Oleh THOMAS PRASASTI
CERITA tentang Indonesia sebagai negara agraris. Letak geografis yang strategis. Iklim yang mendukung. Kaya akan pendukung pertanian; seperti tanah yang subur, air melimpah, kekayaan hayati yang beraneka ragam. Serta memiliki sumber daya manusia yang cerdas. Tapi semua itu perlu kita pertanyakan kembali.
Fakta yang kita alami saat ini adalah iklim yang sukar diprediksi. Kekayaan hayati semakin berkurang. Sumber daya pendukung pertanian yang makin menipis. Suplai pangan yang tergantung dari negara lain. “Lalu bagaimana generasi nya?” Suka atau tidak, generasi sekarang kalah cerdas dan kalah bermartabat dibanding generasi Tan Malaka, Syahrir, Soekarno atau Hatta. Hmm..
Di Indonesia. Petani, sebagai profesi mayoritas. Selain buruh atau pekerja. Termasuk golongan yang tidak mampu mengakses pendidikan tinggi. Dalam bahasa sederhana, bangsa ini telah bangkrut. Sumber daya alamnya habis, hutangnya banyak. Mayoritas masyarakat nya miskin dan bodoh. Akhirnya, bangsa ini terbelit lingkaran setan: miskin – bodoh – tidak produktif. Kemudian tambah miskin – bodoh dan seterusnya.
Mencari Solusi Alternatif yang Logis & Realistis
Ketika kita mencoba merunut mengapa, bagaimana itu terjadi dan siapa yang bertanggungjawab. Jawaban yang sering muncul adalah karena pemerintah salah mengelola bangsa ini.
Pembangunan lebih ditekankan pada pertumbuhan ekonomi. Namun manusianya (masyarakat) justru dijadikan obyek pembangunan. Pemerintah sebagai pemegang otoritas pengelolaan negeri ini, belum mampu - kalau tidak mau dikatakan belum mau - untuk berpihak pada rakyat jelata. Pemerintah pro sistim kapitalis.
Menyalahkan dan saling menyalahkan tidak akan menyelesaikan masalah. Langkah yang lpenting setelah menemukan akar masalah adalah mencari solusi alternatif yang tepat.
Jika pemerintah dan penentu kebijakan publik negeri ini belum bisa diharapkan. Lantas alternatif yang logis dan realistis harus dating dari penati. Petani harus mandiri !
Perjuangan menuju kemandirian
Kelemahan yang dimiliki generasi petani kita saat ini setidaknya ada tiga. Pertama, mengenai teknis pertanian. Pada tingkatan On-farm, generasi petani saat kehilangan pengetahuan dan ketrampilan dalam menyediakan sarana produksi secara mandiri. Pupuk, insektisida, herbisida, sampai benih. Semuanya diperoleh dengan membeli alias tergantung pada pabrik. Ironisnya pabrik-pabrik penyuplai itu saham nya dikuasai bangsa asing.
Padahal. Kita masih memiliki ragam ternak yang dapat mendukung usaha pertanian. Sebut saja : kerbau, sapi, kambing, unggas. Bahkan di beberapa daerah ada hewan liar seperti kelelawar, yang kotorannya dapat diolah menjadi pupuk organik. Pupuk yang ramah lingkungan.
Belakangan ini muncul bermacam merek pupuk organik. Pupuk seperti ini relatif ramah lingkungan dibanding pupuk sintetis buatan pabrik. Namun jika petani tetap harus membeli, petani tetap tidak mandiri. Belum lagi maraknya pemalsuan pupuk. Atau sertifikasi produk organik yang hampir belum ada pengawasannya.
Jalan yang harus ditempuh oleh petani – dan ini langkah yang tidak bisa dikompromi, adalah mereka harus mampu menyediakan secara mandiri seluruh sarana produksi. Mulai penyediaan benih lokal, serta penyediaan pupuk, insektisida, herbisida organik yang berasal dari sumber daya alam setempat. Petani juga harus kembali menggunakan alat-alat pertanian ”manual”, seperti sabit, cangkul, mata bajak yang ditarik ternak sapi atau kerbau dalam mengolah tanah. Daripada menggunakan traktor yang berat yang berakibat tanah menjadi padat atau pejal. Ternak selain tenaga dan kotoran nya bisa dimanfaatkan. Daging dan susu nya juga sumber protein bagi keluarga. Selain itu, ternak juga jenis tabungan atau aset yang mudah dicairkan.
Kedua, mengenai Manajemen Usaha Tani. Generasi petani sekarang tidak memiliki kemampuan mengelola usaha pertanian. Mereka hampir tidak memiliki pengetahuan dan ketrampilan dalam membuat perencanaan. Mulai dari tahap produksi hingga pemasaran.
Penentuan jenis komoditi yang dibudidayakan, tidak didasarkan dari survey pasar. Artinya belum memiliki orientasi memproduksi komoditi sesuai yang diinginkan pasar atau konsumen. Ditambah pengetahuan dan ketrampilan dalam membudidayakan komoditi juga rendah.
Seringkali setelah panen, komoditi petani tidak diterima pasar. Penyebabnya beragam. Bisa karena mutunya rendah, atau kalau kebetulan mutunya baik tapi over production (kelebihan produksi) sehingga harganya “terjun bebas”. Padahal dalam ilmu manajemen, perencanaan (planning) wajib hukumnya! Petani belum bisa memenuhi tuntutan pasar: 4 K, kualitas, kuantitas, Kontinuitas, dan Kepercayaan. Maka mulai sekarang, petani harus berani untuk belajar !
Berikutnya, generasi petani tidak memiliki otoritas menentukan harga komoditas pertanian. Ketika panen mereka justru bertanya kepada pedagang,”berapa harga beras saya?” begitu pula dengan komoditi lain. Seperti singkong, jagung, kedelai, kakao dan seterusnya.
Ketiga, adalah mengenai manajemen Organisasi. Kembali menurut ilmu manajemen. Setelah perencanaan dilakukan, perlu dimantapkan dengan melakukan pengorganisasian (organizing). Petani harus berani jujur mengakui keterbatasannya sebagai individu. Maka harus mau bersatu – dengan jalan berkelompok.
Didalam kelompok inilah dilakukan perencanaan produksi. Mulai dari penetuan jenis komoditi maupun luasan lahan (nantinya berkaitan dengan volume yang dihasilkan), hingga melakukan pemasaran secara bersama - secara kelompok bahkan asosiasi. Dengan pemasaran bersama, posisi tawar petani meningkat. Posisi mereka sejajar dengan pedangang! Petani perlu uang - pedagang perlu barang, terjadilah simbiosis mutualisme. Sehinga harga yang disepakati berdasarkan kualitas komoditi. Ini jauh lebih adil bagi petani.
Sedangkan pada tingkatan off – farm. Pengetahuan dan ketrampilan generasi petani kita, dalam mengelola komoditi sejak keluar dari lahan. Masih rendah. Kasus yang sering terjadi, dengan budidaya yang tanpa perencanaan produksi, maka harga komoditi jatuh.
Dengan berkelompok, selain perencanaan produksi dan pemasaran bersama. Petani juga bisa mengatasi harga yang anjlok.
Pertama, melakukan penanganan paska-panen dengan benar untuk menjaga kualitas komoditi. Kualitas yang baik akan mendongkrak harga komoditi.
Kedua, pada saat harga rendah, petani menyimpan komoditi dengan benar secara bersama. Sehingga kualitasnya tetap terjaga. Baru setelah harganya tinggi, komoditi baru dilepas ke pasar.
Ketiga, petani dapat mengupayakan pengolahan komoditi menjadi produk. Tujuannya untuk meningkatkan nilai atau harga komoditi. Misalnya mengolah singkong menjadi gaplek atau tepung atau menjadi makanan. Kalau menguasai teknologinya, singkong bisa “disulap” menjadi bio-diesel. Jagung dapat diolah menjadi makanan ternak, maupun makanan manusia. Jahe, kunir, temulawak dan jenis empon-empon lain dapat diolah menjadi produk minuman instan yang menyehatkan. Cabai, rempah, atau sayur-mayur dapat diolah menjadi bumbu siap saji yang memiliki kandungan gizi lengkap untuk keluarga.
Keempat, generasi petani sekarang tidak lagi mempunyai lahan yang luas. Karena itu, selain kreatif & inovatif, petani harus mampu melakukan lobby atau negosiasi dengan pemerintah dan stakeholder lain. Misalnya kepada asosiasi profesi lain, atau ormas lain untuk memperjuangkan landreform di wilayahnya.
Kelima, petani mulai memiliki kebanggaan akan profesinya dan terhadap komoditi yang dihasilkannya. Petani mulai secara “fanatic” menggunakan produknya. Dan menolak produk sejenis yang berasal dari luar wilayahnya.
Petani Bermartabat & Sejahtera
Seandainya petani mau bersatu, maka kekuatannya akan dasyhat dan sulit dicari tanding. Perlu diingat, solusi alternatif yang ditawarkan di atas, hanya bisa berhasil jika petani berjuang secara terorganisisr dan sistematis. Perjuangan membutuhkan pengorbanan. Walau “sakit” diwal namun buah nya akan “manis” diakhir. Maka konsisten pada tujuan perjuangan adalah keharusan. Nyalakanlah terus harapan di hati. Menjadi manusia yang mandiri, lebih bermartabat dan sejahtera. Petani, nasibmu ada di tangan mu, maka : bersatu & bergeraklah !.***
Thomas Prasasti, Community Organizer Petani & Buruh, tinggal di Bandar Lampung