagai aksi protes terhadap partai dan juga calon-calon seperti yang sudah dikemukakan di atas. Fadjroel Rahman mengatakan bahwa kita tidak cukup hanya golput saja tanpa berangkat dari kesadaran bahwa demokrasi itu mengandung kebebasan sejati. Kita harus memilih sebagai golput aktif. Golput aktif artinya menyumbangkan kemampuan intelektual, membantu menyebarkan informasi, demonstrasi, diskusi, seminar, kampanye di media massa, dan lain-lain. Golput merupakan mosi kepercayaan terhadap masa depan demokrasi, sekaligus mosi terhadap partai politik maupun capres-cawapres yang ditawarkan. Yah, ternyata orang bijak lebih memilih golput. ***

Dian Purba, tercacat sebagai Mahasiswa Fakultas Sastra Inggris Universitas Methodist Indonesia Medan

Thursday, August 14, 2008

Lagi-Lagi Reforma Agraria


Oleh MUFIDAH


KEKERINGAN yang melanda sejumlah besar daerah Jawa. Selain dapat mengancam ketahan pangan. Juga berpotensi mengancam kehidupan sosial.

Menurut Kompas (01/06) musim tanam kali ini, sekitar 2300 ha dari 14000 ha lahan kering terancam puso atau gagal panen (Kompas,01/06/2008). Hal itu disebapkan musim kemarau yang berkepanjangana. Kondisi diperparah dengan kerusakan infrastruktur pengairan. Dari 106 bendungan., 50 dalam keadaan rusak.

Dampak kerusakan ini berimbas pada penuruan debit air. Akibatnya petani harus memompa air. Sedangkan untuk memompa air biaya nya mahal. Terlebih kenaikan BBM yang lalu telah membuat harga bahan bakar melambung. Akhirnya petani harus menanggung biaya sebesar Rp. 575.000 hanya untuk memompa air. Kondisi ini otomatis menambah biaya produksi.

Belum lagi jika air tidak cukup, maka padi dipastikan puso. Karena tanpa sokongan air yang cukup, bulir padi menjadi gabug (kosong).lagi-lagi ini membuat produktifitas petani turun.

Kegagalan panen akibat kekeringan menyebabkan petani merugi. Modal produksi yang dikeluarkan terancam tidak kembali. Perekonomian keluargapun jadi goyah. Ketika petani tidak lagi bisa menggantungkan hidup dari lahan pertanian. Maka petani dipaksa untuk mensiasati kebutuhan hidup agar tetap terpenuhi. Akhirnya, banyak petani yang alih profesi menjadi buruh. Bahkan merantau ke ibu kota untk menjadi pengemis atau pemulung.

Sebagai contog adalah puso di desa Krimun, Indramayu, Jawabarat. Banyak petani dari daerah itu yang menjadi buruh dan mengadu nasib ke Jakarta. Mereka terpaksa beralih profesi demi menutup biaya produksi. Dan syukur-syukur bisa dapat modal untuk musim tanam berikutnya.

Para pengadu nasib musiman itu memilih hijrah sementara ke Jakarta, karena pendapatan di kota lebih menggiurkan. Disaat hasil pertanian tidak bisa diandalkan. Dengan menjadi pengemis, pengamen atau pemulung mereka mendapatkan penghasilan Rp. 70.000/hari. Dipotong biaya sewa alat mengamen, mereka bisa menyimpan rp. 30.000/hari yang digunakan untuk modal penanaman berikutnya (Kompas,06/08/2008).

Meskipun datang secara musiman, namun pendatang menambah deretan perantau dan kaum miskin di ibu kota. Laju urbanisasi makin meningkat. Mereka terjebak menjadi pengasong, pengemis dan pemulung. Ini tidak terhindarkan. Realisasi pembangunan yang tidak merata turut mendukung laju urbanisasi.

Berbagai kebijakan pemerintah tentang pertanian yang tak berpihak, membuat kehidupan petani di desa semakin sulit. Tingginya harga benih, kelangkaan pupuk, kesulitan akses modal, kekeringan dan kerusakan infrastruktur membuat kualitas dan kuantitas produk pertanian menjadi turun. Pendapatan pun dipastikan ikut menurun. Padahal biaya hidup semakin tinggi.

Lagi-lagi, Reforma Agraria

Kompleksitas masalah pertanian ini, merupakan rembertan dari persoalan klasik yaitu reforma agraria yang terabaikan. Peningkatan angka urbanisasi, walau hanya musiman, disebabkan perekonomian pedesaan yang terus defisit.

Tujuan ekonomi reforma agraria salah satunya yaitu,memberikan kemudahan petani untuk memperoleh saprodi (sarana dan prasarana produksi ). Pembangunan pertanian yang efisien dan responsif terhadap industri. Reforma agraria memungkinkan orang desa untuk tetap bekerja di desa dengan memanfaatkan lahan dan mengolah hasil pertanian.

Untuk itu diperlukan komitmen pemerintah untuk menuntaskan reforma agrarian. Dukungan kepada petani untuk memperoleh saprodi dan infrastrukur. Pastinya akan menambah kekuatan ekonomi pedesaan. Dampak nya akan setali tiga uang, laju urbanisasi akan menurun, perekonomian petani naik, kuantitas dan kualitas produk pertanian meningkat. Ujung-ujungnya kemiskinan menurun. Rakyat Indonesiapun semakin sejahtera. Semoga. **

Mufidah, ibu guru SLTA asal Blitar, Jawa Timur yang concren dengan masalah pertanian.


Monday, August 11, 2008

Menelusuri Akar Kemiskinan di Pulau Nias

Sekadar Pengantar

Oleh ERIX HUTASOIT

KEMISKINAN di Pulau Nias adalah anomali. Tidak seharusnya kemiskinan ”berjangkit” di daerah yang kaya akan sumber daya alam. Pulau Nias punya keindahan alam, punya tanah yang produktif, punya laut yang kaya akan ikan dan hasil lainnya, punya orang-orang yang kuat bekerja. Jika kita mengunjungi desa-desa di puncak gunung di daerah Gomo sana. Kita akan berjumpa dengan orang asli Nias yang tenaga nya begitu kuat. Dan mereka pun rajin bekerja.

Dari titik ini lah saya menyimpulkan kemiskinan di Pulau Nias bukan kemiskinan natural. Melainkan kemiskinan struktural. Kemiskinan yang disebabkan sistem yang tidak beres dan tidak adil (injustice system).

Mari saya ajak Anda menelusuri sejenak jejak-jejak injustice system itu. Kita berangkat dari segi pertumbuhan ekonomi. Jika kita baca laporan Badan Pusat Statistik (BPS). Kita akan temui fakta spektakuler bahwa pertumbuhan ekonomi Kabupaten Nias jauh lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi Indonesia dan Sumatera Utara.

Fakta yang lebih fantastis terjadi di tahun 1998-1999. Di tahun 1998, perekonomian Nias ambruk ke angka sekitar minus 10 persen. Tapi kejatuhan ini dapat dimaklumi, karena pada tahun itu Indonesia sedang diguncang kekacauan ekonomi. Namun setahun kemudian, pertumbuhan ekonomi Nias melonjak sekitar 15 persen. Ini menunjukkan betapa produktif nya perekonomian Nias.

Jika kita ikuti teori pertumbuhan ekonomi. Harusnya pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu akan membawa dampak pada pemerataan kesejahteraan. Akan tetapi Trickle Down Effect yang diyakini dapat mendistribusikan kesejahteraan, ternyata tidak ”tiba” di Nias.

Pertumbuhan yang tinggi itu, malah berbanding terbalik dengan angka kemiskinan. Kemiskinan terus meningkat. Alhasil pada tahun 2004, Kabupaten Nias Selatan dan Kabupaten Nias ”dinobatkan” sebagai kabupaten termiskin pertama dan kelima di Sumatera Utara.

Inilah yang menggiring nalar kita pada pertanyaan kritis, ”Siapa seh yang menikmati pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu ?”

Mari kita kembali telusuri perekonomian Nias untuk menemukan jawabnya. Berdasarkan data BPS di tahun 2005. Lebih dari 46 persen perekonomian Nias di topang oleh sektor pertanian; urutan kedua ditempati sektor perdagangan sebesar 21 %. Sektor jasa-jasa memberikan kontribusi sebesar 11 % dan berada di peringkat ketiga. Sedangkan peringkat keempat adalah sektor bangunan yang menyumbang 10 %.

Tapi yang terjadi adalah paradoks. Sektor pertanian malah menjadi penyumbang angka kemiskinan terbanyak. Artinya orang miskin di sini umumnya adalah petani. Kok bisa ?

Mari kita lihat kembali data BPS. Pada tahun 2004 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Nias adalah Rp.200.106.529.780,-. Dimana sektor pertanian menyumbang 41,09 persen. Dan sektor perdagangan hanya berkontribusi sebesar 21,78 persen .

Akan tetapi dari segi distribusi (penyebaran) terjadi kesenjangan yang besar. Petani yang berjumlah 341.130 jiwa hanya memperoleh bagian dari PDRB sebesar Rp.1.900.000,-/kapita. Sedangkan pedagang yang jumlahnya hanya 15.040 jiwa, meraup Rp.26.000.000,-/kapita. Artinya perbedaan PDRB perkapita antara petani dan pedagang sebesar 1 berbanding 13. Dan jurang antara si miskin dan si kaya di Nias semakin jauh terbentang.

Merujuk pada Gunawan Sumodiningrat dalam Pemberdayaan Sosial; Kajian Ringkas Pembangunan Manusia Indonesia (2007). Dia menyebut kesenjangan terjadi apabila 20 persen penduduk yang tergolong kaya meraih 50 persen atau lebih dari GNP (Gross National Product). Untuk tingkat kabupaten dari bisa lihat dari PDRB (Produk Domestik Regional Bruto).

Inilah yang menggiring kita pada pertanyaan lain, ”Bagaimana caranya 20 persen penduduk kaya itu mampu meraup lebih dari setengah perekonomian Nias ?”

Nias dalam Pusaran Hukum Pasar: M-C-M`

Bagian ini saya mulai dengan mengutip Noniwati Telaumbanua dalam Kepulauan Nias: Konsekuensi Sebuah Ketidakstabilan dan Ketidakpastian Kondisi Alam (Bagian II) (2007):

“Dunia bisnis berpusat di Gunungsitoli, Teluk Dalam dan Lahewa, namun tidak diimbangi dengan ketangguhan penduduk untuk menguasai sektor-sektor vital, melainkan dipegang oleh pendatang, baik sebagai badan tunggal maupun sebagai pemodal kuat. Wilayah ini menjadi bergantung sekali dengan fluktuasi pasaran yang ditetapkan secara otonom oleh penguasa pasar yang berada di tiga kota di atas…”

Dari paragraf ini saya menyimpulkan. Pertama, sektor bisnis di Pulau Nias terpusat pada tiga kota yaitu Gunungistoli, Teluk Dalam dan Lahewa. Kedua, sektor bisnis itu dikuasai oleh para pendatang sebagai pemilik modal (kapitalis). Ketiga, kelompok ini secara otonom menjadi “decision of price” (penentu tingkat harga-harga).

Nah, sebentar kita beralih ke teori-teori seputaran pertukaran (perdagangan). Karl Marx dalam buku babon nya Das Capital: A Critique of Political Economy Volume I (1954) pada bagian kedua The Transformation of Money into Capital. Menyebut bahwa pertukaran dalam masyarakat kapitalis mengambil rumus Money – Commodity – Money (M-C-M).

Menurut hukum ini, si kapitalis memulainya dengan uang (M) untuk membeli komoditi (C). Komoditi tersebut kemudian dijualnya untuk memperoleh uang lagi (M2). Marx menamakan tahap pertama ini (M – C) sebagai kapital pendahuluan (Advanced Capital), dan tahap kedua (C – M) sebagai kapital kerja (Relation of Capital).

Tetapi, Marx mengingatkan bahwa keseluruhan proses ini (M – C – M ), tidak ada maknanya, jika si kapitalis hanya mendapatkan uang sebesar uangnya semula. Misalnya, jika semua ia memiliki Rp. 1000,- (M), kemudian digunakannya untuk membeli atau memproduksi sepatu seharga Rp. 900.- (C), dan menjual sepatu itu dengan harga dasar Rp. 1.000,- (M).

Bagi Marx, pertukaran model ini bukanlah cara produksi kapitalis. Karena itu, Marx menuliskan kembali rumusnya ini menjadi M – C – M’, dimana M’ (M plus) mewakili jumlah yang lebih besar dari M atau M’ > M. Uang senilai Rp. 1000,- (M) yang digunakan untuk membeli atau memproduksi sepatu senilai Rp. 900,- (C). Sepatu itu kemudian dijual menjadi Rp. 1.100 (M’). Dari proses ini, si kapitalis mendapatkan tambahan uang senilai Rp. 100,- yang kemudian sirkuit ini terus berputar tanpa henti. M’ inilah yang nantinya disebut Marx sebagai “nilai lebih“.

Pada tahap M – C – M’, yang disebut Marx dengan istilah sirkuit uang, si kapitalis memproduksi komoditi bukan untuk konsumsi tapi, untuk dijual dengan tujuan semata-mata akumulasi nilai uang. Demikian pula, si konsumen membeli barang bukan semata-mata bertujuan memenuhi kebutuhannya. Proses M – C – M’ ini terjadi dalam situasi yang tidak pernah usai dan diam, sehingga terjadi apa yang disebut surplus product (kelebihan produksi).

Dalam konteks Pulau Nias, hukum ini berlaku dalam dua fase. Fase pertama, pemilik modal menggunakan uangnya (M) untuk membeli komoditas (C) seperti karet, kopra, coklat dengan harga yang murah. Kemudian menjual kembali Komoditas itu dengan harga mahal (M2). Dari sana pemilik modal mendapat keuntungan. Sedangkan fase kedua adalah keuntungan yang dapat dari memasok barang-barang dari Sumatera daratan ke Nias dengan cara yang sama.

Ini yang membuat kelompok pemilik modal seperti pedagang mampu menguasai lebih dari 50 persen perekonomian Nias. Dari sini pula saya menyimpulkan bahwa kemiskinan di Pula Nias sangat dipengaruhi oleh sistem kapitalisme. Pemilik modal terlalu “berkuasa” dalam mendikte tingkat harga. Aktivitas mereka seolah tidak terjamah oleh kekuatan apapun. Maka tidak aneh kalau Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menepatkan Pulau Nias sebagai daerah yang paling amburadul tata kelola ekonominya.

Demikianlah untuk sementara penelusuran kita tentang akar kemiskinan di Nias. Akan lebih menarik lagi, jika ada yang berminat untuk melakukan pendalaman. Menemukan siapa aktor-aktor yang terlibat dan bagaimana pola keberlangsungan sistem kapitalisme di Pulau Nias ini. Salam***


Erix Hutasoit, anggota team editorial CEFIL 19. Saat ini bekerja di Nias. Tulisan ini dipublikasikan pertama sekali oleh situs : http://niasoneline.net

Sunday, July 27, 2008

Adat Batak itu tidak mengenal kelas

Diskusi dengan Ali Yusran

Oleh DIAN PURBA

HAMPIR semua aktivis gerakan di Medan kenal Ali Yusran. Usianya sudah beranjak 70. Badannya masih tegap bagaikan pohon berusia ratusan tahun. Setelah mati-matian mencari kerja seadanya akhirnya Bung Ali, demikian dia sering dipanggil, bisa ngontrak rumah mungil di pinggiran kota.

Siang itu kami diterima dengan hangat. Kami biasa datang ke rumah itu untuk diskusi. Diskusi mulai hal-hal terberat sampai diskusi yang paling ringan. Memang begitulah. Setiap orang akan “kecanduan” diskusi dengan Bung Ali. Menurutku ada beberapa hal penyebabnya. Bung Ali menerapkan metode diskusi yang sehat. Tidak menggurui. Paparannya mendasar dan membumi. Analisanya tajam. Pendapatnya “subversif”. Bung Ali tidak pernah menunjukkan dirinya sebagai orang yang paham betul dengan materi yang akan didiskusikan. Semua diajak mengeluarkan pendapat. “Mulailah dengan bertanya,” ungkap Bung Ali tiap kali mau memulai diskusi.

Diskusi kali ini tentang adat isitiadat Batak. Bung Ali sendiri bukanlah orang Batak. Bung Ali berasal dari tanah di mana perempuan yang meminang laki-laki, Minang. “Tanah Batak tidak mengenal feodalisme, “ Bung Ali memulai diskusi. “Adat asli Batak rusak semenjak kolonial memasuki Tanah Batak. Adat asli batak itu bagaikan sorga,” tambahnya. Ketika kami tanya kenapa di Tanah Batak tidak ada feodalisme Bung Ali menjawab, “Di adat Batak kita mengenal banyak sekali raja. Tiap marga memiliki raja sendiri. Sistem inilah yang menangkal budaya feodal tersebut. Kalau kamu raja di margamu, ya, itu berlaku di margamu saja. Di marga lain kamu itu boru. Ini berbeda dengan adat Jawa yang terasa sekali budaya feodalnya,” komentarnya dengan yakin. “Adat asli Batak tidak mengenal raja turun temurun. Raja baru akan dipilih ketika dirasa sudah waktunya memiliki raja baru. Dan raja baru yang terpilih adalah raja pilihan dari marga tempat dia berada. Pemilihannya juga demokratis. Berbeda dengan adat Jawa. Di Jawa itu raja turun-temurun.” Kami ketawa ketika Bung Ali mengatakan kelemahan raja yang turun-temurun, “Walaupun raja Jawa yang baru itu bodohnya seperti kerbau, dia tetaplah raja yang harus disembah.” Kami sedikit kuatir mendengar komentar Bung Ali tentang raja Jawa tersebut. Kemudian dia mengatakan bahwa Pramoedya yang Jawa tidak pernah mengaku dirinya orang Jawa. “Pram itu orang Jawa, tapi dia benci sama budaya Jawa.”

“Masuknya kolonialisme ke Tanah Batak (agama, dalam hal ini agama Kristen) adalah awal mula hancurnya budaya asli Batak,” tambahnya. “Budaya asli Batak tidak mengenal agama. Mereka menganut agama animisme. Masyarakat dengan tingkatan kelas juga tidak ditemukan di Tanah Batak.” Ini mengingatkan kita tentang teori masyarakat tanpa kelasnya Karl Marx. Sebuah pemaparan yang sangat baru bagi kami. Kami yang hadir sore itu semua suku Batak. Kami terkejut. “Ahli-ahli sejarah Batak tidak pernah atau takut mengatakan fakta ini. Mereka malu mengatakan bahwa agama asli orang Batak itu adalajh animisme,” Bung Ali berkata sambil menyalakan rokok. Bung Ali mengatakan bahwa cirri-ciri masyarakat tanpa kelas tidak mengenal adanya agama. Karena agama, menurut Bung Ali, adalah alat penindasan. Agama hanyalah pelarian rakyat kecil untuk mengendapkan masalah ekonomi-sosial-politiknya. Agama tidak pernah menyelesaikan masalah. “Kakek kita itu mengatakan bahwa agama itu adalah candu masyarakat.” Kakek yang dimaksudkan adalah Karl Marx.

Generasi yang tumbuh di jaman sekarang sudah sangat jarang yang mau mendalami budaya asli Batak. Sangat jarang kita temui pemuda-pemudi Batak yang peduli dengan masalah ini. Kami terpukul dengan paparan Bung Ali. Kami beranggapan bahwa budaya Baratlah budaya yang patut ditiru.

Diskusi pun berlanjut. Sambil meneguk kopi yang dari tadi belum diteguk, diskusi semakin hangat saja. “Alat produksi utama orang Batak adalah tanah,” Bung Ali memulai lagi. “Tanah bagi orang Batak adalah tanah kolektif. Tanah milik bersama. Tanah kolektif ini dibagi berdasarkan clan (marga). Marga Purba misalnya memiliki tanah yang diusahai bersama oleh marga Purba. Tanah di Tanah Batak tidak untuk diperjualbelikan,” Bung Ali bertambah semangat. “Setiap anggota keluarga mendapatkan tanah sesuai dengan kebutuhan. Orang Batak tidak pernah bersengketa gara-gara memperebutkan tanah.” Kami makin asik mendengarkan penjelasan Bung Ali. Kami mencoba membandingkan dengan kondisi sekarang. Orang Batak sudah banyak yang bertengkar gara-gara tanah. Bahkan saling membunuh. Persatuan marga terpecah gara-gara perebutan tanah.

“Tanah inilah yang dijadikan untuk berladang. Hasil dari ladang adalah milik bersama. Dulu di Tanah Batak kita mengenal adanya lumbung padi besar. Lumbung ini fungsinya sebagai stock gabah. Setiap kali panen lumbung ini diisi. Cara pengisiannya setelah semua kebutuhan keluarga terpenuhi. Sisa panen inilah yang disetor ke lumbung tersebut.” Bung Ali kelihatan paham betul dengan topik diskusi kali ini. “Siapa saja bisa mengambil gabah dari lumbung tersebut. Tentunya sesuai kebutuhan. Takkan ada yang berantam dan berebutan. Setiap orang akan mengambil sebanyak yang diperlukan. Kepemilikan lumbung padi besar ini bersifat kolektif.” Sesuatu yang sangat langka di jaman sekarang.

Era komunal primitif, sejarah perkembangan masyarakat, mendasari pola produksinya berdasarkan nilai guna. Artinya semua produk yang diproduksi semuanya diperuntukkan untuk kebutuhan masyarakat. Karena alat produksi satu-satunya pada masyarakat Batak adalah tanah, maka hasil produksinya adalah hasil ladang, terutama padi. Inilah yang dimaksudkan Bung Ali dengan kepemilikan kolektif itu. “Inilah sorga di tanah Batak itu. Setiap orang bekerja dan mendapatkan sesuai dengan kebutuhannya,” Bung Ali meneguk kopi sambil tersenyum sumringah.

“Sorga ini kemudian hancur dengan datangnya Belanda ke Tanah Batak. Agama Kristen diperkenalkan. Awlalnya agama ini ditentang keras,” tambahnya dengan wajah tampak kesal. “Perlahan-lahan namun pasti, budaya asli masyarakat Batak terkikis. Ini tidak boleh kita biarkan,” Bung Ali menatap kami dengan mata tajam. “Ini tidak boleh dibiarkan,” ulangnya lagi.

Kondisi Tanah Batak sekarang ini sudah jauh menyimpang dari budaya aslinya. Tanah sudah dijual. Lumbung padi besar sudah tidak kita temukan lagi. Agama yang masuk melalui penjajah sudah menghilangkan agama asli masyarakat Batak. Masyrakat berkelas sudah tercipta. Konsep raja seperti dipaparkan di atas sudah tidak ada lagi. Raja masih ada. Namun, proses pemilihannya tidak lagi demokratis. “Budaya Jawa yang feodal sudah memasuki seluruh negeri. Hampir 75 persen penduduk Indonesia beretnis Jawa. Orang Batak ikut-ikutan memilih budaya ini,” Bung Ali memberikan jawaban.

Ruangan sepi sejenak. Hening. Mata kami saling melirik. Tampak tiap peserta diskusi memikirkan perkataan terakhir Bung Ali.

Salah satu dari kami memecah keheningan. “Apa solusinya?”

Bung Ali ketawa kecil. Asap rokoknya mengepul mengisi ruangan. “Kembalikan firdaus yang hilang itu, “ katanya tegas. “Tugas besar orang seperti kalian ini adalah mengembalikan sorga itu ke Tanah Batak.” “Apa itu mungkin?”, kawan tadi melanjutkan pertanyaannya. “Mungkin,” jawabnya ringkas. “Kalian mulai sekarang harus memikirkan caranya. Revolusi kebudayaan di Tanah Batak harus kita ciptakan. Tanah Batak yang dulunya tidak mengenal budaya feodal sekarang sudah merajalela,” Bung Ali seperti memberikan petuah. “Di sinilah kalian harus ambil peran. Hancurkan budaya feodal itu. ”

Kembali kami terdiam. Kali ini kami serasa mendapatkan titah dari sang raja. Titah yang harus cepat-cepat dilaksanakan. “Bentuk Front Pertahanan Adat Batak,” sang raja menambah titah. Kami saling melirik satu sama lain. Front Pertahanan Adat Batak????

Sore pun beranjak malam. Waktunya pamit dari tuan rumah. Peserta diskusi nampak sedikit letih. Diskusi sore ini menambah banyak pertanyaan baru di kepala kami. Bung Ali berdiri di depan pintu dan memberangkatkan pasukan tempurnya menuju medan juang. ***

DIAN PURBA, Mahasiswa semester akhir di Fakultas Sastra Inggris Universitas Methodist Indonesia.

Harga BBM


Oleh DIAN PURBA

BERDEDA dengan Indonesia, Malaysia justru semakin "kaya" dengan kenaikan harga BBM dunia. Logikanya sangat sederhana. Negara itu mempunyai kedaulatan di bidang energi.

Indonesia kaya dengan lading minyak. Ini fakta. Pada tahun 70-an ketika harga minyak memblooming, Indonesia menikmati rejeki nomplok ini. Pemerintah Orde Baru mensubsidi rakyat dari keuntungan menjual produksi minyak dalam negeri.

Sekarang kondisinya terbalik. Indonesia lewat pemerintah (SBY_JK) tidak bisa mengulang kisah sukses pemerintahan Orde Baru tersebut. Negeri kaya minyak ini harus mengorbankan rakyatnya menanggung harga minyak dunia yang cenderung naik. Hari ini, 23 Mei 2008, pemerintah menaikkan harga BBM sebesar 28, 7 persen. Harga bensin dipatok sebesar Rp 6.000/liter dari harga sebelumnya Rp 4.500/liter. Harga solar dari Rp 4.300/liter menjadi Rp 5.500/liter. Sementara untuk minyak tanah dipatok harga Rp 2.500/liter dari harga sebelumnya Rp 2.000/liter. Pemerintah terkesan menutup mata dengan aksi rakyat yang menolak kebijakan ini. Sesungguhnya untuk siapakah mereka memerintah?

Menaikkan harga BBM adalah pilihan terakhir yang harus ditempuh pemerintah. Semua pembantu presiden berlomba-lomba untuk memberikan rasionalisasi. Ada yang memberikan komentar, ada yang mengajukan data, ada yang memasang muka berat seolah-olah mereka itu bekerja sesungguhnya untuk rakyat. Bantuan langsung tunai (BLT) pun diluncurkan untuk mendobrak daya beli masyarakat miskin. Tapi apakah ini efektif? Ketika seorang tukang becak mengatakan bahwa BLT hanya membuat rakyat menjadi bermental "pengemis", pemerintah semakin memposisikan dirinya bahwa mereka memerintah bukan karena praktek pikiran dan kerja mereka yang sudah teruji. Rakyat sudah tidak bisa dibodohi lagi.

Apakah menaikkan harga BBM adalah pilihan terakhir ?

Ekonom Kwik Kian Gie berkomentar: "Tidak ada subsidi BBM. Pemerintah mengambil minyak bumi milik rakyat secara gratis dengan biaya hanya US$10/barrel. Tapi karena hanya bisa menjualnya seharga US$ 77/barrel pemerintah merasa rugi jjika harga minyak internasional lebih dari harga iitu." Berbeda dengan beberapa negara Amerika Latin. Mereka mensejahterakan rakyatnya dari hasil minyaknya. Venezuela di bawah pimpinan Hugo Chaves malah membantu sekutunya Kuba untuk membangun perumahan bagi rakyat Kuba. Semuanya adalah hasil dari minyak.

Pemerintah selalu berdalih bahwa negara kita mengimpor minyak untuk kebutuhan konsumsi dalam negeri. Produksi minyak dalam negeri kira-kira 1 juta barel per hari (bph). Sementara itu konsumsi minyak dalam negeri sebesar 1,2 juta bph. Artinya kita deficit sebesar 0,2 juta bph. Dengan demikian Indonesia hanya perlu mengimpor minyak sebesar 0,2 bph. Mari kita lihat data di bawah ini.


Biaya $/brl

Jual $/brl

Untung

Kuantitas

Untung/hari

Produksi

15

77

62

1.000.000

62.000.000

Impor

140

77

(63)

200.000

(12.600.000)

Untung





49.400.000

Jika harga minyak internasional US$ 125/barrel dan biaya produksi US$ 15/barrel serta impor sebesar 200 ribu bph, maka pemerintah Indonesia dengan harga Rp 4.500/liter (US$ 77/barrel) untung sebesar US$ 49,4 juta per hari atau sama dengan Rp 165,8 trilyun dalam setahun (1 US$= Rp 9.200).

Pemerintah untung sebesar Rp 165, 8 trilyun.

Jadi adalah bohong besar jika pemerintah mengatakan bahwa negar rugi sebesar Rp 123 trilyun per tahun.

Alasan lain yang tidak kalah menghebohkan adalah perbandingan harga bensin per liternya dengan negara-negara lain. Mari kita lihat data di bawah ini.



Negara

US$/Ltr

Rp/Ltr

Populasi

GNP/Kapita

Venezuela

0, 05

460

26.000.000

3.490

Turkmenistan

0, 08

736

5.000.000

1.120

Iran

0, 09

828

68.000.000

2.010

Nigeria

0, 10

920

129.000.000

350

Saudi Arabia

0, 12

1.104

27.000.000

9.240

Kuwait

0, 21

1.932

2.400.000

17.960

Mesir

0, 25

2.300

78.000.000

1.390

Indonesia

0, 49

4.500

220.000.000

810

Malaysia

0, 53

4.876

24.000.000

3.880

Cina

0, 64

5.888

1.300.000.000

1.100

AS

0, 92

8.464

296.000.000

37.870

Jepang

1, 01

9.292

128.000.000

34.180

Pada prinsipnya rakyat tidak keberatan harga BBM tinggi. Tapi pemerintah melupakan aspek ini: daya beli. Dari data kita ambil contoh negara Amerika Serikat. Pendapatan per kapitanya cukup tinggi. Sementara itu Indonesia mencoba menyamakan harga minyaknya dengan harga minyak dunia dengan pendapata per kaita hanya 810/tahun. Sebuah logika yang tidak bisa diterima akal.

Alasan pembenaran lainnya adalah bahwa rakyat Indonesia boros dalam menggunakan BBM. Kembali kita akan melihat betapa pemerintah selalu salah dalam mengeluarkan data.

Negara

Ranking

Konsumsi

GNP/Kapita

Singapura

1

59, 5

21.230

AS

7

25, 8

37.870

Jepang

23

15, 6

34.180

Jerman

36

12, 4

25.270

Malaysia

47

7, 8

3.880

Botswana

87

3, 7

3.530

Namibia

98

2, 6

1.930

Indonesia

116

1, 7

810

Konsumsi BBM Indonesia berada di urutan 116 di bawah negara Afrika yang jarang kita dengar namanya Botswana dan Namibia. Pemerintah lupa bahwa jauh-jauh sebelum harga BBM dinaikkan rakyat miskin sudah selalu berhemat karena memang tidak ada yang harus dihemat. Dari data di atas terbantahlah sudah bahwa pemerintah dalam mengeluarkan data tidak pernah teruji keakuratannya.

Bantuan Langsung Tunai

Bantuan langsung tunai (BLT) sama sekali tidak bisa mengatasi masalah kenaikan harga BBM. Kebijakan ini mengundang banyak kontroversi. Pada kenaikan BBN tahun 2005 sebesar 125 persen tidak semua orang miskin mendapatkan bagian. Jumlah penerima BLT hanya 18 juta (sekitar 30 persen) dari 62 juta rakyat miskin di seluruh Indonesia (Data BankDunia). Program ini hanya berjalan selama setahun. Setelah pemerintah menaikkan harga BBM, semua harga barang-barang naik. Daya beli masyarakat semakin menurun. Akibatnya jumlah korban busung lapar dan kurang gizi menunjukkan angka memprihantinkan, 5 juta orang. Korban tewas terdapat di beberapa propinsi. Aceh, NTT, Sulawesi Selatan, dan Papua adalah propinsi yang paling banyak menyumbang korban.

Program ini juga mengakibatkan tewasnya beberapa warga berusia lanjut. Mereka meninggal karena berdesak-desakan untuk mengambil "uang pelipur lara." Di samping itu banyak warga merusak fasilitas umum karena kecewa nama mereka tidak termasuk dalam daftar penerima BLT. Yang membuat bulu kita merinding adalah anak sesama bangsa rela saling membunuh hanya demi mendapatkan dana yang hanya membuat rakyat menjadi pengemis di tanah air mereka sendiri. Sungguh ironis. Program yang sama juga akan digunakan pemerintah untuk mengatasi kenaikan harga BBM. Kebijakan ini pantas disebut sebuah kebijakan gila. Orang gila mengharapkan hasil yang lebih baik dari hasil sebelumnya tetapi masih menggunakan cara yang sama.

Energi Indonesia untuk Siapa ?

Indonesia adalah satu negara pengekspor batu bara. Setiap tahun Indonesia mengekspor 70 persen produksi batu bara dalam negeri. Indonesia juga negara pengekspor LPG terbesar di dunia. Untuk minyak Indonesia mengekspor minyak sebesar 500 ribu bph.

Sementara itu kita sering kali mengalami padam listrik. Rakyat kekurangan gas, minyak tanah, solar, dan bensin. Energi Indonesia untuk siapa?

Kita dicengangkan dengan fakta bahwa 90 persen lading minyak Indonesia dikelola dan dikuasai oleh pihak asing. Keuntungan perusahaan migas yang beroperasi di Indonesia (Exxon Mobil) tahun 2007 sebesar US$ 40, 6 milyar (Rp 373 trilyun) dari pendapatan US$ 114, 9 milyar (Rp 1.057 trilyun) (CNN). Bagi hasil migas sebesar 85:15 untuk pemerintah dan perusahaan asing baru dilakukan setelah dipotong cost recovery yang besarnya ditetapkan oleh perusahaan asing. Jika tidak tersisa maka Indonesia tidak mendapatkan sepeser pun. Contoh kasus, Blok Natuna yang dikelola oleh Exxon Mobil, setelah dipotong cost recovery-nya, Indonesia mendapatkan "nol" persen dan Exxon mendapatkan 100 persen.

Inilah pelanggaran terhadap konstitusi yang dilegalkan oleh negara. Jika energi diprioritaskan untuk kebutuhan dalam negeri (misalnya pembangkit listrik), Indonesia tidak perlu impor BBM sama sekali.

Solusi Pro-Rakyat

Karena harga BBM sudah naik maka solusi yang bisa kita gunakan adalah perkuat barisan massa sadar dengan turun langsung ke basis rakyat. Perjuangan ini harus dilakukan secara massif. Kampanyekan kepada rakyat bahwa rejim yang memimpin sekarang adalah rejim pro-pasar, rejim yang lebih mengutamakan kepentingan pemodal ketimbang kepentingan rakyat. Sudah sebuah konsekuensi bahwa pemerintahan kapitalistik hanyalah pemerintahan yang mengelola negara untuk menambah pundi-pundi mereka melalu regulasi yang selalu pro pada pengusaha. Kita tidak usah heran dengan ini.

Kita tidak bisa berharap terlalu banyak pada pemerintah sekarang untuk menasionalisasi semua tambang. Kekuatan untuk merebut kekuasaan ini yang belum kita miliki. Jika kita sudah merebut kekuasaan semua kebijakan yang diambil pasti sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat tertindas.

Hidup rakyat!

DIAN PURBA, Mahasiswa semester akhir di Fakultas Sastra Inggris Universitas Methodist Indonesia.