Refleksi dari Perdebatan dua orang kawan di seberang Samudera
DI SEBUAH milist yang saya ikuti, dua orang yang saya kenal “bertengkar” soal Kuba. Kedua orang itu adalah Nezar Patria dan Coen Husain pontoh. Nezar adalah redaktur majalah mingguan Tempo. Setahu saya terakhir kali, Nezar tercatat sebagai mahasiswa post graduate di London School of Economic and Political Science /LSE (Inggris/UK). Sedangkan Coen merupakan bekas sahabat “politik” nya Nezar. Coen kini menetap dan menjadi penulis di New York (Amerika Serikat/AS).
”Pertengkaran” bermula dari artikel Nezar di Majalah Tempo (No.01/XXXVII/25 Februari – 2 Maret 2008) berjudul Bulan Di Atas Kuba (2008). Artikel itu sebenarnya bertutur tentang suksesi (pergantian penguasa) di Kuba, sebuah negara kepulauan di Benua Amerika. Fidel Castro yang memimpin negara itu hampir setengah abad lamanya, digantikan sang adik, Jenderal Raul Castro.
Kritik Coen atas artikel Nezar terjadi, karena Nezar menulis kuba dalam semangat yang “negatif”. Seperti kebanyakan artikel yang beredar di Indonesia tentang Kuba. Negara itu selalu diidentikkan sebagai negara sosialis yang tidak ramah ; dipenuhi kemiskinan ; dan dipimpin seorang yang disebut Nezar sebagai diktator, yaitu : Fidel Castro.
Saya sediri maklum dengan kedua “maestro” itu. Tetapi saya tergelitik ketika kritik Nezar memasuki sektor pendidikan dan kesehatan. Awalnya Nezar memuji Kuba. Nezar menulis,” …soal kesehatan dan pendidikan, Kuba boleh menepuk dada.”
Lalu pada kalimat berikutnya, tulisan Nezar terasa begitu kontradiksi.”…tetapi juga ada masalah. Dengan ekonomi morat-marit, sekolah kini kekurangan guru. Banyak tenaga pengajar pindah ke sektor turisme. Disektor itu duit lebih menjanjikan. Soal fasilitas kesehatan pun kini terancam gawat. Gedung rumah sakit banyak yang lapuk. Peralatan medis dan obat pun terbatas,” tulis nezar di halaman 121.
” ... Masak iya?” tulis Coen segera.
Coen sepertinya terusik. Dia menulis counter article untuk Nezar. Artikel itu pada subject email diberi judul,”Bulan Diatas Kuba: a Critique.” Coen menyebarkannya secara terbatas dalam sebuah milist. Hanya peserta milist itulah yanga dapat mengakses.
Dalam artikel itu Coen membeberkan sejumlah fakta tentang Kuba, termasuk pada bidang pendidikan. ”Kuba adalah negara dengan jumlah guru terbesar di Amerika latin,” tulis coen.
Lebih lanjut Coen menerangkan untuk Sekolah Dasar di Kuba, komposisi guru-murid nya adalah 1:20. Artinya satu orang guru melayani 2o orang murid. Sedangkan untuk tingkat SLTP perbadingannya 1 : 15. Menurut Coen yang tinggal di AS, angka perbandingan seperti itu tidak ditemukan di negara lain, termasuk di negara sekaliber AS.
Saya tidak akan ikut-ikutan dalam perdebatan ”kontemporer” antara Coen dan Nezar itu. Saya lebih tertarik mencari tahu, kenapa komposisi guru-murid di Kuba bisa sedemikian. Apa gerangan yang membuat negara yang dipimpin Fidel Castro itu (yang konon disebut Nezar sebagai diktator) bisa membangun pendidikan dan kesehatan yang mencengangkan bangsa-bangsa di muka bumi ini.
Kuba: Refleksi Tanggung Jawab Sebuah Negara
Bagi Haridadi Sudjono, Kuba dengan ibukotanya Havana, bukanlah nama asing. Sudjono pernah tinggal lama di Kuba sebagai Duta Besar Republik Indonesia (1999-2003). Sebuah gambaran tentang Kuba pernah dituliskannya dalam artikel yang berjudul Hidup Sederhana Gaya Kuba (Kompas, 05/01/2008).
Dalam artikel itu Sudjono menyebut fasilitas kesehatan dan pendidikan di Kuba sangat baik dan gratis. Namun, gratis di Kuba tidak sama dengan gratis di Indonesia. Di negara kita ini, kata gratis selalu tidak diikuti mutu pelayanan yang baik. Gratis sama dengan murahan alias buruk. Coba lihat pelayanan berobat bagi warga pemegang surat miskin. Nasibnya tak ubah seperti bola kaki yang ditendang kesana-sini.
Sedangkan di Kuba, istilah gratis adalah jaminan mutu.”Banyak penderita sakit dari berbagai negara (bahkan yang dikenal lebih maju) berobat ke Kuba karena teknologi kedokteran dan terutama kualitas dokter serta pelayanannya sangat baik dan maju,” tulis Sudjono pada paragap kedua dari artikel nya.
Selain itu pelayanan gratis hanya diberikan kepada warga negara, sedangkan warga asing dikenai pembayaran. ”Namun, rakyat Kuba yang tidak dikenai pembayaran mendapat perlakuan yang sama baiknya dengan orang asing yang membayar mahal,” tulis Sudjono lebih lanjut.
Disektor pendidikan, Kuba di kenal luas dengan lulusan kedokteran yang profesional. Selain itu, negara ”cerutu” ini, juga dikenal karena menghasilkan pelatih olahraga yang mumpuni. Sebut saja olahraga tinju dan voli. Sampai sekarang untuk olahraga voli, Kuba adalah langganan juara dunia.
Sukses mencetak tenaga terdidik secara profesional. Ternyata itu yang menompang perekonomian Kuba. Walau diembargo habis-habisan oleh Amerika Serikat, bahkan sudah setengah abad lamanya. Kuba serasa tidak mengalami masalah yang serius. Menghadapi embargo itu, Kuba punya ”trik”.
”Kalau Kuba merasa tidak memiliki minyak untuk menopang kegiatan industri, negeri itu ”menjual” dokter nya ke Venezuela dan negara Amerika Latin lain nya untuk ditukar dengan minyak dan kebutuhan lain nya. Kuba juga menghasilkan banyak pelatih olahraga, misalnya untuk tinju dan voli, yang “dijual” ke negara lain, termasuk (ke) Indonesia. Honor yang mereka terima sebagian diserahkan kepada kedutaan negaranya sebagai sumbangan wajib bagi negara nya…,” terang Sudjono. Hmm..
Lantas program seperti apa yang dulu digelar Castro, sehingga mereka bisa punya banyak tenaga ahli seperti sekarang? Padahal kita mengetahui Kuba adalah negara kecil dan miskin.
Pendidikan Di Kuba: A Nation Becomes a University *)
El Ingle, 14 Juni 1961
Kepada yang terhormat,
Perdana Menteri DR. Fidel Castro.
Saya menulis sedikit catatan kepada Anda, untuk menyatakan bahwa saya tidak tahu bagaimana menulis atau membaca. Terima kasih kepada Anda, yang telah merealisasikan rencana melek huruf ke dalam praktek. Saya juga berterima kasih kepada para guru yang telah mengajari saya, sehingga membuat saya bisa membaca dan menulis. Saya adalah seorang miliciano dan saya bekerja di koperasi Rogelio Perea. Saya sangat senang jika Anda mau berkunjung ke koperasi ini.
Viva la revolucion socialista
Patria o Muerte
Venceremos
Salam,
Felix D. Pereira Hernandez
Surat yang ditulis Hernandez ini, adalah salah satu bentuk penghargaan rakyat Kuba terhadap Fidel Castro, atas kepemimpinannya dalam memajukan dunia pendidikan di Kuba. Sebagaimana ditulis Leo Huberman dan Paul Sweezy, dalam buku mereka yang telah menjadi klasik,“Socialism in Cuba,” pendidikan di Kuba adalah salah satu contoh tersukses rejim Sosialis.
Kebijakan memajukan pendidikan di Kuba, sebenarnya telah dicanangkan sejak rejim Castro belum lagi berkuasa. Saat itu, bertempat di Fort Moncanda, pada 26 Juli 1953, Castro menyatakan ada enam problem yang “kita harus sesegera mungkin menyelesaikan secara bertahap” yakni, masalah tanah, industrialisasi, perumahan, pengangguran, pendidikan, dan kesehatan. Tapi, rencana itu baru mulai betul-betul dicanangkan, saat Fidel Castro di hadapan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Banga (PBB), pada September 1960, menyatakan bahwa 1 Januari 1961 telah dicanangkannya sebagai tahun dimulainya kampanye besar-besaran di negaranya dalam memberantas buta huruf. Tahun itu juga ditetapkan sebagai Tahun Pendidikan (The Year of Education).
Sejak saat itu, dimulailah mobilisasi dan perencaan pembangunan sektor pendidikan di seluruh negeri. Para brigadistas (relawan) yang diterjunkan ke lapangan membawa buku petunjuk dan bendera Kuba satu tangan dan lampu paraffin (simbol kampanye) di tangan lainnya. Dalam memobilisasi massa terdidik untuk mengajari massa rakyat yang buta huruf, slogan yang dikumandangkan adalah “the people should teach the people.” Di kantor-kantor, di lahan-lahan pertanian dan perkebunan, dan pabrik-pabrik dikumandangkan slogan, “If you know, teach; if you don’t know, learn.”
Sementara di radio dan televisi nasional, setiap saat diumumkan bahwa “Every Cuban a teacher; every house a school.” Di organisasi-organisasi massa, dipropagandakan kepada seluruh anggotanya bahwa penyair menulis puisi, artis melukis gambar dan mendesain poster, penulis lagu menulis lagu, pers memuat berita utama tentang kemajuan dan para fotografer berpartisipasi dalam kampanye melalui gambar. Pokoknya, seluruh bangsa turut berperanserta dalam gerakan revolusioner besar-besaran dalam bidang kebudayaan: penghapusan buta huruf.
Pada 22 Desember 1961, program alphabetisasi ini berakhir. Hasilnya, angka buta huruf merosot drastis, dari 23,6 persen ketika program ini pertama kali dicanangkan menjadi tinggal 3,9 persen. Bandingkan misalnya, dengan negara-negara lain di kawasan Amerika Latin, dimana sekitar 33 persen penduduknya adalah buta huruf. Rata-rata angka buta huruf di kawasan itu bervariasi dari 8,6 persen di Argentina hingga 80 persen di Haiti. Melihat sukses ini, Huberman dan Sweezy menulis,“Never in the history of education anywhere in the world had there been so successful an achievement.”
Tapi, Anda mungkin bertanya, itu khan prestasi Kuba ketika perang dingin tengah berlangsung? Prestasi yang dicapai ketika negara-negara komunis, terutama Uni Sovyet, masih merupakan partner dagang terbesar Kuba? Bagaimana keadaannya kini, ketika komunisme sudah dinyatakan gagal?
Universitas Untuk Semua
Di negeri yang terkenal karena produk cerutunya itu, tingkat melek huruf penduduknya sangat tinggi. 97 persen dari penduduk yang berusia di atas 15 tahun bisa membaca dan menulis. Dari komposisi itu, jumlah laki-laki yang melek huruf mencapai 97, 2 persen, sedangkan perempuan mencapai 96,9 persen. Saat ini, Kuba juga merupakan negara dengan tenaga guru terbesar dan tersukses dalam bidang pendidikan. Sebelum revolusi pada 1959, angka buta huruf sebesar 30 persen. Kini penduduk yang buta huruf nol persen. Dari segi komposisi jumlah guru-murid, untuk tingkat sekolah dasar dari setiap 20 murid dilayani oleh satu orang pengajar. Untuk tingkat sekolah menengah, satu orang pengajar melayani 15 murid. Keadaan ini menyebabkan hubungan antara guru-murid berlangsung secara intensif.
Setiap guru di Kuba adalah lulusan universitas dan memperoleh pelatihan yang sangat intensif dan berkualitas selama masa karirnya. Yang unik dari sistem pendidikan Kuba, adalah hubungan guru-murid-orang tua yang tampak dikelola secara kolektif. Seluruh staf pendidikan (pengajar dan pegawai administrasi) tinggal di dekat sekolah, sehingga mereka saling mengenal satu sama lain. Bersama murid dan orang tuanya, para guru ini bekerja bersama dan menyelesaikan secara bersama masalah-masalah menyangkut bidang pendidikan, pertanian, dan kesehatan. Metode ini merupakan pengejawantahan dari nilai hidup yang diwariskan Che Guevara, tentang solidaritas kelas. Dengannya, pendidikan tidak hanya bermakna vertikal, dimana semakin terdidik orang peluangnya untuk berpindah kelas semakin terbuka. Tapi, juga bermakna horisontal, dimana pendidikan sekaligus bertujuan memupuk dan mengembangkan solidaritas antar sesama, penghargaan terhadap alam-lingkungan dan kemandirian.
Menurut Juan Casassus, anggota tim dari the Latin American Laboratory for Evaluation and Quality of Education at UNESCO Santiago, prestasi tinggi Kuba dalam pendidikan ini merupakan hasil dari komitmen kuat pemerintahan Kuba, yang menempatkan sektor pendidikan sebagai prioritas teratas selama 40 tahun sesudah revolusi. Pemerintah Kuba memang mengganggarkan sekitar 6,7 persen dari GNP untuk sektor ini, dua kali lebih besar dari anggaran pendidikan di seluruh negara Amerika Latin.
Dengan anggaran sebesar itu, pemerintah Kuba berhasil membebaskan seluruh biaya pendidikan, mulai dari level sekolah dasar hingga universitas. Bebas biaya pendidikan diberlakukan juga untuk sekolah yang menempa kemampuan profesional. "Everyone is educated there. Everyone has access to higher education. Most Cubans have a college degree," ujar Rose Caraway, salah satu mahasiswa AS yang ikut progam studi banding di Kuba, pada 2005. Kebijakan ini menjadikan rakyat Kuba sebagai penduduk yang paling terdidik dan paling terlatih di seluruh negara Amerika Latin. Saat ini saja ada sekitar 700 ribu tenaga profesional yang bekerja di Kuba.
Tetapi, kebijakan menggratiskan biaya pendidikan ini tampaknya kurang mencukupi. Sejak tahun 2000, pemerintah Kuba mencanangkan program yang disebut “University for All.” Tujuan dari program ini adalah untuk mewujudkan mimpi menjadikan Kuba sebagai “a nation becomes a university.”
Melalui program ini seluruh rakyat Kuba (tua-muda, laki-perempuan, sudah berkeluarga atau bujangan) memperoleh kesempatan yang sama untuk menempuh jenjang pendidikan universitas. Caranya, pihak universitas bekerjasama dengan Cubavision and Tele Rebelde, menyelenggarakan program pendidikan melalui televisi. Perlu diketahui, saat ini media televisi Kuba menyediakan 394 jam untuk program pendidikan setiap minggunya. Jumlah ini sekitar 63 persen dari total jam tayang televisi Kuba. Dalam kerjasama ini, pihak universitas menyediakan paket kurikulum pendidikan dan tenaga pengajar dan pemikir yang berkualitas. Sebagai contoh, salah satu mata acara yang disuguhkan adalah sejarah filsafat, yang diasuh oleh Miguel Limia, seorang profesor filsafat dari institut filsafat.
Demikianlah, sejak program ini on-air pada 2 Oktober 2000, ada sekitar 775 profesor yang datang dari universitas-universitas besar di Kuba yang aktif terlibat dalam program ini.
Hasil dari komitmen dan kerja keras pemerintah Kuba dalam membangun sektor pendidikan ini, nampak dari hasil kajian perbandingan yang dilakukan oleh UNESCO, terhadap siswa dari 13 negara Amerika Latin di bidang matematika dan bahasa. Dari studi itu diperoleh hasil, prestasi siswa Kuba jauh di atas prestasi siswa dari negara lainnya yakni, sekitar 350 point. Bandingkan dengan Argentina, Chile, dan Brazil yang nilainya mendekati 250 poin.
Prestasi Bidang Kesehatan
Salah satu prestasi tertinggi dari pembangunan pendidikan Kuba, tampak dalam bidang pendidikan kesehatan. Seperti dikemukakan Cliff DuRand, profesor emeritus filsafat di Morgan State University, Baltimore, AS, saat ini rata-rata tingkat kematian dini di Kuba hanya 5,8 kematian dalam satu tahun untuk 1.000 kelahiran. Angka ini adalah yang terendah di kawasan Amerika Latin, bahkan lebih rendah dari yang terjadi di Amerika Serikat.
Jumlah tenaga dokter per kapita Kuba jauh lebih banyak dibandingkan negara manapun di dunia. Saat ini saja, ada sekitar 130.000 tenaga medis profesional. 25.845 tenaga dokter Kuba bekerja untuk misi kemanusiaan di 66 negara, 450 di antaranya bekerja di Haiti, negara termiskin di benua Amerika. Sebagian lainnya bekerja di kawasan-kawasan miskin di Venezuela. Ketika terjadi bencana topan Katrina di New Orleans, beberapa waktu lalu, Presiden Fidel Castro berinisiatif mengirimkan 1.500 tenaga dokter. Tapi, inisiatif ini ditolak oleh pemerintah AS dengan alasan yang sifatnya politis.
Tidak hanya untuk rakyat Kuba, kini melalui Latin American School of Medicine, pemerintah Kuba memberikan beasiswa untuk pendidikan kesehatan kepada ratusan kaum muda miskin dari seluruh negara Amerika Latin, Afrika, bahkan Amerika Serikat. Yang menarik, di Kuba pengajaran kesehatan tidak hanya menyangkut soal ilmu pengetahuan dan seni pengobatan tapi, juga nilai-nilai pelayanan sosial terhadap kemanusiaan. Seperti dikemukakan Castro, ketika mewisuda 1610 mahasiswa pada musim panas Oktober 2005,“modal manusia (human capital) jauh lebih bernilai ketimbang modal kapital (financial capital). Modal manusia meliputi tidak hanya pengetahuan, tapi juga – dan ini yang sangat mendasar – kesadaran, etika, solidaritas, rasa kemanusiaan yang sejati, semangat rela berkorban, kepahlawanan, dan kemampuan menciptakan sesuatu dalam jangka panjang.”
Refleksi Penutup : INDONESIA
Pada bulan Maret tahun lalu (2007) saya pernah diminta bicara soal pendidikan oleh sebuah organisasi kemahasiswaan. Saat itu saya menulis makalah yang berjudul ”Qua Vadis Pendidikan Indonesia (2007)”. Dipenghujung makalah itu saya menyebut tiga persoalan dalam pendidikan Indonesia, yaitu : (1) Soal akses untuk mendapatkan pendidikan yang tidak merata dan cenderung diskriminatif (2) Orientasi pendidikan yang terlalu berfokus pada penyediaan tenaga kerja untuk pasar (3) Tingkat kesejahteraan pekerjaan disektor pendidikan yang rendah.
Sekarang ini pendidikan menjadi mahal. Sekolah-sekolah yang bermutu berkurang jumlahnya. Subsidi untuk pendidikan jauh dari cukup. Walau undang-undang sudah mengamanatkan 20 persen dari APBN harus untuk pendidikan. Namun pemerintah tidak pernah ”mau” merealisasikan itu. Alasannya ”Negara masih dalam keadaan sulit, pemerintah tidak punya uang”.
Darmaningtyas dalam artikel Utang, Korupsi, dan Akses Pendidikan Dasar (2004) menepis alasan pemerintah itu. Bagi Darmaningtyas, alasan negara miskin sehingga tidak bisa mensubsidi pendidikan, hanyalah akal-akalan pejabat negara dan politisi.
”Tetapi menurut penulis, akar masalah bukan pada ”kemiskinan” negara secara ekonomis, tetapi kemiskinan jiwa pemimpinnya ; sehingga memberi beban utang menggunung (lebih dari Rp. 200 trilliun), mental korup, dan proyek. Akibatnya rezim manapun yang berkuasa akan tetap diwarisi beban nyaur utang, mental korup, dan project oriented (segala sesuatu dijalankan bukan untuk menyelesaikan masalah, tetapi hanya membuat proyek). Mental proyek itulah yang melahirkan inefisiensi dalam penggunaan dana negara.”
Darmaningtyas mencontohkan SMP Negeri Utung Jawa, Kepulauan Seribu, Jakarta. SMP itu di bangun dengan 9 ruang kelas (lokal). Selain itu ada fasilitas 15 komputer dan 2 faksimilie. Sedangkan siswanya hanya 130 orang sehingga enam lokal tidak tidak digunakan. “Demikian pula komputernya jarang dipakai karena kebutuhan pelajar di sana bukan keterampilan komputer, tetapi keterampilan menangkap ikan tanpa merusak lingkungan. Untuk apa komputer, kecuali mendidik mereka menjadi kaum urban ke Jakarta?” tulis Darmaningtyas.
Kritik Darmaningtyas membuka fenomena “akut” yang terjadi di tubuh birokrasi. Dana pendidikan yang kecil itu, malah digunakan secara tidak effesien dan effektif.
Sudah menjadi rahasia umum kalau alokasi dana publik untuk pendidikan kalah jauh dari sektor lain. Di Kabupaten Sleman, Yogyakarta contohnya. Dana subsidi untuk PSS Sleman (sebuah klub sepak bola peserta Liga Indonesia) untuk tahun 2008 adalah sebesar Rp. 5 miliar, sedangkan untuk subsisi pendidikan hanya 3,1 Miliar (Kompas, 8/3).
Fakta yang lebih dilematis lagi terjadi di Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. Kabupaten ini merupakan daerah terkaya se Indonesia. Di Kutai Kertanegara, sederet bagunan mewah perpaduan arsitektur moderen dan tradisional, menjadi “etalase” dari kekayaan itu. Tapi pemandangan kontras terlihat di SMP N Tenggarong yang terletak di jalan Ki Hajar Dewantara. Bagunan SMP itu sudah rapuh dan bocor. “ Sementara itu, di Kecamatan Muara Badak Masih ada SD filial yang terpaksa memanfaatkan rumah dengan kondisi seadanya,” ungkap Tonny D Widiastono dalam laporannya yang berjudul Kebijakan Pendidikan ; Ke Mana Arah Pendidikan Kita ? (2008).
Sampai di titik ini, saya menjadi sepakat dengan Darmaningtyas. Persoalan pendidikan di negara ini berhubungan erat dengan kemiskinan jiwa pemimpin nya. Bukan dengan kemiskinan ekonomi.
Kabupaten Jembaran, di Provinsi Bali adalah contoh bagus untuk ditiru. Bagi Bupati Jembaran, I Gede Winasa, alokasi pendidikan tidak harus dipatok dengan persentase. “Bagi kami, investasi sumber daya pendidikan di atas segalanya,” ungkap Winasa (Kompas, 8/3).
Walau Pendapatan Asli Daerah (PAD) Jembaran hanya Rp. 15 Miliar (2007). Namun pendidikan mulai dari SD hingga SMA/SMK sudah digratiskan semenjak tahu 2001. Tidak hanya itu. “Jembaran berani memberikan penghargaan kepada guru berupa insentif Rp.5000,- per jam ( di luar tunjangan guru), bonus, dan gaji ke-14 sebesar Rp.1 juta per tahun,” ulas Kompas dalam Anggaran Pendidikan ; Kepedulian atas Pendidikan Lahirkan Manusia Unggul (2008).
I Gede Winasa seolah menjadi Fidel Casrtro nya Indonesia. Mereka berdua membuka wawasan kita tentang pemaknaan “Pemimpin yang Bertanggungjawab”. Kini, ketika kita membicarakan pendidikan di Nias, kita tidak boleh mengabaikan dua nama diatas. Mereka menjadi cerminkan bahwa pendidikan juga tergantung pada kebijakan penguasa. Jika penguasa (birokrasi) dipilih oleh rakyat. Tentu logika nya, penguasa (birokrasi) itu harus berkerja untuk melayani kepentingan rakyat.
Kini pertanyaan nya,” Mampukah rakyat (warga) mendesak penguasa (birokrasi) untuk melayani kepentingan rakyat?”
Jika rakyat tidak mampu (tidak berdaya), maka rakyat harus diperkuat (empowerment) agar menjadi mampu (berdaya). Dan melakukan penguatan/pemberdayaan itu adalah tugas mereka yang mengaku bekerja di ranah pengembangan masyarakat (community development). Ya, seperti kita ini..***
Erix Hutasoit, bekerja sebagai communication and advocacy officer pada Caritas Keuskupan Sibolga. Tulisan ini merupakan pengantar diskusi program advokasi pendidikan.
*) Isi judul diatas dikutip langsung dari http://indoprogress.blogspot.com