Wednesday, May 30, 2007

Mitos Investasi dalam Paradoks Ekonomi Indonesia

Tambahan untuk Dr.Syahrir (Anggota Dewan Pertimbangan Presiden RI Bidang Ekonomi)


Oleh ERIX HUTASOIT

DR. Syahir, anggota Dewan Pertimbangan Presiden bidang ekonomi, mengakui investasi besar yang masuk ke Indonesia saat ini, tidak mencerminkan sektor ekonomi rill (nyata) . Bahkan DR. Polin Naipospos, ekonom-cum asal Sumatera Utara, mengatakan dengan gamblang,“Adaparadoks dalam perekonomian Indonesia”. DR. Polin menjelaskan lebih lanjut, investasi besar itu seharusnya menyerap tenaga kerja dan mengurangi kemiskinan. Tapi nyatanya berbeda. Kemiskinan semakin bertambah dan kualitas kehidupan rakyat terus menurun. Keadaan itulah yang disebut DR. Polin sebagai paradoks. paradoks dalam ekonomi

Paradoks itu terkuak dalam seminar sehari ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia) cabang Medan. Seminar yang di gelar pada hari Kamis (24/5) bertajuk “Indonesia Pasca Resuffel Kabinet II”. Hanya saja DR. Syahrir maupun DR. Polin tidak membahas dengan tuntas kenapa paradoks itu bisa terjadi. Padahal bicara paradoks ekonomi, tidak boleh tidak, kita harus membahas ‘mitos’ investasi. Mitos itulah yang coba saya uraikan dalam tulisan ini.

Foreign Direct Invesment (FDI)

Seperti yang akrab dikampanyekan ekonom-cum di pelbagai media massa, “Investasi asing adalah solusi dari keterpurukan ekonomi.” Melalui investasi asing diyakinkan akan terjadi peningkatan kesejahteraan, terjadinya perpindahan teknologi (transfer of technology) dan peningkatan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Tapi, benarkah demikian ?

Lazim diketahui investasi asing mengambil dua bentuk yakni investasi asing langsung/foreign direct invesment (FDI) dan investasi portfolio. Coen Husain Pontoh dalam tulisannya Bermimpi Mengejar Investasi (2007), mengilustrasikan FDI sebagai investor luar negeri yang datang ke sebuah negara sperti Indonesia, dengan membawa uang kontan dalam tasnya, membuat perjanjian dengan pemerintah, lalu membangun pabrik.

Model investor seperti itu butuh kepastian hukum dan sensitif dengan iklim ekonomi – politik negara tempatnya berinvestasi. Diduga, Undang – Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) yang lalu dibuat untuk menggaet investor tadi. Pemerintahan SBY-JK barangkali berpikir dengan melakukan liberalisasi pasar domestik maka investasi asing akan berjejal memasuki Indonesia.

Belajar dari pengalaman Amerika Latin kurun waktu tahun 1957-1965. Di- temukan pada praktiknya, investasi asing tidak lebih menggunakan modal setempat alias modal dalam negeri. Temuan itu diajukan Fernando Fajnzylber dalam kajiannya untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Lebih lanjut Fajnzylber memaparkan, perusahan multi nasional yang berpangkalan di Amerika Serikat (AS) membiayai 83 persen investasi mereka di Amerika Latin secara setempat, baik melalui keuntungan yang diinvestasikan kembali atau melalui tabungan-tabungan Amerika Latin setempat. Study lain yang dilakukan ekonom Argentina Aldo Ferrer dan pemerintah rezim Frei di Cile, membenarkan study Fajnzylber tersebut. Dari tahun 1960 hingga 1970, sekitar 70 persen operasi kepabrikan dari perusahaan-perusahaan multinasional di Amerika Latin dibiayai dengan modal setempat. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya perusahaan-perusahaan multinasional bukanlah penyedia utama modal keuangan bagi negara-negara miskin (Coen Husain Pontoh, Akhir Globalisasi, C-Book, Jakarta, 2003 hal.113-114).

Studi lainnya yang dilakukan Paul Hisrt dan Grahame Thompson, menemukan bahwa FDI hanya mengalir di antara tiga blok ekonomi yaitu Amerika Serikat, Eropa dan Jepang. ”Sebanyak 75 persen dari akumulasi saham total, dan 60 persen arus investasi FDI hanya disalurkan oleh tiga pemain pada permulaan tahun 1990-an, yakni Amerika Utara, Eropa dan Jepang. Padahal jumlah penduduknya hanya meliputi 14 persen penduduk dunia,” ujar keduanya. Tak sampai di sana. Hisrt dan Thompson melanjutkan temuannya,” arus investasi yang terbang kesepuluh negara berkembang pada tahun 1980-1991 hanya 16,5 persen atau 66 persen dari total arus ke negara berkembang. Dengan demikian, antara 57 persen hingga 72 persen dari penduduk dunia menerima hanya 8,5 persen dari FDI secara global. Dengan kata lain, 2/3 penduduk dunia tidak merasakan manfaat dari investasi ini.” (Ibid, hal.116)

Martin Manurung dalam Investasi Asing, Antara Mitos dan Realitas (2007), mengajukan empat alasan mengapa Investasi asing lebih banyak mitos dari pada realitasnya.

Pertama, belum pernah ada negara maju yang mencapai kegemilangannya dengan liberaliasasi perdagangan secara besar-besaran. Sejarah negara-negara maju dalam pembangunannya dulu selalu bukan karena mereka mengikuti ‘mantra’ pedagangan bebas. Bahkan hingga kini, negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS) yang mengkampanyekan perdagangan bebas justru masih memproteksi pengusaha domestiknya, antara lain melalui Small Business Administration yang memberi fasilitas khusus pada usaha kecil dan menengah (UKM), serta proteksi pertanian. Bahkan, kini sebuah RUU sedang digodok di Kongres AS untuk mengenakan tarif terhadap barang-barang produksi Tiongkok.

Kedua, investasi dari negara-negara maju pun ternyata berputar di antara mereka sendiri. Hal ini membatalkan tesis ‘dunia datar’ (the world is flat) yang diajukan Thomas Friendman (2006) yang mengatakan mobilitas modal telah membawa dunia lebih dekat dan seimbang. Kenyataannya menurut Peter Dicken (2003) dalam Global Shift, hampir 70 persen investasi negara-negara maju ditanamkan di negara-negara maju juga. Jadi, negara-negara berkembang hanya mendapat remah-remahnya, di mana Indonesia hanya memperoleh bagian 2,9 persen dari seluruh investasi negara-negara maju di dunia ketiga.

Ketiga, pertumbuhan ekonomi yang didorong investasi asing pun terbukti sangat rapuh. Pengalaman di Korea Selatan menunjukkan, di kala krisis pada akhir 1990an, investasi asing dapat hengkang begitu saja ketika kondisi ekonomi memburuk. Yang membuat Korea dapat bertahan, menurut Joseph Stiglizt (2002) dalam bukunya yang terkenal berjudul Globalization and Its Discontents, adalah para usahawan domestik yang tetap bertahan karena mereka tidak mau melihat negaranya hancur. Hal ini membuktikan bahwa ‘nasionalisme ekonomi’ ternyata masih berperan penting di abad yang menurut Konichi Ohmae (1995) telah mengubur negara-negara bangsa (the end of the nations state).

Keempat, klaim good corporate govenance (tata kelola perusahaan yang baik) pun sesungguhnya mitos belaka. Perusahaan-perusahaan asing juga belum tentu dikelola dengan baik. Ragam perusahaan multinasional tersandung skandal-skandal korupsi raksasa seperti Enron, Xerox, Adelphia, Qwest, Global Crossing, WorldCom dan Halliburton.

Argumentasi Manurung tadi cukup mengagetkan kita dalam memahami realitas investasi. Namun, itu belum semua. Pada sektor penyerapan tenaga kerja ternyata mitos itu juga berlaku. Survei Bisnis Internasional, pada tahun 1970-an menemukan,” Seluruh tugas utama manajemen dalam perusahaan induk diisi oleh warga negara asal perusahaan induk, dan staff penentu bagi kebanyakan operasi luar negeri juga merupakan warga negara asal perusahaan induk.” Ini membuktikan kalau penyerapan tenaga kerja di negara tempat berinvestasi tidak mencakup sektor pengambil keputusan. Dari sini pula kita bisa melihat bahwa transfer of technology, baik dari segi teknis dan manajemen, tidak sepenuhnya terjadi.

Investasi Portfolio

Investasi portfolio lazim kita kenal sebagai investasi pasar modal atau pasar saham. Di sini semua bergerak dengan cepat. Pembeli dan penjual tidak harus bertemu tapi ‘perdagangan’ bisa berlangsung. Investasi dapat berpindah dari satu negara ke negara lain hanya dalam hitungan detik.

Bagi Coen Husain Pontoh, pelaku investasi seperti ini lebih tepat disebut spekulan ketimbang investor. Alasan Pontoh sederhana, investor seperti ini tidak perduli dengan persoalan kepastian usaha dan urusan politik. Bahkan, kondisi yang kritis bisa mendatangkan keuntungan berlipat ganda bagi para spekulan ini. Spekulan yang tinggal di Pulau Macau, misalnya, boleh saja membeli salah satu perusahaan yang bangkrut di Indonesia, untuk kemudian dijual lagi ke spekulan lain di negeri seberang. Segala upaya untuk merangkul mereka, ibarat jala menjaring angin. Celakanya, secara statistik, besar uang yang berputar di lingkaran investasi portfolio kini lebih dominan ketimbang investasi langsung.

DR. Syahrir sendiri mengakui investasi besar yang masuk ke Indonesia adalah investasi portfolio. Karena sifatnya yang ‘virtual’ maka jelas tidak ada hubungan dengan pertumbuhan di sektor rill (nyata). Inilah yang menyebabkan paradoks ekonomi terjadi. Investasi yang mampu menyerap tenaga kerja (termasuk dengan multyplier effect-nya) ternyata tidak kunjung tiba. Akibatnya, jumlah pengangguran tidak berkurang dan jurang kemiskinan terus bertambah lebar.

Celakanya lagi, investasi portfolio yang dimainkan spekulan ini bukan tanpa ‘bahaya’. Bahkan negara yang fundamental ekonominya kuat, seperti Inggris, pernah tidak kuasa menahan aksi para spekulan ini. Erix Hutasoit dalam Globalisasi dan Pemilu (2004) menceritakannya dengan baik, “Hari itu disebut Black Wednesday, Soros menghantam mata uang Inggris pada tahun 1992. Soros menjual Poundsterling sejumlah 10 Milyard USD. Poundsterling yang di perdagangkan sekadar 2.85 Pound terhadap mata uang Jerman (D-Mark) lalu meluncur mendekati ambang batas ERM sebesar 2.77 Pound. Untuk mempertahankan Poundsterling, Bank of England harus mengeluarkan 15 Milyard USD. Tetapi harus dibarengi juga dengan kenaikan suku bunga, yang terakhir ini tidak mungkin dilakukan, maka pemerintah Inggris mengaku kalah, Inggris keluar dari Exchange Rate System. Imbas lainnya, Chancellor of Exchequer (semacam menteri keuangan) Northon Lamot, mengundurkan diri.”

Adakah Alternatif ?

Besarnya investasi portfolio yang masuk saat ini, mengingatkan kita pada krisis moneter di tahun 1997. Sebagian ahli ekonomi bahkan memprediksi, “Akan terjadi krisis ekonomi jilid II”. Pemerintah dengan cepat membantah dan menjamin cadangan devisa Indonesia masih cukup untuk menghadapi krisis. Namun, tetap saja Indonesia belum aman dari ancaman. Selama pertumbuhan kemiskinan tidak dapat dikurangi maka Indonesia tetap berpeluang diterpa krisis.

Ada beberapa alternatif yang bisa dilakukan pemerintah untuk menekan angka kemiskinan.

Pertama, pemerintah segera melakukan land reform. Mendistribuskan tanah-tanah kepada rakyat. Dengan pendistribusian tanah ini, rakyat dapat mengelolah lahan-lahan yang tidak produktif. Setidaknya rakyat sudah bisa memenuhi kebutuhan pangannya.

Kedua, pemerintah bisa belajar dari Bolivia dalam nasionalisasi perusahaan-perusahaan negara. Dengan adanya nasionalisasi diharapkan terjadi penyerapan tenaga kerja. Indonesia dapat pula belajar dari Argetina yang berhasil mengaktifkan kembali pabrik yang sudah bangkrut melalui kerjasama dengan buruh-buruhnya.

Ketiga, pemerintah konsisten memberikan prioritas pada pertumbuhan sektor Usaha Kecil Menengah (UKM).

Dalam kondisi sekarang ini, mau tidak mau, harus ada perubahan radikal dalam kebijakan ekonomi-politik pemerintah. Saatnya pemerintah lebih mengoptimalkan potensi domestik, daripada berharap dari mitos investasi .***

Erix Hutasoit, Team Editorial blog Alumni CEFIL 19. Asia Youth Delegateb for 4th UEM General Assembly di Jerman. Tulisan ini dipublikasikan sebelumnya di Harian Analisa (Medan).

Hati-hati dengan World Bank


Oleh MUFIDAH

Sabtu (26/5/2007) bertempat di Hotel Tugu Sri Letari Blitar dilangsungkan acara sosialisasi hasil penelitian kasus korupsi APBD di tingkat lokal dan starategi penanganannya. Penelitian ini dilakukan di empat Propinsi di Indonesia dan didanai oleh Justice For The Poor Program, sebuah lembaga otonom di bawah manajemen World Bank (WB).

Penelitian bertujuan mendokumentasikan dinamika aktor pendukung (LSM, Ormas, mahasiswa) dalam mendorong penyelesaian kasus korupsi di tingkat lokal. Hasil penelitian tidak menunjukkan hal yang berbeda secara signifikan, dalam artian hasil penelitian terkesan biasa-biasa saja dan merupakan hal yang sudah banyak diketahui secara umum.

Yang menarik adalah peryataan seorang peserta ," Sebenarnya apa motivasi World Bank melakukan penelitian ini, jangan-jangan World Bank melakukan penelitian di tingkat lokal kemudian membawanya menjadi isu internasional dan formula penyembuhnya juga berasal dari luar (World Bank)".

Sangat wajar sekali pernyataan itu, WBk sebagai lembaga multirateral yang berpengaruh dibanding institusi dunia yang lain, ternyata telah mengalami krisis kredibilitas di mata dunia. Kebijakan WB yang diterapkan bagi negara ketiga ternyata tidak mampu mengatasi masalah tetapi malah menimbulkan masalah baru yang tak kalah rumit.

Mengakarnya dominasi Amerika Serikat (AS) sebagai penyumbang dana terbesar di WB, dinilai mempengaruhi kebijakan WB. Tentunya kebijakan inig sarat kepentingan ekonomi politik AS.Disusul lagi terkuaknya skandal Paul D Wolfowitz dengan kekasihnya Shaha Ali Riza yang juga bekerja untuk WB. Wolfowitz menaikkan gaji kekasihnya jauh diatas rata-rata gaji karyawan di WB. Hal ini menunjukkan lembaga ini mengalami ‘sakit’ dalam tubuhnya, belum lagi masalah lain yang dimungkinkan belum diketahui public. Itu semua semakin menurunkan kredibilitas World Bank dimata dunia. Memang gajah di pelupuk mata tak tampak tapi semut di ujung laut kelihatan.

Kebijakan WB dengan SAP (Structural Adjusment Program) melalui privatisasi, deregulasi dan leberalisasi ekonomi serta pemberian pinjaman lunak (soft loan) malah membuat Indonesia terpuruk. Tidak sampai disitu, program itu juga menimbulkan ketergantungan yang tidak habis-habisnya. Akibatnya jurang kemiskinan semakin melebar.

Melalui ideologi kapitalisme-developmentalisme, WB telah melakukan malpraktek di Indonesia. semua kebijakan WB tidak bisa diingkari merupakan "Korupsi Kebijakan" terbesar terhadap Indonesia (Jawa Pos,21 Mei 2007).

Sebuah sisi dilematis memang, defisit APBN sebanyak 25 % pada tahun 2006 siapa yang akan menutupnya ? program P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan) dan PPK (Program Pengembangan Kecamatan) siapa yang mendanai ? jawabannya tidak lain dan tidak bukan adalah WB, entah dalam bentuk hibah atau loan. Inilah perlu dicermati, jangan lagi terkecoh dengan berbagai hibah ataupun soft loan yang ditawarkan.

Sekiranya WB mampu melihat dirinya sendiri, melakukan evaluasi internal manajemen lembaga dan juga mengevaluasi kebijakan yang selama ini diterapkan untuk negara ketiga, maka kredibilitas WB bisa diperhitungkan.

Kalau ternyata WB tidak bisa di perbaiki lagi, mengapa kita tidak memutuskan hubungan dengan WB.

'World Bank, Go out from Indonesia'

Mufidah adalah aktivits pembangunan masyarakat pedesaan di Blitar, Jawa Timur. Almuni fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Blitar.

URGENSI PAKTA INTEGRITAS


Oleh : Achmad Salman Farisy (Tangerang)

Kota Tangerang merupakan salah satu penunjang dari
kehidupan Ibukota Negara Indonesia, Jakarta karena melihat
dari geografis dimana ada beberapa wilayah di Kota
Tangerang sangat berdekatan dengan Propinsi DKI Jakarta
selain itu juga disebabkan oleh banyaknya masyarakat yang
bekerja di Ibukota sebagai pekeja.

Namun ada juga yang mengatakan bahwa Kota Tangerang
dikenal dengan Kota 1001 Industri. Dimana rata-rata
matapencaharian masyarakat Kota Tangerang adalah sebagai
buruh pabrik. Kota Tangerang saat ini sedang melakukan
pembangunan baik struktur maupun fasilitas pendukung.
Pembangunan yang dilakukan biasanya melibatkan banyak
pihak seperti pemda selaku pantia dan para kontraktor atau
perusahan yang melakukan kegiatan pelelangan. Namun dapat
diakui dimana proses pelelangan mulai dari pengumuman
pelelangan sampai pengumuman pemenang tidak melalui
prosedur yang ada, dan terkadang dalam hal pelaksanaannnya
yang tidak sesuai dengan blue print atau master plan yang
dibuat. Hal ini bisa dikatakan adanya Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (KKN) dan tidak Tranparan.
Sebagai Contoh, kasus Korupsi yang dilakukan oleh Komisi
Pemilihan Umum (KPU) ,dimana kasus tersebut merebak
setelah apa yang dilaporkan oleh salah satu anggota Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) Khairansyah, yang melaporkan
kasus penyuapan dari salah satu anggota KPU akhirnya kasus
tersebut melebar hingga proses Pengadaan Barang dan Jasa
(selanjutnya disebut PBJ). Namun sebelumnya Transparency
International Indonesia (TII) telah mengulirkan Pakta
Integritas (PI) pertama kali kepada para pimpinan KPU pada
pertengahan tahun 2002 yang lalu, namun ternyata tidak
ditanggapi serius oleh para pimpinan KPU. Penolakan para
pimpinan KPU terhadap penandatanganan Dokumen PI pada saat
itu telah menuai ”jeruji” bagi para petinggi KPU itu
sendiri. Hal mana kemungkinan ”jeruji” tersebut dapat
terhindarkan jika mereka menangkap peluang dan manfaat
penandatanganan PI tersebut. Karena Dokumen PI ini, jika
diterapkan secara sungguh – sungguh sesungguhnya dapat
menghindarkan diri seorang pejabat, kontraktor ataupun
profesi lainnya dari jebakan praktek koruptif dan kolutif.
Meskipun PI bukanlah produk hukum, namun penerapan PI di
berbagai negara di dunia telah membuktikan efektivitasnya,
ketika hampir semua produk hukum mengalami kebuntuan dan
gagal menyelesaikan kasus – kasus korupsi.

Sebaliknya, berkah dan keberhasilan telah dipetik oleh
Gubernur Sumbar, Gamawan Fauzi, yang secara langsung
maupun tidak, popularitasnya terdongkrak sejak
menandatangani PI dalam PBJ pada 10 November 2003 saat
menjabat sebagai Bupati Kabupaten Solok, Sumbar. Hal ini
menjadi perhatian khusus masyarakat dunia, ketika banyak
orang yang merasa pesimis atas kinerja pemerintah tentang
penegakan hukum terhadap kasus korupsi, namun semua itu
bisa ditangkis dengan adanya penerapan PI yang mungkin
menjadi harapan baru bagi masyarakat dalam memberantas KKN
dan bisa dibilang apa yang dilakukan oleh mantan Bupati
Kabupaten Solok merupakan yang Pertama kali dalam hal
penerapan PI yang dilakukan oleh seorang pejabat atau
kepala daerah.

Dari kedua kasus fenomenal tersebut, pada dasarnya
Transparency International Indonesia lah yang
memfasilitasi perkenalan para fihak tersebut dengan
binatang yang namanya Pakta Integritas (PI) itu.

Belakangan PI makin gencar menghiasi halaman media massa
cetak Indonesia, disamping berita bencana gempa yang susul
menyusul terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Diawali
penandatanganan PI oleh Ketua Badan Kehormatan DPR RI,
Slamet Efendi Yusuf, pemberitaan makin gencar manakala
beberapa anggota DPR RI yang lain telah antri untuk segera
menyusul menandatangani PI juga.

Apa itu Pakta Integritas ?

Pakta Integritas (PI) adalah salah satu alat dari
Transparency International sejak tahun 1990-an, sebagai
pengejawantahan konsep besar Pulau – pulau Integritas
(Islands of Integrity) untuk pencegahan korupsi, terutama
dalam PBJ dengan Filosofi dasar membuat transaksi bisnis
di antara kontraktor menjadi lebih fair. PI mampu
menimbulkan hak dan kewajiban, tanpa mengubah hukum
setempat. Saat ini, telah banyak negara yang mengadopsi
dan menerapkan PI. Seoul Metropolitan Governmnet (SMG), di
Korea Selatan, menerapkan PI dengan memodifikasinya dengan
nama OPEN SYSTEM. Penerapan PI oleh SMG sejak bulan Juli
2000 menjadikannya sebagai yang pertama kali menerapkan
metode ini di kawasan Asia Pasifik.

Hasil dari survey yang dilakukan SMG setelah dua tahun
menerapkan PI dengan responden para kontaktor menunjukkan
62,5 persen responden menganggap penerapan PI dalam
kontrak PBJ cukup efektif menghentikan praktek korupsi,
karena semua informasi tender lebih terbuka. Survey juga
memperlihatkan 93,5 persen perusahaan (kontraktor) merasa
puas dengan kualitas sistem PBJ.

Di Indonesia, keberadaan PI diatur dalam Keppres No 80
tahun 2003 yang mengatur bagaimana seharusnya hubungan
kerja antara Kontraktor dengan Pemerintah dalam PBJ yang
menggunakan anggaran Negara. Kabupaten Solok Sumatera
Barat adalah kabupaten pertama yang menerapkan Pakta
Integritas dalam PBJ di Indonesia.

Penerapan PI mampu menekan Ekonomi Biaya Tinggi
Dari penilaian TI Indonesia terhadap penerapan PI
Kabupaten Solok dipenghujung tahun 2004 kemanfaatan PI
dalam pencegahan korupsi dalam PBJ memang mulai dirasakan.
Dibandingkan periode sebelumnya, persaingan untuk
memperoleh proyek lebih fair, tender yang diatur tidak
terjadi lagi. Rantai birokrasi lebih pendek, hanya
membutuhkan 3 kali tanda tangan, padahal sebelumnya paling
tidak membutuhkan 13 kali tandatangan. Proses pencairan
dana lebih aman, dari giro ke giro dan hanya membutuhkan
waktu 1 hari. Administrasi surat menyurat semakin rapi,
dan setiap surat cepat mendapatkan jawaban. Aktivitas
pengawasan, meskipun masih lemah, tetapi laporan pekerjaan
proyek untuk kepentingan pencairan tahap berikutnya
dikerjakan sendiri oleh kontraktor, pengawas hanya
mencocokkan dengan kondisi lapangan,. Dengan demikian,
pekerjaan dilakukan dengan benar sehingga hasil pekerjaan
berkualitas. Dampak lebih jauh, keberadaan PI jika
diterapkan secara serius, menyeluruh dan para pihak benar
– benar berintegritas menjalankannya maka efisensi ekonomi
dapat diwujudkan.


Berdasarkan fakta yang ada bukan tidak mungkin Pakta
Integritas (PI) dapat diberlakukan di Kota Tangerang yang
sama-sama kita cintai, hal ini sesuai dengan slogan
sebagai Kota yang ber-Ahlaqul Karimah. Karena orang yang
ber-Ahlaqul Karimah tidak melakukan praktek yang namanya
KKN!!!. Oleh sebab itu kesemua itu dapat terwujud jika
semua elemen baik dari aparatur pemerintah yang ada di
tingkat RT sampai Walikota harus membangun itikad yang
baik, begitupun dengan masyarakat sebagai stakholder
setidaknya dapat menjadi pengawal atas adanya penerapan PI
yang akan diterapkan nantinya. [***]

Penulis adalah Humas Transparency International Indonesia
Kantor Daerah Tangerang, e-mail : ashaf@plasa.com

Tuesday, May 15, 2007

Uli Asmalia: Saya siap jadi presiden Indonesia 2009 – 2014



Sebuah wawancara dan cerita imajiner..

Erix Hutasoit (medan)

Walau pemilihan umum di negeri ini masih dua tahun lagi, namun hingar bingarnya sudah terasa dari sekarang. Berbagai partai politik baru sudah bermunculan. Partai – partai old track pun tidak mau ketinggalan. Segala macam issu gencar diwacanakan. Mulai dari“ tebar pesona “ sampai “ cabut mandat”. Semua itu tak lebih ancang – acang untuk 2009. “ Lebih cepat kan lebih bagus” begitu logika yang di pakai.

Namun fenomena 2009 yang paling kontroversi adalah kemunculan Uli Asmalia, Ph.D sebagai kandidat presiden. Pakar hubungan internasional jebolan Oxford University ini, mengumumkan pencalonnya sabtu (20/01) di Yogyakarta. Yang membuat Uli Asmalia kontroversi, karena pencalonannya tidak melibatkan partai politik. “ Saya calon independen loh, Mas, “ kata istri begawan ekonomi politik Indonesia ini, ketika di tanya wartawan.

Saya (Erix) berkesempatan mewawancarai Uli Asmalia sehari sebelum pengumuman pencalonannya. Begini petikannya

Erix : Apa yang melatar belakangi ibu mencalonkan diri menjadi kandidat presiden di pemilihan umum 2009 nanti ?

Uli Asmalia : Mas, selama Indonesia merdeka sampai sekarang, sudah berapa presiden Indonesia yang hilir mudik dari bangku kekuasaan. Ada yang dijatuhkan tengah jalan bahkan ada pula yang “ terjatuh “. Itu terjadi karena presiden – presiden itu dianggap tidak mampu menyelesaikan persoalan bangsa ini. Mereka dianggap tidak kredibel. Nah, yang membuat mereka tidak kredibel itu karena mereka tidak mengetahui masalah sesungguhnya di negara ini. Begitu lho Mas...

Erix : Tidak mengetahui bagaimana ? bisa ibu jelaskan ?

Uli Asmalia : Iya mas. Berbagai kebijakan yang dibuat pemerintahan masa lalu kan base on top decision bukan base on grass root need. Maksudnya seperti ini, keputusan – keputusan itu di buat oleh elite di tingkat atas yang tidak tahu persoalan di tingkatan bawah. Contohnya impor beras, logika yang di pakai pemerintah adalah logika pengusaha bukan logika petani. Dengan logika pengusaha impor beras di anggap “ bagus” walau itu membunuh petani kita. Ini kan bertentangan dengan Logic of Majority, masa pula negara agraris impor beras.

Erix : Namun kebijakan itu di ambil berdasarkan kalkulasi angka – angka yang di laporkan Badan Pusat Statistik ?


Uli Asmalia : Lah masalahnya disitu, pemerintah masa lalu terlalu berpikiran “lurus” dengan laporan BPS. Pemerintah hanya menggunakan Matemathic Logic. Jika kurang ditambah atau kalo berlebihan di kurangi. Pada hal persoalan seperti impor beras bukan sekadar persoalan angka pemenuhan stock beras. Tapi ada persoalan ekonomi, sosial dan budaya serta substanaible livelihood. Petani itu kan manusia, mereka butuh uang untuk hidup. Kalo harga gabah yang mereka jual jatuh, gara – gara membanjirnya beras impor, mereka mau makan apa. Nah rasa keadilan itu lah yang tidak dipertimbangkan, pada hal petani kan mayoritas. Lah itu yang saya katakan bertentangan dengan Logic of Majority...

Erix : Lantas apa itu Logic of Majority yang ibu maksudkan ?

Uli Asmalia : Secara sederhana Mas, Logic of Majority itu merupakan kerangka berpikir berdasarkan kebutuhan mayoritas. Jika Mas mau membuat kebijakan yang berhubungan dengan petani, maka gunakanlah logika nya petani. Lihat apa sih yang petani itu butuhkan, jangan tanya sama pengusaha. Pasti berbeda kebutuhannya...

Erix : Kenapa harus Logic of Majority atau kenapa harus mempertimbangkan mayoritas ?

Uli Asmalia : Jika Mas percaya dengan Vox Populi Vox Dei (suara rakyat itu suara Tuhan) baik melalui demokrasi prosedural seperti pemilihan umum. Maka kerangka berpikir Mas harus Logic of Majority. Seandainya saya memenangkan suara dalam pemilu 2009 nanti, berarti saya di pilih mayoritas. Siapa mayoritas itu ? yang pastinya lebih banyak petani, nelayan dan buruh di negara ini. Merekalah mayoritas yang saya maksud...

Erix : Oke, jika ibu menang sebagai presiden, apa yang akan ibu lakukan dalam sepuluh hari ke depan ?

Uli Asmalia : Pertama sekali saya akan merampungkan apa yang saya sebut Logic of Majority Development Programme ( LoMDP). Untuk itu saya akan membentuk satu Dewan Nasional yang terdiri dari perwakilan kelompok – kelompok mayoritas seperti petani, nelayan dan buruh. Bersama dengan Dewan Nasional ini saya akan membuat program yang menjamin kesejahteraan, kebebebasan dan independensi negara.

Erix : Program seperti apa yang mampu menjamin apa yang ibu sampaikan tadi ?

Uli Asmalia : Mas, jika kamu ingin memerangi kemiskinan, maka berikanlah pendidikan, modal, teknologi dan perlindungan kepada si miskin. Dengan demikian dia bisa bangkit dari kemiskinan itu. Untuk itu, langkah pertama bersama dengan Dewan Nasional saya akan menasionalisasi semua aset – aset negara. Termasuk memperbaharui kontrak dengan pihak asing, persentasinya minimal 80 persen untuk Indonesia dan 20 persen untuk mereka. Jika mereka tidak setuju, silahkan lah angkat kaki.

Erix : Apa ibu tidak khawatir itu akan membuat Indonesia di embargo di dunia Internasional ?

Uli Asmalia : Kenapa mesti khawatir, Veneszuela dan negara amerika latin sudah memberlakukan itu sekarang. Toh mereka baik – baik saja kok. Artinya kita tidak sendirian

Erix : Bagaimana Pendidikan, bukankah sektor itu yang banyak disoroti selama ini ?

Uli Asmalia : Untuk sektor pendidikan, saya akan sangat fokus. Namun titik berat saya tidak semata pada anggaran. Tapi pada filosofi pendidikan dan pendistribusian pendidikan itu.

Erix : Maksudnya ?

Uli Asmalia : Persoalan pendidikan kerap dipandang sebagai urusan hilir. Yakni pada urusan mekanisme pendidikan, silabus atau alat ukur pendidikan semacam UAN. Akhirnya kita berkutat – kutat pada angka – angka. Logika kita dibawa seakan – akan angka yang tinggi menjadi jaminan pendidikan yang bermutu. Saya ingin menghapuskan mitos itu. Dalam perspektif saya, menentukan paradigma sebagai persolan hulu, malah lebih penting. Kita dudukkan dulu pendidikan itu buat apa sih ? dari kaca mata saya pendidikan harus membebaskan dan berorientasi kolektif. Intinya pendidikan kita kelak harus berorientasi Sustainable Social Transformatif.

Erix : Bagaimana dengan pendistribusiannya ?

Uli Asmalia : Dalam LoMDP akan ada program yang dibernama “ Every Indonesian a Teacher ; every house a school “, semua orang harus mampu menjadi guru di negara ini, “ Every people should teach the people”. Setiap orang punya tanggung jawab untuk mendidik yang lain, “If you know, teach; if you don’t know, learn.” Saya tidak lagi menitik beratkan pendidikan pada model Sekolah Ford yang kita anut selama ini. Pendidikan tidak lagi satu arah. Pendidikan kita harus model pendidikan orang dewasa, pendidikan parsipatif. Guru dan murid adalah sama – sama subjek pendidikan.

Erix : Itu secara konsep, bagaimana teknisnya ?

Uli Asmalia : Jika kita mau negara ini punya “ harga diri “ maka kita harus mau berkorban. Untuk itu program ini membutuhkan relawan. Relawan akan dididik terus menerus sampai ketingkatan Trainers for Trainers (Pelatih untuk Pelatih). Mereka lah yang akan bergerak keseluruh penjuru negeri ini, menjumpai petani lalu bersama- sama dengan mereka belajar, pergi ke pabrik lalu bertemu buruh kemudian belajar bersama. Mereka harus mampu pula mempraktekkan apa yang mereka pelajari, semua harus di praxiskan ( teori – praktek – teori atau praktek – teori – praktek). Tidak cukup hanya sampai disitu, saya punya mimpi semua orang Indonesia harus berpendidikan minimal Universitas. Karena itu saya akan buat program, “ a nation become a university”.

Erix : Bagaimana caranya mengwujudkan “ a nation become a university” itu ?

Uli Asmalia : Pemerintahan yang saya pimpin dan Dewan Nasional kelak, akan bekerja sama dengan Televisi, kita akan buat kuliah on air. Setiap bulannya minimal 394 jam di pakai untuk tayangan pendidikan. Jadi orang yang sudah tua, orang yang ada di pelosok bisa mengikuti kuliah tanpa harus meninggalkan pekerjaannya. Selain itu Universitas konvensional tetap di buka, bagi mereka yang tertarik dengan model ini, dipersilahkan untuk mengikutinya.

Erix : Apa mungkin seperti itu ?

Uli Asmalia : Model seperti ini sukses di kuba lho Mas. Kuba sudah mengelar program serupa semenjak 1 Januari 1961 dan berakhir 22 Desember 1961. Hasilnya angka buta huruf merosot drastis, dari 23,6 persen ketika program ini pertama kali dicanangkan menjadi tinggal 3,9 persen. Kini penduduk yang buta huruf nol persen. Dari segi komposisi jumlah guru-murid, untuk tingkat sekolah dasar dari setiap 20 murid dilayani oleh satu orang pengajar. Untuk tingkat sekolah menengah, satu orang pengajar melayani 15 murid. Keadaan ini menyebabkan hubungan antara guru-murid berlangsung secara intensif. Itu masih satu contoh di bidang pendidikan. Untuk bidang kesehatan, Kuba merupakan negara yang paling banyak memiliki dokter. Saat ini saja, ada sekitar 130.000 tenaga medis profesional. 25.845 tenaga dokter Kuba bekerja untuk misi kemanusiaan di 66 negara, 450 di antaranya bekerja di Haiti, negara termiskin di benua Amerika. Sebagian lainnya bekerja di kawasan-kawasan miskin di Venezuela. Ketika terjadi bencana topan Katrina di New Orleans, beberapa waktu lalu, Presiden Fidel Castro berinisiatif mengirimkan 1.500 tenaga dokter. Tapi, inisiatif ini ditolak oleh pemerintah AS dengan alasan yang sifatnya politis. Nah, berangkat dari situ, apa yang saya sampaikan bukan lah mimpi…
Erix : Bagaimana program untuk petani dan buruh ?

Uli Asmalia : Dalam LoMDP yang saya sebut tadi, Land Refrom menjadi fokus utama saya. Pendistribusian tanah bagi petani – petani yang selama ini tidak mempunyai tanah, merupakan bagian dari pemerataan kesejahteraan. Persoalan teknisnya akan di bahas bersama Dewan Nasional. Yang pasti LoMDP tidak akan bersifat karikatif atau tambal sulam. LoMDP merupakan mimpi jangka pajang yang sistematis dan dialektis.

Untuk butuh manufaktur, nasionalisasi pabrik – pabrik yang bermasalah menjadi prioritas. Namun nasionalisasi akan melibatkan buruh.

Tidak produktif bukan jika alat produksi yang disita tidak dipergunakan. Disitulah peran serta buruh, mereka lah yang akan meneruskan produksi. Sistem kerja diatur dengan azas equalitas Begitu pula posisi manajer dan posisi lainnya di putuskan bersama – sama oleh buruh. Dengan konsekuensi manajer dan buruh biasa akan menerima gaji yang sama. Yang berbeda hanyalah kosentrasi kerjanya. Manajer pun bisa di ganti atau di pecat sewaktu – waktu apabila dianggap tidak kredibel oleh buruh.

Erix : Bagaimana dengan pemenuhan standart hidup ?

Uli Asmalia : Untuk sektor ini, pemberian subsidi besar – besaran akan menjadi program. Tidak kata “ mahal “ untuk sektor kesehatan dan peningkatan kualitas hidup. Setiap warga negara harus mendapatkan tempat tinggal yang “ layak”. Tidak boleh lagi ada warga negara yang harus tidur di jalanan. Program perumahan rakyat menjadi prioritas penting. Rakyat akan mendapatkan stimulus untuk bisa memiliki tempat tinggal. Karena itu program perumahan rakyat harus beriringan dengan program penyediaan dan peningkatan lapangan kerja. Tidak mungkin mutu hidup naik kalo rakyat tidak punya sumber pencarian. Memastikan kestabilan ini lah fungsi pemerintahan.

Erix : Bagaimana dengan kebebasan dan Hak Asasi Manusia ?

Uli Asmalia : Kebebasan menyampaikan pendapat dan kebebasan berkumpul serta berserikat adalah kebutuhan mutlak. Dalam konteks negara yang ada dalam LoMDP, negara tidak akan “memberangus” oposisi. Kritik akan di hadapi dengan diplomasi, tidak akan ada kekerasan. Bagi saya, bagaimana kritik ini bisa “ di lembagakan “ melalui mekanisme – mekanisme yang tidak “membatasi” itu yang penting di promosikan. Bagaimana protes – protes dan kritik bisa sampai ke pemerintahan tanpa harus melalui kekerasan. Salah satu jawabannya dengan mendorong pengorganisasi rakyat kedalam organisasi – organisasi berkarakter. Melalui organisasi – organisasi ini lah mereka akan menyampaikan kritik. Jadi Kritik yang kita dengar bukan lagi kritik orang per orang tapi sudah kritik dari organisasi.

Erix : Bagaimana jika kritik yang mereka sampaikan tidak direspon, apakah people power menjadi solusinya ?

Uli Asmalia : People power dengan Logic of Majority itu sama. Jika rakyat merasa kebutuhan mereka telah di penuhi, tentulah mereka tidak bergerak. Namun jika mereka beranggapan sebaliknya, pemerintah tidak melakukan upaya yang maksimal, adalah sah bagi mereka untuk bergerak melawan pemerintahan. Apa yang di dapatkan pemenang pemilu adalah mandat dari rakyat. Artinya, mandat itu bisa di cabut kapan saja jika rakyat tidak lagi percaya kepada nya. People Power bisa menjadi salah satu jalannya.

Erix : Yang Kontroversi dari niat ibu mencalonkan diri, adalah ibu tidak menggunakan partai politik, kenapa ?

Uli Asmalia : Pertanyaannya lebih tepat di balik, apa mau partai old track itu memperjuangan program saya ? Yang ada partai – partai itu malah meminta saya kelak mengamankan posisi mereka. Mereka mintalah liberaliasi tetap di pertahankan, mereka maunya Utang Luar Negeri (ULN) tetap di ajukan, mereka ingin privatisasi aset – aset negara.

Saya Cuma teringat B.Herry Priyono kala dia masih kuliah Ph.D di London School of Economic (LSE) Inggris. Herry melalui Richard Robison dalam Indonesia: Rise of Capital (1986) mengingatkan kita bahwa,“ Kaum kapitalis di Indonesia bukan para borjuis yang independen dari pemerintah, melainkan para pejabat negara sendiri, para perwira militer, keluarga, sanak dan teman mereka, serta pedagang Cina yang dekat dengan mereka. Kelahiran mereka sebagai kaum kapitalis berasal dari penguasaan mereka atas monopoli, kontrak dan konsesi dalam proyek – proyek pembangunan Orde Baru. Dari situ mereka berkembang menjadi para pangeran kerajaan bisnis yang sekarang kita kenal.” Kalo sudah begitu, mana mungkin lah mereka mau “ mengorbitkan” saya...

Erix : Walau di pemilu 2009 nanti tidak ada partai yang mencalonkan ibu, apakah ibu akan tetap maju ?

Uli Asmalia : Persoalan utama bukan ada atau tidaknya partai yang mencalonkan saya. Saya yakin Logic of Majority yang saya tawarkan akan mendapat dukungan rakyat. Masalah target waktu, 2009 bukanlah batasan waktunya. Inti dari perjuangan membebaskan rakyat terletak pada rakyatnya itu sendiri. Seperti kata Luwding Feubrach, “ Seseorang harus merasakan sendiri kesan pembebasan”. Jika rakyat sudah merasakan sendiri makna dan kesan pembebasan itu, maka mereka akan berani kok angkat bicara. Saya percaya diri itu..

Erix : Diakhir wawancara ini, saya ingin mempertegas, apakah ibu sudah siap menjadi presiden Indonesia ?

Uli Asmalia : Apakah Mas melihat keraguan di benak saya. Presiden itu bukan jabatan sakral lho, apalagi jabatan turun menurun seperti kerajaan dulu. Setiap orang di negara ini punya kesempatan untuk itu. Termasuk saya . Jadi istilah siap atau tidak, sebenarnya ndak benar, istilah itu sangat kacau.Yang tepat nya adalah apakah calon itu mendapat kepercayaan atau tidak. Kalau urusan siap, semua orang pasti “siap – siap” aja.[***]

Tuesday, May 1, 2007

Juminah, Kalinongko kidul dan Harapan



Erix Hutasoit ( Medan )


Tulisan ini merupakan refleksi dari analisa sosial di dukuh Kalinongko Kidul, Desa Gayam Harjo, Sleman, Jogjakarta.

Juminah (30) bergegas bangkit dari pembaringan seraya membuka matanya dengan paksa. Seperti sebelumnya, hari ini Juminah kembali pada pekerjaannya yaitu berdagang sayur. Pukul 02.00 dini hari kala gelap gulita dan udara dingin masih bertahta, sepeda motor Juminah sudah melesat meninggalkan Dusun Kali Nongko Kidul, Sleman, Jogjakarta. Ditemani tumpukan daun singkong, bayam dan kangkung , Juminah menelusuri jalan pedesaan menuju pasar Bringharjo, Jogjakarta.

“Walaupun saya sakit, saya tetap pergi loh mas. Bahkan saya pernah kecelakaan, saya terjatuh di tebing tanjakan itu, tetangga sudah mengira saya tidak ada lagi. Ternyata saya masih hidup, hanya lecet di kaki kok Mas. Saya tetap saja pergi ke pasar. Kalo ndak pergi, ya ndak ada untuk beli garam lah Mas,” tutur Juminah menceritakan sepenggal kisah hidupnya.

Juminah, laki-laki kurus semampai itu tercatat sebagai peduduk desa Gayam Harjo, dukuh Kali Nongko Kidul RW 13 RT 4. Dalam statistik, Gayam Harjo dikenal sebagai desa paling timur sekaligus desa termiskin di kabupaten Sleman. Selain itu Gayam Harjo juga dikenal karena urbanisasinya.

Menurut sekretaris desa (sekdes) diperkirakan 70 persen pemuda desa ini merantau kekota-kota sekitar Sleman, seperti Klaten, Jogkarta dan Gunung Kidul. Umumnya perantau itu dipekerjakan sebagai buruh proyek, buruh tani dan pekerja rumah tangga (PRT). “ Bahkan mereka ada persatuannya loh mas, namanya MUDIKA, Muda Mudi Kali Nonggko Kidul,” ungkap Sekdes.

Seperti pemuda yang lain, Juminah juga pernah merantau. Kota tujuannya kala itu adalah Karawang, Jawa Barat. Selama dua tahun disana, Juminah bekerja untuk Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Hanya saja kehidupan di rantau yang keras membuat Juminah tidak kerasan, kemudian dia memilih kembali ke desa Gayam Harjo.

“ Badan saya kecil mas, saya ndak bisa kuat kerja fisik,” ketus Juminah sambil tertawa.

Di mata Juminah, desa Gayam Harjo, khususnya dukuh Kali Nongko Kidul tidak banyak berubah. Bahkan di tempat ini mayoritas penduduknya tidak bisa berbahasa Indonesia. Menurut Juminah, tingginya penduduk yang tidak melek bahasa karena faktor pendidikan.

Juminah menjelaskan lebih lanjut, pada masa lalu banyak penduduk yang tidak bersekolah. Letak sekolah yang jauh dan harus dilalui dengan berjalan kaki, ± 5 km untuk Sekolah Dasar (SD) dan ± 25 km untuk Sekolah Menegah Pertama (SMP), sangat mempengaruhi peminat “sekolahan”. Di tambah kemiskinan yang akut, membuat bersekolah dianggap bukan kebutuhan. Jadilah peduduk Kalinongko Kidul seperti sekarang ini, tidak melek bahasa.

Kondisi Stagnasi itu juga diamini Pardi (24). Dalam catatan Pardi, aktivitas masyarakat Kali Nongko Kidul dari masa dia (Pardi) kanak-kanak sampai dewasa masih sama yaitu bertani. Bahkan pola produksi masyarakat masih subsistensi (sekadar memenuhi kebutuhan sendiri).

“Hasil pertanian seperti padi dan sayuran untuk dimakan sendiri mas. Padi biasa nya ditanam untuk kebutuhanan makanan . Biaya untuk menanam padi diambil dari upah menjadi buruh proyek” Kata Pardi.

Jenis pekerjaan penduduk Kalinongko Kidul dipengaruhi ketersediaan air. Di kala musim penghujan maka aktivitas utama peduduk adalah bertani. Lahan – lahan pertanian diolah menjadi sawah untuk ditanami padi. Namun di kala musim kemarau, lahan pertanian hampir tidak bisa berproduksi karena kekurangan air. Di saat seperti ini penduduk Kalinongko Kidul biasanya memilih urbanisasi sementara. Mereka pergi ke kota lalu bekerja sebagai buruh proyek atau buruh tani (buruh cangkul).

Namun tidak semua penduduk Gayam Harjo yang berganti profesi mengikuti pergantian musim. Juminah contohnya, dia memilih menjadi pedagang sayur. “Saya ini badannya kecil mas, ndak kuat untuk kerja kuli. Apalagi kerja begituan kan keras, saya ndak kuat mental. Mending seperti ini Mas, biar dapatnya sedikit dari dagang sayuran, tapi saya merasa tenang lho mas.”

Sehari-hari Juminah dan keluarga hanya mengkonsumsi nasi dan sayuran. Sesekali mereka menikmati lauk pauk seperti tempe atau tahu.” Itupun kalo ada rejeki Mas,” kata Juminah. Walau begitu Juminah sudah merasa bersyukur. “Masa saya kecil dulu Mas, saya itu makannya cuma tiwul atau jagung. Nasi itu makanan mewah loh Mas, hanya ada kalo ada acara selamatan,” terang Juminah mengenang masa lalu. Dia sendiri mengaku baru rutin mengkonsumsi nasi di tahun 1995. Itu pun karena dia bekerja di Karawang, salah satu kota penghasil beras di Jawa Barat.

Biar susah begitu Juminah bukan orang yang pasrah. Dia terus berusaha menggembangkan diri. Salah satu trik jitu Juminah adalah mengolah uang pinjaman dari Bank Rakyat Indonesia (BRI). “ Kalau ada sertifikat tanah, kita bisa minjam uang ke BRI Mas. Saya pernah minjam Rp. 3.000.000,- lalu saya beli sapi. Setiap bulan saya menyetor Rp.310.000,- dalam tempo dua belas bulan hutang itu saya lunasi. Setelah dua tahun sapi itu saya jual Rp. 10.000.000,- per ekor. Uang nya kemudian saya belikan tanah,” kata Istri Juminah menerangkan strategi bisnis mereka.

Dalam kurun waktu empat bulan ini, Juminah mengaku sudah dua kali membeli tanah.Tanah itu kemudian diolah menjadi ladang dan sawah. Hasilnya di gunakan sebagai persiapan musim kemarau mendatang. Bagi juminah trik ini cukup sukses membantunya bertahan hidup. “Tapi mas, tidak semua orang disini punya tanah sendiri apalagi yang punya sertifikat,” ungkap Juminah.

Ketika ditanya apakah Juminah puas dengan hidupnya. Juminah tidak menjawab. Bagi Juminah tidak ada yang baru di hari esok selain berdagang sayuran. “Selama saya masih bisa berdiri, saya tetap harus berjualan,” kata Juminah. ***

Alumni CEFIL 19