Selamat Natal 25 Desember 2007
dan
Tahun Baru 1 Januari 2008
Ari Krismeri, Mahasiswa peduli perubahan yang tinggal di Tanggerang, Banten.
Dalam sejarah perkurikuluman di
Pada era reformasi, muncul pula kurikulum 2004. Yang ini akrab disebut kurikulum berbasis kompetensi (
Jika melihat runtutan sejarah kurikulum diatas. Terlihat jelas bagaimana setiap periode kekuasaan politik selalu “menciptakan“ metode pendidikan masing-masing. Metode (kurikulum) ini memang sengaja diciptakan untuk mempertahankan dominasi kekuasaan (dari kelompok politik yang berkuasa tentunya). Inilah yang belakangan dikenal sebagai alat haegomoni.
Peran penguasa begitu dominan dalam menentukan arah pendidikan. Contohnya adalah kebijakan pemberlakuan Ujian Akhir Nasional (UAN) sebagai satu-satunya standar kelulusan. Mekanisme UAN ini kerap diprotes karena sangat diskrimintif. Pelbagai artikel ramai mengulas tentang itu. Tapi UAN sepertinya tidak tergoyahkan untuk terus diberlakukan.
Desentralisasi vs Sentralisasi
Pasca reformasi 1998, kata sentralisasi tiba-tiba menjadi sangat “buruk” terdengar ditelinga siapapun. Istilah itu menjadi sederajat buruknya dengan kata komunis pasca 1965. Sebagai gantinya muncul jargon baru yang dikenal sebagai desentralisasi. Istilah ini semakin mengencang gaungnya, seiring pemberlakukan otonomi daerah di Indonesia.
Tidak hanya sektor politik praktis yang tersapu gelombang otonomi. Dunia pendidikan pun tidak mau ketinggalan “mengadopsi“ desentralisasi dalam kehidupannya. Akhirnya munculah istilah KTSP atau kurikulum tingkat satuan pendidikan.
Pemberlakuan KTSP di nilai berbagi pihak cukup membawa angin pada sistem pendidikan di Indonesia. Secara prinsip, KTSP dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi, kerakteristik daerah dan sosial budaya masyarakat setempat. KTSP dianggap sebagai kurikulum otonom yang berbasis kerakyatan. Karena didalamnya dijamin adanya muatan kearifan lokal. Dan yang terpenting, guru diberikan kesempatan untuk memaksimalkan segala potensi yang ada dimasing-masing daerah.
Itulah yang membuat KTSP dianggap paling cocok untuk
Jika KTSP cukup ideal dalam konsep tertulis. Namun tidak demikian dalam aplikasinya. Terdapat banyak paradoks yang menghinggapi KTSP. Meskipun KTSP disusun oleh setiap satuan pendidikan. Namun standar isi dan kompetensinya tetap saja ditentukan oleh pusat. Sehingga KTSP yang dianggap mewakili desentralisasi, pada kenyataannya tetap sentralisme melalui penyeragaman-penyeragaman.
Selain itu pula, standarnisasi kelulusan setiap peserta didik tetap diukur dengan menggunakan UAN yang nota bene bersifat nasional. Ini jelas kontradiktif dengan semangat KTSP yang mengakomodir kearifan lokal sebagai komponen penting pendidikan.
Pada titik ini, keberagaman yang diakui sebagai kekayaan budaya
Padahal, bagaimanapun, perbedaan sosial, budaya dan letak geografis sangatlah mempengaruhi penerimaan akses dan kesempatan. Sangatl tidak adil, tentunya, mengevaluasi peserta didik dengan cara yang sama. Padahal peserta didik itu pada dasarnya mempunyai latar belakang dan kesempatan yang jauh berbeda. Tidaklah etis secara serta merta menyamakan kualitas pendidikan di desa dengan perkotaan. Ini jelas tidak fair.
Bisa dipastikan KTSP yang desentralis, akan mati kutu jika berhadapan dengan UAN yang sangat sentralistik.
Global vs Lokal
Melestarikan kearifan lokal, tidak bisa dipungkiri merupakan suatu keharusan. Namun memiliki pengetahuan dan teknologi yang bersifat global juga mutlak diperlukan. Kalau tidak mau negara ini dianggap ketinggalan zaman.
Jadi, lembaga pendidikan seperti sekolah, selain dituntut menyajikan materi yang sifatnya lokal. Disini lain juga dituntut untuk juga menyajikan materi pengetahuan global. Keduanya seperti dua kaki yang harus berdiri sama tinggi, jika tidak maka akan timpang. Dari sinilah kemudian populer jargon :‘Think Globally act locally’.
Sejurus dengan jargon itu, lembaga pendidikan kemudian berlomba-lomba meningkatkan mutunya. Bahkan ada yang membuka kelas dengan taraf internasional. Dan tentun pula peserta didiknya dipaksa untuk bertaraf “internasional“.
Tapi sekolah semacam SBI (sekolah bertaraf internasional) pastilah memerlukan biaya yang besar. Dan ini berimbas pada semakin menjauhkan akses. Akhirnya sekolah-sekolah semacam ini hanya untuk anak-anak “gedongan“. Ujung-ujungnya kembali lagi, ketimpangan antara si miskin dan si kaya yang terjadi.
Ironisnya logika itu pula yang dianut pemerintah. Dunia pendidikanpun digenjot untuk menghasilkan lulusan yang kemampuannya sejajar dengan dunia belahan lain. Melaluin UAN, peserta didik didorong mempunyai kemampuan untuk menghadapi tantangan global.
Sayangnya pemerintah seperti orang mabuk yang sedang marah. Main hantam kromo saja tanpa melihat realitas. Usaha pemerintah menggejot mutu lulusan tidak dibarengin dengan pemberian akses yang berimbang. Si miskin hanya dipaksa untuk cerdas tanpa diberikan suplemen-suplemen lain yang secara gampang bisa diakses oleh sikaya. Belum lagi tantangan untuk melestaraikan budaya dan kearifan local. Sering berlawanan dengan watak developmentalis yang dianut dunia global. Pendidikanpun terjebak pada lingkaran paradoks.
Pemerintah juga terkesan setengah-setengah dalam melaksanakan program. Bukan sekali pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tumpang tindih. Toh, ujung-ujungnya warga miskinlah yang menjadi korban.
Carut marut kurikulum ini harus mendapat perhatian serius. Bagaimana pun lembaga pendidikan bukan hanya membekali peserta didik dengan kemampuan kognitif saja. Tapi juga kemampuan afektif. Karena itu pendidikan harus membuat manusia semakin menjadi manusia. Pendidikan yang tidak tidak seperti itu, tidaklah pantas disebut pendidikan. Tapi lebih tepatnya disebut : pembodohan.***
SEMBILAN tahun sudah reformasi telah berjalan. Reformasi yang menawarkan kebebasan pendapat dan berpolitik. Reformasi yang konon membawa angin segar bagi rakyat Indonesia.
Namun, disisi lain, kebebasan berpendapat dan berpolitik ternyata membawa ironi . Kebebasan hanya dinikmati oleh para akademisi dan para elit politik. Pada level akar rumput, kebebasan itu dirasa tidak membawa kabar baik dan menentramkan.
Warga merasa tidak butuh kebebasan berpendapat. Jika jaminan akses dan peningkatan taraf perekonomian, masih sebatas omongan dan khayalan. Bagaimanapun, rakyat butuh kepastian ekonomi.
Mengutip artikel Malik Ruslan di harian Kompas bertajuk Gatra Ekonomi Pembangunan Demokrasi. Malik menuliskan bahwa ternyata reformasi yang didesakkan pada masyarakat, terjebak pada kebutuhan untuk menghembuskan kebebasan politik (logika politik). Padahal dalam kondisi perekonomian yang timpang, rakyat lebih mementingkan kesejahteraan dan keamanan ekonomi (logika ekonomi)
Kenyataan ini membuat saya teringat pada kuliah Psikologi Kepribadian yang pernah saya kecap di bangku kuliah. Dalam kuliah itu dibahas teori Motivasi Abraham Maslow, seorang humanis pertama pada aliran psikologi barat. Teori Maslow menyebutkan bahwa setiap manusia mempunyai hirarki need, dimana need terbawah memotivasi seseorang untuk mencapai need selanjutnya.
Hirarki need tersebut dibagi dua yaitu basic need dan metaneed. Basic need meliputi : (1) physiological need, meliputi kebutuhan untuk makan, minum dan sex. Need pertama ini berhubungan dengan kebutuhan homoistatis manusia. (2) safety need, meliputi kebutuhan akan jaminan keamanan, perlindungan dan kebebasan dari rasa takut seperti kepemilikan rumah. (3) love/belongingness need, meliputi kebutuhan untuk mencintai, dicintai dan menjalin hubungan dengan orang lain. (4) self esteem need, meliputi kebutuhan untuk dihargai, diapresiasi dan diterima oleh orang lain.
Sedangkan metaneed yaitu self actualization need, meliputi kebutuhan untuk menyalurkan bakat dan keinginan secara maksimal sehingga seseorang dapat mecapai puncak potensinya (peek experience).
Jika mencoba melihat apa yang terjadi di
Angka-angka itu bisa menjadi ukuran (parameter). Basic need warga yang meliputi kebutuhan makan, minum, hunian, keamanan dan keselamatan mereka belum terpenuhi. Angka-angka itu pula bisa menjadi acuan besaran warga yang tidak mempunyai akses terhadap pelayanan yang memadai.
Salah satu contoh yang bisa dilihat secar kasat mata adalah petani. Setiap saat harus mengerut kening karena antara biaya produksi dan hasil tidak seimbang. Pedagang di pasar harus terima saja kalau dipungli atas nama “keamanan“. Atau bagaimana raut pedagang kali lima (PKL) yang ketakutan setiap kali Polisi Pamong Praja mengusur mereka. Bukan pemandangan aneh jika mereka kerap kucing-kucingan.
Ini bukan film india yang dipenuhi kisah tragis. Inil adalah kisah nyata di depan mata. Warga negara yang tergusur di negeri sendiri. PKL diusir dengan alasan keindahan kota. Petanipun ditembaki dari lahannya demi industrialisasi.
Lalu dimana kebebasan yang dihembuskan reformasi itu? Kapan rakyat bisa tenang tanpa harus bingung memikirkan,“ mau makan apa kami besok?“ Siapa pula yang menikmati “kebebasan“ itu.
Saya harus menuliskannya dengan gamblang. Mereka yang terpenuhi basic need, baik physiological,safety,love need lah yang menikmati itu semua. Karena mereka lebih mempunyai waktu untuk memikirkan hal lain. Mereka tidak perlu memikirkan bagaimana memenuhi kebutuhan dasar mereka. Sebut saja politikus atau akademisi. Mereka tidak lagi berpikir apa yang harus dimakan, dimana harus tidur . Merekapun bisa membayar orang untuk siaga 24 jam menjaga dari segala gangguan.
Kini kerap terdengar anekdot yang mengatakan SBY bukannya kepanjangan dari "Susilo Bambang Yudoyono" tetapi "Susilo Bambang Nyudonyowo" (mengurangi nyawa). Mengingat semenjak SBY berkuasa, berbagai bencana silih berganti menderea. Tak hanya becana alam, bencana sosialpun terjadi
Rakyatpun tiba-tiba rindu dengan pemerintahan Soeharto. Kerinduan itu bukan tanpa alasan. Kestabilan perekonomian di masa itu sulit ditukar dengan kebebasan politik saat ini. Senada dengan itu, Malik menulis kembali,“... bahwa mendesakkan reformasi pada rakyat yang papa, akan menimbulkan keragu-raguan rakyat pada reformasi dan demokrasi. Pemulihan stabilitas ekonomi merupakan jalan untuk menegakkan reformasi di Indonesia karena demokrasi sejati hanya lahir pada kondisi perekonomian yang stabil.“
PR besar bagi SBY-Kalla bahwa reformasi tanpa perbaikan sistem perekonomian yang memihak rakyat. Hanya akan menyisakan penderitaan rakyat. Kini tantangn besar ada dipundak Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif untuk melakukan itu.
Tapi kita tidak boleh hanya menunggu dan menyerahkan urusan itu mentah-mentah kepada negara. Kita punya turut berpartisipasi mendidik rakyat dengann pendidikan politik. Warga harus dicerahkan pemikirannya untuk memperjuangkan hak-haknya
Pendidikan politik akan mentrasformasikan kesadaran rakyat dalam memahami reformasi dan demokrasi. Sehingga demokrasi di negara ini tidak milik segelintir orang (oligarki). Negara ini punya ku, punya mu dan punya kita semua. ***
Kemerdekaan, sebagai Modal Awal
KEMERDEKAAN, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti terbebas dari perhambaan dan penjajahan bangsa lain. Dalam Undang Undang Dasar negara kita tertulis bahwa kemerdekaan sebagai pintu gerbang bagi kehidupan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur, dan negara Indonesia berkewajiban untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia
melalui susunan negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat berdasarkan
Pancasila.
Membangun Manusianya dan Kondisi Sekarang
Untuk mencapai visi bangsa dalam Pembukaan UUD tadi, menjadi misi
pemerintah untuk menjabarkannya ke dalam perencanaan jangka panjang,
jangka menengah dan jangka pendek dengan target dan indikator yang
jelas. Rencana pembangunan berkelanjutan tadi harus menempatkan
manusia, yakni seluruh warga negara
ras, agama, serta embel-embel lainya, sebagai subjek sekaligus objek
pembangunan, dengan membangun manusianya.
Melihat kondisi bangsa kita saat ini, dimana masalah kemiskinan,
ketahanan pangan -- ketersediaan pangan yang sehat dan terjangkau,
kebodohan -- kualitas pendidikan pembentuk SDM, korupsi yang
terstruktur , terorisme dan tindak kejahatan, penanganan bencana alam,
wabah penyakit, pengangguran, perdagangan manusia, pelanggaran HAM,
menjadi parameter yang jelas bahwa pemerintah masih gagal mewujudkan
misi yang diembannya.
Strategi Yang digunakan
Pemerintah sebagai pengelola negara mesti mampu mempertimbangkan
kelebihan, kekurangan yang dimiliki oleh bangsa, dalam membuat
strategi guna menangkap sebanyak mungkin peluang yang ada, sekaligus
membuat strategi alternatif yang jitu bila berjumpa dengan
kendala-kendala. Menurut Gunnar Mirdal, suatu desain yang
berkelanjutan, memiliki keempat unsur yang berurutan sebagai kerangka
yang tidak bisa dibantah, yaitu harus relevan (saling terkait,
dirasakan langsung), kemudian signifikan (penting dilakukan), lalu
harus logis (masuk akal), dan terakhir harus realistis (wajar).
Langkah Konkrit
Kondisi yang dihadapi pusat maupun daerah sangat berat, sehingga
dibutuhkan tim yang solid dan berkualitas dengan pemimpin yang
berkarakter kuat, memiliki visi jelas, inovatif, integritas tinggi,
mampu mengambil keputusan yang tepat secara cepat. Yang mendesak
untuk dilakukan pemimpin negara dan daerah, yang pertama, melakukan
perombakan mendasar terhadap sistem birokrasi yang lamban, kurang
bermutu, korup, serta bermental feodal menjadi birokrasi yang efektif,
efisien, ekonomis dan memiliki mental melayani. Langkah awal yang bisa
memaksa pembenahan birokrasi, misalnya mengeluarkan aturan tentang
sistim penggajian pegawai yang salah satunya didasarkan atas kualitas
hasil kerja, serta menerapkan reward and punishment dengan kriteria
yang jelas. Kedua, Pengelolaan setiap anggaran, sejak perencanaan,
pelaksanaan hingga evaluasi juga harus dilaksanakan secara
partisipatif, transparan, berasaskan keadilan, akuntabel, efektif,
efisien & ekonomis, rasionalitas sebagaimana diatur dalam pasal 3 UU
17 tahun 2003. Untuk memberantas korupsi, seluruh birokrat dan
pegawai diwajibkan menandatangani kontrak berisi kesediaan dicopot
jabatannya jika terlibat korupsi, kemudian diberi sangsi hukuman
seumur hidup dan dianugerahi gelar kanibal pemakan sesama. Ketiga,
penegakan hukum, agar hukum menjadi hamba kebenaran, seluruh aparat
penegak hukum juga diwajibkan menandatangani kontrak berisi kesediaan
dicopot jabatannya jika terlibat mafia peradilan, diberi sanksi
hukuman seumur hidup dan diberi gelar sebagai penjahat bangsa.
Keempat, bagaimana mengurangi angka kemiskinan, merubah paradigma
developmentalisme dengan sekali lagi menjadikan manusia sebagai subjek
pembangunan. Pemerintah harus mampu menghilangkan ketimpangan Jakarta
– Irian barat, bagaimana nelayan atau petani di daerah tertinggal bisa
mencontoh temen-temannya di lereng merbabu (sudah punya website
sendiri).
Bagi rakyat awam yang tidak memiliki posisi dan jabatan, tugas mengisi
kemerdekaan dapat dilakukan melalui Lembaga Swadaya Masyarakat, untuk
bersama-sama pemerintah melakukan penguatan pada masyarakat yang
miskin, bodoh dan terpinggirkan. Bila menemui penyimpangan,
ketidakbenaran, kaum muda harus berani meluruskan, sebagaimana dulu
dipesankan Soe Hok Gie: kini mereka telah menghianati perjuangannya
sendiri, kita generasi muda ditugaskan untuk memberantas generasi tua
yang mengacau. Melakukan sesuatu yang sederhana, semacam tidak makan
gaji (upah) buta, membayar pajak, tertib berlalu-lintas, tidak
membuang sampah sembarangan juga merupakan hal tak kalah luhur
dibanding hal-hal bersifat patriotik.
Terakhir, saya ingat satu nasehat bijak, nasibmu kumpulan dari
tindakanmu, dan itu hanya dua, buruk dan bahagia. Ayo bertindak ...
Merdeka !
Pembaca yang budiman, senang sekali bisa menyelesaikan
artikel yang berjudul "Pendidikan Gratis Vs "Political
Will"?" ini. penulis menyadari tulisan ini masih
banyak kekurangan, maka kritik dan saran sangat
diharapkan oleh penulis mengenai topik yang diangkat
ini.
Oleh ERIX HUTASOIT
”… dosen-dosen ekonomi di Universitas telah “berdosa” mengajarkan ilmu ekonomi secara keliru atau bahkan mengajarkan “ilmu ekonomi yang keliru”.” (Prof.Mubyarto, 2003)
KALAU Anda penduduk
Jika Anda membaca secara seksama isi spanduk itu, pasti Anda akan menemui kalimat,”Orang Bijak Tidak Golput.” Bagi penulis, makna kalimat seperti ini sangat kacau dan diskriminatif. Kalimat ini jelas telah ‘menghakimi’ orang-orang yang tidak menggunakan hak konsitusinya dalam pemilu (golput) sebagai orang yang tidak bijak.
Ironisnya, kalimat itu terpampang jelas bersama logo Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebuah lembaga negara yang dibiayai publik untuk mensosialisasikan dan menyelenggaran pemilu. Tapi dalam konteks kalimat tadi, KPU malah terkesan seperti lembaga ‘tafsir’ yang menentukan mana warga negara yang bijak dan mana yang tidak bijak.
Apa yang dilakukan KPU ini mirip prilaku Orde Baru (Orba) lewat konsep Negara Kekeluargaannya. Konsep ini menurut Arief Budiman (2006) dalam,”Mitos dan Ideologi di Indonesia,” menempatkan negara sebagai kepala keluarga atau “bapak” dan warga adalah anak-anaknya. Warga tidak dibiarkan punya kekuasaan penuh. Ini akan jadi anarki, karena mereka masih anak-anak (masih bodoh), belum tahu apa yang paling baik bagi mereka. Pengetahuan ini hanya dimiliki oleh sang bapak.
Bapaklah yang paling mengetahui apa yang dibutuhkan oleh anak-anaknya. Dan bapak pula yang berhak menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Mana yang harus dilakukan dan mana yang harus disingkirkan.
Sang bapak dalam setiap kesempatan terus mengingatkan pentingnya stabilitas politik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Kita tidak boleh banyak bertikai. Mari satukan langkah dalam derap pembangunan ekonomi. Kalau ada yang tidak sederap, dia itu adalah orang yang mau menyabot pembangunan. Dia adalah musuh rakyat. Termasuk orang yang selalu membicarakan soal hak asasi manusia. Bukan karena pemerintah anti kepada hak asasi manusia, tapi dalam era pembangunan ini, hak tersebut hendaknya tidak terlalu diutamakan, katanya.
Celakanya prilaku sang bapak ini memasung kebebasan sipil dan politik serta mematikan demokrasi. Tafsir ‘kebenaran’ sang bapak telah pula memakan korban jutaan jiwa warga negaranya. Warga negara (anak-anak) yang berseberangan dengan sang bapak diposisikan layaknya musuh. Kemudian secara sewenang-wenang di penjara atau di bunuh. Prilaku sang bapak inilah yang selama 32 tahun dikenal sebagai kediktatoran rejim Orde Baru.
Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, akhirnya konsep Negara Kekeluargaan ini harus berakhir secara tragis. Di tahun 1998, sang bapak (Orba) dilengserkan oleh anak dan cucu sendiri yang bernama rakyat Indonesia. Dan konsep sang bapak yang dulu di puja dan digugu serta ditabukan untuk dibahas. Kini dikritik habis-habisan bahkan ditempatkan sebagai catatan buruk sejarah bangsa ini.
Hal serupapun bisa menimpa KPU, jika lembaga ini ikut-ikutan keliru ‘menafsir’ hak konstitusi warga negara. Pada hal, sudah sangat jelas bahwa memilih (menggunakan hak pilih) dalam pemilu adalah hak konstitusi warga secara perseorangan. Hak yang dilindungi secara hukum. Sebagai sebuah hak, setiap warga berotoritas penuh untuk menggunakan atau tidak menggunakan sama sekali hak tersebut alias golput.
Golongan putih (golput) bukanlah fenomena baru di Indonesia. Ia muncul pertama sekali di tahun 1971. Beberapa tokoh nasional pernah mengagas gerakan golput ini, mereka adalah Adnan Buyung Nasution, Julius Usman, Arief Budiman, Asmara Nababan. Bahkan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) melalui Kardinal Julius Darmaatmadja, dalam surat Gembala Pra Paskah 1997, pernah menulis,”…Anda tidak berdosa apabila tidak memberikan suara.”
Fenomena golput bukan pula hal yang aneh, tabu apalagi kriminal. Di negara yang mengagungkan demokrasi prosedural (pemilu) seperti Amerika Serikat (AS) saja, angka golput juga tidak pernah beranjak (berkurang) dari 40 persen.
Hasil studi The Committee for Study of the American Electorate di tahun 2001, melansir di 16 negara bagian dari 50 negara bagian di seluruh AS, hanya 16,2 persen eligiable voters (pemegang hak pilih) yang mendatangi tempat pemungutan suara. Bahkan tiga tahun sebelumnya angka eligiable voters yang berpartisipasi malah jauh lebih rendah.
Jika pertanyaannya,” Mengapa golput bisa muncul?” Maka ada dua keadaan yang menyebabkan itu. Pertama, karena faktor tidak sengaja. Hal ini bisa terjadi dalam bentuk (1) Warga tidak terdata sebagai calon pemilih, penyebabnya bisa saja karena berpindah domisili. Ini yang menyebabkan warga kehilangan hak pilih (2) Warga sudah tercatat sebagai calon pemilih, namun meninggal dunia (3) Warga melakukan kekeliruan pada saat melakukan pencoblosan, sehingga hak suaranya dianggap batal.
Kedua, sengaja untuk golput. Kondisi kedua ini dapat terjadi dalam bentuk (1) Warga sengaja menghindari pendataan atau sengaja tidak terdaftar sebagai calon pemilih (2) Warga yang sudah terdaftar tapi pada hari pelaksanaan, si warga tidak menggunakan hak pilihnya (3) Warga sengaja melakukan kekeliruan agar suaranya dianggap batal.
Untuk keadaan kedua atau sengaja untuk golput, tindakan ini umumnya bermakna politik. Pelakunya (orang yang golput) melakukannya sebagai bentuk ‘perlawanan’. Perlawanan itu bisa saja dipicu dengan berbagi alasan, misalnya (1) Perlawanan terhadap mekanisme politik yang terjadi saat itu, seperti yang dilakukan Arief Budiman di tahun 1971 yang memboikot pemilu karena Masyumi dan PSI dilarang mengkuti pemilu (2) Figur – figur yang muncul di pemilu dianggap tidak kredibel, seperti yang dilakukan Prof. Bactiar Hasan Miraza di tahun 2004. Prof. Bactiar merasa kecewa karena banyak calon legislatif yang menggunakan ijasah palsu, sehingga dia merasa ‘ogah’ memilih orang-orang seperti itu.
Menurut penulis, golput dalam konteks yang dilakukan Arief Budiman dan Prof. Bactiar Hasan Miraza adalah pilihan sadar (rasional). Mereka melakukannya berdasarkan analisis dan alasan tertentu. Yang secara logika dapat diterima. Karena itu, penulis menggolongkan golput model seperti ini sebagai pilihan bijak.
Dari sini pula penulis berangkat bahwa asumsi orang bijak tidak golput, tidaklah tepat. Golput adalah produk politik, sehingga harus juga dipahami dalam konteks politik. Golput janganlah dicampur-adukkan dengan konteks moral agar pemaknaannya tidak bias dan rancu.
Sebagai catatan kritis bagi KPU dalam menggelar tahapan pilkada, terutama dalam tahapan sosialisasi. Hendaknya KPU lebih selektif dan kreatif lagi dalam mengemas komunikasi politik. Terkhusus dalam memilih kalimat-kalimat yang akan dimunculkan di wilayah publik. Jangan main asal tayang saja.
Penulis percaya anggota KPU Sumatera Utara saat ini tidak perlu lagi diragukan kemampuan dan intergritasnya. Mereka pasti mengerti bagaimana harus mengemas komunikasi politik yang baik dan mendidik. Dan pastinya mereka juga paham bagimana memaknai sebuah kritik. Akhirnya, penulis mengucapkan selamat bekerja untuk anggota KPU Sumatera Utara. Semoga sukses menggelar Pemilihan Gubernur Sumatera Utara periode 2008/2013. (***)
Pustaka :
BARU saja ribuan calon mahasiswa baru tahun 2003 selesai mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Dengan keyakinan penuh, setiap calon bersaing memperebutkan satu bangku di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Sekilas perjuangan mereka (calon mahasiswa baru ini) sangat menyentuh dan benar-benar menunjukkan betapa pendidikan memiliki arti penting.
Tetapi cerita menyentuh ini akan segera berakhir ketika hasil SPMB diumumkan kelak. Akan ada cerita senang, bagi mereka yang dinyatakan diterima. Akan ada pula cerita sedih bagi mereka yang gagal. Namun di balik kedua cerita ini, mereka dihadapkan dengan satu permasalahan baru yaitu mahalnya biaya pendidikan.
Sedikit beruntung bagi mereka yang diterima di PTN, walau biaya pendidikan di PTN sebenarnya sudah tergolong mahal, namun setidaknya masih lebih murah ketimbang di Perguruan Tinggi Swasta (PTS).
Bagi kelompok warga yang cukup mampu secara keuangan, biaya pendidikan yang mahal di PTS mungkin tidak begitu dipersoalkan. Tapi bagi 40 juta warga
Kondisi ini jelas menciptakan kesenjangan sosial dalam tatanan kehidupan warga. Bahkan fenomenanya kini, PTN yang harusnya ‘dikuasai’ warga yang pas-pasan, kini malah di banjiri anak-anak dari warga yang tergolong mampu (kaya).
Lantas mereka yang miskin di mana? Satu dua tiga orang dari kelompok warga yang miskin ini ada juga yang bisa masuk PTN. Tapi kalau mau jujur dihitung, jumlah mereka yang tidak bisa berkuliah dari golongan miskin jauh lebih banyak.
Ironisnya lagi, tidak hanya jalur SPMB yang didominasi kelompok warga yang mampu ini. Akses lain untuk duduk di PTN melalui jalur khusus juga mereka borong. Walau angka yang harus di bayar sangat mahal, berkisar Rp. 15 juta sampai Rp. 150 juta (Media Indonesia,19/6/2003), tapi tetap saja jalur khusus ini ramai peminat.
Apa yang terjadi dalam realitas pendidikan saat ini, tidaklah lepas dari trend globalisasi. Sebagaimana yang di catat sejarah, globalisasi berawal dari GATS (Global Agreement on Trade and Tariffs) yang dicanangkan tahun 1994 oleh 140 negara. Kesepakatan inilah yang pada tahun 1995 melahirkan World Trade Organization/WTO (organizasi perdangangan dunia).
WTO pada dasarnya dilahirkan untuk meningkatkan liberalisasi perdagangan internasional. Soekartwati (2003) dalam artikelnya WTO dan Globalisasi Pendidikan, mencatat 12 sektor yang dimasukkan sebagai ‘produk’ dagang WTO. Yaitu bisnis, komunikasi, distribusi, pendidikan, lingkungan, keuangan, kesehatan, turisme, transportasi dan jasa lainnya. Sejak itulah pendidikan kemudian berubah wajah dari aktivitas sosio budaya menjadi aktivitas bisnis.
Perubahan Fungsi Pendidikan
Margiyono (2002) dalam artikelnya Menghadapi Globalisasi Pendidikan, menganalisis perubahan semangat pendidikan
Mariyono mencatat sedikitnya ada 7 (tujuh) perubahan fungsi dalam aktivitas pendidikan
Pertama, fungsi mahasiswa yang semula sebagai sasaran pendidikan atau sumber daya manusia yang dikembangkan potensinya untuk membangun masyarakat. Berubah menjadi konsumen atau pembeli produk pendidikan. Ini dimaksudkan sebagai prasyarat memasuki dunia kerja.
Kedua, fungsi dosen yang semula sebagai pendidik dan pengembang ilmu pengetahuan berubah sebagai pekerja.
Ketiga, fungsi rektorat yang bertindak untuk mengelola dan mengembangkan mutu pendidikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Berganti menjadi manajer bisnis pendidikan.
Keempat, fungsi yayasan yang bertujuan mengabdi kepada kepentingan masyarakat untuk menyalurkan ide dan gagasannya. Berganti menjadi investor atau penanam modal untuk mencari laba (profit oriented) .
Kelima, SPP yang berfungsi sebagai sumbangan dana untuk mengembangkan pendidikan (bentuk partisipasi warga dalam pendidikan). Berubah menjadi income atau sumber laba.
Keenam, Ijasah atau gelar yang berfungsi sebagai tanda bukti kelulusan untuk penghargaan. Berganti menjadi tanda bukti kelulusan untuk komoditas. Ijasah seolah-olah menajadi ukuran mutlak kualitas seseorang dan alat ukur untuk memasuki dunia kerja.
Ketujuh, negara yang seharusnya berfungsi membiayai dan mensubsidi (untuk swasta) pelaksanaan pendidikan guna mengembangkan SDM bangsa. Beralih fungsi menjadi penyedia iklim yang kondusif agar bisnis pendidikan berkembang. Negara bertindak layaknya jasa security (keamanan) yang siap segera menindak siapa saja yang ‘mengganggu’ aktivitas bisnis pendidikan ini.
Analisa Margiyono ditulis berdasarkan pengaruh program Structural Ajust Programme/SAP yang dicanangkan Dana Moneter Internasional/IMF. Melalui SAP, IMF memaksa pemerintah
Itulah sebab mengapa pemerintah mampu mengalokasikan 22,8 persen APBN 2003 (sebesar Rp. 80.887.40 Milyar) untuk pembayaran ULN. Sedangkan untuk subsidi untuk sekitar 220 juta warga
Dalam konteks pendidikan tinggi, pemotongan subsidi menyebabkan kemampuan perguruan tinggi (PT) baik negeri maupun swasta menurun drastis. Untuk PTS penuruan ini ditutupi dengan menaikkan biaya pendidikan. Untuk PTN, penurunan ini ditutupi juga dengan menaikkan biaya pendidikan serta membuka akses keuangan lain. Pembukaan akses lain inilah yang mendorong PTN berubaha menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Perubahan ini membuat PTN tidak ubahnya seperti Badah Usaha Milik Negara (BUMN) yang tujuannya mencari keuntungan.
Lalu pertanyaan kita semua,” Apakah setelah pendidikan ikut dibisniskan, lantas mutu pendidikan meningkat?” Menjawab pertanyaan ini, penulis mengutip buku Mc.Donaldlisasi Pendidikan Tinggi tulisan Heru Nugroho (2002) Direktur Program Pasca Sarjana Sosiologi Universitas Gajah Mada (UGM).
Buku ini sendiri diterbitkan tepat setelah UGM berubah menjadi BHMN. Menurut Heru Nugroho, UGM mengalami kegamanang pasca ditetapkan sebagai BHMN. Heru menulis,”Ternyata para petinggi yang berkuasa di UGM tampaknya sedang bingung dalam menterjemahkan arti kata “otonomi pendidikan” (satu konsep yang muncul dari trend demokratisasi, otonomi daerah dan desentralisasi).”
UGM yang dianggap sebagai PTN terbaik di Indonesia pasca terbitnya PP No.153 tahun 2003 tentang perubahan status hukumnya, terus mengalami degradasi kualitas. Lihat saja laporan Asiaweek. Bahkan beberapa program studi yang ada di UGM menurut Badan Akreditasi Nasional (BAN) berada di bawah PTN lainnya bahwa di bawah PTS.
Tidak hanya Heru Nugroho yang angkat bicara, Prof. Mubiarto juga mengungkapkan ‘keprihatinannya’. Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM ini mengatakan bahwa dosen – dosen di fakultas ekonomi UGM tidak pernah lagi membaca buku semacam The Principle of Teaching Economics, akibatnya dosen cenderung mengajarkan ilmu ekonomi yang dipelajarinya dari luar negeri, semisal Amerika Serikat (AS), dan memberikan contoh luar negeri itu kepada mahasiswanya. Pada hal pada praktiknya, model AS berbeda dengan kondisi Indonesia, akhirnya sarjana – sarjana yang ditamatkan tidak mengerti permasalahan ekonomi yang dialami Indonesia.
Kegelisahan Heru Nugroho dan Prof. Mubiarto sangatlah beralasan. Pendidikan yang sejatinya adalah produk idealisme untuk mengembangkan potensi SDM bangsa. Kini berlahan ditinggalkan seiring masuknya semangat bisnis dalam tubuh pendidikan. Pada hal sekalipun pendidikan sudah dibisniskan, tidak ada jaminan mutu pendidikan beserta lulusannya akan lebih baik. Malah dampak umum yang terjadi akibat trend bisnis itu adalah :
Pertama, meningkatnya biaya pendidikan menjadi sangat mahal, sedangkan kualitas pendidikan tidak meningkat. Lalu akses untuk memperoleh pendidikan semakin terbatas, bahkan dikhawatirkan hanya dikuasai sekelompok kecil warga yang mampu secara keuangan.
Kondisi ini sangat berbahaya untuk jangka panjang. Pembatasan akses ini secara pasti menciptakan gap/pemisahan diantara warga yang bisa memicu rasa sentimen dan rasa ketidakadilan. Inilah yang kelak akan menciptakan konflik-konflik sosial diantar warga.
Kedua, munculnya trend baru dikalangan masyarakat melalui pendidikan instant, bahkan jual beli gelar dll.
Ketiga, peningkatan biaya pendidikan, tidak secara otomatis meningkatkan upah pekerja di sektor pendidikan seperti dosen, pegawai administrasi, staff dll. Karena tujuan bisnis lebih cenderung untuk mengakumulasi modal untuk diputar kembali demi pencapaian keuntungan sebesar-besarnya.
Di akhir artikel ini, penulis menyarankan agar kita belajar dari Sindicato deEstudiantes, sebuah gerakan gabungan pelajar/mahasiswa bersama guru dan dosen di Spanyol. Mereka bersama-sama menuntut pendidikan tetap sebagai hak warga negara yang harus disubsidi negara, bukan sebagai priveles atau komoditas yang penyediaannya diserahkan begitu saja kepada publik.
Refleksi bagi kita semua, selama pendidikan masih dijadikan komoditas bisnis, maka selama itu pula bangsa ini tidak akan mampu keluar dari keterpurukan.(***)
Erix Hutasoit, Editor CEFIL 19. Menyelesaikan pendidikan dibidang ekonomi. Saat ini sedang bekerja untuk lembaga sosial gereja katolik dibidang komunikasi dan advokasi.Erix Hutasoit,”Pendidikan Tinggi Seperti Kapal Pukat Harimau,” Sumut Post, 15 Desember 2002.
Heru Nugroho,”Mc Donaldlisasi Pendidikan Tinggi,”Kanisius, Yogayakarta, 2002.
J.H.Rapar,”Filsafat Politik,” Rajawali Pers, Jakarta, 2001.
Jean Duval,”Pendidikan ; Dari Dasar ke Komoditas,” www.marxist.com
Josep E. Stigilizt,”
Majda El-Muhtaj,”Komersialisasi PTN Ancaman Dilematis,” Harian Waspada, 24 Juni 2003.
Margiyono,”Menghadapi Globalisasi Pendidikan,” www.pds.or.id
M. Dahlan Al Barry,”Kamus Bahasa
Soerkawati,”WTO dan Globalisasi Pendidikan,” www.kompas.com
Suryadi Radjab,”
DALAM perjalanan di atas kereta listrik dari
Selama 120 menit buku terbitan Center for Security and Peace Studies (CSPS) Universitas Gajah Mada (UGM) ini, mampu membuat saya merasakan ketar ketirnya suasana konflik. Kumpulan cerita-cerita para inisiator perdamaian di Poso,
Jurnalisme Perang dan Jurnalisme Damai.
Setelah membaca buku itu. Saya teringat teori jurnalistik yang pernah saya baca. Satu ideologi baru dalam jurnalisme. Peace Jurnalism, begitu ideologi itu di beri nama.
Jurnalisme Damai (JD) awalnya dipopulerkan oleh Prof.Dr.Johan Galtung dalam sebuah kuliah
Masih jelas terlintas dibenak kita perang Irak yang dimulai tahun 2003 lalu. Waktu itu, Amerika Serikat (AS) bersama sekutunya, Inggris, menyerang pemerintahan Saddam Hussein. Dengan dalih, Irak menyimpan senjata nuklir yang konon mengancam dunia. Pasukan Koalisi (AS, Inggris dan sekutunya) lalu memporakporandakan negeri 1001 malam itu.
Namun, perang tidak hanya terjadi di
Media-media AS, terang-terangan membela kebijakan politik George W. Bush. Bahkan media-media itu berusaha menggiring penontonnya ke diskursus "starwars". Dimana kecanggihan perlengkapan perang menjadi fokus utama mereka. Penonton "dihipnotis" seolah-seolah perang hanya pertarungan kecanggihan teknologi, tanpa ada korban dari sipil. Tujuan utamanya jelas, agar penonton mendukung perang Irak.
Disisi berbeda, Al - Jazeera mengangkat pemberitaan korban perang sebagai fokus utama. Cuplikan-cuplikan gambar korban-korban bom AS, memberikan kesan sesungguhnya kepada penonton tentang perang. Al- Jazeera juga menampilkan kekalahan-kekalahan pihak koalisi. Tujuannyapun jelas, membangun semangat anti invasi.
Belajar dari Perang Teluk pertama, ketika Irak menginvasi
Di Indonesia model embded journalist itu pernah terjadi ketika Operasi Darurat Militer II di Aceh tahun 2003. Wartawan yang akan meliput di Aceh diharuskan mengikuti pelatihan militer di markas Kostrad. Bahkan wartawan diwajibkan mengenakan seragam loreng-loreng, tak beda dari tentara sungguhan. Diduga tujuan militer mengeluarkan kebijakan ini, agar wartawan lebih bisa “dikontrol”. Terutama agar berita yang dipublikasikannya tidak "menyudutkan" pemerintahan yang berkuasa. Jelaslah media, menjadi bagian penting dalam perang.
Kembali ke JP . Model jurnalisme ini lebih mengedepankan pada hasil menang kalah (win – lose solutions). Seperti pertandingan olahraga, maka kemenangan merupakan berita besar, begitu pula kekalahan. Logika pemikiran ini diambil dari teori jurnalistik klasik, dimana tugas wartawan adalah,“melaporkan fakta apa adanya.”
Dalam arena konflik, seperti di Poso,
Model perdamaian ala JP sebenarnya tidak lebih dari bom waktu. Kelompok yang sedang “kalah” saat ini, akan menggunakan perdamaian untuk mengumpulkan kekuatan. Disaat kelompok yang “menang” lengah dan merasa diatas angin. Giliran kelompok yang “kalah” menyerang balik. Ini sama saja konflik tidak berakhir.
Bagaimana dengan Jurnalisme Damai (JD)? Menurut Annabel McGoldrick dan Jake Lynch (2000), Jurnalisme Perdamaian (JD) melaporkan sesuatu kejadian dengan bingkai yang lebih luas, yang lebih berimbang dan lebih akurat, yang didasarkan pada informasi tentang konflik dan perubahan-perubahan yang terjadi.
Tujuan utamanya adalah memetakan konflik, mengindentifikasi pihak-pihak yang terlibat, dan menganalisis tujuan-tujuan mereka. Pendekatan JD adalalah memberikan jalan baru bagi pihak-pihak yang bertikai untuk menyelesaikan konflik secara kreatif dan tidak memakai jalan kekerasan. Prinsip ini disederhanakan dengan rumus, perdamaian = non – kekerasan + kreatifitas (Purnawan Kristanto, Jurnalisme yang membawa perdamaian, tt).
Logika JD menggunakan pendekatan menang-menang ( win-win solutions) untuk menyelesaikan konflik. JD percaya, kreatifitas menjadi salah kuncinya. Caranya dengan menyediaan alternatif penyelesaikan konflik. Hal itu diyakini mampu mengurangi konflik sampai menuju titik perdamaian.
Pers dalam logika ini berfungsi membangun debat publik yang sehat tentang kepentingan umum. Alur berpikir JD dimulai dari merumuskan (1) masalah (2)penyebab (3) alternatif penyelesaian (4) evaluasi alternatif (5) pilihan alternatif terbaik (6) sistem dan mekanisme pelaksanaan (7) evaluasi dan feedback. Menurut Prof.Dr.Johan Galtung, hikmah menjadi tujuan akhir dari model jurnalisme seperti ini.
KEPUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberikan celah bagi calon independen, disambut dengan euforia dimana-mana. Bahkan euforia itu kini menjurus menjadi kekeliruan. Seolah-olah calon independenlah solusi dari kemandekan demokrasi yang telah lama mendera
Sejumlah kekeliruan itu berseleweran dalam bentuk opini dipelbagai media
Mari kita periksa satu persatu. Pertama, jika demokrasi sekadar diukur dari bisa tidaknya warga negara terlibat dalam pemilu, itu sama saja ‘mengkerdilkan’ demokrasi menjadi sebatas prosedural. Pemikiran ini tidak beda dengan para Schumpeterian, yang dengan naif, mengukur demokrasi hanya dari ada tidaknya kompetisi dan partisipasi dalam pemilihan umum (pemilu). Negara yang punya pemilu secara reguler dengan sistem multi partai serta melibatkan warga negaranya, secara serta-merta digolongkan sebagai negara demokratis.
Belakangan konsep Schumpeterian ini usang dimakan waktu bahkan tidak lagi ‘akurat’ sebagai acuan demokrasi. Sebab, banyak negara yang sudah melakukan pemilu secara reguler, menganut sistem multi partai dan warganya terlibat dalam pemilu. Namun di negara itu kebebasan sipil dan politik tidak diakui, kesenjangan sosial terjadi dengan lebar, si kaya makin kaya dan si miskin semakin terpuruk. Rejim Orde Baru adalah contoh. Inilah yang dalam politik dikenal sebagai pseudo democracy.
Larry Jay Diamond (1996) dalam Is the Third Wave Over? mengkritik demokrasi ala Schumpeterian dengan menyebutnya sebagai electoral democracy (demokrasi elektoral). Yaitu demokrasi yang hanya terjadi di saat pemilu saja, setelah itu tidak ada lagi.
Kedua, menempatkan Amerika Serikat (AS) sebagai ‘kampiun’ demokrasi, ini jelas keliru kalau bukan kesesatan. Karena seolah-olah, demokrasi di negara seperti AS ‘lebih baik’ sehingga dianggap pantas ditiru. Padahal William I. Robison (2006), profesor sosiologi dan studi internasional dari universitas California, Santa Barbara (AS), pada artikelnya Democrary or Poliarchy menegaskan di AS tidak ada demokrasi yang ada adalah poliarchy.
Bagi pegiat ilmu politik pastilah mengetahui, kalau istilah poliarchy dekat dengan Robert A.Dahl. Namun, dari penelusuran Robinson ditemukan, ternyata poliarchy berakar dari karya klasik Joseph Alois Schumpeter,“Capitalism, Socialism and Democracy.” Inilah teori yang digugu dan dipuja para pemikir demokrasi liberal (liberal democracy) yang terkenal sebagai ‘Schumpeterian’.
Paradigma Schumpeterian yang berpuncak pada Robert A. Dahl ini, menurut Robinson, telah menyebabkan demokrasi menjadi kereta kencana tunggangan elite. Makna dasar demokrasi sebagai kekuasaan (rule/kratos) rakyat (people/demos), lenyap dalam rimbunan belukar birokrasi beserta seluruh aturan mainnya. Suara rakyat, yang berlangsung secara periodik pada akhirnya, hanya dibutuhkan sekadar sebagai sumber otoritas bagi elite untuk melayani kepentingannya sendiri.
Ironisnya, walau teori Schumpeterian sudah usang, namun selalu dan masih ada saja pemikir-pemikir yang setia mempromosikan teori ini. Seolah-olah pilihan untuk meniru demokrasi dari negara kapitalis seperti AS sudah harga mati. Tanpa itu demokrasi dianggap tidak sempurna atau tidak pantas disebut demokrasi.
Logika tiru-meniru seperti ini sebenarnya berakar dari paham ‘ekspor-impor’ demokrasi. Demokrasi diposisikan layaknya barang dagang, seperti sepatu atau kaos kaki, yang dapat ‘dikirim’ atau ‘ditirukan’ kemana saja. Satu diantara pemikir ‘ekspor-impor’ itu adalah Adam Przeworski (1996) seorang teorikus-cum-penulis buku Sustainable Democracy.
Menurut Przeworski demokrasi menjadi stabil jika negara-negara yang sedang mengalami transisi demokrasi mengintegrasikan diri kedalam sistem ekonomi dunia, yang dikombinasikan dengan peniruan ekonomi, politik dan pola kebudayaan di negara-negara kapitalis maju. Konsep ini dikenal sebagai strategi Modernization via Internationalization dan ini pula yang ditiru
Bagaimana hasil nya? merujuk Thomas Carothers (2002) dalam artikelnya The End of The Transition Paradigm, dari 100 negara yang mengalami transisi demokrasi, hanya sedikit sekali (mungkin hanya 20 negara) yang benar-benar menuju demokrasi. Dan sisanya terjebak dalam wilayah politik abu-abu (the political gray zone) dimana demokrasi tidak kunjung tiba namun tidak pula kembali ke masa kediktatoran.
The political gray zone ini ditandai oleh dua sindrom. Pertama, sindrom “feckless pluralism”. Yaitu terdapatnya sejumlah ciri demokrasi seperti kebebasan politik, pemilu reguler dan rotasi kekuasaan antar kelompok politik yang berbeda secara hakiki. Tetapi disisi lain, demokrasi tampak seperti ilusi dan ironi.
Kenapa bisa seperti itu? Coen Husain Pontoh (2005) dalam Malapetaka Demokrasi Pasar, menyebut penyebabnya,” …karena aspirasi rakyat diberi ruang yang terbatas.” Pembatasan ruang itu dilakukan dengan, pertama, desain politik masa mengambang (political floating mass design). Warga dibuat/diposisikan untuk tidak terlibat aktif dalam proses mengambilan keputusan politik-ekonomi. Sekalipun keputusan itu menyangkut hajat hidupnya sehari-hari.
Warga boleh saja ‘berpartisipasi’ asal melalui ‘prosedural’. Namun soal keputusan akhir (final decission) tetap ‘dibajak’ dari dan oleh elite-elite partai politik yang duduk dipelbagai lembaga. Dan keputusan yang diambil dipastikan tidak jauh dari kepentingan segelintir elite ini. Model inilah yang kemudian disebut dengan “rule by the few” atau oligarki.
Kedua, jika warga terus mendesak untuk terlibat secara aktif. Maka alat-alat kekerasan negara akan ‘dilibatkan’ untuk menjamin legitimasi kekuasaan oligarki ini. Itulah sebab dalam menghadapi aksi-aksi buruh, tani dan kelompok warga lainnya, negara kerap menggunakan kekerasan. Bahkan tidak jarang sampai ‘memenjarakan’ atau ‘mematikan’ mereka yang terlibat. Pelbagai peristiwa kekerasan politik seperti penangkapan aktivis, merupakan contoh.
Sindrom yang kedua adalah “dominant-powers politics.” Yaitu terjadinya kekaburan antara kekuasaan negara dan partai berkuasa (atau kekuatan politik yang berkuasa). Negara merupakan aset utama. Artinya, negara menjadi sumber uang, pekerjaan, informasi publik (melalui media negara) dan kebijakan kekuasaan yang secara bertahap aset-aset tersebut ditempatkan untuk melayani secara langsung partai yang berkuasa.
Akibatnya, korupsi dalam skala besar-besaran tidak terhindarkan, kroni kapitalisme menggejala dikalangan elite dan pelanggaran hak-hak sipil dan politik kembali terjadi. Semua kejahatan sosial ini dilakukan demi satu tujuan : “Mempertahankan Kekuasaan.”
Kasus korupsi yang menimpa Rohmin Dahuri, mantan Menteri Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) membuka mata kita. Bagimana uang negara dikerus untuk kepentingan elite politik. Dan modus seperti ini hanyalah salah satu trik dari beragam cara yang ditempuh untuk menguras pundi-pundi negara.
Dalam konteks ini, calon independen juga bisa berprilaku yang sama. Tidak ada jaminan calon independen akan lebih baik dan lebih konsisten. Itulah sebab penulis menilai calon independen bukanlah solusi dari kemandekan demokrasi saat ini. Calon independen hanyalah sebuah alternatif dalam carut-marutnya sistem demokrasi prosedural.
Dari analisis inilah penulis berkesimpulan, kemandekan demokrasi yang mendera Indonesia bukan menumpuk pada,”Siapa yang memimpin.” Tapi lebih pada lemahnya kemampuan warga untuk mengontrol kebijakan penguasa. Warga tidak mampu ‘memaksa’ penguasa untuk memihak kepentingannya (warga). Warga hanya jadi mainan politik elite dikala pemilu tiba, kemudian ditendang begitu pemilu berakhir.
Dari titik ini pula tugas aktivis pro-demokrasi menjadi jelas, yaitu semakin memperkuat posisi warga untuk terlibat dalam pengambilan keputusan. Dan jalannya hanya dengan konsolidasi demokrasi. Merujuk pada Guillermo O’Donnel (1993) dalam Transisi Menuju Demokrasi, jika bicara soal konsolidasi demokrasi maka “Partai Politik” adalah kuncinya. Karena parpol merupakan kendaraan terbaik bagi warga untuk terlibat dalam pengelolaan kekuasaan secara aktual dan effektif.
Selain itu, parpol tidak hanya berfungsi mengawasi pemerintahan yang busuk, tapi juga bersiap mengantikan pemerintahan tersebut. Parpol memiliki isu paling menyeluruh dan menjangkau kelas masyarakat yang paling luas. Parpol tidak bekerja berdasarkan isu tapi bekerja atas dasar kepentingan paling mendasar dari seluruh warga.
Nah, karena itu mari kita tunggu lahirnya parpol baru yang berkarakter kerakyatan. Parpol yang dibangun dari hasil insiatif dan unifikasi (penyatuan) gerakan masyarakat sipil (civil society movement). Ia lahir dari kesadaran warga untuk bersatu dan memperjuangkan haknya. Tanpa itu, warga hanya akan berakhir sebagai penonton dan demokrasi tidak lebih dari mainan para oligarki.(***)
Pustaka :
*) Artikel ini merupakan analisis penulis menanggapi pemikiran tentang calon independen yang bermunculan dipelbagai media massa.
**) Erix Hutasoit, menyelesaikan pendidikan dibidang ekonomi. Alumni Civic Education for Indonesian Future Leaders (CEFIL) angkatan XIX.