Sunday, February 10, 2008

Wiji Thukul dan Puisinya

Oleh DIAN PURBA

TIDAK ada yang lebih menakutkan Orde Baru dari pada Pramoedya Ananta Toer yang kreatif dan Wiji Thukul yang miskin dan bertubuh kurus kering yang seumur hidup bernaung di bawah atap rumah petak di sudut gelap kota Solo (Daniel Dhakidae). Untuk yang pertama disebutkan di atas, tidak ada penerbit yang bersedia menerbitkan karya-karyanya. Pramoedya yang "hanya" penulis roman menjadi "musuh" bersama ketika Orde Baru masih berkuasa. Tidak cukup hanya itu saja. Banyak naskah-naskah Pram (sebutan untuk Pramoedya) dibakar oleh kekuasaan fasis Orde Baru.

Ini membuat Pram, dan juga bangsa ini, kehilangan harta paling berharga yang dia punya. Semua karyanya dilarang beredar. Tidak ada satu pun toko buku yang berani menjual bukunya. Sekolah-sekolah di negeri ini nyaris tidak pernah membahas karyanya. Tuduhan subversi (tindakan mengancam keselamatan negara) dilayangkan bagi siapa saja yang ketahuan membaca buku Pram.

Wiji Thukul mengalami hal yang kira-kira sama dengan apa yang dialami Pram. Kalau Pram kehilangan naskah-naskah berharganya, Wiji Thukul harus dihilangkan untuk menghentikan gerak "subversifnya". Penyair yang berbapakkan seorang yang mencari makan dengan mengayuh becak ini tak ada satu pun yang tahu di mana rimbanya. Kemampuannya menghidupkan kata-kata menjadi api semangat perlawanan menentang ketidakadilan mengharuskannya untuk "dibumihanguskan" (forced disappearance) dari negeri ini. Baik Pram maupun Wiji Thukul hanya memproduksi kata-kata. Dan rupanya yang paling ditakuti Orde Baru bukanlah senjata akan tetapi kata-kata.
Puisi yang membumi
Bagi Pram keindahan itu terletak pada kemanusiaan, yaitu perjuangan untuk kemanusiaan, pembebasan terhadap penindasan. Jadi, keindahan itu terletak pada kemurnian kemanusiaan, bukan dalam mengutak-atik bahasa. Wiji Thukul bukanlah seorang yang terlalu pandai mengutak-atik bahasa. Bahasanya begitu sederhana. Puisi-puisinya tidaklah memenuhi "kaidah-kaidah" penulisan puisi yang "baik".
Thukul menorehkan penanya menuliskan semua yang dialaminya sehari-hari bersama mereka yang selalu ditindas. Puisi bagi dia adalah media yang mampu menyampaikan permasalahan dirinya selaku orang kecil, orang-orang yang terpinggirkan. Kemelaratan hidup mewarnai hampir semua karyanya. Kita tidak akan menjumpai kata-kata simbol yang membingungkan pikiran dalam karyanya. Puisinya bagaikan sengatan lebah bagi penguasa lalim dikarenakan pemilihan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan kondisi sosial dengan begitu transparan. Kesederhanaan dalam berbahasa justru memperkuat makna puisinya sehingga kata-katanya akan menghunjam tepat ke sasaran bagaikan peluru.
Puisi yang ditakuti

Dalam semua puisi yang terkumpul dalam buku kumpulan puisi Aku Ingin Jadi Peluru, ada dua puisi yang selalu membuat kuping penguasa memerah mendengarnya. Puisi yang pertama berjudul Bunga dan Tembok.



jika kami bunga

engkau adalah tembok

tapi di tubuh tembok itu

telah kami sebar bibit-bibit

suatu saat kami akan tumbuh bersama

dengan keyakinan: engkau harus hancur!

Thukul menggunakan kiasan "tembok" untuk penguasa dan "bunga" untuk rakyat yang dirampas tanahnya dan digusur rumahnya. Sejarah dengan baik telah mencatat bahwa di mana ada penindasan, ketidakadilan, pembodohan, di sana akan tumbuh pula "bibit-bibit" untuk berlawan. Di sana bersama "tembok" dan "biji-biji" yang sudah disebarkan akan selalu ada kontradiksi. Kontradiksi yang terjadi adalah kontradiksi tak terdamaikan. Karena kondisinya memang harus demikian maka "tembok" itu harus hancur. Kemudian yang akan kita saksikan selanjutnya adalah mekarnya "bunga-bunga" yang harum yang di setiap musimnya akan selalu menghasilkan "bibit-bibit" unggul. Bibit-bibit ini selanjutnya akan meneruskan sirkulasi sejatinya: berbuah.

Puisi yang kedua berjudul Peringatan.



bila rakyat berani mengeluh

itu artinya sudah gawat

dan bila omongan penguasa

tidak boleh dibantah

kebenaran pasti terancam

apabila usul ditolak tanpa ditimbang

suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan

dituduh subversif dan mengganggu keamanan

maka hanya ada satu kata: lawan!

Slogan "hanya ada satu kata: lawan!" hampir bisa kita temui di setiap aksi-aksi mahasiswa maupun aksi-aksi buruh. Slogan ini begitu populer dan juga begitu menakutkan Orde Baru dengan seluruh jajarannya. Slogan ini mempunyai kekuatan yang mampu membakar semangat dan menyatukan kekuatan para aktivis yang mau menjatuhkan Orde Baru. Slogan "hanya ada satu kata: lawan!" mungkin sama khasiatnya dengan slogan di zaman pra-kemerdekaan: "Merdeka atau Mati!." Atau slogan Karl Marx yang menjadi "hantu" yang sangat menakutkan bagi para pemilik modal (kapitalis): "workers of the world, unite!"

Orang-orang seperti Pramodya Ananta Toer dan Wiji Thukul dianggap membahayakan keamanan negara karena berpikiran "di luar kerangka" berpikir Orde Baru. Orde Baru dengan semua bala-tentaranya dan juga kaum cendekiawan mengontrol bahasa dan juga pengetahuan. Sehingga ketika ada pihak ataupun individu yang mencoba bergerak di luar kontrol akan segera berurusan dengan alat pengontrol negara: polisi dan tentara. Di samping itu Orde Baru juga menerapkan solusi super-cepat dan super-efektif, yakni penculikan. Penculikan aktivis pro-demokrasi dan juga orang-orang kritis merupakan alat pembungkam paling berhasil. Padahal syarat utama membangun demokrasi di sebuah negara adalah berjalannya proses kritik dari berbagai pihak. Dan kritik hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki perspektif berbeda. Keragaman (pluralitas) berdiri setara sebagai bahan bakar dalam proses kritik yang sehat. Jika sudah begitu, mengapa seorang Wiji Thukul yang melakukan kritik kepada pemerintah harus diculik dan dihukum sampai tidak kembali kepada keluarganya?

Wiji Thukul, seperti penyair lain, hanya menjalankan fuingsinya sebagai penyair. Meminjam pendapat Yoseph Yapi Taum, Wiji Thukul, sebagai seorang penyair kerakyatan, mendudukkan fungsi sastra pada tempatnya, yakni sebagai sarana memperjuangkan cita-cita dan visi kemanusiaan. ***

Dian Purba, Mahasiswa Sastra Inggris Universitas Methodist Indonesia (UMI) di Medan. Aktif di Serikat Mahasasiswa Medan (SMM).

Editorial CEFIL 19 Februari 2008

Pembaca CEFIL 19

JENDERAL Besar HM. Soerharto akhirnya harus “kalah” dengan sakit yang telah lama menghinggapinya. Usaha keras team dokter kepresidenan, hanya mampu memperpanjang usia penguasa Orde Baru itu untuk beberapa puluh hari saja. Pada Minggu (27/01), mantan orang nomor satu itu dipanggil menghadap Sang Penciptanya.

Ketika mantan bapak “pembangunan” terbaring lemah di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta. Media elektronik dan Media cetak ramai-ramai melakukan Glittering Generalities. Istilah ini menurut Nurudin dalam Komunikasi Propaganda (2001) adalah sebuah teknik propaganda. Dimana propagandis (orang atau media yang melakukan propaganda) mengasosiasikan sesuatu dengan ”kata bijak” yang digunakan untuk membuat kita menerima hal itu tanpa memeriksanya terlebih dahulu.

Hari-hari semenjak mantan presiden kedua itu dirawat inap. Layar berita dan koran-koran dipenuhi berita tentang Soeharto. Berita krisis pangan yang ditandai dengan naiknya harga kacang kedele, tergusur begitu saja dari headline.

Media berusaha menempatkan Soeharto sebagai orang yang sangat penting di negara ini. Ibarat sebuah bagunan, orang nomor satu Orba itu diidentikkan media sebagai tiang pondasi. Jika pondasi rubuh, maka runtuh pula semua bagunan itu. Karena itu, berita Soerharto dibuat menjadi penting bagi negara Republik Indonesia ini (?)

Bersamaan dengan itu, kampanye-kampanye untuk “memaafkan” mantan diktator itu segera mengalir. Sejumlah tokoh-tokoh angkat bicara mengatas namakan rakyat Indonesia. Mereka menyerukan,” Mari maafkan.”

Cerita-cerita humanis tentang pentolan Orba itu ikut berseleweran. Soerharto yang diduga terlibat dalam pembantaian dua juta rakyat Indonesia dalam periode 1965 – 1966. Dicitrakan sebagai seorang bapak yang ramah, penuh cinta dan pelindung nan bijak bagi anak-anaknya. Kisah-kisah itu semakin meningkat kala mantan presiden kedua itu mangkat. Hanya dalam hitungan menit, cerita-cerita indah tentang Soeharto segera beredar dilayar televisi.

Kisah-kisah sukses dimasa pemerintahannya segera diangkat. Orde Baru yang dulu terdengar ”buruk” ditelinga, didekonstruksi sebagai masa yang paling indah dalam sejarah Indonesia. Kesuksesan ekonomi dimasa itu, dianggap prestasi terbaik yang pernah ada di Indonesia. Dengan pongahnya media memperbandingkan masa Orba dengan keterpurukan ekonomi saat ini. Pada masa orba, pangan melimpah sedangkan saat ini pangan menjadi susah.

Media-media menggunakan Glittering Generalities secara berlebih dan tidak bertanggung jawab. Media hanya menyiarkan yang baik-baik saja. Media bertingkah laku tidak fair. Media tidak membahas kebijakan Orba yang menyeragamkan makan pokok menjadi beras (berasnisasi) ditahun 1980. Inilah kebijakan yang dikemudian hari menjadi malapetaka bagi bangsa Indonesia. Lokasi-lokasi yang bukan lumbung beras, menjadi tergantung kepada beras. Papua, NTT misalnya. Alhasil penyakit busung lapar dan kekurangan gizi menjadi bencana yang tidak terhindarkanm ditempat-tempat itu.

Lantas kenapa media begitu gencar mencitrakan Soerharto dalam porsi yang positif? Apa tujuan dibalik itu?

George Junus Aditjondro (GJA) dalam artikelnya Simfoni Pemaafan Soeharto (2008) secara lugas membongkar konspirasi media-media itu. Melalui pengalaman sebagai peneliti cum aktivis yang bertahun-tahun dikejar-kejar rezim Soeharto, GJA membantu kita mamahami kepentingan orang perorang yanga ada dibalik media. Kroni-kroni Soerharto yang masih ”jaya” adalah pemilik-pemilik perusahaan media-media itu. Merekalah yang punya kepentingan. (untuk lengkapnya klik : disini dan disini )

Masih dari Yogyakarta, Firman Hamidi, jurnalis cum aktivis keagamaan ini berbicara soal mangkatnya Soeharto dalam versi yang berbeda. Firman mengkritik tingkah laku masyarakat kita yang indentik dengan ”politik perasaan”. Firman mengingatkan kita betapa perlunya menghormati orang lebih dahulu meninggalkan kita (mangkat). Tapi menghormati orang mangkat juga ada aturannya. Tidak serta-merta manusia bisa menghapus dosa-dosa orang itu. Toh, yang punya kuasa menghapus dosa itu kan Tuhan. Biarlah Tuhan yang menentukannya. (untuk lebih lengkapnya klik : disini)

Artikel ketiga datang dari Blitar, Jawa Timur. Mufidah melalui artikelnya Alternatif Pendidikan : Sastra untuk merangsang Social Sense (2008), mengkritik media yang hanya berpikir soal untung. Ibu guru ini, merasa kurang nyaman dengan semakin bobroknya mental dan kualitas pelajar-pelajar di Indosesia. Mufidah melihat remaja saat ini terlalu hedon dan tidak peka sosial. Dalam analisisnya, Mufidah menemukan salah satu penyebabkanya karena pelajar kita tidak terbiasa membaca buku khususnya buku sastra.

Menurut Mufidah, dengan membaca karya sastra, remaja akan terbiasa untuk : bertanya, menyelami, melakukan analisis dan menyimpulkan (lebih lengkapnya silahkan klik : disini).

Mewakili team editorial, kami mengucapkan terima kasih kepada George Junus Aditjondro, yang tulisannya telah ”dicomot” lalu dipublikasikan di situs ini. Dan hanya diberitahu (dimintai izin) via sms. Terima kasih pula kepada Firman Hamidi, ditengah kesibukannya masih meluangkan waktu untuk menulis. Begitu pula kepada Mufidah yang setia menulis secara rutin untuk situs ini.

Akhirnya kami mengucapkan selamat membaca. Semoga artikel-artikel tadi bisa bermanfaat bagi Anda semua. Salam..

A/n. Team Editorial

Sastra untuk Merangsang Sosial Sence

Sebuah Alternatif Pendidikan

Oleh MUFIDAH

PERKEMBANGAN dunia audio-visual yang semakin canggih, tidak urung membawa dampak negative. Terlebih bagi remaja. Tanpa sikap bijak, kelompok usia ini menikmati produk audio-visual yang miskin social sense. Sayangnya, dunia pendidikan yang harus menjadi filter (penyaring), malah tidak peka dengan kondisi itu. Pendidikan kita tidak sensitif dengan muatan media eleketronik.

Sinetron cinta remaja misalnya. Dengan pongahnya TV menanyangkan kisah kasmaran pelajar SLTP lengkap dengan atribut kemewahan seperti mobil atau sepeda motor. Pelukan, ciuman, “kabur” dari kelas pelajaran, berpesta pora bahkan “hamil” dipertontontakan sebagai hal yang lumrah. Ironisnya hal-hal itu coba ditampilkan untuk menghasilkan kesan “bagus”. Kalo tidak “kabur” tidak cool (keren) begitu image nya.

Dengan mengangkat kisah cinta remaja yang penuh dengan kesan modis dan glamour. Angka-angka penjualan produk pakaian ikut terdongkrak. Kafe-kafe dengan prinsip fast food (makanan cepat saji) segera menjamur. Tempat-tempat seperi ini menjelma sebagai icon tempat nongkrong usia remaja. Produk kecantikan kemudian menjadi perlengkapan wajib pelajar putri. Di tas sekolah mereka tidak lagi berisi buku atau pulpen, tapi sudah make up dan hand phone seri tercanggih..

Pengusaha pertelivisian begitu lihai membidik konsumen dengan menyuguhkan produk yang lagi ‘in’ dipasaran. Begitu sinetron menjelit seperi kisah cinta remaja. Dimana peran yang dimainkan selalu tidak jauh dari remaja yang hedon, bermobil, gaul, HP bermerek dan aneka macam kemewahan yang lain. Lalu para agen produk iklan langsung antri untuk memasang iklan produk mereka. Logika seperti ini jelas, tak lebih dari logika bisnis.

Dampak negatifnya, remaja secara tidak disadar mengikuti seperti apa yang diperankan si tokoh dalam cerita (sinetron). Prinsip what I want not what I need menjelma menjadi ideologinya anak-anak usia tanggung itu. Konsumerisme menjadi agama baru. Di Tegal contohnya, seorang sisiwi nekat bunuh diri hanya karena malu akibat diejek teman-temanya,“Hari gini nggak punya handphone,” (Jawa Pos, 27/05/07).

Keith Kester dalam Media Culture and Morality (Kompas,10/12/07) melihat media massa terutama televisi, telah meninggalkan misi utamanya yaitu : mengembangkan nilai humanisme. Nilai budaya dan humanisme diganti dengan nilai bisnis dan komersil. Pada akhirnya, nilai ini hanya bermuara pada meraup keuntungan sebanyak-banyaknya (profit and entertainment oriented).

Sayangnya, penonton kita seakan dimanjakan dengan tayangan hedonisme. Tayangan yang justru bernilai humanisme, cenderung tidak laku di pasaran. Sebut saja film Perempuan Punya Cerita yang hanya bertahan 4 hari di bioskop. Karena film ini sepi peminat, pengelola bioskop pun tidak mau rugi. Film ini segera dipaksa angkat kaki dari gedung-gedung pertunjukkan.

Tida bisa dipungkiri tayangan audio-visual merupakan media efektif untuk menanamkan nilai-nilai hidup.Tampilan visual digabungkan dengan audio harus diakui mampu memukau siapa saja. Namun, disisi lain penonton dibuat menjadi pasif.

Penonton tinggal duduk, melek dan mendengarkan dan otak mereka cenderung tidak bekerja. Inilah yang menimbulkan kebiasaan buruk. Otak menjadi sekadar menerima. Sehingga tidak terbiasa bekerja untuk mempertimbangkan apakah yang diterima itu positif atau negatif.

Akibatnya, seperti remaja misalnya, kemampun sentifitas dan kritismenya semakin menumpul. Ujung-ujungnya mereka tidak punya kepedulian dengan lingkungan sosial di sekitarnya.

Semakin kerasnya arus informasi dan dunia hiburan sekaligus dengan efek negatif yang dibawanya. Menunjukkan bahwa kita benar-benar butuh suatu sistim pendidikan yang jelas. Sistim pendidikan yang mampu membekali remaja dengan kemampuan kognitif sekaligus afektif. Namun kenyataannya, saat ini sistim pendidikan kita makin menunjukkan arah yang tidak jelas.

Pendidikan kita hanya mengukur ketercapaian pelajar dari segi kognitif saja. Sedangkan aspek pembangunan karakter yang tidak kalah petingnya cendreung diabaikan. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran penulis, siswa hanya terfokus pada mata pelajaran UAN. Pelajar tidak lagi menggali nilai-nilai dari pelajaran yang lain. Inilah yang membuat siswa memiliki capacity building yang jauh dari apa yang diharapkan.

Apa jadinya negara ini jika generasi nya hanya dicekoki teori tanpa aplikasi. Apa jadinya jika negera ini mempunyai generasi yang tidak peka lingkungan. Generasi yang semakin individualis, konsumtif dan tidak memiliki kecakapan humanis. Dan apakah bangsa ini hanya cukup dengan genaerasi seperti itu ? Bangsa ini membutuhkan generasi yang mampu membawa perubahan yang lebih baik, generasi yang mempunyai social sense yang tinggi.

Mulailah dari sastra

Walaupun perkembangan teknologi informasi begitu pesat. Tetapi buku tetap menjadi media yang tak terkalahkan. Kemajuan sebuah bangsa bukan berasal dari melihat atau mendengarkan, tetapi dari membaca catatan-catatan, buku dan berbagi literatur (AM Fatma).

Prof Nicholas Negroponte dari Massachussets Institute of Technology (MIT) Amerika Serikat. Menyatakan bahwa, membaca buku atau tulisan bisa membangkitkan imajinasi-imajinasi yang lebih menggugah kreativitas yang tidak bisa didapatkan dari proses menonton atau mendengar.

Kita contohkan saja para pendiri bangsa ini (founding father).Mereka besar dan tumbuh dalam ruang lingkup yang tidak jauh dengan buku. Dalam didikan Belanda (dengan kurikulum standar Eropa) yang mewajibkan mereka mengenal karya satra 25 judul dalam 4 bahasa (Inggris, Belanda, Jerman dan Perancis). Soekarno, Sahrir, Agus Salim, mereka tumbuh sebagai “kutu” buku. Hasilnya, mereka dikenal sebagai pemikir besar yang daya intelektualnya abadi dalam peradapan dunia. Sekalipun mereka adalah orang besar, namun jiwa sensitivitas dan sosial mereka sudah tidak diragukan lagi.

Lalu mengapa harus sastra ?

Sifat sastra yang imajinatif dan kreatif dengan alur cerita yang mengalir, dipercaya efektif memperkenalkan dunia buku. Inilah yang selanjutnya menumbuhkan minat membaca buku. Disisi lain, dari kisah yang dilakonkan akan mampu menggiring pembaca untuk : bertanya, menyelami, melakukan analisis dan menyimpulkan. Selain itu gaya bahasa yang estetik diyakini memudahkan pembaca meresapi isi karya tersebut.

Karya sastra juga mempunyai pengaruh besar terhadap perubahan sosial di Indonesia. Sebut saja Maltatuli karya Max Havelaar (1860), melalui novel ini, orang-orang di Belanda menjadi tahu kebobrokan pemerintahan kolonial dan penderitaan rakyat miskin di Hindia-Banten (Lebak-Banten). Selanjutnya novel ini turut mendorong perubahan politik di Hindia-Belanda, sehingga eksploitasi ekonomi tidak lagi dimonopoli pemerintahan kolonial (Horison, Ed.I/2007).

Pada era 60-70an, Pramoedya Ananta Toer lewat Bumi Manusia, melalui kajian histories (sejarah) yang mandalam. Karya nya ini mampu memberitahukan pada pembaca tentang kesetaran manusia dan hak asasi manusia (HAM). Pada tahun selanjutnya kita juga mengenal Sutrdji Calzoem Bahri, Putu Wijaya, YB Mangunwijaya, Ahmad Tohari, Kuntowijoyo, Seno Gumiro Adji Darma dll. Kesemuanya melahirkan karya-karya sastra yang menunjukkan sensitivitas yang tinggi dengan keadaan sosial masyarakat.

Dengan sastra, diharapkan remaja kita akan banyak belajar mengenali problematika social. Inilah yang selanjutnya akan dapat mempengaruhi cara pandang mereka tentang tujuan hidup.

Pertanyaan selanjutnya siapakah yang paling bisa mempengaruhi minat remaja kita untuk membaca? Lagi-lagi mata kita harus tertuju pada dunia pendidikan. Pendidikan merupakan media yang efektif untuk memotivasi remaja untuk menumbuhkan minat baca.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Taufiq Ismail, Jamal D Rahman dan Joni Ariadinata di International School (setingkat SD) di Jakarta. Tentang minat membaca.

Penelitian dilakukan terhadap 3 lokal (kelas) yang muridnya per kelas hanya 12 orang. Hasil penelitian sangat mencengangkan. Dalam rentang waktu 8 bulan, pelajar-pelajar disekolah itu telah membaca sekitar 120 judul buku. Buku wajib yang sudah mereka baca , mereka tuliskan di whiteboard dan dipajang di kelas. Selain itu mereka juga telah menulis sekitar 80-100 judul karangan (baik puisi, cerpen, essai, maupun tulisan tentang pengalaman sehari-hari).

Mengapa mereka mampu membaca dan menulis sekian banyak? Padahal membaca sangat sulit diterapkan pada anak setingkat SD. Coba simak jawaban sederhana salah seorang guru di sekolah itu :

“itu mudah saja kami lakukan, kami menerapkan metode menyimak 10 menit pada setiap pagi hari dan 10 menit sebelum pelajaran berakhir. Guru membacakan buku di kelas, siswa menyimak dan sekaligus ikut membaca buku tersebut. Itu kami lakukan setiap hari, tidak tergantung apakah ada mata pelajaran membaca atau tidak. Setiap hari siswa juga diwajibkan menulis yakni pada tengah hari waktu istirahat siang, mereka dibagi dalam beberapa kelompok karena tulisan tersebut akan didiskusikan antar anggota kelompok”.

International School berupaya agar pelajar-pelajarnya mempunyai minat membaca. Mereka mulai dari buku cerita (buku sastra) dan berkembang pada buku lainnya. Karena tertarik, selanjutnya para pelajar itu idak hanya membaca di sekolah saja. Tetapi mereka juga banyak membaca buku di rumah. Informasi ini diperoleh dari laporan para wali murid. Sayangnya, siswa di International School rata-rata bukan orang Indonesia (Joni Ariadinata, Horison, Ed.I/2007).

Bisa dibayangkan alangkah hebatnya generasi kita, jika mampu melakukan hal sama seperti pelajar di International School itu.

Akhirnya, memang sangat diperlukan komitmen yang kuat dari para pendidik dan pemerintah kita tentunya. Kita membutuhkan kebijakan politik yang mampu mengakomodasi dan menumbuhkan minat baca para siswa. Kita tidak perlu malu mengadopsi sistem yang sudah berhasil meningkatkan minat baca.

Dengan memulai dari sastra diharapkan akan menumbuhkan minat terhadap buku yang lain. Saat ini kita berhenti untuk sekadar memaksa pelajar kita menelan teori. Apalagi ”pemaksaan” itu telah membuat generasi kita semaki mandul social sense. Saatnya untuk berpikir alternatif. Bukanlah dimana kita ada niat, tentu disana ada jalan.

Mufidah, seorang guru yang menyenangi dunia sastra. Tinggal di Blitar, Jawa Timur.