Oleh ZULFIKAR AKBAR
DEFENISIKAN saja khotbah dengan orang yang paham tentang ilmu keagamaan yang berdiri di depan khalayak dan menyampaikan orasi keagamaan, mengangkat persoalan yang berkaitan dengan agama. Baik pada hari Jum’at maupun pada seremoni keagamaan lainnya.
Lazimnya, khotbah mengajak manusia untuk melihat relasinya dengan Tuhan, dengan Allah. Sangat jarang sebuah khotbah yang membangkitkan orang untuk juga seimbang dalam melihat permasalahan disekitar. Sebut saja kemiskinan, bagaimana masalah tersebut harus diselesaikan, sangat jarang terbahas di media tersebut. Lantas, seseorang mendebat saya,”toh, mereka ahli dalam bidang agama, bukan dalam masalah sosial. Sosial mah kan ada pakar lain tersendiri? Kalau seorang agamawan juga ikut-ikutan berbicara persoalan sosial, apalagi yang harus di kerjakan seorang ahli sosial?”
Begini, sejauh ini---lepas dari posisi saya sebagai pemeluk sebuah agama----, saya meyakini bahwa sebagai agama, spesifik Islam, tidak saja mengatur persoalan yang melangit. Relasi yang hanya berit dengan Manusia dengan Tuhan saja, tetapi juga Islam mengatur hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan makhluk lain. Intinya, dalam Islam jama’ diketahui mengandung nilai-nilai universalitas. Nah, nilai-nilai universalitas itu yang semstinya menjadi acuan, menjadi barometer untuk kemudian di ejawantahkan kedalam perilaku keseharian. Tentu saja kalau saya kembalikan ke tema yang memiliki keterkaitan ke persoalan sosial, maka khutbah semestinya tidak luput dari keniscayaan ini.
Sesekali menolehlah kesamping saat anda sedang mengikuti khotbah Jum’at. Silahkan kalkulasikan menurut yang anda bisa lakukan, berapa orang yang bear-benar serius dalam mendengarkan khutbah tersebut. Dan berapa orang yang terlihat terpekur dengan mata terpejam, sepintas nampak begitu serius dalam menyimak, sepertinya sedang menghayati apa-apa yang disampaikan oleh peng-khotbah. Baru kita tersentak, saat iqamat dikumandangkan, terlihatlah bagaimana mereka mengucek-ucek mata seperti bayi yang baru bangun tidur. Beberapa dengan cerdas bisa mengusap wajahnya, laiknya orang yang habis berdoa untuk menyembunyikan ia baru saja menikmati pola tidur unik, tidur sembari duduk.
Kenapa hal itu bisa terjadi. Kita akui, dari sejak kita masih berstatus sebagai bocah dulunya, betapa telah cukup akrabnya kuping ini tersinggahi dengan ekspresi penceramah yang seperti marah, terkadang ada yang sampai memdelikkan mata, tak jarang juga dengan warna mata yang memerah. Sebuah ironi juga, bagaimana mereka yang ‘phobia’ dengan agama justru menjadikan fenomena tersebut sebagai guyon. Tak sedikit yang mengatakan Islam sebagai agama pemarah, yang melulu hanya mengancam umatnya dengan neraka.
Itu realitas. Lantas apakah sebuah pilihan cerdas ketika kita menggeram marah saat menjadi bahan ledekan. Tidak. Ledekan-ledekan yang kemudian mencuat itu merupakan akibat, sebuah akibat yang di sebabkan oleh perilaku keagamaan kita yang terkadang sudah begitu melangit sampai kita lupa, begitu banyak permasalah yang ada disekeliling kita yang juga membutuhkan perhatian kita semua. Dan media khutbah menjadi sebua media alternatif sebenarnya yang sangat tepat untuk membicarakan hal itu. Memberikan pencerahan kepada pendengarnya agar mata masyarakat terbuka. Apalagi, jika hari ini permasalahan seliter beras bukanlah masalah besar bagi kita. Minyak kompor didapur tidak mengganggu pikiran kita. Tentu berbeda halnya dengan ribuan masyarakat yang masih menempati ‘tahta’ angka dalam segi kesejahteraan yang rendah.
Terakhir kita disodorkan berita yang sedikit enak didengar, bahwa jumlah angka kemiskinan di Aceh adalah 26, 65 % (http://www.nad. go.id). Tetapi itu dikertas, dalam laporan dan yang sejenisnya, bagaimana riilnya? Saya kira penting untuk kita lebih banyak untuk masuk ke lorong-lorong kota dan dusun-dusun di pelosok, saya tidak yakin anda juga akan mengangguk dengan keabsahan dari data tersebut.
Selanjutnya mari kita melangkah ke warung-warung kopi, pusat infromasi yang paling representatif di Aceh. Tempat orang dari semua unsur masyarakat ngaso obrolkan banyak permasalahan. Dari bisnis sampai dapur yang telah beberapa hari tidak mengepulkan asap. Dari persoalan politik sampai ke ekspresi wajah istri yang muram karena kurangnya setoran. Lakukan saja diskusi kecil dengan para awak becak. Betapa, masayrakat kecil tidak banyak yang terlalu mempersoalkan lagi tentang relasi dengan Tuhan seperti apa? Memakmurkan mesjid bagaimana? Toh, alam pikiran mereka terbalut dengan keadaan istri yang mungkin sedang menunggu proses persalinan yang menuntut biaya yang sulit terjangkau. Atau anaknya yang sudah tidak betah untuk sekolah karena belum bisa digantikan ayahnya celana yang sudah bertambal dengan yang lebih baik. Menjadi sebuah hal penting para peng-khotbah, para da’i di Aceh untuk lebih sering merekam semua fenomena tersebut. Karena agama tidak diturunkan Tuhan untuk Tuhan, tetapi juga Ia secara cerdas menitahkan kita untuk tawazun (baca: seimbang) dalam mencermati apa yang semestinya diprioritaskan. Agar kedepan jangan lagi masayrakat dengan wajah tanpa dosa kembali berujar, Gasien meukuwien lam tapeh, kaya mulia bak wareh (Miskin terkulai dalam tumpukan sabut kelapa, kaya dimuliakan) dengan ekspresi pesimis. Terus, tacok haba kitab, ue tupee kap han tateumee rasa (mendengarkan perintah agama, kelapa yang sudah digerogoti tupai pun tidak mungkin untuk sempat kita makan).
Saya nukilkan juga keluhan Eko Prasetyo dalam bukunya: Islam, Agama Perlawanan,”. ..sesekali izinkanlah para aktivis yang sering bergelut dengan persoalan sosial untuk juga berkhotbah di mesjid-mesjid.” Semoga menjadi bahan renungan kita bersama.
Zulfikar Akbar, anak Atjeh yang mempersembahkan hidup nya untuk social justice (keadilan sosial).
Referensi:
Eko Prasetyo: Islam Kiri, Melawan Kapitalisme Modal, dari wacana menuju gerakan. Penerbit Resist BookReferensi:
------------ -------, Islam Agama Perlawanan, Resist Book
Sub Commandante Marcos: Kata adalah Senjata, Resist Book
T. Kemal Pasya: Libido Nasionalisme
Sritua Arief: Ilusi Kemerdekaan, Resist Book
Al Ghazali: Ihya ulumuddin
‘ibn Attaillah: Al Hikam
Sub Commandante Marcos: Kata adalah Senjata, Resist Book
T. Kemal Pasya: Libido Nasionalisme
Sritua Arief: Ilusi Kemerdekaan, Resist Book
Al Ghazali: Ihya ulumuddin
‘ibn Attaillah: Al Hikam