Oleh FIRMAN HAMIDI
SEBELUM saya masuk sekolah hanya ada satu orang yang selalu muncul dilayar tv. Dia muncul sebagai orang yang super hebatnya, super bijaknya. Dan seolah dialah “superman”
32 tahun lamanya negara ini dipimpin oleh dia. Diawali dengan keterpurukan pasca diturunkannya SUPERSEMAR (yang penuh tanda tanya). Dia kemudian menjelma menjadi petutur nan bijak yang pantang dibantah.
Setiap tahun saya disuguhi film-film yang melukiskan kehebatannya. Sehingga tercetak dibenak saya dan hampir seluruh bangsa Indonesia, kalo orang ini memang ”sakti mandra guna”.
Waktu itu hanya ada satu media tv yang bernama TVRI. TV satu ini tak pernah jemu menayangkan wajahnya dengan tangan kanan membawa sabit dan tangan kirinya membawa hasil panen. Pada masa itu hasil panen masih melimpah ruah. Padi, kedelai dan masih banyak hasil bumi lainnya.
Pada pemilu 1997 sebenarya dia sudah tidak ingin mencalonkan diri sebagai presiden. Katanya dia sudah merasa tua. Ditambah lagi dia telah kehilangan istri belahan jiwanya yang
telah meninggal pada tahun 1996. Pak tua itu tak sekuat dulu lagi.
Namun berkat bujuk rayu kroninya yang bernama Harmoko, Soeharto mau menjabat sebagi presiden lagi. Namun bujuk rayu itu adalah blounder. Dan di tahun 1998 blounder itu meledak dengan pengerahan masa dan pergerakan mahasiswa meminta soeharto turun setelah Indonesia dihantam krisis multi dimensi.
Minggu (27/1) sang Jenderal Besar tua yang murah senyum telah kembali menghadap Yang Kuasa. Dengan sangat tenang dan penuh kontroversi dia dipuja sebagai pahlawan. Senyum yang tenang tapi memiliki kekuatan batu dihatinya. Kasus hukum nyaris terkubur siring terkuburnya jazad soeharto.
Sangat timpang ketika sekarang dia dimakamkan dengan diiringi tembakan salvo sebagai penghormatan seorang pejuang. Sisisi lain, ribuan orang yang pernah mati dengan nama
buruk, dianggap tak ada. Semua itu demi membersihkan nama baiknya. Pelanggaran HAM yang sangat identik dengan kehidupany dulu, nyaris sempurna ditutupi.
tragedi 27 juli di timor-timur (timor leste sekarang), semanggi dan masih banyak lagi yang tak bisa pernah hilang ditelinga kita. Adalah catatan sejarah kelam hidup sang Jenderal Besar tua itu.
Bisakah kita bayangkan betapa mirisnya hati keluarga korban-korban Jenderal itu bila dibandingkan dengan kemewahan pemakamannya.Dengan iringan foraider dan keamanan yang cukup ketat, seperti pada masa hidupnya dulu. Seolah-olah dia masih presiden Republik Indonesia.
Apakah hati nurani sudah tidak ada lagi. Apakah airmata bangsa ini sudah kering. Bangsa ini tidak bisa mengenal siapa pahlawan yang sesungguhnya.
Wajar kita menghormati orang yang telah meninggal. Tapi tidak wajar bila kita berlebihan memberi hormat kepada orang yang tidak layak diberi hormat. ***
Firman Hamidi, anak bangsa pegiat jurnalisme radio di Yogyakarta.