
Penulis tinggal di Blitar dan aktif dalam advokasi petani.
Sabtu (16/6/07) salah satu radio swasta Blitar membahas pertumbuhan ekonomi Cina yang fantastis. Terutama di bidang pertanian. Saat ini Cina tercatat sebagai negara pengimpor beras terbesar ke-3 di dunia. Petani Cina juga tergolong petani makmur. Sederet prestasi itu mendongkrak ‘kredebilitas’ Cina yang selama ini diremehkan lantaran berideologi komunis. Ideologi yang dianggap sederajat dengan barbarian dan kanibalisme serta dikodratkan untuk miskin.
Lalu apa kabar Indonesia? Negara agraris dimana 70 persen penduduknya bekerja di sektor pertanian. Tapi justru sangat lambat perkembangannya. Pada tahun 2005 saja, pertumbuhan sektor pertanian tidak sampai 5 persen. Padahal pemerintahan SBY-JK sudah mencanangkan Revitalisasi Pertanian. Hasilnya (?)
Pemerintah memang jagonya berwacana. Mari kita simak ‘arahan’ Wakil Presiden RI, Jusut Kalla: “ Indonesia harus swasembada beras pada tahun 2008. Swasembada beras hanya mungkin terjadi jika petani mampu meningkatkan produksinya sebesar 20 persen.” Itu diutarakan JK ketika berada di Chengdu, Sichuan, Chin. Kehadiran JK disana untuk menandatangi kerjasama pembangunan pusat Hibrida terintegrasi Departemen Pertanian RI dengan Republik Rakyat Cina (RRC).
Terus terang saya pesimis dengan target 20 persen itu. Alasan saya, pertama penyusutan lahan pertanian yang terjadi secara drastis tentulah berkorelasi dengan tingkat produksi. Lahan sedikit, produksi juga sedikit. Penyusutan Ini imbas dari program pengalihan lahan (konversi) untuk di ubah menjadi pemukiman, pusat bisnis, perkantoran dan seterusnya. Saat ini saja, Badan Pertanahan Nasional (BPN) mencatat dari 8,9 juta hektar luas total sawah. Hampir 40 persen atau 3,099 juta hektarnya akan dikonversi melalui tata ruang wilayah (RTRW). Ditambah lagi banyak kasus sengketa lahan yang belum terselesaikan. Jelas ini akan membuat petani semakin sulit untuk mengakses lahan.
Kedua, pemanasan global. Konsentrasi CO2 di atmosfer yang kian bertambah menyebabkan perubahan iklim yang tidak menentu. Petani yang tidak ‘ikut-ikutan’ menyumbang emisi gas CO2, tapi harus pula menanggung resiko akibat pemanasan global. Perubahan iklim yang tidak menentu, kekeringan yang berkepanjangan dan pola hujan yang tidak tertebak lagi secara pasti membantu menurunkan produktivitas pertanian.
Ketiga, perdagangan bebas. Kebijakan AOA (Agreement on agriculture) yang mempromosikan liberalisasi perdangan hasil pertanian, betul-betul memukul petani Indonesia. Produk asing yang membanjiri pasar domestik menyebabkan hasil pertanian kita ‘kalah’ di pasaran. Bayangkan saja, beras asal Vietnam yang berlayar dari seberang laut sana, masih bisa dijual dibawah harga beras lokal. Akibatnya harga beras lokal jatuh dan pendapatan petani berkurang dratis.
Keempat, kebijakan pemerintah yang tidak memihak petani. Pertumbuhan produksi beras yang tidak sejalan dengan pertumbuhan penduduk. Sehingga untuk mengamankan ketersediaan pangan, pemerintah harus mengimpor beras. Bulan September 2006 sebanyak 210.000 ton, kemudian pada bulan Januari-Februari 2007 sebanyak 500.000 ton.
Siswono Yudo Husodo, Ketua HKTI mengatakan impor beras merupakan kegagalan pemerintah dalam manajemen produksi dan distribusi beras. Impor tidak akan terjadi jika Bulog membeli beras sampai volume 3 juta ton saat panen raya.
Ini memang dilematis, jika pemerintah tidak mengimpor beras maka ketersediaan pangan terancam. Tidak itu saja, harga beras akan terus melonjak. Ini tentu akan memberatkan rakyat. Disisi lain, impor beras tidak bisa dipungkiri, pasti akan merugikan petani pula.
Kelima, rendahnya posisi tawar petani. Petani kesulitan karena tidak punya jalur pemasaran sendiri, akibatnya petani menggunakan sistim tebang jual. Dengan sistim ini sebanyak 40 % dari hasil penjualan panenan padi menjadi milik tengkulak. Apalagi pada praktiknya ketika musim panen tiba, tengkulak masih meminta bagian 50 % dari hasil keuntungan bersih petani. Alasannya karena harga gabah dan beras sedang jatuh. Petani tidak punya pilihan lain selain menjual hasil ke tengkulak, jika menjual hasil panen sendiri, maka biaya angkut dan transportasi ditanggung sendiri oleh petani dan itu tidak sedikit. Sekali lagi ini terjadi karena posisi tawar yang lemah.
Semakin mahalnya biaya produksi pertanian, juga menjadi masalah vital bagi petani. Kelangkaan pupuk, menyebabkan melambungnya harga pupuk di pasaran, bahkan harga pupuk jenis ZA bisa mencapai Rp. 120.000-150.000/kg. Belum lagi jika musim kemarau tiba membuat petani kesulitan untuk mendapatkan air dan kalaupun ada air, petani harus membelinya untuk keperluan irigasi sawah
Land reform sebagai jalan
Revitalisasi pertanian yang dicanangkan pemerintah akan efektif jika dilengkapi pemberian tanah kepada rakyat (land reform). Tanah-tanah ini akan menjadi alat produksi yang kelak akan memberikan kontribusi bagi perekonomian bangsa. Tapi, tidak cukup sekadar land reform. Pemerintah harus pula merevisi kebijakan tata ruangnya sehingga konversi lahan persawahan bisa dikendalikan.
Rangsangan kredit lunak dengan bunga rendah dipastikan bisa mendongkrak produktivitas pertanian. Landasan hukum untuk itu sudah ada yaitu INPERS No. 6/2007 tentang kebijakan percepatan pembangunan sektor riil dan pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah. Tinggal implementasinya saja yang masing mengawang-awang. Jika kebijakan itu segera diimplementasikan, tidak mustahil swasembada beras yang dicita-citakan itu bisa terwujud dalam waktu satu atau dua tahun kedepan.
Pemerintah juga harus berani main ‘keras’ diranah internasional. Pemerintah harus berani mendesak negara-negara industri untuk menurunkan pembuangan gas emisinya. Ini penting untuk menghindari perubahan iklim yang lebih ekstrim lagi. Selain itu, pemerintah harus pula mendorong pengembangan industri yang ramah lingkungan (sustainable development).
Kalau bukan negara ini yang 'melindungi' petaninya, jadi siapa lagi ? Perlindungan atau proteksi terhadap pertanian bukanlah seruan moral bagi pemerintah. Tapi mutlak sebagai kewajiban negara. Sekali lagi, melindungi petani itu tugas negara.***