Monday, January 28, 2008

SIAPA YANG TAK KENAL SOEHARTO

Oleh FIRMAN HAMIDI

SEBELUM saya masuk sekolah hanya ada satu orang yang selalu muncul dilayar tv. Dia muncul sebagai orang yang super hebatnya, super bijaknya. Dan seolah dialah “superman” Indonesia. Begitu masuk sekolah, selama 12 tahun mengenyam bangku pendidikan formal. Foto orang ini terpampang gagah penuh wibawa didepan kelas. Semua hormat seolah tak pernah ada salah pada dirinya.

32 tahun lamanya negara ini dipimpin oleh dia. Diawali dengan keterpurukan pasca diturunkannya SUPERSEMAR (yang penuh tanda tanya).
Dia kemudian menjelma menjadi petutur nan bijak yang pantang dibantah.

Setiap tahun saya disuguhi film-film yang melukiskan kehebatannya. Sehingga tercetak dibenak saya dan hampir seluruh bangsa Indonesia, kalo orang ini memang ”sakti mandra guna”.

Waktu itu hanya ada satu media tv yang bernama TVRI. TV satu ini tak pernah jemu menayangkan wajahnya dengan tangan kanan membawa sabit dan tangan kirinya membawa hasil panen. Pada masa itu hasil panen masih melimpah ruah. Padi, kedelai dan masih banyak hasil bumi lainnya.

Pada pemilu 1997 sebenarya dia sudah tidak ingin mencalonkan diri sebagai presiden. Katanya dia sudah merasa tua. Ditambah lagi dia telah kehilangan istri belahan jiwanya yang
telah meninggal pada tahun 1996. Pak tua itu tak sekuat dulu lagi.

Namun berkat bujuk rayu kroninya yang bernama Harmoko, Soeharto mau menjabat sebagi presiden lagi. Namun bujuk rayu itu adalah blounder. Dan di tahun 1998 blounder itu meledak dengan pengerahan masa dan pergerakan mahasiswa meminta soeharto turun setelah Indonesia dihantam krisis multi dimensi.

Minggu (27/1) sang Jenderal Besar tua yang murah senyum telah kembali menghadap Yang Kuasa. Dengan sangat tenang dan penuh kontroversi dia dipuja sebagai pahlawan. Senyum yang tenang tapi memiliki kekuatan batu dihatinya. Kasus hukum nyaris terkubur siring terkuburnya jazad soeharto.

Sangat timpang ketika sekarang dia dimakamkan dengan diiringi tembakan salvo sebagai penghormatan seorang pejuang. Sisisi lain, ribuan orang yang pernah mati dengan nama
buruk, dianggap tak ada. Semua itu demi membersihkan nama baiknya. Pelanggaran HAM yang sangat identik dengan kehidupany dulu, nyaris sempurna ditutupi.

tragedi 27 juli di timor-timur (timor leste sekarang), semanggi dan masih banyak lagi yang tak bisa pernah hilang ditelinga kita. Adalah catatan sejarah kelam hidup sang Jenderal Besar tua itu.

Bisakah kita bayangkan betapa mirisnya hati keluarga korban-korban Jenderal itu bila dibandingkan dengan kemewahan pemakamannya.Dengan iringan foraider dan keamanan yang cukup ketat, seperti pada masa hidupnya dulu. Seolah-olah dia masih presiden Republik Indonesia.

Apakah hati nurani sudah tidak ada lagi. Apakah airmata bangsa ini sudah kering. Bangsa ini tidak bisa mengenal siapa pahlawan yang sesungguhnya.

Otak rakyat telah dicuci dengan masa lalu, mereka berdesak-desakan menyambutnyadisepanjang jalan. Seolah dia lupa siapa yang menyebabkan harga sembako yang tinggi, minyak tanah langka, susu buat anak mereka tak terbeli, susahnya lapangan pekerjaan, peninggalan budaya korupsi, kolusi & nepotisme, hutang negara yang melimpah.

Wajar kita menghormati orang yang telah meninggal. Tapi tidak wajar bila kita berlebihan memberi hormat kepada orang yang tidak layak diberi hormat. ***

Firman Hamidi, anak bangsa pegiat jurnalisme radio di Yogyakarta.

Tuesday, January 22, 2008

SIMFONI PEMAAFAN SOEHARTO (2)

Ingin Kuburkan Kesalahan

Oleh GEORGE JUNUS ADITJONDRO

BERAPA lama proses pembangkitan rasa iba terus berlangsung? Tergantung dari lamanya proses penyembuhan penyakit yang diderita Mantan presiden Soeharto. Berapa lama proses penyembuhan itu? Hal ini yang tidak dapat ditentukan. Kalau kondisinya stabil dan terapinya berhasil, bisa lama sekali, dan tidak bisa diprediksi.

Apalagi saat ini kondisi kesehatan Soeharto masih labil. Sehari baik, tapi tiba-tiba jam 16.00 drop sekali. Setelah dilakukan intervensi tertentu, kondisinya stabil lagi.

Menurut kalangan kedokteran, ini memang ciri khas multiorgan failure atau kegagalan organ majemuk, di mana telah terjadi kegagalan fungsi jantung, ginjal, dan paru-paru. Kegagalan fungsi jantung dicoba diatasi dengan obat-obatan.

Kegagalan fungsi ginjal dicoba diatasi dengan alat pencuci darah, sedangkan kegagalan fungsi paru-paru dicoba diatasi dengan ventilator.

Tentu saja, bukan Soeharto sendiri yang sedang terbaring antara sadar dan tidak sadar, yang mendalangi simfoni pemaafan melalui mobilisasi rasa iba oleh stasiun-stasiun televisi swasta milik keluarga Cendana dan kroni-kroninya.

Dua Kelompok

Dalangnya, menurut hemat saya,adalah mereka yang punya kepentingan untuk pembebasan Soeharto dari segala tuntutan hukumnya.

Siapa mereka itu? Ada dua kelompok yang punya kepentingan menguburkan semua kesalahan Soeharto bersama jasad mantan presiden itu nantinya.

Kelompok pertama adalah mereka yang ikut terlibat dalam proses pemiskinan ekonomi rakyat dan ekonomi negaramelalui tindak pidana korupsi, tidak hanya dengan jalan memanipulasi yayasan-yayasan yang dipimpin oleh Soeharto, tapi juga lewat cara-cara lain.

Misalnya, dengan menerbitkan berbagai instruksi presiden yang memberikan berbagai kemudahan bagi kerabat dan sahabat Soeharto, yang memperkaya orang-orang itu.

Akumulasi kekayaan kerabat danSoeharto diduga dimungkinkan lewat pelanggaran hukum perdata atau hukum pidana.Penerbitan surat ketetapan penghentian penuntutan perkara atau SKPP oleh Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh pada 12 Mei 2006, bukan merupakan bentuk penghapusan penuntutan atau pengampunan, dan tidak menghalangi perkara dibuka dan dilanjutkan kembali.

Begitu dikemukakan oleh orang yang mengeluarkan SKPP itu, di harian Kompas, 12 Januari lalu. Selanjutnya, Jaksa Agung yang baru, Hendarman Supandji, banting setir dan mengajukan gugatan perdata untuk dakwaan korupsi sebesar Rp 1,379 triliun dan 419,636 dolar AS melalui Yayasan Beasiswa Supersemar.

Gugatan itu, menurut Jaksa Agung, merupakan pengamanan Tap MPR No I/MPR/1998, dan tidak ada hubungannya dengan kesehatan Soeharto.

Setelah Soeharto meninggal, pertanggungjawaban terhadap penyalahgunaan dana yang total bernilai 1,5 miliar dolar AS, dapat diteruskan ke anak cucu dan orang-orang yang ikut menjadi pengurus Yayasan Supersemar.

Bahkan juga dapat diteruskan menjadi gugatan penyalahgunaan dana yayasan-yayasan lain yang pernah diketuai oleh Soeharto. Dengan demikian, mereka yang berkepentingan untuk pemaafan kesalahan-kesalahan Soeharto, adalah kerabat dan sahabat yang ikut memanfaatkan dana yayasan-yayasan yang pernah diketuai Soeharto.

Boleh jadi, mereka tidak langsung meminta maaf atau pemutihan dugaan korupsi yayasan-yayasan itu. Tapi apa sih susahnya, memanfaatkan ''juru bicara-juru bicara'' dari luar lingkungan keluarga Soeharto, bahkan dari luar lingkungan pengurus yayasan-yayasan itu?

Toh uang masih berlimpah, terbukti bahwa sepeser pun biaya pengobatan Soeharto yang sudah mencapai Rp 360 juta, belum termasuk biaya obat-obatan, belum diajukan ke Sekretariat Negara.

Sesudah Soeharto meninggal, bukan cuma kelompok pertama ini yang dapat diajukan ke pengadilan. Ada pula kelompok kedua yakni mereka yang khawatir akan diajukan ke Pengadilan HAM, karena ikut terlibat dalam pelanggaran-pelanggaran HAM berat di masa pemerintahan Presiden Soeharto.

Itu bermula dari semua mantan jenderal yang terlibat dalam tragedi 1965, peristiwa Tanjung Priok, peristiwa Talangsari, perang tanpa maklumat perang terhadap bangsa Timor Leste, pembantaian-pembantaian di Papua Barat dan Aceh, penculikan sejumlah Aktivis pro-demokrasi sebelum pemilu yang mengorbitkan Soeharto menjadi presiden sampai ketujuh kalinya, sampai dengan penembakan mahasiswa Trisakti.

Berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat itu melibatkan sejumlah mantan jenderal yang pernah atau masih berambisi untuk menjadi presiden dan wakil presiden, maupun para purnawirawan jenderal pendukung mereka.

Mereka inilah yang punya kepentingan, Soeharto mendapat pengampunan dari semua tuntutan hukum, sebelum mantan jenderal berbintang lima itu dikuburkan di kuburan keluarga Astana Giribangun.

Jadi, kembali ke topik tulisan ini, kepentingan ekonomi keluarga besar Cendana, para pengurus yayasan-yayasan yang pernah diketuai oleh Soeharto, serta kepentingan politik mereka yang ikut melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM di era Soeharto, ada di balik simfoni pemaafan, yang sedang dipancarkan oleh stasiun-stasiun televisi swasta Milik keluarga dan kroni Soeharto.

Sementara Soeharto terbaring tidak berdaya di bawah pengawasan dokter, untuk masa yang tidak menentu panjangnya. Suatu penyalahgunaan waktu tayang pemancar-pemancar televisi ini, yang sungguh tidak etis.***

George Junus Aditjondro, penulis "Koruspi Kepresidenan : Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga : Istana, Tangsi dan Partai Penguasa", tinggal di Yogyakarta. Artikel ini dipublikasikan pertama kali oleh Harian Suara Merdeka, 16-17 Januari 2008.

SIMFONI PEMAAFAN SOEHARTO (1)

Artikel GJA ini membedah keterlibatan media massa Indonesia dalam menciptakan rasa iba kepada bekas orang kuat Orde Baru, Soeharto. Media tidak lagi sekadar memberitakan (menginformasikan). Tapi sudah berupaya mempengaruhi publik untuk "memaafkan" mantan presiden itu. Lalu siapa dibalik itu semua dan apa kepentingan mereka. Tulisan ini menjawabnya dengan lugas...(editor)

Oleh GEORGE JUNUS ADITJONDRO

SETELAH Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan sinyal pemaafan kepada mantan presiden Soeharto, yang sedang terbujur tak berdaya di ruang VVIP RSPP, melalui Jaksa Agung Hendarman Supandji, gelombang-gelombang imbauan pemaafan mulai mengudara, lewat media elektronik di Indonesia.

Tidak kurang dari seorang Amien Rais, mantan ketua MPR RI yang beberapa waktu lalu menegaskan perlunya Soeharto diadili sebelum dimaafkan, sekarang berbalik 180 derajat. Ia mengemukakan bahwa pertimbangan kemanusiaan lebih utama ketimbang pertimbangan hukum.

Selanjutnya, hampir setiap siaran berita televisi di Indonesia menayangkan imbauan pribadi dan kelompok di berbagai penjuru Tanah Air yang mengimbau pemerintah agar membatalkan status hukum Soeharto dan memaafkan semua kesalahannya. Mulai dari tokoh-tokoh nasional, seperti Guruh Soekarnoputera, sampai dengan anak-anak sekolah.

Stasiun-stasiun televisi swasta yang memberitakan adegan-adegan Pemaafan Soeharto itu, praktis dimiliki oleh keluarga dan kroni-kroni Soeharto. Jum-lah stasiun terbesar dimiliki oleh PT Media Nusantara Citra (MNC), anak Perusahaan PT Global Medicom (d/h Bimantara), yang menguasai lima stasiun televisi Swasta (RCTI, SCTV, TPI, dan TV Global) sebagian besar sahamnya milik Harry Tanoesudibyo. Di kalangan bisnis, Harry dikenal dekat dengan Siti Hediyati Haryadi (Titiek), putri kedua Soeharto, yang pernah jadi mitranya dalam Bisnis pialang saham.

Sedangkan Bambang Trihat-modjo, putera kedua Soeharto, masih memiliki Saham minoritas (12%) dalam PT Global Mediacom. Dandy Rukmana, seorang putera Siti Hardiyani Rukmana (Tutut), duduk sebagai komisaris PT MNC, sementara Ibunya masih memiliki separuh saham PT TPI.

Beberapa stasiun televisi swasta berlingkup nasional, dimiliki oleh kroni-kroni Soeharto atau tokoh-tokoh DPP Golkar, partai politik yang paling getol memperjuangkan pemutihan kesalahan-kesalahan Soeharto.

Antv, milik keluarga Aburi-zal Bakrie, Menko Kesra yang juga pengusaha Dan politikus Partai Golkar, dan Agung Lak-sono, wakil ketua umum DPP Golkar. Metro TV, milik Surya Paloh, ketua Dewan Penasihat DPP Golkar.

Trans7, milik kelompok Para Group milik Chaerul Tanjung dan ahli waris Jenderal (Purn) Rudini, serta kelompok Kompas Gramedia. Sedangkan Lativi, yang tadinya milik Abdul Latief, juga seorang tokoh Golkar, kini sudah dibeli oleh Antv, yang di-pimpin oleh Anindya N Bakrie, putera sulung Aburizal Bakrie.

Sementara itu Indosiar, milik kelompok Salim, di mana ke-pentingan Keluarga Soeharto diwakili oleh Sudwikatmono, walaupun ratingnya lebih rendah dari pada stasiun-stasiun televisi swasta yang tersebut tadi, juga menyanyikan simfoni yang sama.

Jadi, boleh dikata, wacana yang disebarluaskan ke khalayak pemirsa siaran TV swasta di Indonesia, yang dikuasai oleh keluarga dan kroni Soeharto, adalah simfoni pemaafan bagi Soeharto. Dalihnya adalah bah-wa jasa-jasa Soeharto jauh lebih banyak ketimbang kesalahan-kesalahannya.

Makin lama masa rawat inap mantan jenderal berbintang lima itu berlangsung, makin lama simfoni itu berlangsung. Berapa lama? Tergantung berapa lama penyakit Soeharto dapat dita-yangkan di stasiun-stasiun televisi swasta itu, disiarkan oleh radio-radio swasta milik PT MNC, dan diberitakan dengan foto-foto yang mengetuk rasa iba oleh tabloid-ta-bloid infotainment milik perusahaan media swasta itu.

Dengan terbatasnya liputan kamera jarak dekat, makanya, yang terus menerus ditayangkan di layar televisi kita, adalah foto Soeharto yang sedang terbaring tak berdaya, dengan segala pipa-pipa dan elektroda-elektroda yang terjulur dari dirinya. Suatu foto yang sungguhmemilukan, yang sangat berpotensi membangkitkan rasa iba pemirsa.***

Monday, January 14, 2008

EDITORIAL AWAL TAHUN 2008

Kawan-kawan pembaca,

MEMASUKI TAHUN 2008 sejumlah peristiwa penting terjadi disekitar kita. Dipenghujung 2007, di Bali, sejumlah orang yang concern dengan perubahan iklim berkumpul dalam United Nations Climate Change Conference. Sayangnya, negara-negara industri maju masih belum menunjukkan komitmen menghadapi perubahan iklim yang semakin ekstrim. Sejumlah aktivis lingkungan dari Canada contohnya. Mereka mencemooh delegasi asal negara mereka yang berangkat dengan mandat untuk menghasilkan kesepakatan yang ”lemah”.

Memasuki Januari, sejumlah bencana alam kembali melanda Indonesia. Banjir dan tanah longsor menghiasi head line media massa. Apa boleh buat sepertinya becana sudah “dipermaklumkan” di Negara ini.

Perhatian media massa segera berubah tak kala mantan penguasa Orde Baru, H.M Soeharto dilarikan ke Rumah Sakit karena beberapa organ tubuhnya gagal berfungsi. Sejumlah mantan pejabat di masa Orba lalu angkat bicara. Mereka meminta pemerintah segera ”mengampuni” Soeharto. Alasannya : Rasa Kemanusiaan.

Debat publik dan pro kontra bermunculan di mana-mana. Sejumlah orang yang dulu ”menderita” dibawah rezim Orba, menolak pemberiaan maaf itu. Bagi kelompok ini, pembantaian 2 juta orang Indonesia di tahun 1965-1966 tidak bisa diabaikan begitu saja . Hmmm..

***

Dalam kesempatan ini, team editorial mempublikasikan dua artikel yang ditulis Firman Hamidi. Artikel pertama Firman, menggangkat issu alokasi dana pendidikan. Melalui artikel ini Firman mencoba membuka mata kita bahwa kebijakan elite negara belum berpihak kepada rakyat. Pendidikan yang seharusnya bisa ”difasilitasi” secara maksimal, tapi di Indonesia itu tidak terjadi. Elite negara lebih mengutamakan sektor yang lain.

Dalam kasus yang sama, kita bisa melakukan perbandingan dengan Cuba misalnya. Di negara Fidel Castro itu pendidikan disediakan dengan gratis. Mari kita simak artikel Hariadi Sudjono, mantan duta besar RI untuk Cuba (untuk artikel lengkapnya klik : disini). Dalam artikel itu, Sudjono menggambarkan Cuba dengan utuh. Dia menceritakan keadaan yang berbeda dari yang biasa kita dengar tentangan negara sosialis itu.

"Di bawah pemerintahan Castro, pembangunan nasionalnya dititikberatkan pada pemeliharaan kesehatan dan pendidikan. Dua hal yang merupakan kebutuhan mendasar rakyat di negeri itu. Hasilnya, penyediaan dan peningkatan fasilitas kesehatan dan pendidikan terus maju sehingga keduanya merupakan fasilitas gratis bagi semua rakyat Kuba (hanya orang asing yang dikenai pembayaran). Namun, rakyat Kuba yang tak dikenai pembayaran mendapat perlakuan yang sama baiknya dengan orang asing yang membayar mahal.

Kembali pada artikel yang ditulis Firman. Apa yang terjadi di Indonesia adalah kebalikan dari Cuba. Di Indonesia, watak elite negara belum berorientasi sebagai public servant (pelayan masyarakat). Elite negara masih berlaku sebagai penguasa yang harus dilayani. Maka tidak mengherankan jika kebijakan elite pun jauh dari rakyat. Untuk membaca artikel firman silahkan klik : disini.

Artikel ke dua Firman bertutur tentang penguasaan asing terhadap aset Indonesia. Artikel sederhana ini cukup mengelitik untuk dibaca. Artikel Firman “menampar” kesadaran intelektul tentang kepemilikan kita terhadap bangsa dan negara ini. Firman mau mengatakan,” Kalau rumah kita sudah punya orang lain, buat apa kita mengaku sebagai sebuah bangsa.”

Ada yang menarik ketika final Asian Idol di gelar di Jakarta beberapa waktu lalu. Hady Mirza, Idol asal Singapura muncul menjadi pemenang. Pada hal sejumlah juri, tidak menjagokan Hady Mirza. Tapi karena model penilaian berdasarkan jumlah sort massage service (sms). Apa boleh buat, Mike asal Indonesia yang dijagokan banyak orang harus mengaku kalah kepada Hady Mirza.

Sejumlah spekulasi segera bermunculan. Kemenangan Hardy dihubungkan dengan Temasek corp., perusahaan telekomunikasi asal singapura, yang menguasai sejumlah perusahaan sejenis di Indonesia. Ada dugaan, Temasek memborong semua sms untuk mendongkrak kemenangan kontestan asal Singapura itu. Sepertinya Temasek tidak rela Singapura kalah di Indonesia.

Walau Firman tidak menulis tentang Hardy Mirza dan Temasek Inc., namun artikel “Bangsa Ini Punya Siapa?” layak untuk dibaca dan diberikan apresiasi (untuk lebih lengkap klik : disini).

Akhirnya, kami mempersilahkan kawan-kawan semua memberikan penilaian akhir untuk kedua artikel itu. Terima kasih untuk Firman Hamidi yang dari jauh dari yogyakarta, telah meluangkan waktunya untuk menulis kedua artikel diatas.

Dari belahan pulau yang berbeda, saya mewakili team editoral CEFIL 19 mengucapkan selamat membaca. Semoga bermanfaat..

Jabat Erat,

EDITOR

www.cefil19.co.cc

http://cefil19.blogspot.com

19cefil@gmail.com


BANGSA INI MILIK SIAPA ??

Oleh FIRMAN HAMIDI

BETAPA tidak punya harga dirinya bangsa ini, segala sektor di bangsa ini sudah dikuasai asing.

Setelah Freeport dan Exxon ternyata penjualan asset masih berkelanjutan, dan sama sekali tidak menguntungkan Indonesia.

Seperti di sektor komunikasi . Padahal sektor ini begitu “vital” buat kehidupan kita. Bagaimana pula ceritanya kalau sistem komunikasi kita
dikuasai asing ?

Masih terngiang ditelinga kita, bagaimana satelit Indosat yang note bene hasil keringat anak bangsa, dikuasai oleh Singupra. Ini adalah “kesalahan” yang sempurna dari rezim Megawati.

Akibatnya, negara ini dengan mudah dikontrol oleh Singapura. Bisa kita bayangkan bagaimana pertahanan bangsa ini, bila semua sistem komunikasi pertahanan yang menggunakan satelit tersebut diketahui (dan pasti diketahui) pihak asing.

Tidak kalah “konyolnya” dengan dengan rezim Megawati ketika SBY menerima kontrak kerjasama dalam bidang pertahanan dengan Singapura pada Desember 2007 di Bali (Pertemuan Rahasia). Dalam kesepakatan tersebut Indonesia memberikan ruang untuk latihan perang Singapura. Lokasinya di sebagian pulau Sumatra. Celakanya, Singapura berhak mengajak pihak ketiga dalam latihan perangnya (misalnya Amerika Serikat dan sekutunya) dan lebih parahnya lagi, latihan perang itu"BOLEH MENGGUNAKAN PELURU TAJAM".

Apa yang didapatkan Indonesia? Indonesia diberikan peralatan persenjataan golongan menengah kebawah. Jelas ini adalah perjanjian yang tidak fair kalau bukan perjanjian ”bodoh”.

Walau sudah ditentang. Pemerintah sepertinya tidak mau menyerah. Ibarat pepatah lama anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Perhatikan bagaimana kerasnya usaha pemerintah untuk meng-gol-kan kerjas sama ”konyol” itu."Kita punya ruang mereka punya uang," kata Menteri Pertahanan, Juwono Sudarsono.

Suka tidak suka, inilah kenyataan di bangsa ini. Kita masih bermental jongos alias babu alias pembantu. Kita rela menjual “harga diri” demi keuntungan segelintir orang.

Perlu diketahui pula : 99% sektor komunikasi telah dikuasai asing, 65% sektor ekonomi telah dikuasai asing, 95% sektor pertanian telah dikusai asing. Lantas pertanyaan kita semua,”Bangsa ini milik siapa?” (***)

Firman Hamidi, aktivis asal Jogja, kini aktif sebagai pegiat jurnalisme radio.

ALOKASI DANA PENDIDIKAN

Depdiknas Mengaku Tidak Punya Kendala Realisasikan Anggaran Pendidikan 20 Persen.


Oleh FIRMAN HAMIDI


YOGYAKARTA- Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mengaku pihaknya tidak memiliki kendala apa pun untuk merealisasikan Anggaran Pendidikan sebesar 20% seperti yang telah diamanatkan oleh UUD 1945. Hanya saja Depdiknas melihat saat ini negara belum mempunyai uang untuk bisa segera memenuhi kewajiban tersebut.

“Lho kalau Depdiknas ya gak ada kendala dong. Hanya saja negara memang belum punya uang kok. Untuk membayar bunga hutang saja susah kok,” ungkap Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen), Prof Suyanto PhD, usai membuka Lomba Prestasi dan Kreatifitas Siswa SLB se Indonesia di GOR UNY Yogyakarta.

Di sisi lain Suyanto justru menyatakan bahwa anggaran pendidikan untuk tahun 2007 lalu tidak turun seperti yang banyak disampaikan beberapa kalangan. Besarnya anggaran pendidikan untuk tahun ini kata Suyanto masih debatabel dan tengah digodok bersama DPR.

“ Anggarannya belum disahkan kan. Angkanya masih debatabel dan masih digodok,” kilah Suyanto.

Menurut Suyanto mengenai anggaran pendidikan memang terus akan disesuaikan dengan tingkat kebutuhan masyarakat. Depdiknas berupaya meningkatkan prasarana dan penunjang lain untuk mengantisipasi anggaran pendidikan yang belum mencapai 20% tersebut.

Suyanto menegaskan prinsipnya Depdiknas tidak menginginkan ada anak usia pendidikan dasar sembilan tahun yang tidak bisa sekolah atau justru dipekerjakan. Ia mencontohkan peran Depdiknas menggratiskan biaya sekolah untuk siswa sekolah SD-SMP yang menelan biaya sebesar 18 Trilyun.

“ Untuk sekolah gratis itu sekitar 18 T. Belum untuk beli buku bagi mereka secara gratis bisa sampai 8 trilyunan. Selain itu untuk renovasi gedung-gedung sekolah yang rusak misalnya kita-kira hampir 200 trilyun lho,” tuturnya.

Ketika disinggung mengenai kenaikan gaji PNS dengan anggaran pendidikan menurut Suyanto hal itu tidak ada hubungannya. Sebab kenaikan gaji 20% bagi PNS tidak dihitung dari alokasi anggaran pendidikan sebesar 20%. “ Oh lain itu. 20% itu khan di luar gaji dan biaya kedinasan,” kata Suyanto.

Dengan dasar liputan diatas, kita bisa melihat negara masih belum bisa memprioritaskan suatu hal yang bermanfaat bagi bangsa ini. Kebijakan Negara masih berkutat pada kepentingan elite. Yang untung pun tak jauh-jauh dari Boshowa, Bakrie dan Washington. (***)

Firman, aktivis asal Jogja, saat ini menjadi pegiat jurnalisme radio. Artikel ini ditulis dalam liputan dengan Satria Nugraha, wartawan Trijaya.