Tuesday, August 28, 2007

ORANG BIJAK TIDAK GOLPUT (?)

Oleh ERIX HUTASOIT

KALAU Anda penduduk Medan atau sedang berkunjung ke Medan, cobalah untuk memperhatikan spanduk-spanduk yang tergantung dipersimpangan jalan kota ini. Di simpang dekat Universitas HKBP Nommensen dan Hotel Grand Angkasa misalnya. Di sana Anda akan membaca sebuah spanduk yang isinya mensosialisasikan pemilihan kepala daerah (pilkada) Sumatera Utara.

Jika Anda membaca secara seksama isi spanduk itu, pasti Anda akan menemui kalimat,”Orang Bijak Tidak Golput.” Bagi penulis, makna kalimat seperti ini sangat kacau dan diskriminatif. Kalimat ini jelas telah ‘menghakimi’ orang-orang yang tidak menggunakan hak konsitusinya dalam pemilu (golput) sebagai orang yang tidak bijak.

Ironisnya, kalimat itu terpampang jelas bersama logo Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebuah lembaga negara yang dibiayai publik untuk mensosialisasikan dan menyelenggaran pemilu. Tapi dalam konteks kalimat tadi, KPU malah terkesan seperti lembaga ‘tafsir’ yang menentukan mana warga negara yang bijak dan mana yang tidak bijak.

Apa yang dilakukan KPU ini mirip prilaku Orde Baru (Orba) lewat konsep Negara Kekeluargaannya. Konsep ini menurut Arief Budiman (2006) dalam,”Mitos dan Ideologi di Indonesia,” menempatkan negara sebagai kepala keluarga atau “bapak” dan warga adalah anak-anaknya. Warga tidak dibiarkan punya kekuasaan penuh. Ini akan jadi anarki, karena mereka masih anak-anak (masih bodoh), belum tahu apa yang paling baik bagi mereka. Pengetahuan ini hanya dimiliki oleh sang bapak.

Bapaklah yang paling mengetahui apa yang dibutuhkan oleh anak-anaknya. Dan bapak pula yang berhak menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Mana yang harus dilakukan dan mana yang harus disingkirkan.

Sang bapak dalam setiap kesempatan terus mengingatkan pentingnya stabilitas politik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Kita tidak boleh banyak bertikai. Mari satukan langkah dalam derap pembangunan ekonomi. Kalau ada yang tidak sederap, dia itu adalah orang yang mau menyabot pembangunan. Dia adalah musuh rakyat. Termasuk orang yang selalu membicarakan soal hak asasi manusia. Bukan karena pemerintah anti kepada hak asasi manusia, tapi dalam era pembangunan ini, hak tersebut hendaknya tidak terlalu diutamakan, katanya.

Celakanya prilaku sang bapak ini memasung kebebasan sipil dan politik serta mematikan demokrasi. Tafsir ‘kebenaran’ sang bapak telah pula memakan korban jutaan jiwa warga negaranya. Warga negara (anak-anak) yang berseberangan dengan sang bapak diposisikan layaknya musuh. Kemudian secara sewenang-wenang di penjara atau di bunuh. Prilaku sang bapak inilah yang selama 32 tahun dikenal sebagai kediktatoran rejim Orde Baru.

Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, akhirnya konsep Negara Kekeluargaan ini harus berakhir secara tragis. Di tahun 1998, sang bapak (Orba) dilengserkan oleh anak dan cucu sendiri yang bernama rakyat Indonesia. Dan konsep sang bapak yang dulu di puja dan digugu serta ditabukan untuk dibahas. Kini dikritik habis-habisan bahkan ditempatkan sebagai catatan buruk sejarah bangsa ini.

Hal serupapun bisa menimpa KPU, jika lembaga ini ikut-ikutan keliru ‘menafsir’ hak konstitusi warga negara. Pada hal, sudah sangat jelas bahwa memilih (menggunakan hak pilih) dalam pemilu adalah hak konstitusi warga secara perseorangan. Hak yang dilindungi secara hukum. Sebagai sebuah hak, setiap warga berotoritas penuh untuk menggunakan atau tidak menggunakan sama sekali hak tersebut alias golput.

Golput sebagai Pilihan Bijak

Golongan putih (golput) bukanlah fenomena baru di Indonesia. Ia muncul pertama sekali di tahun 1971. Beberapa tokoh nasional pernah mengagas gerakan golput ini, mereka adalah Adnan Buyung Nasution, Julius Usman, Arief Budiman, Asmara Nababan. Bahkan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) melalui Kardinal Julius Darmaatmadja, dalam surat Gembala Pra Paskah 1997, pernah menulis,”…Anda tidak berdosa apabila tidak memberikan suara.”

Fenomena golput bukan pula hal yang aneh, tabu apalagi kriminal. Di negara yang mengagungkan demokrasi prosedural (pemilu) seperti Amerika Serikat (AS) saja, angka golput juga tidak pernah beranjak (berkurang) dari 40 persen.

Hasil studi The Committee for Study of the American Electorate di tahun 2001, melansir di 16 negara bagian dari 50 negara bagian di seluruh AS, hanya 16,2 persen eligiable voters (pemegang hak pilih) yang mendatangi tempat pemungutan suara. Bahkan tiga tahun sebelumnya angka eligiable voters yang berpartisipasi malah jauh lebih rendah.

Jika pertanyaannya,” Mengapa golput bisa muncul?” Maka ada dua keadaan yang menyebabkan itu. Pertama, karena faktor tidak sengaja. Hal ini bisa terjadi dalam bentuk (1) Warga tidak terdata sebagai calon pemilih, penyebabnya bisa saja karena berpindah domisili. Ini yang menyebabkan warga kehilangan hak pilih (2) Warga sudah tercatat sebagai calon pemilih, namun meninggal dunia (3) Warga melakukan kekeliruan pada saat melakukan pencoblosan, sehingga hak suaranya dianggap batal.

Kedua, sengaja untuk golput. Kondisi kedua ini dapat terjadi dalam bentuk (1) Warga sengaja menghindari pendataan atau sengaja tidak terdaftar sebagai calon pemilih (2) Warga yang sudah terdaftar tapi pada hari pelaksanaan, si warga tidak menggunakan hak pilihnya (3) Warga sengaja melakukan kekeliruan agar suaranya dianggap batal.

Untuk keadaan kedua atau sengaja untuk golput, tindakan ini umumnya bermakna politik. Pelakunya (orang yang golput) melakukannya sebagai bentuk ‘perlawanan’. Perlawanan itu bisa saja dipicu dengan berbagi alasan, misalnya (1) Perlawanan terhadap mekanisme politik yang terjadi saat itu, seperti yang dilakukan Arief Budiman di tahun 1971 yang memboikot pemilu karena Masyumi dan PSI dilarang mengkuti pemilu (2) Figur – figur yang muncul di pemilu dianggap tidak kredibel, seperti yang dilakukan Prof. Bactiar Hasan Miraza di tahun 2004. Prof. Bactiar merasa kecewa karena banyak calon legislatif yang menggunakan ijasah palsu, sehingga dia merasa ‘ogah’ memilih orang-orang seperti itu.

Menurut penulis, golput dalam konteks yang dilakukan Arief Budiman dan Prof. Bactiar Hasan Miraza adalah pilihan sadar (rasional). Mereka melakukannya berdasarkan analisis dan alasan tertentu. Yang secara logika dapat diterima. Karena itu, penulis menggolongkan golput model seperti ini sebagai pilihan bijak.

Dari sini pula penulis berangkat bahwa asumsi orang bijak tidak golput, tidaklah tepat. Golput adalah produk politik, sehingga harus juga dipahami dalam konteks politik. Golput janganlah dicampur-adukkan dengan konteks moral agar pemaknaannya tidak bias dan rancu.

Sebagai catatan kritis bagi KPU dalam menggelar tahapan pilkada, terutama dalam tahapan sosialisasi. Hendaknya KPU lebih selektif dan kreatif lagi dalam mengemas komunikasi politik. Terkhusus dalam memilih kalimat-kalimat yang akan dimunculkan di wilayah publik. Jangan main asal tayang saja.

Penulis percaya anggota KPU Sumatera Utara saat ini tidak perlu lagi diragukan kemampuan dan intergritasnya. Mereka pasti mengerti bagaimana harus mengemas komunikasi politik yang baik dan mendidik. Dan pastinya mereka juga paham bagimana memaknai sebuah kritik. Akhirnya, penulis mengucapkan selamat bekerja untuk anggota KPU Sumatera Utara. Semoga sukses menggelar Pemilihan Gubernur Sumatera Utara periode 2008/2013. (***)

Erix Hutasoit, Editor CEFIL 19. Menyelesaikan pendidikan dibidang ekonomi. Saat ini sedang bekerja untuk lembaga sosial gereja katolik dibidang komunikasi dan advokasi.

Pustaka :

Arief Budiman,”Mitos dan Ideologi di Indonesia,” dalam Kebebasan, Negara, Pembangunan ; Kumpulan Tulisan 1965 – 2005, Freedom Institute, Jakarta, 2006.

Erix Hutasoit,”Tidak Percaya dengan Partai Pemilu 2004? Boikot bukan Jawabannya,” Bulletin Skopos, PNB HKI Ressort Medan I, Edisi I Tahun IV, April-Juni 2004.

___________,”Prof. Bactiar Hasan Miraza Mengaku Dirinya Golput,”Harian Sinar Indonesia Baru (SIB), Edisi No.0737/Tahun XXXIII, Kamis, 19 Februari 2004.


PENDIDIKAN TINGGI SEBAGAI KOMODITAS BISNIS *)

Oleh ERIX HUTASOIT

BARU saja ribuan calon mahasiswa baru tahun 2003 selesai mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Dengan keyakinan penuh, setiap calon bersaing memperebutkan satu bangku di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Sekilas perjuangan mereka (calon mahasiswa baru ini) sangat menyentuh dan benar-benar menunjukkan betapa pendidikan memiliki arti penting.

Tetapi cerita menyentuh ini akan segera berakhir ketika hasil SPMB diumumkan kelak. Akan ada cerita senang, bagi mereka yang dinyatakan diterima. Akan ada pula cerita sedih bagi mereka yang gagal. Namun di balik kedua cerita ini, mereka dihadapkan dengan satu permasalahan baru yaitu mahalnya biaya pendidikan.

Sedikit beruntung bagi mereka yang diterima di PTN, walau biaya pendidikan di PTN sebenarnya sudah tergolong mahal, namun setidaknya masih lebih murah ketimbang di Perguruan Tinggi Swasta (PTS).

Bagi kelompok warga yang cukup mampu secara keuangan, biaya pendidikan yang mahal di PTS mungkin tidak begitu dipersoalkan. Tapi bagi 40 juta warga Indonesia yang penghasilannya hanya 2 USD per hari (ukuran kemiskinan menurut Bank Dunia). Biaya kuliah yang angkanya bisa menyentuh jutaan itu, hanyalah mimpi yang tidak terbeli.

Kondisi ini jelas menciptakan kesenjangan sosial dalam tatanan kehidupan warga. Bahkan fenomenanya kini, PTN yang harusnya ‘dikuasai’ warga yang pas-pasan, kini malah di banjiri anak-anak dari warga yang tergolong mampu (kaya). Ada gengsi khusus rupanya jika bisa duduk di bangku PTN. Celakanya, gengsi itu pula yang lebih mendorong anak-anak orang kaya ini untuk berebut duduk disana.

Lantas mereka yang miskin di mana? Satu dua tiga orang dari kelompok warga yang miskin ini ada juga yang bisa masuk PTN. Tapi kalau mau jujur dihitung, jumlah mereka yang tidak bisa berkuliah dari golongan miskin jauh lebih banyak.

Ironisnya lagi, tidak hanya jalur SPMB yang didominasi kelompok warga yang mampu ini. Akses lain untuk duduk di PTN melalui jalur khusus juga mereka borong. Walau angka yang harus di bayar sangat mahal, berkisar Rp. 15 juta sampai Rp. 150 juta (Media Indonesia,19/6/2003), tapi tetap saja jalur khusus ini ramai peminat.

Apa yang terjadi dalam realitas pendidikan saat ini, tidaklah lepas dari trend globalisasi. Sebagaimana yang di catat sejarah, globalisasi berawal dari GATS (Global Agreement on Trade and Tariffs) yang dicanangkan tahun 1994 oleh 140 negara. Kesepakatan inilah yang pada tahun 1995 melahirkan World Trade Organization/WTO (organizasi perdangangan dunia).

WTO pada dasarnya dilahirkan untuk meningkatkan liberalisasi perdagangan internasional. Soekartwati (2003) dalam artikelnya WTO dan Globalisasi Pendidikan, mencatat 12 sektor yang dimasukkan sebagai ‘produk’ dagang WTO. Yaitu bisnis, komunikasi, distribusi, pendidikan, lingkungan, keuangan, kesehatan, turisme, transportasi dan jasa lainnya. Sejak itulah pendidikan kemudian berubah wajah dari aktivitas sosio budaya menjadi aktivitas bisnis.

Perubahan Fungsi Pendidikan

Margiyono (2002) dalam artikelnya Menghadapi Globalisasi Pendidikan, menganalisis perubahan semangat pendidikan Indonesia. Semangat yang pada awalnya sebagai aktivitas sosio budaya, kini berubah menjadi semangat untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya mengikuti darah bisnis yang kini kecang mengalir dalam tubuh pendidikan.

Mariyono mencatat sedikitnya ada 7 (tujuh) perubahan fungsi dalam aktivitas pendidikan Indonesia saat ini.

Pertama, fungsi mahasiswa yang semula sebagai sasaran pendidikan atau sumber daya manusia yang dikembangkan potensinya untuk membangun masyarakat. Berubah menjadi konsumen atau pembeli produk pendidikan. Ini dimaksudkan sebagai prasyarat memasuki dunia kerja.

Kedua, fungsi dosen yang semula sebagai pendidik dan pengembang ilmu pengetahuan berubah sebagai pekerja.

Ketiga, fungsi rektorat yang bertindak untuk mengelola dan mengembangkan mutu pendidikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Berganti menjadi manajer bisnis pendidikan.

Keempat, fungsi yayasan yang bertujuan mengabdi kepada kepentingan masyarakat untuk menyalurkan ide dan gagasannya. Berganti menjadi investor atau penanam modal untuk mencari laba (profit oriented) .

Kelima, SPP yang berfungsi sebagai sumbangan dana untuk mengembangkan pendidikan (bentuk partisipasi warga dalam pendidikan). Berubah menjadi income atau sumber laba.

Keenam, Ijasah atau gelar yang berfungsi sebagai tanda bukti kelulusan untuk penghargaan. Berganti menjadi tanda bukti kelulusan untuk komoditas. Ijasah seolah-olah menajadi ukuran mutlak kualitas seseorang dan alat ukur untuk memasuki dunia kerja.

Ketujuh, negara yang seharusnya berfungsi membiayai dan mensubsidi (untuk swasta) pelaksanaan pendidikan guna mengembangkan SDM bangsa. Beralih fungsi menjadi penyedia iklim yang kondusif agar bisnis pendidikan berkembang. Negara bertindak layaknya jasa security (keamanan) yang siap segera menindak siapa saja yang ‘mengganggu’ aktivitas bisnis pendidikan ini.

Analisa Margiyono ditulis berdasarkan pengaruh program Structural Ajust Programme/SAP yang dicanangkan Dana Moneter Internasional/IMF. Melalui SAP, IMF memaksa pemerintah Indonesia melakukan program privatisasi dan pemotongan subsisi publik secara besar-besaran. Hasil pemotongan subsidi publik ini yang kemudian dialokasikan untuk pembayaran Utang Luar Negeri (ULN).

Itulah sebab mengapa pemerintah mampu mengalokasikan 22,8 persen APBN 2003 (sebesar Rp. 80.887.40 Milyar) untuk pembayaran ULN. Sedangkan untuk subsidi untuk sekitar 220 juta warga Indonesia hanya Rp.25.339.50 Milyar atau hanya 7,2 persen dari APBN 2003.

Dalam konteks pendidikan tinggi, pemotongan subsidi menyebabkan kemampuan perguruan tinggi (PT) baik negeri maupun swasta menurun drastis. Untuk PTS penuruan ini ditutupi dengan menaikkan biaya pendidikan. Untuk PTN, penurunan ini ditutupi juga dengan menaikkan biaya pendidikan serta membuka akses keuangan lain. Pembukaan akses lain inilah yang mendorong PTN berubaha menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Perubahan ini membuat PTN tidak ubahnya seperti Badah Usaha Milik Negara (BUMN) yang tujuannya mencari keuntungan.

Lalu pertanyaan kita semua,” Apakah setelah pendidikan ikut dibisniskan, lantas mutu pendidikan meningkat?” Menjawab pertanyaan ini, penulis mengutip buku Mc.Donaldlisasi Pendidikan Tinggi tulisan Heru Nugroho (2002) Direktur Program Pasca Sarjana Sosiologi Universitas Gajah Mada (UGM).

Buku ini sendiri diterbitkan tepat setelah UGM berubah menjadi BHMN. Menurut Heru Nugroho, UGM mengalami kegamanang pasca ditetapkan sebagai BHMN. Heru menulis,”Ternyata para petinggi yang berkuasa di UGM tampaknya sedang bingung dalam menterjemahkan arti kata “otonomi pendidikan” (satu konsep yang muncul dari trend demokratisasi, otonomi daerah dan desentralisasi).”

UGM yang dianggap sebagai PTN terbaik di Indonesia pasca terbitnya PP No.153 tahun 2003 tentang perubahan status hukumnya, terus mengalami degradasi kualitas. Lihat saja laporan Asiaweek. Bahkan beberapa program studi yang ada di UGM menurut Badan Akreditasi Nasional (BAN) berada di bawah PTN lainnya bahwa di bawah PTS.

Tidak hanya Heru Nugroho yang angkat bicara, Prof. Mubiarto juga mengungkapkan ‘keprihatinannya’. Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM ini mengatakan bahwa dosen – dosen di fakultas ekonomi UGM tidak pernah lagi membaca buku semacam The Principle of Teaching Economics, akibatnya dosen cenderung mengajarkan ilmu ekonomi yang dipelajarinya dari luar negeri, semisal Amerika Serikat (AS), dan memberikan contoh luar negeri itu kepada mahasiswanya. Pada hal pada praktiknya, model AS berbeda dengan kondisi Indonesia, akhirnya sarjana – sarjana yang ditamatkan tidak mengerti permasalahan ekonomi yang dialami Indonesia.

Kegelisahan Heru Nugroho dan Prof. Mubiarto sangatlah beralasan. Pendidikan yang sejatinya adalah produk idealisme untuk mengembangkan potensi SDM bangsa. Kini berlahan ditinggalkan seiring masuknya semangat bisnis dalam tubuh pendidikan. Pada hal sekalipun pendidikan sudah dibisniskan, tidak ada jaminan mutu pendidikan beserta lulusannya akan lebih baik. Malah dampak umum yang terjadi akibat trend bisnis itu adalah :

Pertama, meningkatnya biaya pendidikan menjadi sangat mahal, sedangkan kualitas pendidikan tidak meningkat. Lalu akses untuk memperoleh pendidikan semakin terbatas, bahkan dikhawatirkan hanya dikuasai sekelompok kecil warga yang mampu secara keuangan.

Kondisi ini sangat berbahaya untuk jangka panjang. Pembatasan akses ini secara pasti menciptakan gap/pemisahan diantara warga yang bisa memicu rasa sentimen dan rasa ketidakadilan. Inilah yang kelak akan menciptakan konflik-konflik sosial diantar warga.

Kedua, munculnya trend baru dikalangan masyarakat melalui pendidikan instant, bahkan jual beli gelar dll.

Ketiga, peningkatan biaya pendidikan, tidak secara otomatis meningkatkan upah pekerja di sektor pendidikan seperti dosen, pegawai administrasi, staff dll. Karena tujuan bisnis lebih cenderung untuk mengakumulasi modal untuk diputar kembali demi pencapaian keuntungan sebesar-besarnya.

Di akhir artikel ini, penulis menyarankan agar kita belajar dari Sindicato deEstudiantes, sebuah gerakan gabungan pelajar/mahasiswa bersama guru dan dosen di Spanyol. Mereka bersama-sama menuntut pendidikan tetap sebagai hak warga negara yang harus disubsidi negara, bukan sebagai priveles atau komoditas yang penyediaannya diserahkan begitu saja kepada publik.

Refleksi bagi kita semua, selama pendidikan masih dijadikan komoditas bisnis, maka selama itu pula bangsa ini tidak akan mampu keluar dari keterpurukan.(***)

Erix Hutasoit, Editor CEFIL 19. Menyelesaikan pendidikan dibidang ekonomi. Saat ini sedang bekerja untuk lembaga sosial gereja katolik dibidang komunikasi dan advokasi.

Pustaka :

Erix Hutasoit,”Pendidikan Tinggi Seperti Kapal Pukat Harimau,” Sumut Post, 15 Desember 2002.

Herman Sulistiono,”Perguruan Silat itu Bernama Universitas,”Sumut Post, 25 Juni 2003.

Heru Nugroho,”Menumbuhkan Ide-Ide Kritis,”Pustaka Pelajar, Yogayakrta, 2001.

Heru Nugroho,”Mc Donaldlisasi Pendidikan Tinggi,”Kanisius, Yogayakarta, 2002.

J.H.Rapar,”Filsafat Politik,” Rajawali Pers, Jakarta, 2001.

Jean Duval,”Pendidikan ; Dari Dasar ke Komoditas,” www.marxist.com

Josep E. Stigilizt,”Washington Consessus,”INFID, Jakarta, 2002.

Majda El-Muhtaj,”Komersialisasi PTN Ancaman Dilematis,” Harian Waspada, 24 Juni 2003.

Margiyono,”Menghadapi Globalisasi Pendidikan,” www.pds.or.id

M. Dahlan Al Barry,”Kamus Bahasa Indonesia,”Arkola, Jakarta, 1994.

Soerkawati,”WTO dan Globalisasi Pendidikan,” www.kompas.com

Suryadi Radjab,”Indonesia ; Hilangnya Rasa Aman,” Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Azasi Manusia Indonesia (PBHI) dan The Asia Foundation, Jakarta, 2002.

Tuesday, August 21, 2007

MEMPROMOSIKAN PERDAMAIAN DENGAN JURNALISME DAMAI

Oleh Erix Hutasoit

DALAM perjalanan di atas kereta listrik dari Birmingham ke Leicester, Inggris (UK) Jumat (24/11/2006). Saya membaca buku yang dipinjamkan Warni Ode Bello, seorang sahabat dari Ambon, Maluku. Buku itu berjudul,“Perlawanan Tanpa- Kekerasan ; cerita-cerita dari Daerah Konflik di Indonesia.”

Selama 120 menit buku terbitan Center for Security and Peace Studies (CSPS) Universitas Gajah Mada (UGM) ini, mampu membuat saya merasakan ketar ketirnya suasana konflik. Kumpulan cerita-cerita para inisiator perdamaian di Poso, Pontianak dan Ambon itu, mengambarkan dengan jelas, betapa ‘mahalnya’ harga yang harus dibayar untuk satu perdamaian.

Jurnalisme Perang dan Jurnalisme Damai.

Setelah membaca buku itu. Saya teringat teori jurnalistik yang pernah saya baca. Satu ideologi baru dalam jurnalisme. Peace Jurnalism, begitu ideologi itu di beri nama.

Jurnalisme Damai (JD) awalnya dipopulerkan oleh Prof.Dr.Johan Galtung dalam sebuah kuliah di Taplow Court, Buckingham Shire, Inggris (1997). Model jurnalisme ini mengambil bentuk yang berlawanan dengan Jurnalime Perang ( JP).

Masih jelas terlintas dibenak kita perang Irak yang dimulai tahun 2003 lalu. Waktu itu, Amerika Serikat (AS) bersama sekutunya, Inggris, menyerang pemerintahan Saddam Hussein. Dengan dalih, Irak menyimpan senjata nuklir yang konon mengancam dunia. Pasukan Koalisi (AS, Inggris dan sekutunya) lalu memporakporandakan negeri 1001 malam itu.

Namun, perang tidak hanya terjadi di padang pasir atau kota-kota di Irak. Perang pun terjadi di televisi. CNN, Fox News dan NBC “bertempur” habis-habisan melawan televisi Al – Jazeera dan Al –`Arabiyya untuk merebut opini publik.

Media-media AS, terang-terangan membela kebijakan politik George W. Bush. Bahkan media-media itu berusaha menggiring penontonnya ke diskursus "starwars". Dimana kecanggihan perlengkapan perang menjadi fokus utama mereka. Penonton "dihipnotis" seolah-seolah perang hanya pertarungan kecanggihan teknologi, tanpa ada korban dari sipil. Tujuan utamanya jelas, agar penonton mendukung perang Irak.

Disisi berbeda, Al - Jazeera mengangkat pemberitaan korban perang sebagai fokus utama. Cuplikan-cuplikan gambar korban-korban bom AS, memberikan kesan sesungguhnya kepada penonton tentang perang. Al- Jazeera juga menampilkan kekalahan-kekalahan pihak koalisi. Tujuannyapun jelas, membangun semangat anti invasi.

Belajar dari Perang Teluk pertama, ketika Irak menginvasi Kuwait. Petinggi militer AS telah menyadari pentingnya peran media. Waktu itu, AS memakai sistem pool : wartawan dikumpulkan dalam satu pool, lalu ia meliput dengan bantuan militer. Fenomena itu disebut embdded journalist yaitu wartawan “melekat” di dalam militer.

Di Indonesia model embded journalist itu pernah terjadi ketika Operasi Darurat Militer II di Aceh tahun 2003. Wartawan yang akan meliput di Aceh diharuskan mengikuti pelatihan militer di markas Kostrad. Bahkan wartawan diwajibkan mengenakan seragam loreng-loreng, tak beda dari tentara sungguhan. Diduga tujuan militer mengeluarkan kebijakan ini, agar wartawan lebih bisa “dikontrol”. Terutama agar berita yang dipublikasikannya tidak "menyudutkan" pemerintahan yang berkuasa. Jelaslah media, menjadi bagian penting dalam perang.

Kembali ke JP . Model jurnalisme ini lebih mengedepankan pada hasil menang kalah (win – lose solutions). Seperti pertandingan olahraga, maka kemenangan merupakan berita besar, begitu pula kekalahan. Logika pemikiran ini diambil dari teori jurnalistik klasik, dimana tugas wartawan adalah,“melaporkan fakta apa adanya.”

Dalam arena konflik, seperti di Poso, Pontianak dan Ambon. Model JP cenderung terfokus pada kekerasan sebagai penyebabnya dan enggan menggali asal-usul struktural sebuah konflik itu secara mendalam. JP hanya berkosentrasi pada fakta-fakta seperti korban tewas atau terluka, kerusakan material yang kelihatan, bukan kerusakan psikologis, struktur atau budaya. Model JP ini menyelesaika konflik dengan rumus, perdamaian = kemenangan + genjatan senjata.

Model perdamaian ala JP sebenarnya tidak lebih dari bom waktu. Kelompok yang sedang “kalah” saat ini, akan menggunakan perdamaian untuk mengumpulkan kekuatan. Disaat kelompok yang “menang” lengah dan merasa diatas angin. Giliran kelompok yang “kalah” menyerang balik. Ini sama saja konflik tidak berakhir.

Bagaimana dengan Jurnalisme Damai (JD)? Menurut Annabel McGoldrick dan Jake Lynch (2000), Jurnalisme Perdamaian (JD) melaporkan sesuatu kejadian dengan bingkai yang lebih luas, yang lebih berimbang dan lebih akurat, yang didasarkan pada informasi tentang konflik dan perubahan-perubahan yang terjadi.

Tujuan utamanya adalah memetakan konflik, mengindentifikasi pihak-pihak yang terlibat, dan menganalisis tujuan-tujuan mereka. Pendekatan JD adalalah memberikan jalan baru bagi pihak-pihak yang bertikai untuk menyelesaikan konflik secara kreatif dan tidak memakai jalan kekerasan. Prinsip ini disederhanakan dengan rumus, perdamaian = non – kekerasan + kreatifitas (Purnawan Kristanto, Jurnalisme yang membawa perdamaian, tt).

Logika JD menggunakan pendekatan menang-menang ( win-win solutions) untuk menyelesaikan konflik. JD percaya, kreatifitas menjadi salah kuncinya. Caranya dengan menyediaan alternatif penyelesaikan konflik. Hal itu diyakini mampu mengurangi konflik sampai menuju titik perdamaian.

Pers dalam logika ini berfungsi membangun debat publik yang sehat tentang kepentingan umum. Alur berpikir JD dimulai dari merumuskan (1) masalah (2)penyebab (3) alternatif penyelesaian (4) evaluasi alternatif (5) pilihan alternatif terbaik (6) sistem dan mekanisme pelaksanaan (7) evaluasi dan feedback. Menurut Prof.Dr.Johan Galtung, hikmah menjadi tujuan akhir dari model jurnalisme seperti ini.

Ya, hikmah menjadi bagaian yang penting setiap konflik. Menyadari konflik fisik hanya menghasilkan penderitaan. Untuk menyadarkan itulah, kita membutuhkan Pers dengan Jurnalisme damainya. [***]

KELIRUAN TENTANG CALON INDEPENDEN *)


Oleh Erix Hutasoit **)

KEPUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberikan celah bagi calon independen, disambut dengan euforia dimana-mana. Bahkan euforia itu kini menjurus menjadi kekeliruan. Seolah-olah calon independenlah solusi dari kemandekan demokrasi yang telah lama mendera Indonesia.

Sejumlah kekeliruan itu berseleweran dalam bentuk opini dipelbagai media massa. Ada pengamat politik yang menulis demokrasi Indonesia seolah sempurna dengan adanya calon independen. Bahkan demokrasi Indonesia disejajarkan pula dengan Amerika Serikat (AS). Kenapa AS? karena menurut pengamat itu, AS lah ‘kampiun’ nya demokrasi.

Mari kita periksa satu persatu. Pertama, jika demokrasi sekadar diukur dari bisa tidaknya warga negara terlibat dalam pemilu, itu sama saja ‘mengkerdilkan’ demokrasi menjadi sebatas prosedural. Pemikiran ini tidak beda dengan para Schumpeterian, yang dengan naif, mengukur demokrasi hanya dari ada tidaknya kompetisi dan partisipasi dalam pemilihan umum (pemilu). Negara yang punya pemilu secara reguler dengan sistem multi partai serta melibatkan warga negaranya, secara serta-merta digolongkan sebagai negara demokratis.

Belakangan konsep Schumpeterian ini usang dimakan waktu bahkan tidak lagi ‘akurat’ sebagai acuan demokrasi. Sebab, banyak negara yang sudah melakukan pemilu secara reguler, menganut sistem multi partai dan warganya terlibat dalam pemilu. Namun di negara itu kebebasan sipil dan politik tidak diakui, kesenjangan sosial terjadi dengan lebar, si kaya makin kaya dan si miskin semakin terpuruk. Rejim Orde Baru adalah contoh. Inilah yang dalam politik dikenal sebagai pseudo democracy.

Larry Jay Diamond (1996) dalam Is the Third Wave Over? mengkritik demokrasi ala Schumpeterian dengan menyebutnya sebagai electoral democracy (demokrasi elektoral). Yaitu demokrasi yang hanya terjadi di saat pemilu saja, setelah itu tidak ada lagi.

Kedua, menempatkan Amerika Serikat (AS) sebagai ‘kampiun’ demokrasi, ini jelas keliru kalau bukan kesesatan. Karena seolah-olah, demokrasi di negara seperti AS ‘lebih baik’ sehingga dianggap pantas ditiru. Padahal William I. Robison (2006), profesor sosiologi dan studi internasional dari universitas California, Santa Barbara (AS), pada artikelnya Democrary or Poliarchy menegaskan di AS tidak ada demokrasi yang ada adalah poliarchy.

Bagi pegiat ilmu politik pastilah mengetahui, kalau istilah poliarchy dekat dengan Robert A.Dahl. Namun, dari penelusuran Robinson ditemukan, ternyata poliarchy berakar dari karya klasik Joseph Alois Schumpeter,“Capitalism, Socialism and Democracy.” Inilah teori yang digugu dan dipuja para pemikir demokrasi liberal (liberal democracy) yang terkenal sebagai ‘Schumpeterian’.

Paradigma Schumpeterian yang berpuncak pada Robert A. Dahl ini, menurut Robinson, telah menyebabkan demokrasi menjadi kereta kencana tunggangan elite. Makna dasar demokrasi sebagai kekuasaan (rule/kratos) rakyat (people/demos), lenyap dalam rimbunan belukar birokrasi beserta seluruh aturan mainnya. Suara rakyat, yang berlangsung secara periodik pada akhirnya, hanya dibutuhkan sekadar sebagai sumber otoritas bagi elite untuk melayani kepentingannya sendiri.

Ironisnya, walau teori Schumpeterian sudah usang, namun selalu dan masih ada saja pemikir-pemikir yang setia mempromosikan teori ini. Seolah-olah pilihan untuk meniru demokrasi dari negara kapitalis seperti AS sudah harga mati. Tanpa itu demokrasi dianggap tidak sempurna atau tidak pantas disebut demokrasi.

Logika tiru-meniru seperti ini sebenarnya berakar dari paham ‘ekspor-impor’ demokrasi. Demokrasi diposisikan layaknya barang dagang, seperti sepatu atau kaos kaki, yang dapat ‘dikirim’ atau ‘ditirukan’ kemana saja. Satu diantara pemikir ‘ekspor-impor’ itu adalah Adam Przeworski (1996) seorang teorikus-cum-penulis buku Sustainable Democracy.

Menurut Przeworski demokrasi menjadi stabil jika negara-negara yang sedang mengalami transisi demokrasi mengintegrasikan diri kedalam sistem ekonomi dunia, yang dikombinasikan dengan peniruan ekonomi, politik dan pola kebudayaan di negara-negara kapitalis maju. Konsep ini dikenal sebagai strategi Modernization via Internationalization dan ini pula yang ditiru Indonesia.

Bagaimana hasil nya? merujuk Thomas Carothers (2002) dalam artikelnya The End of The Transition Paradigm, dari 100 negara yang mengalami transisi demokrasi, hanya sedikit sekali (mungkin hanya 20 negara) yang benar-benar menuju demokrasi. Dan sisanya terjebak dalam wilayah politik abu-abu (the political gray zone) dimana demokrasi tidak kunjung tiba namun tidak pula kembali ke masa kediktatoran.

The political gray zone ini ditandai oleh dua sindrom. Pertama, sindrom “feckless pluralism”. Yaitu terdapatnya sejumlah ciri demokrasi seperti kebebasan politik, pemilu reguler dan rotasi kekuasaan antar kelompok politik yang berbeda secara hakiki. Tetapi disisi lain, demokrasi tampak seperti ilusi dan ironi.

Kenapa bisa seperti itu? Coen Husain Pontoh (2005) dalam Malapetaka Demokrasi Pasar, menyebut penyebabnya,” …karena aspirasi rakyat diberi ruang yang terbatas.” Pembatasan ruang itu dilakukan dengan, pertama, desain politik masa mengambang (political floating mass design). Warga dibuat/diposisikan untuk tidak terlibat aktif dalam proses mengambilan keputusan politik-ekonomi. Sekalipun keputusan itu menyangkut hajat hidupnya sehari-hari.

Warga boleh saja ‘berpartisipasi’ asal melalui ‘prosedural’. Namun soal keputusan akhir (final decission) tetap ‘dibajak’ dari dan oleh elite-elite partai politik yang duduk dipelbagai lembaga. Dan keputusan yang diambil dipastikan tidak jauh dari kepentingan segelintir elite ini. Model inilah yang kemudian disebut dengan “rule by the few” atau oligarki.

Kedua, jika warga terus mendesak untuk terlibat secara aktif. Maka alat-alat kekerasan negara akan ‘dilibatkan’ untuk menjamin legitimasi kekuasaan oligarki ini. Itulah sebab dalam menghadapi aksi-aksi buruh, tani dan kelompok warga lainnya, negara kerap menggunakan kekerasan. Bahkan tidak jarang sampai ‘memenjarakan’ atau ‘mematikan’ mereka yang terlibat. Pelbagai peristiwa kekerasan politik seperti penangkapan aktivis, merupakan contoh.

Sindrom yang kedua adalah “dominant-powers politics.” Yaitu terjadinya kekaburan antara kekuasaan negara dan partai berkuasa (atau kekuatan politik yang berkuasa). Negara merupakan aset utama. Artinya, negara menjadi sumber uang, pekerjaan, informasi publik (melalui media negara) dan kebijakan kekuasaan yang secara bertahap aset-aset tersebut ditempatkan untuk melayani secara langsung partai yang berkuasa.

Akibatnya, korupsi dalam skala besar-besaran tidak terhindarkan, kroni kapitalisme menggejala dikalangan elite dan pelanggaran hak-hak sipil dan politik kembali terjadi. Semua kejahatan sosial ini dilakukan demi satu tujuan : “Mempertahankan Kekuasaan.”

Kasus korupsi yang menimpa Rohmin Dahuri, mantan Menteri Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) membuka mata kita. Bagimana uang negara dikerus untuk kepentingan elite politik. Dan modus seperti ini hanyalah salah satu trik dari beragam cara yang ditempuh untuk menguras pundi-pundi negara.

Dalam konteks ini, calon independen juga bisa berprilaku yang sama. Tidak ada jaminan calon independen akan lebih baik dan lebih konsisten. Itulah sebab penulis menilai calon independen bukanlah solusi dari kemandekan demokrasi saat ini. Calon independen hanyalah sebuah alternatif dalam carut-marutnya sistem demokrasi prosedural.

Dari analisis inilah penulis berkesimpulan, kemandekan demokrasi yang mendera Indonesia bukan menumpuk pada,”Siapa yang memimpin.” Tapi lebih pada lemahnya kemampuan warga untuk mengontrol kebijakan penguasa. Warga tidak mampu ‘memaksa’ penguasa untuk memihak kepentingannya (warga). Warga hanya jadi mainan politik elite dikala pemilu tiba, kemudian ditendang begitu pemilu berakhir.

Dari titik ini pula tugas aktivis pro-demokrasi menjadi jelas, yaitu semakin memperkuat posisi warga untuk terlibat dalam pengambilan keputusan. Dan jalannya hanya dengan konsolidasi demokrasi. Merujuk pada Guillermo O’Donnel (1993) dalam Transisi Menuju Demokrasi, jika bicara soal konsolidasi demokrasi maka “Partai Politik” adalah kuncinya. Karena parpol merupakan kendaraan terbaik bagi warga untuk terlibat dalam pengelolaan kekuasaan secara aktual dan effektif.

Selain itu, parpol tidak hanya berfungsi mengawasi pemerintahan yang busuk, tapi juga bersiap mengantikan pemerintahan tersebut. Parpol memiliki isu paling menyeluruh dan menjangkau kelas masyarakat yang paling luas. Parpol tidak bekerja berdasarkan isu tapi bekerja atas dasar kepentingan paling mendasar dari seluruh warga.

Nah, karena itu mari kita tunggu lahirnya parpol baru yang berkarakter kerakyatan. Parpol yang dibangun dari hasil insiatif dan unifikasi (penyatuan) gerakan masyarakat sipil (civil society movement). Ia lahir dari kesadaran warga untuk bersatu dan memperjuangkan haknya. Tanpa itu, warga hanya akan berakhir sebagai penonton dan demokrasi tidak lebih dari mainan para oligarki.(***)

Pustaka :

Arif Budiman, “Kebebasan, Negara dan Pembangunan ; kumpulan tulisan 1965-2005,” Freedom Institute, Jakarta, 2006.

Arie Sujito,”Kemesorotan Demokrasi-Liberal: Indonesia Pasca Otoritarisme,“ http://www.berpolitik.com/news

Coen Husain Pontoh,”Malapetaka Demokrasi Pasar,” Resist Book, Yogyakarta, 2005.

Coen Husain Pontoh,”Tranformasi dari Atas Pengalaman Venezuela di Bahwa Hugo Chavez,” dalam Gerakan Massa Menghadang Imperialisme Global, Ressit Book, Yogyakarta, 2005.

Coen Husain Pontoh,”Promosi Demokrasi,” http://indoprogress.blogspot.com


*) Artikel ini merupakan analisis penulis menanggapi pemikiran tentang calon independen yang bermunculan dipelbagai media massa.

**) Erix Hutasoit, menyelesaikan pendidikan dibidang ekonomi. Alumni Civic Education for Indonesian Future Leaders (CEFIL) angkatan XIX.

Sunday, August 5, 2007

CALON INDEPENDENT,"GUA BAGET !!!"

Oleh Ahmad Salman Farisy

INDONESIA memasuki babak baru dalam hal berdemokrasi. Kenapa? karena dalam uji materi terhadap Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan hanya calon dari parpol yang dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Dimana Makamah Konstitusi atau MK pada hari senin (23/7) memutuskan, bahwa perseorangan atau yang lebih dikenal calon independen dapat mengajukan diri sebagai calon kepala daerah.

Hal ini menjadi titik tolak perubahan yang paling mendasar dan memberikan dampak yang luas terhadap pemilihan kepala daerah (pilkada) di masing-masing daerah. Selain itu juga membuka peluang lebih besar terhadap masyarakat, untuk dapat bersaing dengan calon yang berasal dari partai politik (parpol). Hal ini tercantum dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang memberikan hak kepada setiap rakyat untuk dapat dipilih dan memilih dalam kegiatan berdemokrasi dan sebagainya.

Calon Independen : “Is Ok !!!!”

Calon Independen : “Is Ok !!!!”. Itulah kata yang sempat tercetuskan oleh saya, ketika mengetahui bahwa, MK memutuskan perseorangan dapat mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah. Memang sangat diakui saat ini masyarakat sudah apriori atau acuh tak acuh terhadap Parpol. Kenapa tidak ??, karena masyarakat sudah jenuh terhadap janji-janji yang selama ini diumbar oleh para calon kandidat, baik ditingkat pusat maupun daerah tidak ditepati. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Lembaga Survey Indonesia (LSI) pertengahan bulan juli lalu, menyebutkan bahwa daya antusias masyarakat dalam pilkada menurun. Malah tingkat Golongan Putih atau Golput sangat tinggi. Seperti halnya dalam pilkada yang sedang berlangsung saat ini, yaitu pilkada di Jakarta.

Dalam pilkada di DKI Jakarta, berdasarkan survey LSI. Dimana hamper 65 % masyarakat menginginkan adanya calon independen, yang ikut serta dalam pilkada DKI Jakarta. Sebenarnya pilkada DLI Jakarta harus dijadikan sebagai suatu test case, terhadap proses penyelenggaraan pilkada. Yang nantinya dapat dijadikan acuan terhadap proses pilkada yang akan berlangsung di daerah. Namun sangat disayangkan putusan ini, baru diputuskan setelah penetapan calon dan telah memasuki tahap kampanye. Terlepas dari itu, sebenarnya ini membuat harapan sebagian masyarakat untuk dapat memilih dan dipilih dalam proses pilkada nantinya.

Memang sangat diakui bahwasanya, calon independen sudah diterapkan dalam proses pilkada di Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Dan hal ini, menjadi perhatian rakyat Aceh pada khususnya, dan rakyat Indonesia pada umumnya. Dimana dalam UU Pemerintahan Daerah NAD, diatur bahwa dalam pilkada diperbolehkan perseorangan dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Hal hasilnya pilkada di Aceh sudah berlangsung dan dapat telah menetapkan pasangan Gubernur ada Wakil Gubernur serta beberapa Bupati di lingkungan Provinsi NAD, dimana proses pilkada dapat dikatakan berjalan baik. Walaupun disana-sini masih banyak kekurangan, tapi setidaknya dapat dijadikan contoh dalam pilkada yang akan diselenggarakan di daerah lain.

Independen vs Parpol

Memang diakui, setelah adanya kepurtusan yang dikeluarkan oleh MK terhadap UU No. 32 Tahun 2004. Maka terjadi kekosongan hukum dalam pelaksanaan teknis dilapangan yang merupakan menjadi acuan KPUD, sebagai penyelenggara pilkada. Mengutip pernyataan Ketua MPR Hidayat Nurwahid. Setidaknya Presiden, DPR dan KPU segera melakukan rapat koordinasi membahas hasil putusan MK agar tidak terjadi kekosongan hukum dalam pelaksanaan pilkada. Paling tidak dibuatnya Perpu, sebagai dasar hukum pelaksanaan pilkada.

Ketika MK mengeluarkan keputusan perseorangan dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah, hal ini membuat sebagian pengurus parpol kebakaran jenggot. Kenapa ??? karena setidaknya, parpol yang akan mencalonkan anggotanya untuk ikut dalam pilkada harus berfikir ulang dan menganalisa kemungkinan yang akan terjadi. Seperti, suara dari masyarakat yang awam dan gamang atau akar rumput (grass root), yang masih berubah-ubah.

Disisi lain, parpol setidaknya dapat termotivasi dalam menyeleksi calon yang akan diusungnya untuk ikut dalam pilkada nantinya. Namun yang harus menjadi perhatian adalah apa dan bagaimana syarat calon kepala daerah dari perseorangan atau independen. Jangan-jangan syarat yang akan menjadi ketentuan perseorangan untuk dapat ikut serta dalam pilkada, terlalu berat atau memiliki syarat yang hampir sama dengan syarat pencalonan dari parpol. Maklum saja yang membuat UU atau peraturan adalah DPR dan Pemerintah, dapat kita ketahui bahwa di DPR sana nota benenya berasal dari parpol. Kalau bisa dibilang DPR bukan perwakilan rakyat tapi perwakilan parpol.

Calon Independen : “Gue Banget !!!”

Melihat kemungkinan yang akan terjadi didaerah, bukanlah tidak mungkin semua rakyat dapat mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah. Dan yang paling penting adalah adanya persaingan yang sehat dan transparan serta memiliki akuntabilitas baik dari calon independen maupun dari parpol. Terakhir, mungkin saja harapan saya adalah dapat mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah di kota yang saya cintai yang akan dilaksanakan pada tahun 2008 nanti. Calon Independen : “Gue Banget !!!”. ***

Ahmad Salman Farisy, menyelesaikan pendidikannya di IPB Bogor. Kini aktif di Transparancy Internasional (TI) Tanggerang.