KALAU Anda penduduk
Jika Anda membaca secara seksama isi spanduk itu, pasti Anda akan menemui kalimat,”Orang Bijak Tidak Golput.” Bagi penulis, makna kalimat seperti ini sangat kacau dan diskriminatif. Kalimat ini jelas telah ‘menghakimi’ orang-orang yang tidak menggunakan hak konsitusinya dalam pemilu (golput) sebagai orang yang tidak bijak.
Ironisnya, kalimat itu terpampang jelas bersama logo Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebuah lembaga negara yang dibiayai publik untuk mensosialisasikan dan menyelenggaran pemilu. Tapi dalam konteks kalimat tadi, KPU malah terkesan seperti lembaga ‘tafsir’ yang menentukan mana warga negara yang bijak dan mana yang tidak bijak.
Apa yang dilakukan KPU ini mirip prilaku Orde Baru (Orba) lewat konsep Negara Kekeluargaannya. Konsep ini menurut Arief Budiman (2006) dalam,”Mitos dan Ideologi di Indonesia,” menempatkan negara sebagai kepala keluarga atau “bapak” dan warga adalah anak-anaknya. Warga tidak dibiarkan punya kekuasaan penuh. Ini akan jadi anarki, karena mereka masih anak-anak (masih bodoh), belum tahu apa yang paling baik bagi mereka. Pengetahuan ini hanya dimiliki oleh sang bapak.
Bapaklah yang paling mengetahui apa yang dibutuhkan oleh anak-anaknya. Dan bapak pula yang berhak menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Mana yang harus dilakukan dan mana yang harus disingkirkan.
Sang bapak dalam setiap kesempatan terus mengingatkan pentingnya stabilitas politik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Kita tidak boleh banyak bertikai. Mari satukan langkah dalam derap pembangunan ekonomi. Kalau ada yang tidak sederap, dia itu adalah orang yang mau menyabot pembangunan. Dia adalah musuh rakyat. Termasuk orang yang selalu membicarakan soal hak asasi manusia. Bukan karena pemerintah anti kepada hak asasi manusia, tapi dalam era pembangunan ini, hak tersebut hendaknya tidak terlalu diutamakan, katanya.
Celakanya prilaku sang bapak ini memasung kebebasan sipil dan politik serta mematikan demokrasi. Tafsir ‘kebenaran’ sang bapak telah pula memakan korban jutaan jiwa warga negaranya. Warga negara (anak-anak) yang berseberangan dengan sang bapak diposisikan layaknya musuh. Kemudian secara sewenang-wenang di penjara atau di bunuh. Prilaku sang bapak inilah yang selama 32 tahun dikenal sebagai kediktatoran rejim Orde Baru.
Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, akhirnya konsep Negara Kekeluargaan ini harus berakhir secara tragis. Di tahun 1998, sang bapak (Orba) dilengserkan oleh anak dan cucu sendiri yang bernama rakyat Indonesia. Dan konsep sang bapak yang dulu di puja dan digugu serta ditabukan untuk dibahas. Kini dikritik habis-habisan bahkan ditempatkan sebagai catatan buruk sejarah bangsa ini.
Hal serupapun bisa menimpa KPU, jika lembaga ini ikut-ikutan keliru ‘menafsir’ hak konstitusi warga negara. Pada hal, sudah sangat jelas bahwa memilih (menggunakan hak pilih) dalam pemilu adalah hak konstitusi warga secara perseorangan. Hak yang dilindungi secara hukum. Sebagai sebuah hak, setiap warga berotoritas penuh untuk menggunakan atau tidak menggunakan sama sekali hak tersebut alias golput.
Golongan putih (golput) bukanlah fenomena baru di Indonesia. Ia muncul pertama sekali di tahun 1971. Beberapa tokoh nasional pernah mengagas gerakan golput ini, mereka adalah Adnan Buyung Nasution, Julius Usman, Arief Budiman, Asmara Nababan. Bahkan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) melalui Kardinal Julius Darmaatmadja, dalam surat Gembala Pra Paskah 1997, pernah menulis,”…Anda tidak berdosa apabila tidak memberikan suara.”
Fenomena golput bukan pula hal yang aneh, tabu apalagi kriminal. Di negara yang mengagungkan demokrasi prosedural (pemilu) seperti Amerika Serikat (AS) saja, angka golput juga tidak pernah beranjak (berkurang) dari 40 persen.
Hasil studi The Committee for Study of the American Electorate di tahun 2001, melansir di 16 negara bagian dari 50 negara bagian di seluruh AS, hanya 16,2 persen eligiable voters (pemegang hak pilih) yang mendatangi tempat pemungutan suara. Bahkan tiga tahun sebelumnya angka eligiable voters yang berpartisipasi malah jauh lebih rendah.
Jika pertanyaannya,” Mengapa golput bisa muncul?” Maka ada dua keadaan yang menyebabkan itu. Pertama, karena faktor tidak sengaja. Hal ini bisa terjadi dalam bentuk (1) Warga tidak terdata sebagai calon pemilih, penyebabnya bisa saja karena berpindah domisili. Ini yang menyebabkan warga kehilangan hak pilih (2) Warga sudah tercatat sebagai calon pemilih, namun meninggal dunia (3) Warga melakukan kekeliruan pada saat melakukan pencoblosan, sehingga hak suaranya dianggap batal.
Kedua, sengaja untuk golput. Kondisi kedua ini dapat terjadi dalam bentuk (1) Warga sengaja menghindari pendataan atau sengaja tidak terdaftar sebagai calon pemilih (2) Warga yang sudah terdaftar tapi pada hari pelaksanaan, si warga tidak menggunakan hak pilihnya (3) Warga sengaja melakukan kekeliruan agar suaranya dianggap batal.
Untuk keadaan kedua atau sengaja untuk golput, tindakan ini umumnya bermakna politik. Pelakunya (orang yang golput) melakukannya sebagai bentuk ‘perlawanan’. Perlawanan itu bisa saja dipicu dengan berbagi alasan, misalnya (1) Perlawanan terhadap mekanisme politik yang terjadi saat itu, seperti yang dilakukan Arief Budiman di tahun 1971 yang memboikot pemilu karena Masyumi dan PSI dilarang mengkuti pemilu (2) Figur – figur yang muncul di pemilu dianggap tidak kredibel, seperti yang dilakukan Prof. Bactiar Hasan Miraza di tahun 2004. Prof. Bactiar merasa kecewa karena banyak calon legislatif yang menggunakan ijasah palsu, sehingga dia merasa ‘ogah’ memilih orang-orang seperti itu.
Menurut penulis, golput dalam konteks yang dilakukan Arief Budiman dan Prof. Bactiar Hasan Miraza adalah pilihan sadar (rasional). Mereka melakukannya berdasarkan analisis dan alasan tertentu. Yang secara logika dapat diterima. Karena itu, penulis menggolongkan golput model seperti ini sebagai pilihan bijak.
Dari sini pula penulis berangkat bahwa asumsi orang bijak tidak golput, tidaklah tepat. Golput adalah produk politik, sehingga harus juga dipahami dalam konteks politik. Golput janganlah dicampur-adukkan dengan konteks moral agar pemaknaannya tidak bias dan rancu.
Sebagai catatan kritis bagi KPU dalam menggelar tahapan pilkada, terutama dalam tahapan sosialisasi. Hendaknya KPU lebih selektif dan kreatif lagi dalam mengemas komunikasi politik. Terkhusus dalam memilih kalimat-kalimat yang akan dimunculkan di wilayah publik. Jangan main asal tayang saja.
Penulis percaya anggota KPU Sumatera Utara saat ini tidak perlu lagi diragukan kemampuan dan intergritasnya. Mereka pasti mengerti bagaimana harus mengemas komunikasi politik yang baik dan mendidik. Dan pastinya mereka juga paham bagimana memaknai sebuah kritik. Akhirnya, penulis mengucapkan selamat bekerja untuk anggota KPU Sumatera Utara. Semoga sukses menggelar Pemilihan Gubernur Sumatera Utara periode 2008/2013. (***)
Pustaka :